masyarakat, maka kebijakan perusahaan dalam menerapkan tanggung jawab sosial telah meninggalkan charity, tetapi lebih dari itu akan sampai pada
tahap philantrophy dan corporate citizenship. Tanggung jawab sosial tersebut mulai dari usaha tanggung jawab
sosial sebagai program kedermawanan charity hingga menjadi good corporate citizenship. Perusahaan dalam mengimplementasikan CSR
sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosialnya telah meninggalkan charity yang hanya merupakan kewajiban, mengarah kepada tanggung
jawab sosial sebagai philantrophy dan corporate citizenship yang menekankan adanya kepentingan bersama, dimana penerima manfaat bukan
hanya sekedar orang miskin seperti dalam charity namun juga masyarakat luas dan perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa tanggung jawab sosial juga
lebih tepat bila dianggap sebagai community development dan merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR.
13
C. Perdebatan CSR Di Indonesia
Sejak disahkannya UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, debut CSR di Tanah Air semakin menguat. Hal ini disebabkan UU tersebut
menyebutkan secara tegas bahwa CSR telah menjadi kewajiban perusahaan. Bunyi pasal yang menyebutkan kewajiban tersebut adala
h “PT yang menjalankan usaha dibidang danatau bersangkutan dengan sumber daya
alam wajib menjalankan tanggu ng jawab sosial dan lingkungan.”
14
13
Fredian Tonny Nasdian, Pengembangan Msyarakat, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, edisi I, h. 229-232.
14
Undang –Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 74 Ayat 1
Perdebatan mulai muncul menyangkut besaran biaya dan sanksi. Terlebih, UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang
harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2,3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak
melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang- undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh
Peraturan Pemerintah, yang hingga kini sepengetahuan penulis belum dikeluarkan.
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 b menyatakan bahwa “Setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
”
15
Meskipun UU ini telah mengatur sanksi –sanksi secara
terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR Pasal 34, UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum
mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci
adalah UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No. 4 tahun 2007 yang
mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan PKBL. Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari
15
Undang –Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 15 b
keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat.
Selanjutnya, Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 yang
dapat digunakan untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.
16
Pentingnya CSR perlu dilandasi oleh kesadaran perusahaan terhadap fakta tentang adanya jurang yang semakin menganga antara kemakmuran
dan kemelaratan, baik pada tataran global maupun nasional. Oleh karena itu, diwajibkan atau tidak, CSR harus merupakan komitmen dan kepedulian dari
para pelaku bisnis untuk ambil bagian mengurangi nestapa kemanusiaan. Memberi gaji pada karyawan dan membayar pajak pada negara kurang patut
dijadikan alasan bahwa perusahaan tidak perlu melaksanakan CSR. Terlebih di Indonesia yang menganut residual welfare state, distribusi pendapatan
mengalami distorsi luar biasa. Manfaat pajak sering tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok lemah dan rentan seperti orang miskin,
pekerja sektor informal, kaum perempuan, anak –anak, dan komunitas adat
terpencil. Akibatnya, sebagian besar dari mereka hidup tanpa perlindungan sosial yang memadai.
17
16
Edi Suharto, CSR Comdev: Investasi Kreatif Perusahaan Di Era Globalisasi, Bandung: Alfabeta, 2010, h. 19-21.
17
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri: Memperkuat CSR Corporate Social Responsibility, Bandung: Alfabeta, 2009, h. 106.