Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Kader Posyandu Lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah

(1)

PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU LANSIA DI PUSKESMAS

LAMPAHAN KABUPATEN BENER MERIAH

T E S I S

Oleh

EVA ROSSE 107032192/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU LANSIA DI PUSKESMAS

LAMPAHAN KABUPATEN BENER MERIAH

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EVA ROSSE 107032192/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU LANSIA DI PUSKESMAS

LAMPAHAN KABUPATEN BENER MERIAH Nama Mahasiswa : Eva Rosse

Nomor Induk Mahasiswa : 107032192

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Dra.Erika Revida, M.S) (

Ketua Anggota

Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 24 Oktober 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra.Erika Revida, M.S Anggota : 1. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes

2. Asfriyati, S.K.M, M.Kes 3. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP KINERJA KADER POSYANDU LANSIA DI PUSKESMAS

LAMPAHAN KABUPATEN BENER MERIAH

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012

EVA ROSSE 097032008/IKM


(6)

ABSTRAK

Kader posyandu lansia merupakan tenaga pembantu yang terlibat dalam melaksanakan seluruh kegiatan di posyandu secara rutin setiap bulan. Kinerja kader dapat dilihat dari keaktifannya dalam kegiatan Posyandu lansia. Puskesmas Lampahan merupakan salah satu Puskesmas yang memiliki jumlah kunjungan lansia terendah di Kabupaten Bener Meriah. Jumlah lansia yang aktif berkunjung ke Posyandu hanya 27,9% sementara target pencapaian diharapkan 90%. Jumlah kunjungan lansia yang belum optimal terkait dengan motivasi kader yang rendah dan kader belum mampu menggerakkan lansia untuk memanfaatkan posyandu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi dan kemampuan kerja terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Populasi dalam penelitian adalah kader dan lansia masing-masing 34 orang di wilayah kerja Puskesmas Lampahan dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel motivasi dan kemampuan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah. Variabel motivasi (nilai koefisien (B) 0,784) lebih besar pengaruhnya dari pada kemampuan kerja (nilai koefisien (B) 0,323) terhadap kinerja kader.

Disarankan kepada : (1) Puskesmas Lampahan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah mengupayakan pemberian reward dan punishment berupa penghargaan sesuai dengan kebutuhan kader dan peningkatan pemberian insentif sesuai dengan kemampuan Puskesmas, (2) Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah dan Puskesmas Lampahan perlu meningkatkan pelatihan terhadap kader posyandu untuk meningkatkan kemampuan kader, (3) Pemerintah Kabupaten Bener Meriah agar menjalin kerjasama dengan pemerintah desa dalam pemilihan kader posyandu teladan dan berprestasi.


(7)

ABSTRACT

The cadres of Posyandu Lansia (Integrated Service Post for the Elderly) are permanent assistants in implementing all of the routine monthly activities. The performance of the cadres can be seen from their activity in the activities of Posyandu Lansia. Puskesmas Lampahan is one of the Puskesmas (Community Health Centers) with the lowest visit of the elderly in Bener Meriah District. The number of active elderly visited the Posyandu was only 27.0% while the target expected was 90%. This not-yet optimal visit of the elderly was related to the low motivation of cadres and the cadres have not been able to generate the elderly to utilize the Posyandu.

The purpose of this explanatory study conducted from May to August 2012 was to analyze the influence of motivation and work ability on the performance of the cadres of Posyandu Lansia at Puskesmas Lampahan, Bener Meriah District. The population of this study was all of the 34 cadres and Lansia-the elderly each 34 people in the working area of Puskesmas Lampahan and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple regression tests α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of motivation and work ability had influence on the performance of the cadres of Posyandu Lansia at Puskesmas Lampahan, Bener Meriah District. The variable of motivation (β= 0.784) had a bigger influence than the variable of work ability (β = 0.323) on the performance of the cadres.

The management of Puskesmas Lampahan and Bener Meriah District Health Service are suggested (]) to attempt to give reward and punishment in accordance with the condition and need of the cadres and the improvement of the incentives given according to the ability of Puskemas, (2) to develop training for the cadres of Posyandu in order to improve their capabilities and (3) the District Government of Bener Meriah is suggested to cooperate with the village governments in the election of the best and outstanding cadre of Posyandu.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya yang berlimpah, sehingga tesis ini bisa selesai tepat pada waktunya, adapun tesis ini berjudul “Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Kader Posyandu Lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, saya mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H. M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ihnu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai ketua komisi pembimbing.


(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

5. Prof.Dr.Dra.Erika Revida, M.S selaku ketua pembimbing I yang telah banyak memberi waktu, pikiran, dalam membimbing dan mengarahkan saya selama penyusunan dan pembuatan tesis ini

6. Ernawati Nasution, SKM.M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu dan pemikiran demi tesis ini.

7. Asfiiyati, SKM,M.Kes selaku penguji I yang telah memberikan meluangkan waktu dan pemikiran selama perbaikan tesis ini dengan kesabaran.

8. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes selaku penguji II yang telah banyak memberikan masukan dalam pembuatan tesis ini dengan penuh kebaikan dan kesabaran.

9. Kepala Puskemas Lampahan Kabupaten Bener Meriah yang telah memberikan izin kepada peneliti selama mengadakan penelitian

10. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah yang telah memberikan rekomendasi kepada peneliti untuk melakukan penelitian

11. Ayahanda H. Ibrahim Rebi dan Ibunda Hj. Maryam T yang telah memberikan doa dan dukungan baik dari segi moril maupun materil selama mengikuti pendidikan.

12. Teristimewa buat suami tercinta Alamsyah, B.A dan putri serta putra tercinta Novilia Crustivera, Alvin Ferdika dan Fahlevy Azis Fhad yang telah memberikan


(10)

doa dan dukungan baik dari segi moril maupun materil selama mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2012 Penulis

Eva Rosse 107032192/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Eva Rosse, lahir pada tanggal 1 November 1967 di Takengon, anak ke empat dari lima bersaudara, dari pasangan H. Ibrahim Rebi dan Ibunda Hj. Maryam T.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri No. 1 Takengon Aceh Tengah tahun 1973- 1979, tahun 1979-2003 menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Takengon-Aceh Tengah tahun 1983-1986 menamatkan pendidikan SPK Malahayati, tahun 1987-1988 menamatkan pendidikan DI Kebidanan Pemda Lhokseumawe, tahun 2001-2003 menamatkan Pendidikan di D3 Kebidanan Amanah Takengon-Aceh Tengah, tahun 2006-2008 menamatkan pendidikan D4 Kebidanan Fakultas Kedokteran Abulyatama Banda Aceh. Tahun 2007 sampai dengan sekarang bekerja di Puskesmas Lampahan

Kabupaten Bener Meriah, kemudian tahun 2010 mendaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Kinerja ... 11

2.1.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja ... 12

2.1.2 Penilaian Kinerja ... 16

2.1.3 Tujuan Penilaian Kinerja ... 20

2.1.4 Manfaat Penilaian Kinerja... 21

2.2 Kader ... 21

2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Kader ... 23

2.2.2 Keaktifan dan Pembentukan Kader ... 24

2.3 Motivasi ... 25

2.3.1 Teori Motivasi ... 27

2.3.2 Jenis-Jenis Motivasi ... 35

2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi ... 35

2.3.4 Manfaat Motivasi ... 39

2.4 Kemampuan ... 39

2.5 Posyandu Lansia ... 42

2.5.1 Pengelolaan Posyandu Lansia ... 43

2.5.2 Tujuan dan Sasaran Posyandu Lansia ... 43

2.5.3 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia ... 44

2.5.4 Sarana dan Prasarana... 45

2.6 Landasan Teori ... 46


(13)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1 Data Primer ... 49

3.4.2 Data Sekunder ... 49

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 50

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 52

3.5.1 Variabel Bebas ... 52

3.5.2 Variabel Terikat ... 53

3.6 Metode Pengukuran ... 53

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 53

3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 53

3.7 Metode Analisis Data ... 54

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 55

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

4.2 Identitas Responden ... 57

4.3 Motivasi ... 59

4.4 Kemampuan Kerja ... 65

4.5 Kinerja ... 69

4.6 Hubungan Motivasi dan Kemampuan Kerja dengan Kinerja ... 76

4.6.1 Hubungan Motivasi dengan Kinerja ... 76

4.6.2 Hubungan Kemampuan Kerja dengan Kinerja ... 76

4.7 Pengujian Hipotesis ... 77

BAB 5 PEMBAHASAN ... 80

5.1 Kinerja Kader ... 80

5.2 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Kader ... 85

5.3 Pengaruh Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Kader ... 96

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

6.1 Kesimpulan ... 102

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Distribusi Sampel Menurut Desa ... 49

3.2 Pengukuran Variabel Bebas ... 53

3.3 Pengukuran Variabel Bebas ... 54

4.1 Distribusi Identitas Responden ... 58

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kebutuhan Fisik ... 60

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kebutuhan Rasa Aman ... 61

4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kebutuhan Sosial ... 62

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kebutuhan Penghargaan ... 63

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kebutuhan Aktual ... 65

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Motivasi ... 65

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Intelektual dan Kemampuan Fisik ... 66

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kemampuan ... 69

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas ... 72

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas ... 75

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kinerja ... 75

4.13 Hubungan Motivasi dengan Kinerja ... 76

4.14 Hubungan Kemampuan Kerja dengan Kinerja ... 76


(15)

4.16 Uji Secara Serentak ... 78 4.17 Hasil Uji Parsial ... 78


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 108

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 116

3 Uji Univariat dan Bivariat ... 123

4 Uji Multivariat ... 147

5 Hasil Observasi Kinerja Kader ... 148

5 Surat izin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 149

6 Surat izin selesai penelitian dari Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah. ... 150

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155


(18)

ABSTRAK

Kader posyandu lansia merupakan tenaga pembantu yang terlibat dalam melaksanakan seluruh kegiatan di posyandu secara rutin setiap bulan. Kinerja kader dapat dilihat dari keaktifannya dalam kegiatan Posyandu lansia. Puskesmas Lampahan merupakan salah satu Puskesmas yang memiliki jumlah kunjungan lansia terendah di Kabupaten Bener Meriah. Jumlah lansia yang aktif berkunjung ke Posyandu hanya 27,9% sementara target pencapaian diharapkan 90%. Jumlah kunjungan lansia yang belum optimal terkait dengan motivasi kader yang rendah dan kader belum mampu menggerakkan lansia untuk memanfaatkan posyandu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi dan kemampuan kerja terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai dengan Agustus 2012. Populasi dalam penelitian adalah kader dan lansia masing-masing 34 orang di wilayah kerja Puskesmas Lampahan dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel motivasi dan kemampuan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah. Variabel motivasi (nilai koefisien (B) 0,784) lebih besar pengaruhnya dari pada kemampuan kerja (nilai koefisien (B) 0,323) terhadap kinerja kader.

Disarankan kepada : (1) Puskesmas Lampahan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah mengupayakan pemberian reward dan punishment berupa penghargaan sesuai dengan kebutuhan kader dan peningkatan pemberian insentif sesuai dengan kemampuan Puskesmas, (2) Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah dan Puskesmas Lampahan perlu meningkatkan pelatihan terhadap kader posyandu untuk meningkatkan kemampuan kader, (3) Pemerintah Kabupaten Bener Meriah agar menjalin kerjasama dengan pemerintah desa dalam pemilihan kader posyandu teladan dan berprestasi.


(19)

ABSTRACT

The cadres of Posyandu Lansia (Integrated Service Post for the Elderly) are permanent assistants in implementing all of the routine monthly activities. The performance of the cadres can be seen from their activity in the activities of Posyandu Lansia. Puskesmas Lampahan is one of the Puskesmas (Community Health Centers) with the lowest visit of the elderly in Bener Meriah District. The number of active elderly visited the Posyandu was only 27.0% while the target expected was 90%. This not-yet optimal visit of the elderly was related to the low motivation of cadres and the cadres have not been able to generate the elderly to utilize the Posyandu.

The purpose of this explanatory study conducted from May to August 2012 was to analyze the influence of motivation and work ability on the performance of the cadres of Posyandu Lansia at Puskesmas Lampahan, Bener Meriah District. The population of this study was all of the 34 cadres and Lansia-the elderly each 34 people in the working area of Puskesmas Lampahan and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple regression tests α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of motivation and work ability had influence on the performance of the cadres of Posyandu Lansia at Puskesmas Lampahan, Bener Meriah District. The variable of motivation (β= 0.784) had a bigger influence than the variable of work ability (β = 0.323) on the performance of the cadres.

The management of Puskesmas Lampahan and Bener Meriah District Health Service are suggested (]) to attempt to give reward and punishment in accordance with the condition and need of the cadres and the improvement of the incentives given according to the ability of Puskemas, (2) to develop training for the cadres of Posyandu in order to improve their capabilities and (3) the District Government of Bener Meriah is suggested to cooperate with the village governments in the election of the best and outstanding cadre of Posyandu.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status kesehatan Indonesia, diantaranya diukur dari angka kematian bayi (AKB), dan umur harapan hidup (UHH). Meningkatnya UHH penduduk Indonesia, diiringi dengan meningkatnya jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (Lansia). Jika tidak dipersiapkan memasuki usia tuanya sejak dini permasalahan kesehatan Lansia berpotensi menjadi beban masyarakat. Dengan demikian program yang terjangkau dan bermutu harus diupayakan agar keberadaan Lansia mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna dan produktif selama mungkin.

Secara demografi, berdasarkan data sensus penduduk tahun 1971, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong usia 60 tahun ke atas sebesar 5,3 juta atau 4,5% jumlah total penduduk. Terjadi peningkatan 3-4 juta penduduk lansia tiap dekade berikutnya. Bahkan, antara tahun 2005-2010 populasi lansia diprediksikan akan sama dengan balita, yakni kira-kira 19 juta jiwa atau 8,5% jumlah penduduk Indonesia. Pada saat ini penduduk lansia berjumlah sekitar 24 juta dan tahun 2020 diperkirakan sekitar 30-40 juta jiwa (Hardywinoto, 2007).

Indonesia saat ini memasuki negara berstruktur penduduk tua sebagaimana ketentuan dunia karena jumlah penduduk lansia lebih dari 7%. Jika tahun 1990 UHH 59,8 tahun dan jumlah lansia 11.277.557 jiwa (6,29%), maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta jiwa (8,90%) dan UHH 66,2 tahun. Pada tahun 2010 penduduk lansia di Indonesia mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai


(21)

28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2009).

Proses penduduk menua (aging population) merupakan gejala yang akan dihadapi semua negara di dunia. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dekade tahun 2005 sampai dengan tahun 2025 penduduk usila di dunia meningkat hingga 77,37%, sedangkan usia produktif hanya mencapai 20,95%. Penduduk lansia dunia tahun 2025, diperkirakan akan mencapai sekitar 1,2 milyar orang, dan memasuki tahun 2050 diperkirakan mencapai angka 2 milyar orang, termasuk penduduk lansia di Indonesia semakin besar jumlahnya dan di tahun 2020 diperkirakan akan menjadi dua kali lipat sekitar 28,8 juta orang (11,34 %) (Depsos RI, 2008).

Setiap manusia akan mengalami proses penuaan secara alami dan disertai kemunduran fisik maupun psikologis. Secara fisik lansia mengalami kemunduran sel-sel yang berakibat pada kelemahan organ dan timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif dan secara psikologis lansia menjadi mudah lupa, mengalami rasa kebosanan apalagi jika kehilangan pekerjaan dan rentan terhadap berbagai masalah psikososial dan rawan kesehatan, khususnya terhadap kemungkinan jatuh sakit dan ancaman kematian (Depkes RI, 2005).

Pembinaan lansia di Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam menentukan kebijaksanaan pembinaan sesuai dengan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan pengembangan lembaga (Depkes RI, 2005).


(22)

Salah satu upaya Pemerintah dalam menangani masalah kesehatan lansia adalah melalui Posyandu. Posyandu merupakan perpanjangan tangan Puskesmas yang memberikan pelayanan dan pemantauan kesehatan yang dilaksanakan secara terpadu. Kegiatan posyandu dilakukan oleh dan untuk masyarakat, yang menyelenggarakan sistem pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan kualitas manusia, dan secara empirik posyandu telah dapat memeratakan pelayanan bidang kesehatan (Depdagri, 2001).

Menurut Effendy (2008) posyandu merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. Sedangkan menurut Azwar (2000), posyandu merupakan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang didirikan di desa-desa kecil yang tidak terjangkau oleh Rumah Sakit atau klinik.

Secara kualitas, perkembangan jumlah posyandu di Indonesia sangat menggembirakan, karena disetiap desa ditemukan sekitar 3-4 posyandu. Posyandu dirancang pada tahun 1986, jumlah posyandu tercatat sebanyak 25.000 posyandu, sedangkan pada tahun 2004, meningkat menjadi 238.699 posyandu, tahun 2005 menjadi 315.921 posyandu dan pada tahun 2006 menurun menjadi 269.202 posyandu. Namun bila ditinjau dari aspek kualitas, masih ditemukan masalah, seperti kelengkapan sarana dan keterampilan kader yang belum memadai (Depkes RI, 2006).

Sasaran posyandu lansia meliputi 2 (dua) kelompok sasaran, yaitu sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. Sasaran langsung adalah lansia pra senilis 45 sampai dengan 59 tahun, lansia 60 sampai dengan 69 tahun, dan lansia risiko tinggi, yaitu usia lebih dari 70 tahun. Sedangkan sasaran tidak langsung adalah keluarga di


(23)

mana lansia berada, masyarakat di lingkungan lansia, organisasi sosial yang bergerak di dalam pembinaan kesehatan lansia, petugas kesehatan yang melayani kesehatan lansia dan masyarakat luas (Depkes RI, 2006).

Menurut Hardywinoto (2000) permasalahan kesehatan secara khusus pada lansia meliputi: 1) terjadi perubahan abnormal pada fisik lansia, yang dapat diperbaiki

atau dihilangkan, misalnya: katarak, kelainan sendi dan kelainan prostat; dan 2) terjadinya perubahan normal pada fisik lansia, seperti:kulit menjadi kering keriput;

rambut beruban dan rontok; penglihatan, pendengaran, indra perasa dan daya penciuman menurun; tinggi badan menyusut karena osteoporosis; tulang keropos dan lain-lain.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan lansia di posyandu sangat tergantung kepada sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi, SDM yang turut berperan penting menentukan kelancaran kegiatan posyandu adalah kader, karena kader posyandu merupakan pelayan kesehatan (health provider) yang berada di dekat kegiatan sasaran posyandu dan memiliki frekuensi tatap muka lebih sering daripada petugas kesehatan lainnya (Heru, 2005).

Menurut Siagian (2004), sumber daya manusia dalam organisasi sangat penting. Kegiatan suatu organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya keterlibatan unsur manusia yang ada didalamnya karena manusia merupakan unsur yang dominan menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dalam kerangka proses seperti disebutkan di atas, pada organisasi penyedia jasa termasuk posyandu maka peran SDM termasuk tenaga kader, merupakan unsur yang mendasar dan sangat penting. Oleh karena itu motivasi dan


(24)

kemampuan sumber daya manusia yang tidak optimal akan dapat berdampak negatif pada kinerja organisasi.

Menurut Hemas (2005), pada beberapa tahun terakhir ini, tingkat kinerja dan partisipasi kader posyandu dirasakan menurun, hal ini disebabkan antara lain karena krisis ekonomi, kejenuhan kader karena kegiatan yang rutin, kurang dihayati sehingga kurang menarik, atau juga mungkin karena jarang dikunjungi petugas. Sedangkan posyandu merupakan institusi strategis, karena melalui posyandu berbagai permasalahan kesehatan seperti gizi dan Keluarga Berencana (KB) dapat diketahui sejak dini, termasuk kesehatan lansia.

Kinerja posyandu sebagai suatu organisasi selalu menjadi ukuran keberhasilan dalam mempertahankan kelangsungan organisasi. Menurut Gibson et al. (1996), kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja individu dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh beberapa variabel, yaitu (a) variabel individual, (2) variabel psikologi, dan (3) variabel organisasi.

Tenaga kader dalam menjalankan pelayanan kesehatan di posyandu merupakan sumber daya yang penting dan sangat dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang optimal. Sebaliknya, sumber daya manusia juga mempunyai berbagai macam kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Oleh karena itu, manajemen organisasi perlu memberikan balas jasa yang sesuai dengan kontribusi mereka dan memberikan rangsangan agar dapat bekerja dengan baik dan berkualitas dalam hal ini adalah melalui pemberian motivasi.

Motivasi yang baik di dalam suatu organisasi secara psikologis menentukan terbentuknya SDM yang produktif dan profesional. Menurut Gibson et al. (1996),


(25)

bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan individu, orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak.

Selain faktor motivasi, faktor kemampuan kerja secara individual berpengaruh terhadap kinerja. Menurut Gibson et al. (1996) bahwa kemampuan kerja seseorang secara individual dalam organisasi merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan organisasi, karena variabel kemampuan, latar belakang, dan demografis mempengaruhi perilaku kerja personal yang selanjutnya berefek kepada kinerja secara organisasi.

Kondisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian khusus, dengan adanya tekanan politik akibat konflik yang berkepanjangan dari tahun 1998 sampai dengan 2006, disusul musibah Nasional gempa bumi diikuti gelombang tsunami pada akhir Desember 2004, menghancurkan infrastruktur dan memberikan dampak psikologis kepada sebagian besar masyarakat serta memberikan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu. Apabila dilihat dari jumlah dan persentase posyandu menurut Kabupaten/Kota terdapat 64,09% tergolong posyandu pratama, 22,99% posyandu madya, 7,46% posyandu purnama dan 1,71% strata mandiri (Dinas Kesehatan Pemerintahan Aceh, 2012)

Salah satu kabupaten yang melaksanakan kegiatan posyandu lansia di Pemerintahan Aceh adalah Kabupaten Bener Meriah. Kabupaten Bener Meriah memiliki penduduk lansia dengan jumlah 25.882 orang pada tahun 2012 dengan kelompok umur yang bervariasi mulai dari usia 45-75 tahun. Memiliki 10 Puskesmas dengan 48 posyandu, yang aktif hanya 20 posyandu (41,7%) sementara target 95%.


(26)

Jumlah kader tercatat sebanyak 144 orang, yang aktif sebanyak 60 orang, seharusnya 1 posyandu 5 orang kader (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah, 2012).

Salah satu Puskesmas di Kabupaten Bener Meriah yang memiliki jumlah kunjungan lansia terendah adalah wilayah kerja Puskesmas Lampahan. Jumlah lansia tercatat sebanyak 2.301 orang dan yang aktif berkunjung ke Posyandu sebanyak 642 orang (27,9%). Jumlah Posyandu Lansia sebanyak 8 posyandu dengan jumlah kader sebanyak 40 orang dan yang aktif sebanyak 34 orang (85%) sementara target 95% (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah, 2012).

Ditinjau dari kemampuan kader dalam menjalankan kegiatan posyandu belum optimal, salah satu penyebabnya adalah kader belum mampu untuk menggerakkan lansia dalam memanfaatkan posyandu, hal ini dapat dilihat dari partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam mendukung pelaksanaan kegiatan posyandu lansia yang masih rendah, yaitu sebanyak 27,9%, sementara target pencapaian diharapkan 90%. Jadwal kegiatan posyandu tidak tentu, struktur, fungsi dan tugas masing-masing kader tidak tertata dengan jelas sebagaimana yang diharapkan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah, 2012).

Jumlah kunjungan lansia keposyandu yang belum optimal merupakan pencerminan partisipasi masyarakat untuk datang di posyandu lansia masih perlu di tingkatkan secara terus menerus dan hal ini merupakan salah satu gambaran kinerja kader yang belum optimal. Diduga hal ini terkait dengan motivasi dan kemampuan kader secara organisasi dalam pelaksanaan kegiatan posyandu lansia.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang kader di wilayah kerja Puskesmas Lampahan, diperoleh informasi sebagian besar kader telah berumah tangga, mempunyai pekerjaan sampingan selain sebagai kader, penghasilan keluarga


(27)

tidak mencukupi dan belum adanya ketentuan baku tentang reward sebagai kader. Pembinaan dari petugas kesehatan terhadap kader dalam pelaksanaan posyandu sangat minim seperti pelatihan, supervisi dan evaluasi, sehingga kader tidak optimal untuk bekerja di posyandu.

Beberapa penelitian terkait dengan kinerja kader, seperti hasil penelitan Koto dan Hasanbasri (2007) tentang proses pelaksanaan manajemen pelayanan posyandu terhadap intensitas posyandu pada 13 Provinsi di Indonesia, mengungkapkan bahwa secara umum pelayanan posyandu belum sesuai dengan harapan. Kinerja kader berdasarkan keaktifan kader tidak terkait dengan kelengkapan pelayanan. Kelengkapan kemungkinan besar terkait dengan keterlibatan puskesmas. Jumlah kunjungan tidak terkait dengan kelengkapan pelayanan. Posyandu di pedesaan menunjukkan pelayanan lebih lengkap di bandingkan kota.

Hasil penelitian Widiastuti (2005) bahwa pemerintah Propinsi Bali telah berupaya memotivasi kader dengan memberikan insentif sebesar Rp. 15.000 per bulan, selain itu, kader juga mendapatkan kemudahan dalam pengurusan KTP dan sebagainya. Demikian juga dengan hasil penelitian Sihombing dan Yuristianti (2000) di Kecamatan Kanggime dan Kecamatan Kembu Propinsi Papua bahwa perlu dilakukan identifikasi khusus bagi kader yang aktif untuk diberikan perhatian sebagai penghargaan atas partisipasi dan kerelaannya ikut berpartisipasi dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat

Hasil penelitian Widagdo dan Husodo (2009) di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungadem Kabupaten Bojonegoro, mengungkapkan bahwa kinerja kader memegang peranan penting sebagai pelaksana kegiatan Posyandu yang menggerakkan keaktifan responden ke posyandu. Berdasarkan hasil uji regresi


(28)

logistik ganda diketahui bahwa variabel kader posyandu mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap pemanfaatan buku KIA di Posyandu.

Berdasarkan uraian dan beberapa penelitian yang dikemukan di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul: ” Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Kerja terhadap Kinerja Kader Posyandu Lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah”.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah motivasi berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah ?

b. Apakah kemampuan kerja berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah?

c. Apakah motivasi dan kemampuan kerja secara bersama berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah? 1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh motivasi dan kemampuan kerja terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah.

1.4 Hipotesis

a. Motivasi berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah.


(29)

b. Kemampuan kerja berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah.

c. Motivasi dan kemampuan kerja secara bersama berpengaruh terhadap kinerja kader posyandu lansia di Puskesmas Lampahan Kabupaten Bener Meriah.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan masukan bagi Puskesmas Lampahan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah dalam mengoptimalkan kinerja kader Posyandu Lansia. b. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kesehatan reproduksi terutama yang

berkaitan dengan kinerja kader sebagai pelaksana kegiatan posyandu lansia di Puskesmas.

c. Memberikan masukan bagi kader untuk meningkatkan motivasi dalam kegiatan posyandu lansia di Puskesmas.

d. Memberikan masukan bagi kader untuk meningkatkan kemampuan kerja dalam kegiatan posyandu lansia di Puskesmas.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja

Istilah kinerja sering dipadankan dengan kata dalam bahasa Inggris yakni “

performance”. Menurut The Scribner-Bantam English Dictionary tahun 1979

performance berasal dari akar kata “ to perform” yang mempunyai arti melakukan, menjalankan, melaksanakan, memenuhi atau menjalankan kewajiban menyempurnakan tanggung jawab dan melakukan sesuatu yang diharapkan seseorang atau mesin. Dapat disimpulkan bahwa dari beberapa arti “to perform” adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakan sesuai dengan tanggung jawab atau hasil yang diharapkan, sedangkan arti kata performance merupakan kata benda dimana salah satunya adalah sesuatu hasil yang telah dikerjakan.

Kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi. Menurut Robbin (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut Triffin dan MacCormick (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variabel adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan,


(31)

kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan sekerja dan pemberian imbalan.

Sementara kinerja menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.

2.1.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et al. (1996), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu:

1. Variabel individual, terdiri dari: a) Kemampuan

Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan.


(32)

b) Latar belakang

Kondisi dimasa lalu yang memengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu.

c) Demografis

Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku.

2. Variabel Organisasional, terdiri dari: a) Sumber Daya

Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia.

b) Kepemimpinan

Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.

c) Imbalan

Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan di dalam proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara intrinsik maupun ekstrinsik.


(33)

d) Struktur

Hubungan wewenang dan tanggungjawab antar individu di dalam organisasi, dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.

e) Desain Pekerjaan

Job Description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

f) Supervisi

Menurut Azwar (2000) supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.

3. Variabel psikologis, terdiri dari: a) Persepsi

Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.

b) Sikap

Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain.


(34)

c) Kepribadian

Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang. d) Belajar

Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan.

Menurut Werther dan Davis (1996), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sedangkan Robbin (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung, prosedur yang tidak jelas dan sebagainya.


(35)

2.1.2 Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya. Sedangkan menurut Rivai (2005), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang, meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas.

Rivai (2005), mengemukakan pada dasarnya ada 2 (dua) model penilaian kinerja :

1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu (a) Skala Peringkat (Rating Scale)

Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

(b) Daftar Pertanyaan (Checklist)

Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.


(36)

Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi. (c) Metode dengan Pilihan Terarah

Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.

(d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method)

Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaannya.

(e) Metode Catatan Prestasi

Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.

(f) Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale=BARS)

Penggunaan metode ini menuntut diambilnya 3 (tiga) langkah, yaitu: 1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja


(37)

3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan yang dinilai dengan jelas.

(g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method)

Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.

(h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)

Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian parktik yang langsung diamati oleh penilai.

(i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach)

Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.

2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal)

Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.


(38)

b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective)

Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang.

c. Penilaian dengan Psikolog

Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi, diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia.

3. Organisasi dengan Tingkat Manajemen Majemuk

Pada organisasi dengan tingkat manajeman majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian termasuk yang dilakukan oleh penyelia atau atasan langsung kepadanya laporan kerja personel disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebagai contoh, personel bagian pembelian dapat dinilai oleh manajer produksi sebagai sebagai pemakai barang yang dibeli. Hal ini normal terjadi bila interaksi antara personel dan unit lain cukup tinggi. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi. Pada penilaian manajer, biasanya dilakukan oleh beberapa atasan manajer dengan tingkat lebih tinggi yang sering bekerja sama dalam kelompok kerja. Penilaian kerja kelompok akan sangat bernilai jika penilaian dilakukan dengan bebas dan kemudian dilakukan mufakat dengan diskusi. Hasil penilaian akhir seharusnya tidak dihubungkan dengan kemungkinan adanya perbedaaan pendapat diantara penilai. Penilaian kelompok dapat menghasilkan


(39)

gambaran total kinerja personel lebih tepat, tetapi kemungkinan terjadi bias dengan kecenderungan penilaian lebih tinggi sehingga menghasilkan penilaian yang merata. Penilaian atasan langsung sangat penting dari seluruh sistem penilaian kinerja. Hal ini disebabkan karena madah untuk memperoleh hasil penilaian atasan dan dapat diterima oleh akal sehat. Para atasan merupakan orang yang tepat untuk mengamati dan menilai kinerja bawahannya. Oleh sebab itu, seluruh sistem penilaian umumnya sangat tergantung pada evaluasi yang dilakukan oleh atasan (Rivai, 2005).

2.1.3 Tujuan Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan.

a. Tujuan Evaluasi.

Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif. Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja karyawan.

b. Tujuan Pengembangan.

Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.


(40)

2.1.4 Manfaat Penilaian Kinerja

Manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian

karyawan secara maksimum.

2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti promosi, transfer dan pemberhentian.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan. 2.2 Kader Posyandu Lansia

Secara umum kader diartikan sebagai tenaga sukarela yang tertarik dalam bidang tertentu yang tumbuh di masyarakat yang merasa berkewajiban untuk melaksanakan dan meningkatkan serta membina kesejahteraan termasuk bidang kesehatan. Kader adalah seorang atau tim sebagai tenaga posyandu yang berasal dari dan dipilih oleh masyarakat setempat yang memenuhi ketentuan dan diberi tugas serta tanggung jawab untuk melaksanakan pemantauan, pertumbuhan dan perkembangan Balita dan memfasilitasi kegiatan lain (Pemerintahan Aceh, 2006). Kriteria kader Posyandu adalah sebagai berikut:


(41)

a. Diutamakan berasal dari anggota masyarakat setempat. b. Dapat membaca dan menulis huruf latin.

c. Mempunyai jiwa pelopor, pembaharuan dan penggerak masyarakat. d. Bersedia bekerja secara sukarela, memiliki kemampuan dan waktu luang.

Mengingat kader bukanlah tenaga profesional dan teknis, melainkan hanya tenaga pembantu di dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar, untuk itu perlu adanya pembagian tugas yang di emban padanya, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayan dan perannya melalui pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh masyarakat. Peran kader menurut Depkes RI (2005) adalah sebagai berikut :

1. Melakukan Survei Mawas Diri (SMD) bersama petugas untuk menelaah pendataan sasaran, pemetaan, mengenal masalah dan potensi.

2. Melaksanakan musyawarah bersama masyarakat untuk membahas hasil SMD, menyusun rencana kegiatan, pembagian tugas dan jadwal kegiatan.

3. Menggerakkan masyarakat, yaitu dengan cara mengajak lansia untuk hadir dan berpartisipasi di posyandu lansia, memberikan penyebarluasan/penyuluhan informasi kesehatan, menggali dan menggalang sumber daya termasuk pendanaan yang bersumber dari masyarakat.

4. Melaksanakan kegiatan di posyandu lansia, yaitu menyiapkan tempat, alat-alat dan bahan serta memberikan pelayanan kepada lansia.


(42)

Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan kader dewasa ini adalah tingginya angka drop out kader. Persentase kader aktif secara nasional adalah 69,2%, sehingga angka drop out kader sekitar 30,8% ( Wiku, 2007).

2.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader

Kinerja kader di Posyandu lansia dapat dimonitor melalui keaktifan kader atau keterlibatan kader dalam kegiatan kemasyarakatan yang merupakan pencerminan akan usahanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan dan pengabdian terhadap pekerjaannya sebagai kader melalui tugas yang diembankan kepadanya.

Menurut Gibson et al. (1996), bahwa kinerja individu dapat diartikan sebagai perilaku dan prestasi kerja individu yang dipengaruhi oleh variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Sedangkan Robbin (2006) dalam teori harapan menyatakan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu. Dalam hal ini ada tiga variabel yang dikemukakan, yaitu:

a. Daya tarik : Pentingnya individu mengharapkan out come dan penghargaan yang mungkin dapat dicapai dalam bekerja. Variabel ini mempertimbangkan kebutuhan–kebutuhan individu yang tidak terpuaskan.

b. Kaitan kinerja-penghargaan : Keyakinan individu bahwa dengan mewujudkan kinerja pada tingkat tertentu akan mencapai outcome yang di inginkan.

c. Kaitan upaya-kinerja : probabilitas yang diperkirakan oleh individu bahwa dengan menggunakan sejumlah upaya tertentu akan menghasilkan kinerja.


(43)

Menurut Robbin (2006) yang mengutip pendapat Maslow (1970) menyatakan bahwa sebagian besar perilaku manusia berdasarkan adanya motif (kebutuhan tertentu). Disebut pula bahwa motif memiliki tingkatan-tingkatan mulai dari yang terendah sampai tertinggi. Motif terendah adalah kebutuhan psikologis seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Diatas kebutuhan dasar adalah kebutuhan aman, kebutuhan akan rasa disukai dan menyukai, kebutuhan akan kedudukan dan status, dan yang tertinggi adalah kebutuhan akan meningkatkan peran serta diri atau pengabdian. Rasa pengabdian sesungguhnya dimiliki oleh orang yang telah mencapai kebutuhan tinggi.

2.2.2 Keaktifan dan Pembentukan Kader

Keaktifan kader adalah keterlibatan kader dalam kegiatan kemasyarakatan, yang merupakan pencerminan akan usahanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan dan pengabdian terhadap pekerjaannya sebagai kader posyandu. Keaktifan kader tersebut dapat dilihat dari kinerjanya, yaitu ada atau tidaknya dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai tugas dan tanggung-jawab yang diembankan padanya, kegiatan ini akan berjalan dengan baik bila didukung oleh fasilitas yang memadai. Bila fasilitas kerja yang disediakan harus cukup dan sesuai dengan tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan serta adanya tersedia waktu dan tempat yang tepat (Depkes RI, 2006).


(44)

Pembentukan kader merupakan salah satu metode pendekatan edukatif, untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan di bidang kesehatan. Pada hakekatnya pelayanan kesehatan dipolakan mengikutsertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan adalah atas dasar terbatasnya daya dan dana di dalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian sangat menentukan keaktifan masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam masyarakat seoptimal mungkin. Pemikiran ini merupakan penjabaran dari karsa pertama, berbunyi meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan (Depkes RI, 2006).

Secara umum keaktifan kader posyandu adalah suatu frekuensi keterlibatan dan keikutsertaan kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu secara rutin setiap bulan, yaitu bila kader membantu melaksanakan seluruh kegiatan di posyandu lebih dari 8 (delapan) kali dalam dua belas (12) bulan atau sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terakhir secara berturut-turut (Depkes RI, 2005).

2.3 Motivasi

Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan


(45)

sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu tujuan tertentu (Rivai, 2006). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian, 2004). Sedangkan Gerungan (2000), menambahkan bahwa motivasi adalah penggerak, alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan dirinya melakukan suatu tindakan/bertingkah laku.

Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani.

Istilah motivasi mengandung tiga hal yang amat penting, yaitu:

a) Pemberian motivasi berkaitan langsung dengan usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasional. Tersirat pada pandangan ini bahwa dalam tujuan dan sasaran organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran pribadi anggota organisasi. Pemberian motivasi hanya akan efektif apabila dalam diri bawahan yang digerakkan terdapat keyakinan bahwa dengan tercapainya tujuan maka tujuan pribadi akan ikut pula tercapai.


(46)

b) Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu. Usaha merupakan ukuran intensitas kemauan seseorang. Apabila seseorang termotivasi, maka akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu.

c) Kebutuhan adalah keadaan internal seseorang yang menyebabkan hasil usaha tertentu menjadi menarik. Artinya suatu kebutuhan yang belum terpuaskan menciptakan ketegangan yang pada gilirannya menimbulkan dorongan tertentu pada diri seseorang.

Menurut Gitosudarmo (1997), terdapat dua macam motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja sama demi tercapainya tujuan perusahaan, yaitu: (a) motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan

imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif; dan (b) motivasi non finansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk

finansial, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusiawi dan lain sebagainya.

2.3.1 Teori Motivasi

Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et al. (1996), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :

1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.


(47)

2. Teori proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

Lebih lanjut Gibson et al. (1996), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut :

1. Teori kepuasan terdiri dari :

a. Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg

c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d. Teori prestasi dari McClelland

2. Teori Proses terdiri dari : a. Teori harapan

b. Teori pembentukan perilaku c. Teori keadilan

Penjelasan uraian tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut : Lebih jelas berikut ini dipaparkan teori tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut :

a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow

Menurut Maslow dalam Robbin (2006), hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya sewaktu bekerja sama dengan orang lain dalam memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan


(48)

teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi pegawai. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :

a). Kebutuhan fisiologi yaitu, pakaian, perumahan, makanan, seks (disebut kebutuhan paling dasar) b). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan. c). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan. d). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi. e). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.

Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2002).

b. Teori Dua Faktor dari Herzberg.

Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).


(49)

Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2004).

Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih


(50)

memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).

Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi, (Grensing dalam Timpe, 2002).

c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer

Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu: a).Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b).Relatednes (keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). c).Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).

d. Teori Kebutuhan dari McClelland

Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2005).


(51)

a). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement).

Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

b). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power )

Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.

c). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation)

Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.

e Teori Harapan (Expectancy Theory)

Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu


(52)

jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang giat dalam bekerja.

f. Teori Pembentukan Perilaku (Operant Conditioning)

Teori ini berasumsi bahwa prilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement dan skinerian conditioning.

Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai dipengaruhi kejadian-kejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku tersebut positif, maka pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap situasi lama, tetapi apabila konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai cendrung mengubah perilakuya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut.

g.Teori Keadilan (Equity Theory)

Menurut Davis (2004), keadilan adalah suatu keadaan yang muncul dalam pikiran seseorang jika orang tersebut merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang. Teori motivasi keadilan ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya apabila pegawai tersebut diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya.


(53)

Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti menurunkan prestasi, mogok, malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Pengertian motivasi banyak macam rumusan yang dikemukakan oleh para ahli antara lain oleh Mitchell dalam Winardi (2003) yang menjelaskan motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan kearah tujuan tertentu. Robbins (2006), memberi definisi motivasi sebagai suatu kerelaan untuk berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Sementara Gibson et al. (1996) menyebutkan motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku.

Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi dan kebutuhan-kebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah laku dan pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan.


(54)

Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan Herzberg. Adapun pertimbangan peneliti karena teori yang dikembangkan Herzberg berlaku mikro, yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan yang hubungannya antara kebutuhan dengan performa pekerjaan.

2.3.2 Jenis-Jenis Motivasi

Handoko (2001), motivasi terdiri atas: (a) motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsinya tanpa rangsangan dari luar, karena dalam diri individu tersebut sudah ada dorongan untuk melakukan tindakan, dan (b) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsinya karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar diri individu.

Herzberg (dalam Hasibuan, 2005), menjelaskan bahwa motivasi pada prinsipnya berkaitan dengan kepuasan dan ketidak puasan kerja. Dalam hal ini kepuasan kerja atau perasaan positif disebut sebagai hygien. Secara terinci dikemukakan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan dikalangan karyawan atau bawahan.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi

Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor “objective” atau faktor ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul dari individu petugas dengan pekerjaannya yang sering disebut pula sebagai “job content factor”. Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam melaksanakan tugas, memperoleh pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung


(55)

jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi

Herzberg (dalam Hasibuan, 2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi seorang karyawan ada yang bersifat internal dan eksternal. Faktor yang bersifat internal (motivator factor), antara lain:

1) Tanggung jawab (Responsibility).

Setiap orang ingin diikutsertakan dan ngin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.

2) Prestasi yang diraih (Achievement)

Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.

3) Pengakuan orang lain (Recognition)

Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.

4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)

Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai,


(56)

merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi.

5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of growth)

Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja.

6) Kemajuan (Advancement)

Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.

Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg (dalam Luthans, 2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain :

1). Gaji

Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi dan gaji yang realistis. Bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai.


(57)

2). Keamanan dan keselamatan kerja.

Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi kerja

Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari.

4). Hubungan kerja

Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan.

5). Prosedur perusahaan.

Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja.

6). Status

Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya.


(58)

Herzberg (dalam Luthans, 2003) berpendapat bahwa apabila manajer ingin memberi motivasi pada para bawahannya yang perlu ditekankan adalah faktor-faktor yang menimbulkan rasa puas, yaitu dengan mengutamakan faktor-faktor motivasional yang sifatnya intrinsik.

2.3.4 Manfaat Motivasi

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.

Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep dan Tanjung, 2003).

2.4 Kemampuan

Menurut Sofo (2003) istilah kemampuan didefinisikan dalam arti apa yang diharapkan di tempat kerja, dan merujuk pada pengetahuan, keahlian, dan sikap yang


(59)

dalam penerapannya harus konsisten dan sesuai standar kinerja yang dipersyaratkan dalam pekerjaan. Sedangkan menurut Schumacher dalam Sinamo (2002), ada tiga komponen penting yang tidak tampak dalam kemampuan diri manusia yaitu; keterampilannya, kemampuannya dan etos kerjanya. Tanpa ketiganya, semua sumber daya tetap terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka. Jika di simak ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut memang berada dalam diri manusia, tersimpan dalam bentuk kemampuan insani operasional (operational human abilities).

Lowler dan Porter mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai karakterisik individual seperti intelegensia, manual skill, traits yang merupakan kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya stabil (As’ad, 2000). Selain itu kemampuan dinyatakan sebagai seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Mendiknas, 045/U/2002 dalam Sedarmayanti, 2003).

Sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi sangat menunjang tercapainya visi dan misi organisasi untuk segera maju dan berkembang pesat, guna mengantisipasi kompetisi global. Kemampuan yang dimiliki seseorang akan membuatnya berbeda dengan yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa saja. Menurut Gibson et al. (1996) faktor kemampuan merupakan salah satu faktor dalam variabel individual yang memengaruhi kinerja secara individu .


(60)

Kemampuan pada individu paling tidak ditentukan oleh tiga aspek kondisi dasar yaitu; kondisi sensoris dan kognitif, pengetahuan tentang cara respon yang benar, dan kemampuan melaksanakan respon tersebut. Jadi kemampuan (ability) merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu, atau dengan kata lain kemampuan (ability) adalah what one can do dan bukanlah what he does do (As’ad, 2000).

Sebagai makhluk psikologikal (psycological being) manusia ditandai dengan kemampuan dalam 6 (enam) hal;

(1) Kemampuan berpikir persepsional-rasional (2) Kemampuan berpikir kreatif-imajinatif (3) Kemampuan berpikir kritikal-argumentatif

(4) Kemampuan memilih sejumlah pilihan yang tersedia. (5) Kemampuan berkehendak secara bebas.

(6) Kemampuan untuk merasakan. (Sinamo, 2002).

Sedangkan kemampuan sejati adalah kekuatan yang dapat mendorong terwujudnya sinergi kemampuan konstruktif seluruh potensi yang ada dalam diri manusia perbuatan”. “Kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek” (Robbin, 2006). Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan (abilty) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya. Lebih lanjut Robbin (2006) menyatakan bahwa kemampuan terdiri dari dua faktor, yaitu:


(61)

a. Kemampuan intelektual (Intelectual ability)

Merupakan kemampuan melakukan aktivitas secara mental. b. Kemampuan fisik (Physical ability)

Merupakan kemampuan melakukan aktivitas berdasarkan stamina kekuatan dan karakteristik fisik.

Menurut Keith Davis dalam Mangkunegara (2002), “secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill), artinya karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal”.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan merupakan potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam menyelesaikan tugasnya secara cepat dan tepat, efektif dan efisien sesuai dengan metode atau standar kerja yang diwujudkan dalam pelaksanaan tugasnya.

2.5 Posyandu Lansia

Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitikberatkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif. Pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan posyandu lansia merupakan upaya fasilitas agar masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi kebutuhan setempat (Depkes RI, 2004).


(62)

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembentukan posyandu usila, misalnya mengembangkan kelompok-kelompok yang telah ada seperti kelompok arisan lansia, kelompok pengajian, kelompok jemat gereja, kelompok senam lansia dan lain-lain (Depkes RI,2004).

2.5.1 Pengelolaan Posyandu Lansia

Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya (Depkes RI, 2005). Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan ditingkat masyarakat adalah posyandu lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar adalah Puskesmas dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit.

2.5.2 Tujuan dan Sasaran Posyandu Lansia

Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain :

1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.

2. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut.


(63)

3 Meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Pembinaan kesehatan lansia meliputi beberapa kelompok sasaran yaitu: 1. Sasaran langsung

a. Kelompok pra usila 45-59 tahun. b. Kelompok usila 60-69 tahun.

c. Kelompok usila risiko tinggi, yaitu usila lebih dari 70 tahun atau usila berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

2. Sasaran tidak langsung

a. Keluarga di mana usila berada.

b. Masyarakat di lingkungan usila berada.

c. Organisasi sosial yang bergerak di dalam pembinaan kesehatan usila. d. Petugas kesehatan yang melayani kesehatan.

e. Masyarakat luas (Depkes RI, 2005).

2.5.3 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu menggunakan sistem pelayanan 3 meja, dengan kegiatan sebagai berikut :


(1)

Variables Entered/Removedb

Kemampu an kerja, Motivas ia

, Enter Model

1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Kinerja b.

Model Summary

,781a ,610 ,584 11,15

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), Kemampuan kerja, Motivas i a.

ANOV Ab

6021,321 2 3010,660 24,200 ,000a

3856,561 31 124,405

9877,882 33

Regres sion Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean S quare F Sig.

Predic tors: (Constant), Kemampuan kerja, Motivasi a.

Dependent Variable: Kinerja b.

Coeffi cientsa

,368 10,935 ,034 ,973

,784 ,114 ,776 6,853 ,000

,323 ,154 ,238 2,101 ,044

(Const ant) Motivasi

Kemampuan k erja Model

1

B St d. E rror Unstandardized

Coeffic ient s

Beta St andardi

zed Coeffic ien

ts

t Sig.

Dependent Variable: Kinerja a.


(2)

Hasil observasi pada saat kegiatan posyandu lansia berlangsung ditemukan sebanyak 29 orang (85,3%) menyiapkan tempat kegiatan posyandu lansia, sebanyak 24 orang (70,6%) menyiapkan peralatan kegiatan posyandu lansia, sebanyak 26 orang (76,5%) menyiapkan sarana dan prasarana posyandu lansia, sebanyak 25 orang (73,5%) menyiapkan pemberian makanan tambahan (PMT), sebanyak 34 orang (100%) melaksanakan pendaftaran pengunjung posyandu lansia, sebanyak 17 orang (50%) melaksanakan kegiatan penimbangan badan, sebanyak 20 orang (58,8%) melaksanakan kegiatan pengukuran tiinggi badan, sebanyak 22 orang (64,7%) tidak melaksanakan kegiatan penyuluhan, dan sebanyak 26 orang (76,5%) tidak tepat waktu melaksanakan jadwal buka posyandu.

B. Fasilitas/peralatan

Mayoritas fasiltas peralatan tersedia pada saat kegitan posyandu lansia berlangsung meliputi :

1 Meja dan kursi 2 Alat tulis

3 Buku pencatat kegiatan 4 Timbangan dewasa

5 Meteran pengukur tinggi badan 6 Stetoskop

7 Tensimeter 8 Thermometer


(3)

Distribusi responden berdasarkan hasil observasi, disajikan pada Tabel 1.1:

Tabel 1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pelayanan Posyandu pada Saat Kegiatan Berlangsung

No Kegiatan

Hasil Observasi

Ya Tidak

n % n %

A Pelayanan posyandu

1 Menyiapkan tempat kegiatan posyandu lansia 29 85,3 5 14,7

2 Menyiapkan peralatan kegiatan posyandu lansia 24 70,6 10 29,4 3 Menyiapkan sarana dan prasarana posyandu lansia 26 76,5 8 23,5 4 Menyiapkan pemberian makanan tambahan (PMT) 25 73,5 9 26,5 5 Melaksanakan pendaftaran pengunjung posyandu lansia 34 100,0 0 0,00

6 Melaksanakan kegiatan penimbangan badan 17 50,0 17 50,0

7 Melaksanakan kegiatan pengukuran tiinggi badan 20 58,8 14 41,2

8 Melaksanakan penyuluhan 12 35,3 22 35,3

9 Jadwal pelayanan 8 23,5 26 76,5

B Fasilitas/peralatan Ada Tidak ada

n % n %

1 Meja dan kursi 34 100,0 0 0,00

2 Alat tulis 34 100,0 0 0,00

3 Buku pencatat kegiatan 34 100,0 0 0,00

4 Timbangan dewasa 34 100,0 0 0,00

5 Meteran pengukur tinggi badan 34 100,0 0 0,00

6 Stetoskop 34 100,0 0 0,00

7 Tensimeter 34 100,0 0 0,00

8 Thermometer 34 100,0 0 0,00

9 Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia 34 100,0 0 0,00


(4)

Menyiapkan tempat kegiatan posyandu lansia

5 14.7 14.7 14.7

29 85.3 85.3 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Menyiapkan peralatan kegiatan posyandu lansia

10 29.4 29.4 29.4

24 70.6 70.6 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Menyiapkan sarana dan prasarana posyandu lansia

8 23.5 23.5 23.5

26 76.5 76.5 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Menyiapkan pemberian makanan tambahan (PMT)

9 26.5 26.5 26.5

25 73.5 73.5 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Melaksanakan pendaftaran pengunjung posyandu lansia

34 100.0 100.0 100.0

Ya Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(5)

Melaksanakan kegiatan pengukuran tiinggi badan

14 41.2 41.2 41.2

20 58.8 58.8 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Melaksanakan penyuluhan

22 64.7 64.7 64.7

12 35.3 35.3 100.0

34 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Meja dan kursi

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Alat tulis

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Buku pencatat kegiatan

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Timbangan dewasa

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Meteran pengukur tinggi badan

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(6)

Stetoskop

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Tensimeter

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan BPPK Lansia

34 100.0 100.0 100.0

Ada Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Jadwal pelayanan

26 76.5 76.5 76.5

8 23.5 23.5 100.0

34 100.0 100.0

Tidak tepat waktu Tepat waktu Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent