1995. Usaha peternakan sangat berkaitan dengan lahan karena menentukan ketersediaan hijauan makanan ternak. Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha
peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan land based agriculture dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan
non land based agriculture. Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan, yaitu ternak yang komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman
hijauan rumput dan leguminose, maka lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan Suratman et al. 1998.
Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternakan antara lain adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat.
Lahan sawah akan menghasilkan jerami, dedak, dan bekatul, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain Riady
2004. Persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing komoditas
mempunyai batas minimum, optimum, dan maksimum Djaenudin et al. 2000. Untuk komoditas peternakan berupa hijauan makanan dapat hanya menggunakan
klasifikasi berdasarkan ordo Sesuai S dan tidak sesuai N. Penilaian ini dilakukan terhadap persyaratan lingkungan untuk ternak sapi dan kerbau
Suratman et al. 1998.
2.2 Komoditas Peternakan
Komoditas peternakan dikembangkan sesuai dengan permintaaan pasar. Permintaan pasar dapat menggambarkan prospek pengembangan komoditas
peternakan. Salah satu indikator untuk pengembangan peternakan adalah konsumsi daging. Kebutuhan daging nasional berasal dari daging unggas 57,
daging sapi 24, daging babi 11, daging kambingdomba 5 , daging kerbau dan kuda 3 Ilham et al. 2002.
Profil usaha peternakan di sektor primer menunjukan bahwa usaha peternakan unggas, sapi, dan kambingdomba memberikan peluang usaha yang
baik sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan
peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu
industri yang terintegrasi dan sangat dinamis sehingga mampu menjadi pemicu utama perkembangan usaha peternakan. Sementara itu kontribusi daging sapi juga
cukup besar walaupun ketergantungan pada impor bakalan sapi masih cenderung terus meningkat. Usaha penggemukan sapi menjadi usaha yang diminati.
Pemenuhan kebutuhan daging juga diperoleh dari penggemukan kerbau dengan memanfaatkan kerbau lokal sebagai bakalan Dwiyanto et al. 2005. Ilham et al.
2002 menambahkan bahwa usaha ternak di Indonesia, khususnya ternak sapi dan kambingdomba masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat yang dicirikan
dengan skala pemilikan yang kecil, dikelola sebagai usaha sambilan dan penggunaan input dan output yang belum berorientasi pasar.
Perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya seiring dengan perkembangan populasi ternak. Sentra populasi ternak sapi belum
tentu sebagai sentra produksi daging sapi. Hal ini memungkinkan karena terjadi perdagangan ternak antar daerah. Perkembangan produksi daging sapi di suatu
daerah menggambarkan perkembangan pemotongan sapi di daerah tersebut Kariyasa dan Kasryno 2004.
2.3 Wilayah Pemasaran
Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional Dirjen Penataan Ruang 2007. Menurut
Rustiadi et al. 2008 istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki
keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya
yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Mengidentifikasi wilayah menurut Tarigan 2004 dapat dilakukan dengan melihat unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya, yaitu jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Berdasarkan fungsinya, wilayah dapat dibedakan menjadi misalnya kota dengan
wilayah di belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan sebagainya.
Kotler 1990 mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa
yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang dinilai. Rahim dan Hastuti 2007 menambahkan
bahwa kegunaan kegiatan pemasaran, antara lain : selalu mengusahakan tersedianya komoditas dalam bentuk yang diinginkan form utility, menyuguhkan
tepat pada lokasi dan saat dibutuhkan place and time utility dan kegunaan kepemilikan possessing utility.
Menurut Soekartawi 2002 pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya
peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh
karena itu dikenal dengan saluran pemasaran atau marketing channel. Fungsi saluran pemasaran ini amat penting khususnya dalam melihat tingkat harga di
masing-masing lembaga pemasaran. Proses pemasaran merupakan wadah atau cara untuk menyatukan pasar
yang terpisah. Keterpisahan pasar bisa disebabkan oleh ruang, bentuk dan waktu yang diinginkan konsumen. Dari sini dapat dilihat kesanggupan sistem pemasaran
mempertemukan permintaan dengan kegoncangan penawaran, baik karena ruang, waktu, maupun bentuk dan sebaliknya Ali et al. 2004. Sistem pemasaran sendiri
menurut Firman dan Tawaf 2008 merupakan suatu kesatuan urutan lembaga- lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk mengalirkan
barang dan jasa dari produsen dan konsumen, dan sebaliknya mengalirkan uang dari konsumen ke produsen. Adapun pola perdagangan ternak didasarkan pada
dua hal, yaitu adanya daerah surplus ternak dan daerah pemasaran.
2.4 Aliran Pemasaran Antar Wilayah