Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

(1)

KAJIAN PENGEMBANGAN STRATEGI DI WILAYAH

PESISIR KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

NOFIDI H. EKAPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2009

Nofidi H. Ekaputra.


(3)

ABSTRACT

NOFIDI H.EKAPUTRA. Improving Strategies Development The Coastal Area of Pelalawan Regency, The Province of Riau. Under the supervision of

HERMANTO SIREGAR and ERNAN RUSTIADI

This research was to study the problems in the coastal area of Pelalawan Regency and to give solution policies for an optimum exploitation of the resources in the coastal area. The policies resulted from this study area those made through a participative pattern, in which they were derived by means if interviews with the community and the government of Pelalawan Regency which was represented by Marine and Fishery Services in the Regency. The policies were analyzed with the help of the prime analysis software, and the method of Location Quotien (LQ) was used to determine which sectors served as the center of the development in the regency of Pelalawan.

The research results show that 1) the coastal area of Pelalawan Regency is located in two distric, i.e. the District of Kuala Kampar and the District of Teluk Meranti, 2) both districts have a great potential for the development particularly in the sectors of fishery and marine, 3) the sectors which are already well developed are plantation, agriculture, and animal husbandry, while fishery and marine are far below an optimal development, 4)in the attempt to develop the fishery and marine

sectors, in 2007 Pelalawan Regency allocated a budgeted cost of Rp. 3.594.866.145, 5) catching fish businesses in Pelalawan Regency can be

classified into two types: cathcing fish in common waters (rivers and lakes) and fishing on the sea, 6) in terms of the raising media, the fisheries in Pelalawan are distinguished into theree types: cages, fresh water ponds, and salty water ponds, 7) fish processing in Pelalawan Regency is often of an identical type to smoking and drying, 8) with the prime analysis software, it was found that the decision making should be directed to the capital and marketing aspects, 9) only three were found to possess a comparative advantage, namely, agriculture; trade, hotel and restaurant; and transportation and communication. If further elaborated into sub-sectors, there are are 13 sub-sectors having a comparative advantage, one of which is the sector of fishery and marine.

The policy analysis that must be applied in Pelalawan Regency as an initial development strategy is in the fields of silvifisheries, develoment of catching technology, management of fishing products, development of sale centers and institution’s capital, improvement of human resource at coasteal area, empowerment of social institutions, and improvement of facilities and infrastructure.

Keywords: development, coastal area, policies, strategy, economy, sustainability


(4)

RINGKASAN

NOFIDI H. Ekaputra. Kajian Pengembangan Strategi di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR

dan ERNAN RUSTIADI.

Kajian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan dan memberikan rancangan program dalam mengambil kebijakan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal. Kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah kebijakan pola partisipatif, dimana kebijakan dihasilkan dari wawancara dengan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Pelalawan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pelalawan. Kebijakan dianalisis dengan Metode Multi Criteria Decision Making

(MCDM) menggunakan software Preference Ratios in Multiattribute Evaluation

(PRIME) . Analisis untuk menentukan sektor mana saja yang merupakan basis dan non basis yang berkembang di Kabupaten Pelalawan, digunakan metode

Location Quotient (LQ).

Kajian ini menggambarkan kondisi, bahwa 1) wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamatan Kuala Kampar dan Kecamatan Teluk Meranti. 2) kedua kecamatan tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, terutama di sektor perikanan dan kelautan. 3) sektor yang telah dikembangkan dengan baik saat ini, yaitu sektor perkebunan, pertanian dan peternakan, sedangkan sektor perikanan dan kelautan masih jauh dari pemanfaatan secara optimal. 4) dalam rangka mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, Kabupaten Pelalawan sudah menganggarkan kebutuhan biaya pada tahun 2007 sebesar Rp.3.594.866.145,00. 5) usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan di Kabupaten Pelalawan dapat dibagi menjadi dua: yaitu usaha penangkapan ikan di perairan umum (sungai dan danau) dan usaha penangkapan di laut. 6) budidaya perikanan di Kabupaten Pelalawan berdasarkan media budidaya dibedakan menjadi tiga macam yaitu: budidaya ikan di keramba, budidaya ikan di kolam, dan budidaya ikan di tambak. 7) pengolahan ikan di Kabupaten Pelalawan sering diidentikan dengan pengolahan ikan cara diasap dan dikeringkan. 8) dengan metode analisis MCDM mengunakan software


(5)

PRIME didapatkan bahwa dalam pengambilan keputusan sebaiknya diarahkan kepada aspek permodalan dan pemasaran. 9) terdapat tiga sektor yang mempunyai keunggulan komparatif, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan apabila dirinci secara sub sektor, terdapat 13 sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yang salah satunya yaitu sub sektor perikanan dan kelautan.

Analisis Kebijakan yang harus diterapkan di Kabupaten Pelalawan dalam melaksanakan pembangunan dan strategi pengembangan wilayah pesisir, yaitu pengembangan budidaya silvifisheries, pengembangan teknologi penangkapan, pengembangan kegiatan penanganan hasil perikanan, pengembangan tempat pelelangan ikan, peningkatan kelembagaan modal, peningkatan kualitas sumberdaya manusia wilayah pesisir, penguatan kelembagaan masyarakat, serta penguatan sarana dan prasarana.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN PENGEMBANGAN STRATEGI DI WILAYAH

PESISIR KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

NOFIDI H. EKAPUTRA

NRP. A 153024065

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tugas Akhir : Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Nofidi H.Ekaputra.

NRP : A 153024065

Menyetujui,

Komisi Pembimbing:

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua Anggota

Diketahui;

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini berjudul “Kajian Pengembangan Strategi di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini akan membahas tentang aspek pertumbuhan ekonomi dari strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.

Penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai Ketua Program Studi yang sekaligus sebagai dosen penguji dan semua yang telah banyak membantu selama penyelesaian studi ini, terutama telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmunya pada kondisi nyata. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada teman-teman mahasiswa Program Studi MPD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman program studi MPD kelas khusus Bengkalis dan semua pihak yang telah mendorong dan membantu penulisan dalam menyelesaikan penelitian ini.

Pengorbanan yang luar biasa telah diberikan oleh orang-orang yang penulis cintai, Papih Soemarto dan Mamih Jajah Rokajah yang telah memberikan dorongan moril dan terutama isteriku tercinta Tuti Rahmah Yulianti yang setia dan sabar dengan pengorbanan moril dan materil mendorong suaminya agar menyelesaikan studi ini sampai tuntas. Anak-anakku tercinta: Dibi Sareta Bielmaldi, Disa Tafira Raimalda dan Difi Adhwa Dhabith yang telah mampu memberikan dorongan moril kepada ayahnya. Serta tidak lupa kepada adik kandungku Septi Kuarta Ikhtiani, SH dan saudaraku Rizal Bahtiar, SPi serta keluarga lainnya yang tidak dapat ditulis semuanya satu persatu, karena apa yang telah mereka berikan kepada penulis selama ini tidak mungkin mampu terbalaskan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongan moril dari saudaraku Sofyan Anshori yang telah memberikan dukungan tenaga demi terselesainya tesis ini.

Akhirnya semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pembaca, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan pengembangan wilayah pesisir, dan berguna bagi kemaslahatan hidup dimasa datang. Amien.

Bogor, Januari 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Nopember 1961, sebagai anak pertama dari empat bersaudara pada keluarga H. Soemarto, B.A, D.A.P&E dan Hj. Jajah Rokajah.

Pendidikan penulis, lulus SD Negeri Sukarasa I Bandung tahun 1973, lulus SMP Negeri XV Bandung tahun 1976, lulus SMA Negeri 2 Bandung tahun 1980 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Bandung (UNISBA), di Fakultas Teknik jurusan Planologi Desa sampai akhir semester kedua tahun 1981, karena pada tahun yang sama penulis berkonsentrasi studi di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran memilih program studi Hama dan Penyakit Tanaman dan berhasil lulus pada strata satu sebagai Sarjana Pertanian di tahun 1986.

Selama mengikuti perkuliahan strata satu, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran tahun 1984, kemudian pada tahun yang sama penulis juga terpilih sebagai Ketua Senat Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran periode 1984-1985. Setelah lulus strata satu pada April 1986, penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Transmigrasi RI pada tahun 1987. Memasuki era otonomi daerah tahun 2000, status penulis adalah Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Kabupaten Bengkalis memberikan kesempatan mengikuti pendidikan strata dua pada tahun 2003 di Institut Pertanian Bogor pada program studi Manajemen Pembangunan Daerah kelas khusus Bengkalis, saat penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Pengawasan Pembangunan pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Bengkalis.

Saat menyelesaikan tesis strata dua di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Manajemen Pembangunan Daerah, penulis berstatus Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Pelalawan yang dilantik pada tanggal 21 Maret 2007 sebagai Kepala Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Pelalawan.


(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelalawan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Riau. Kabupaten ini terletak di bagian tengah pulau Sumatera dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kampar. Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Kampar merupakan kabupaten-kabupaten yang menyangga perkembangan wilayah Kota Pekanbaru. Kabupaten Pelalawan memiliki 12 kecamatan dengan luas wilayah mencapai 1.395.325 Ha dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Sengingi dan Kota Batam. Undang-undang tersebut telah menyebabkan wilayah Kabupaten Kampar terbagi menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar.

Pelalawan sebagai kabupaten pemekaran seharusnya sudah melakukan upaya pemberdayaan potensi wilayah pesisir yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau-Pulau-Pulau Kecil Kabupaten (RZWP-3-K). Strategi pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu hambatan belum ditetapkannya RZWP-3-K disebabkan revisi Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pelalawan sebagai pedoman RZWP-3-K sejauh ini belum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (PERDA). Akibatnya RZWP-3-K mengalami kendala apabila lebih dulu disusun sebelum ditetapkannya RTRW, karena RZWP-3-K yang disusun lebih dahulu dapat tidak sesuai dengan rencana pengelolaan tata ruang. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidaklancaran dan ketidaksesuaian dalam penyusunan RZWP-3-K terhadap


(13)

rencana tata ruang kabupaten adalah adanya kebijakan pemerintah baik itu kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Riau.

Pada prinsip pendekatan pemberdayaan wilayah pesisir adalah kesesuaian upaya Kabupaten Pelalawan untuk menindaklanjuti visi pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdayasaing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Visi pembangunan Provinsi Riau adalah ingin mewujudkan pusat perekonomian dan kebudayaan melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara tahun 2020, dan visi pembangunan Kabupaten Pelalawan untuk mewujudkan Kabupaten Pelalawan maju dan sejahtera, melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang didukung oleh pertanian yang unggul dan industri yang tangguh dalam masyarakat yang beradat, beriman, bertaqwa dan berbudaya melayu tahun 2030.

Strategi yang dituangkan terhadap pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan nantinya diharapkan mampu meminimalisir masalah kemiskinan dan ketertinggalan kawasan dengan cara menerbitkan kebijakan dan melaksanakan program-program pelayanan umum serta mendorong pola-pola keterkaitan dan kemitraan usaha. Pembangunan prasarana dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif masyarakat, seperti jalan dan jembatan, prasarana dan sarana pelayanan kesehatan, pendidikan dasar dan menengah serta prasarana dan sarana sosial lainnya. Pendekatan Kebijakan pengembangan ekonomi menjadi prioritas penting untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor lapangan usaha dan pemerataan ekonomi wilayah untuk menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha yang seluas-luasnya serta untuk mengurangi kesenjangan perkembangan antar kawasan di dalam wilayah melalui perwujudan perekonomian daerah yang lebih efisien, produktif, kompetitif, tanggap terhadap dinamika pasar dan berorientasi global.

Tingkat kemiskinan dan ketertinggalan kawasan pesisir menunjukkan indikasi lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya, kemungkinan ini disebabkan


(14)

belum dioptimalkannya pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir secara berdayaguna dan berhasilguna menjadi salah satu alasan penyebab tingginya tingkat kemiskinan dan dikategorikan sebagai daerah tertinggal atau sebagai kawasan lahan tidur seperti di Kecamatan Teluk Meranti, Kecamatan Kuala Kampar dan Kecamatan Kerumutan sehingga sejauh ini belum mampu memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi dalam rangka meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakatnya (Balitbang Provinsi Riau, 2004).

Selanjutnya pada era otonomi saat ini, posisi Kabupaten Pelalawan dapat dilihat dari dua hal, yaitu konstelasi eksternal dan internal. Dalam konstelasi eksternal kajian ini berkaitan dengan sejauhmana mengembangkan potensi wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan menjadi potensi Kabupaten Pelalawan dalam memasuki globalisasi pasar bebas. Sedangkan konstelasi internal berkaitan dengan mengembangkan potensi unggulan wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan terhadap peningkatan perekonomian masyarakatnya. Kedua hal ini menjadi dasar pemikiran dalam perumusan konsep pengembangan strategi ekonomi wilayah sesuai dengan peluang dan potensi yang strategis untuk diberdayakan lebih optimal.

Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam mengembangkan dan menumbuhkan ekonomi Kabupaten Pelalawan adalah posisi geo ekonomi yang strategis di kawasan pesisir Selat Malaka dan berdekatan dengan wilayah Johor yang telah memiliki tingkat perekonomian lebih baik. Kesamaan kawasan ini adalah pada tatanan kultur budaya melayu sebagai cagar budaya Semenanjung Malaka menjadi potensi dalam mengembangkan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Keterkaitan keberadaan Singapura, Johor dan Pelalawan memiliki latar belakang budaya dan sejarah (cultural background) sama, sehingga akan memudahkan terciptanya kemitraan/kerjasama.

Gambaran persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan Pelalawan dalam Angka Tahun 2005 dari sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan sebesar 38,44 % dan Industri pengolahan 54,46 % atas dasar harga berlaku dari sembilan sektor usaha yang memiliki saham pada PDRB Kabupaten Pelalawan. Perekonomian regional Kabupaten Pelalawan memiliki hambatan dalam pengembangan di luar sektor usaha pertanian dan industri


(15)

pengolahan adalah masih lemahnya kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi persaingan dan kemampuan pengembangan potensi-potensi sumberdaya alam. Kabupaten Pelalawan memiliki wilayah pesisir dan daerah aliran sungai yang luas dan panjang, dengan sumberdaya alam dan tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2006).

Pengembangan wilayah Kabupaten Pelalawan dalam menumbuhkan ekonomi diperlukan sinergisme pengembangan fisik dan pemberdayaan masyarakat secara simultan dengan memperhatikan karakteristik budaya melayu dan kondisi geografis dominan, maka kajian pengembangan wilayah pesisir adalah salah satu pilihan untuk membuka dan mengembangkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Pelalawan dalam menumbuhkan pengembangan perekonomian wilayah. Pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan tidak terlepas dari keterkaitan dengan pengelolaan wilayah daratan. Pembangunan di wilayah daratan yang sering menimbulkan dampak terhadap persoalan ekologis, seperti pencemaran, over exploitation sumberdaya dan degradasi fisik habitat serta permasalahan sosial budaya yang menghambat pembangunan wilayah pesisir (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2006).

Pengelolaan wilayah pesisir seharusnya dilaksanakan secara terpadu sebagai suatu proses untuk menyatakan pemerintah dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan manajemen, kepentingan sektor dan kepentingan publik dalam menyiapkan dan melaksanakan suatu rencana terpadu untuk perlindungan dan pengembangan ekosistem dan sumberdaya pesisir, berbagai kegiatan dari suatu program diurutkan dalam suatu rangkaian perkembangan. Siklus tersebut sangat membantu menguraikan hubungan yang rumit diantara berbagai ekonomi pengelolaan wilayah pesisir. Siklus pengelolaan merupakan suatu kerangka kerja organisasi, yang menjadi dasar penyesuaian instrumen evaluasi yang telah berhasil di uji di lapangan dalam evaluasi akhir proyek UNDP/GEF (Budiharsono, 2001).

Pembangunan wilayah pesisir merupakan keterpaduan pilihan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma pemberdayaan masyarakat merupakan pusat pembangunan dalam proses percepatan pertumbuhan ekonomi, yaitu masyarakat pesisir dalam proses


(16)

pembangunan wilayah (social inclution paradigm). Pembangunan wilayah pesisir siklusnya dimulai dengan proses identifikasi dan kajian permasalahannya, persiapan rencana, adopsi dan pembiayaan, implementasi dan evaluasi, selanjutnya berputar berdasarkan waktu, dan program pengelolaan wilayah pesisir di negara-negara maju memerlukan waktu 15 tahun dalam penyelesaian siklus pengelolaan pesisir, tetapi pada wilayah-wilayah tertentu, pengelolaan wilayah pesisir dapat diselesaikan dalam waktu tujuh sampai dengan delapan tahun (Budiharsono, 2001).

Ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan adalah ekosistem lahan rawa gambut dan kawasan mangrove yang tersebar merata di wilayah pesisir. Pada umumnya lahan rawa gambut didominasi oleh hutan rawa dan sagu, sedangkan kawasan mangrove didominasi oleh hutan bakau, api-api dan nipah. Dari segi pengembangan wilayah, cara pemanfaatan lahan rawa gambut yang kurang bijaksana dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menimbulkan malapetaka yang sulit ditanggulangi, yaitu punahnya potensi sumberdaya lahan yang tersedia menjadi tandus. Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkendali menimbulkan dampak negatif terhadap penurunan jumlah produksi perikanan, dan biota laut lainnya, sedimentasi meningkat, abrasi pantai dan terjadinya intrusi air laut yang akan mempengaruhi proses produksi kegiatan budidaya pertanian di wilayah daratan.

Perairan Selat Malaka merupakan daerah penangkapan ikan cukup potensial bagi nelayan, namun ketersediaan ikan di perairan Selat Malaka saat ini sudah berindikasi mendekati potensi lestari (over fishing), karena dipengaruhi pencemaran air laut akibat padatnya pelayaran di kawasan ini. Pencurian ikan lintas bataspun menjadi konflik sosial yang meresahkan, sehingga timbul perselisihan para nelayan. Kondisi air laut di kawasan ini telah dipengaruhi oleh proses sedimentasi lahan rawa gambut, limbah industri dan limbah kapal. Kondisi air dan tingkat kekeruhan cukup tinggi karena pengaruh sedimentasi dan abrasi pantai. Namun wilayah pesisir sepanjang kawasan Selat Malaka masih dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pengembangan budidaya perikanan air payau. Tingkat pencemaran air laut tersebut diakibatkan padatnya pelayaran di Selat Malaka sebagai jalur pelayaran laut internasional sebagai penyebab berkurangnya


(17)

populasi ikan dan biota laut lainnya. Padatnya pelayaran menyebabkan hambatan berkumpulnya plankton-plankton sebagai sumber pakan ikan, akibatnya produksi perikanan berkurang. Kondisi tersebut perlu diteliti sejauhmana berpengaruh terhadap populasi ikan pada perairan administratif Kabupaten Pelalawan, khususnya di wilayah pesisir sekitar Kecamatan Kuala Kampar yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Malaka.

Nilai-nilai ekonomi pada wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan dalam pemanfaatan tata ruang lahan ialah terdapatnya hutan mangrove seluas 6.203 Ha dan budidaya tambak seluas 2.100 Ha, sedangkan fakta perkembangan PDRB Kabupaten Pelalawan pada sektor pertanian sangat baik dimana saat ini PDRB tahun 2005 sektor ini mencapai 38,44 % dan salah satu penyumbang sektor ini adalah bidang perikanan dan kelautan (BPS Kabupaten Pelalawan, 2005).

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pelalawan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000 – 2004

LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004

1 Pertanian

960.779,99 1.127.975,7 6 1.359.234,6 4 1.749.058,1 4 1.962.440,30

A. Tanaman Bahan Makanan 86.691,44 94.181,10 106.428,95 118.068,66 140.053,38 B. Tanaman Perkebunan

221.547,18 281.982,97 473.832,59 757.926,28 909.530,90 C. Peternakan Dan

Hasil-Hasilnya 24.393,99 27.011,34 29.694,34 32.906,08 37.837,05 D. Kehutanan 602.216,39 682.760,11 703.908,65 782.445,73 806.591,57 E. Perikanan 25.930,99 42.040,24 45.370,11 57.711,39 68.427,40

2 Pertambangan & Penggalian 140.022,14 144.249,80 125.823,89 123.019,43 150.935,63

A. Minyak Dan Gas Bumi

138.376,70 142.185,52 123.330,16 119.836,10 147.063,54 B. Penggalian 1.645,44 2.064,28 2.493,73 3.183,33 3.872,09

3 Industri Pengolahan

414.980,70 1.140.617,2 3 1.767.236,9 2 2.333.909,9 8 2.986.636,83

A. Industri Migas - - - - -


(18)

LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004 414.980,70 1.140.617,2 3 1.767.236,9 2 2.333.909,9 8 2.986.636,83

4 Listrik, Gas & Air Bersih 2.340,98 2.879,56 3.392,48 4.708,53 5.705,03 A. Listrik 1.899,39 2.410,29 2.737,59 3.715,04 4.217,39

B. Air Bersih

441,59 469,27 654,89 993,49 1.487,64

5 Bangunan

43.071,06 53.222,76 66.098,23 78.594,35 90.615,46 6 Perdagangan, Hotel &

Restoran 48.233,05 55.384,78 59.520,17 67.275,28 85.552,89

A. Perdagangan Besar & Eceran 46.673,28 53.404,94 56.942,24 63.702,53 79.156,29 B. Hotel 556,07 708,30 854,71 1.237,39 2.719,75 C. Restoran 1.003,70 1.271,54 1.723,22 2.335,36 3.676,85

7 Pengangkutan & Komunikasi 32.679,85 36.676,98 41.834,57 51.630,92 63.621,77 A. Pengangkutan 32.365,74 36.218,91 41.217,49 50.885,49 62.657,11 Angkutan Jalan Raya

27.044,12 29.908,08 33.703,29 41.354,78 49.089,20 Angkutan Laut 371,62 428,58 494,52 596,59 711,51 Angkutan Sungai, Danau &

Penyebrangan 2.816,64 3.114,93 3.510,20 4.307,10 5.112,64 Jasa Penunjang Angkutan

2.133,36 2.767,32 3.509,48 4.627,02 7.743,76 B. Komunikasi 314,11 458,07 617,08 745,43 964,66 - Pos Dan Telekomunikasi

314,11 458,07 617,08 745,43 964,66

8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 19.434,05 26.476,94 36.548,54 46.038,97 58.589,22 A. Bank 39,40 859,47 1.413,87 2.589,83 3.996,23 B. Lembaga Keuangan Tanpa

Bank 521,02 735,95 951,93 1.237,19 1.770,91

C. Sewa Bangunan

18.411,33 24.339,63 33.552,95 41.439,70 51.879,57 D. Jasa Perusahaan

462,30 541,89 629,79 772,25 942,51


(19)

LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004 63.079,17 71.132,92 77.038,72 87.862,90 110.573,12

A. Pemerintahan Umum 45.306,03 50.770,28 52.721,05 59.931,22 76.121,16 - Administrasi Pemerintah

& Pertahanan 45.306,03 50.770,28 52.721,05 59.931,22 76.121,16 B. Swasta 17.773,14 20.362,64 24.317,67 27.931,68 34.451,96 - Sosial Kemasyarakatan

1.683,52 1.860,01 2.286,75 2.748,28 3.492,18 - Hiburan & Rekreasi

3.599,09 4.352,90 5.083,38 5.937,34 7.523,26 - Perorangan & Rumah

Tangga 12.490,53 14.149,73 16.947,54 19.246,06 23.436,52

PDRB Dengan Migas

1.724.620,9 9 2.658.616,7 3 3.536.728,1 6 4.542.098,5 0 5.514.670,25

PDRB Tanpa Migas

1.586.244,2 9 2.516.431,2 1 3.413.398,0 0 4.422.262,4 0 5.367.606,71

Sumber : BPS Kabupaten Pelalawan, 2005

Kondisi geografis Kecamatan Kuala Kampar yang terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera sangat strategis sebagai jalur perdagangan dan berdampingan dengan kawasan pembangunan pulau Batam dan Karimun, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Berdasarkan lokasi yang strategis ini, diyakini perdagangan lintas batas antara

Kabupaten Pelalawan khususnya di Kecamatan Kuala Kampar dengan negara-negara sekitarnya secara tradisional telah terwujud sejak lama, dan diharapkan meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, sehingga pada akhirnya ”Bagaimana mengembangkan strategi wilayah pesisir dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pelalawan ?”.

1.2. Perumusan Masalah

Wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan adalah ekosistem lahan rawa gambut dan kawasan mangrove, pada wilayah pantai saat ini pengembangannya ialah untuk kegiatan budidaya perikanan air payau (tambak). Laut di wilayah Kabupaten Pelalawan dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, namun potensi pemanfaatan sebagai areal tangkap masih kecil disebabkan kondisi air laut


(20)

Kabupaten Pelalawan dipengaruhi proses sedimentasi, lahan rawa gambut, limbah industri dan limbah kapal, hutan mangrove sebagai lokasi pengembangan udang, ikan dan biota laut, mangrove juga sebagai penahan abrasi pantai akan tetapi kebutuhan untuk industri arang dan kayu bulatnya dipasarkan ke Malaysia mengakibatkan menurunnya luasan mangrove. Hal-hal yang belum dikembangkan adalah menjadi kawasan wisata, industri, dan pelabuhan bertaraf nasional/internasional, selanjutnya pengembangan wilayah pesisir harus diarahkan kepada ”strategi membangun dan mengembangkan perekonomian wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan melalui sektor unggulannya”.

Komoditas yang dapat dikembangkan sepanjang pantai pesisir ialah tanaman sagu dan tanaman kelapa pada sektor perkebunan, mangrove pada sektor kehutanan, budidaya udang, kepiting, kerang dan ikan laut pada sektor perikanan, penangkaran Burung Walet pada sektor peternakan, dukungan panorama pantai untuk sektor pariwisata merupakan komoditas-komoditas perekonomian yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar wilayah pesisir. Diperlukan rumusan dengan mengkaji ”sektor basis apa yang akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan dan pengembangan di wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan ?”.

Masalah wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan secara nyata belum dikembangkan secara optimal menjadi kawasan perekonomian andalan, sehingga belum mampu mendorong meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga perlu dirumuskan pengembangan potensi dengan pendekatan pada pertumbuhan perkonomian andalan dalam konstelasi eksternal dan internal, yaitu akan menimbulkan daya tarik dalam persaingan dengan negara tetangga dan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Oleh karena itu, diperlukan rumusan untuk ”merekomendasikan strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan ?”.

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian yang baik harus memiliki tujuan dan manfaat agar memberikan arah bagaimana hasilnya dapat ditindaklanjuti sebagai rancangan program yang dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai alternatif prioritas kegiatan.


(21)

Adapun kajian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan yang termanfaatkan dengan baik nantinya.

Secara khusus kajian pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan memiliki tujuan :

1. Menganalisis strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan.

2. Menganalisis sektor basis yang mempengaruhi upaya pembangunan dan pengembangan di wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan

3. Merekomendasikan strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan.

Kajian ini merupakan analisis kuantitatif atas pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Kajian ini sekaligus sebagai perancangan program pembangunan di wilayah pesisir yang diharapkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Pelalawan dalam pengembangan program-program wilayah pesisir yang secara dimensional akan berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pelalawan.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan

Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup dan yang terakhir pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan evolutif dari pengertian di atas didasarkan atas banyak kekecewaan dan hasil umpan balik dari pelaksanaan pembangunan yang tidak mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan serta kekurangan informasi dalam memahami persoalan-persoalan yang timbul yang sebelumnya tidak dapat diramalkan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan lebih merata yang dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada dasarnya, dalam pembangunan tersebut memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya seperti perubahan teknologi, institusi (kelembagaan), dan nilai-nilai sosial dapat diakomodasikan kedalam kebijaksanaan dalam situasi yang terus menerus berubah. Sehingga pengaturan dan kebijaksanaan yang sebelumnya cocok dengan keadaan suatu tahapan pembangunan, kemudian memerlukan reformasi pengaturan dan kebijaksanaan baru yang diperlukan sesuai dengan perubahan dinamika dan interaksinya antara faktor-faktor fisik, ekonomi dan sosial yang terus berubah.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human,


(23)

man-made maupun sosial) baik pada tingkat nasional maupun regional dan lokal, yang sering memerlukan sumberdaya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar, 1999).

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)

masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dan hak asasi manusia (Todaro, 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa selain nilai pokok, harus memperhatikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran proses pembangunan, yaitu jumlah dan jenis sumberdaya alam, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan internasional.

Pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya ditekankan pada pembangunan sektor pertanian (perikanan termasuk di dalamnya), karena sebagian besar daerah di Indonesia merupakan daerah pertanian. Tetapi pembangunan sektor lain tetap dikembangkan karena merupakan komplementer dari sektor pertanian. Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat banyak adalah :

1. Struktur usaha tani, pola pemilikan dan penggunaan lahan harus disesuaikan dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat atau keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi yang lain.

2. Semua manfaat dari pembangunan pertanian berskala kecil tidak akan dapat direalisir secara nyata tanpa didukung oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang secara sengaja diciptakan untuk memberikan rangsangan atau insentif-insentif, kesempatan atau peluang-peluang ekonomi, dan berbagai kemudahan yang diperlukan untuk mendapatkan segenap input utama guna


(24)

memungkinkan para petani kecil meningkatkan tingkat output dan produktivitas mereka.

3. Keberhasilan pembangunan pedesaan selain sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan petani kecil, juga ditentukan oleh hal-hal penting lainnya yang meliputi: (1) upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan riil, baik di sektor pertanian maupun non pertanian, melalui penciptaan lapangan kerja, industrialisasi dipedesaan, dan pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi penduduk, serta penyediaan berbagai bidang pelayanan sosial dan keejahteraan lainnya, (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan, serta (3) pengembangan kapasitas sektor atau daerah pedesaan itu sendiri dalam rangka menopang dan memperlancar langkah-langkah perbaikan tersebut dari waktu ke waktu.

2.2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda internasional dalam pertemuan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan (World Commission on Environmental and Development (WCED)) tahun 1987 dan telah dikonfirmasikan oleh negara-negara dunia menjadi prioritas internasional dalam konvensi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk lingkungan dan pembangunan

(United Nation Convention on Environment Development (UNCED)), 1992. Kemudian dalam Agenda 21, konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development (CSD) yang mengembangkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan tangkap yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari, menjadi priotas utama (FAO, 2001). Sampai sekarang masih terjadi diskusi yang hangat tentang istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana cara mengukurnya (Alder et al., 2002). Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakatan bahwa sustainability harus mencakup komponen ekologis, sosial, ekonomi dan etika (Antune and Santos, 1999, Costantanza et al., 1999,Garcia, Staples and Chesson, 2000 dalam Alder et al., 2002).


(25)

Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan pembangunan dalam konteks ini berkaitan dengan kualitas hidup, bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991), mengemukakan bahwa definisi kelestarian yang sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tak terbatas tanpa menurunkan capital stock.

Konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biologycal Diversity (CBD)) menyatakan bahwa pemanfaatan yang lestari (sustainable use) sebagai pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan pada tingkat yang tidak mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang, sehingga dapat tetap menjaga potensi sumberdaya tersebut untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan generasi sekarang dan yang akan datang (McNeely, 1999).

Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO Council (1988) dalam FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagaan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan, dan sumberdaya genetis hewan agar tidak menurunkan kualitas lingkungan dimana secara teknis tepat, secara ekonomis berguna, dan secara sosial dapat diterima. Sementara itu dalam konsep Council of Australia Government (1992) dalam FAO (2001) menyatakan sebagai penggunaan, perlindungan dan enhancing sumberdaya masyarakat sehingga secara proses ekologis dapat terjaga dan total kualitas hidup sekarang maupun dimasa mendatang dapat ditingkatkan.

2.3. Wilayah Pesisir

Secara geografis, wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana proses-proses biologi dan fisika yang kompleks memainkan peranan penting (Scura et al., 1992; Dahuri et al.,1996).


(26)

Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu sejajar dengan garis pantai (long shore) dan batas tegak lurus garis pantai (cross shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih mudah dan jelas, yaitu dengan mengacu pada batasan suatu wilayah administrasi. Sedangkan penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai lebih sulit dilakukan. Dari implementasi program pengelolaan wilayah pesisir yang telah dilakukan di beberapa negara, menurut Dahuri (1999) dapat diperoleh pelajaran sebagai berikut: pertama, batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara arhitrer dari rata-rata pasang tinggi, dan batas ke arah laut umumnya adalah batas jurisdiksi provinsi. Kedua, untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dua macam, yaitu; batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).

Batas perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu), dimana terdapat aktivitas manusia yang berpengaruh/berdampak secara nyata

(significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Sehingga pada suatu program pengelolaan wilayah pesisir yang menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan di atas, maka wilayah perencanaan akan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan. Dalam wilayah pengelolaan keseharian, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak ijin kegiatan pembangunan. Sedangkan untuk wilayah perencanaan kewenangan seperti di atas melibatkan dan menjadi tanggung jawab bersama instansi pengelola daerah hulu atau laut lepas.

Untuk batas administrasi ke arah laut, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan wilayah kewenangan daerah kabupaten adalah 1/3 dari kewenangan provinsi, yaitu

±14 mil laut dari garis pantai. Definisi wilayah pesisir yang dimaksud dalam kajian ini disamping definisi-definisi seperti di atas juga mengadopsi definisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976), yaitu wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik


(27)

kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat alami laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut, sedangkan batas ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti; sedimentasi, aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti; penggundulan hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir ditinjau dari konsep wilyah termasuk dalam wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah administratif dan wilayah perencanaan. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi ikan, namun biasanya juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduk tergolong di bawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang dengan wilayah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (back yard) yang merupakan tempat pembuangan segala macam limbah. Sehubungan dengan fungsinya sebagai wilayah belakang, maka wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti dan pasar bagi barang-barang jadi (output). Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun dapat pula berupa kabupaten/kota dalam bentuk pulau kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan oleh kriteria ekologis, sehingga melewati batas-batas wilayah administratif. Terganggunya keseimbangan biofisik-ekologis dalam wilayah ini akan berdampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tetapi juga daerah sekitarnya yang merupakan kesatuan wilayah sistem (kawasan). Oleh karena itu dalam pembangunan dan pengembangan wilayah ini diperlukan suatu perencanaan terpadu yang tidak menutup kemungkinan adanya lintas batas administratif (Budiharsono, 2001).

Arsyad (1999) menjelaskan bahwa jika kita membahas perencanaan pembangunan ekonomi daerah maka pengertian wilayah yang paling banyak digunakan adalah sebagai wilayah adminitratif, karena :

Dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan daerah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai lembaga pemerintah. Oleh karena itu, akan lebih praktis jika suatu negara dipecah menjadi beberapa


(28)

daerah ekonomi berdasarkan satuan adminitratif yang ada.

Daerah yang batasannya ditentukan secara admimstratif lebih mudah dianalisis, karena biasanya pengumpulan data diberbagai daerah dalam suatu negara, pembagiannya didasarkan pada satuan administratif.

2.4. Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan

Pembangunan perikanan bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya serta diharapkan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak pendapatan dan devisa dari ekspor produknya. Sedangkan kebijakan pembangunan perikanan, termasuk sumberdaya pesisir pada hakekatnya merupakan proses politik yang mempunyai pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu keberhasilan segenap kaidah pembangunan perikanan berkelanjutan yang baik seperti di atas sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap

stakeholders tersebut (Retraubun, 2001).

Beberapa pertimbangan yang diperlukannya dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan diantaranya meliputi :

1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengelolaannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik.

2. Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.

3. Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas.

4. Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan yang lain, termasuk didalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi.

Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan seperti misalnya memelihara stok sumberdaya perikanan


(29)

dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi-dimensional dan aktivitas bertingkat (multi level activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001). McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al., (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelola perikanan adalah menilai kelestarian sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintegrasikan topik yang beragam tersebut.

Menurut Anwar (1994), alternatif pengelolaan sumberdaya perairan pesisir adalah perlu adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada terjadinya pelimpahan kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada komunitas masyarakat nelayan atau pemerintah desa guna menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dimasa yang akan datang. Hal ini dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu :

1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya perairan pesisir yang dapat menjamin kepentingan individual, kelompok ataupun masyarakat nelayan.

2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat pesisir atau nelayan lokal, prosesnya berlangsung secara bertahap tergantung dari kemampuan masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif.

3. Dikembangkannya suatu zona pemungutan dan tangkapan yang eksklusif yang disebut hak ulayat atau hak pakai teritorial (teritorial use right).

Pada perkembangannya menurut Dahuri (1999), konstribusi sektor perikanan terhadap sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa perikanan menyumbang sekitar 10,3 % per tahun terhadap PDB pertanian dengan tingkat pertumbuhan yang positif. Pada masa krisis dewasa ini sektor perikanan menyumbang secara signifikan, sekitar 1,87 % pada produk domestik bruto Indonesia sampai kuartal rill


(30)

menurut harga konstan (BPS Oktober, 1998). Dengan demikian sektor perikanan dapat dijadikan andalan pertumbuhan perekonomian dalam arti luas.

Menurut Dahuri (1999), proses pemanfaatan sumberdaya perikanan ke depan harus dilakukan dalam kesamaan visi pembangunan perikanan, yaitu suatu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan. Terdapat tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan visi pembangunan perikanan tersebut. Pertama, sektor perikanan harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional (makro) melalui peningkatan devisa, peningkatan pendapatan rata-rata para pelakunya serta mampu meningkatkan sumbangannya terhadap PDB. Kedua, sektor perikanan harus mampu memberikan keuntungan secara signifikan kepada para pelakunya dengan cara mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan yang ada saat ini yang masih sangat tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain. Ketiga, pembangunan perikanan yang akan dilaksanakan selain dapat menguntungkan secara ekonomi juga harus ramah secara ekologis, artinya pembangunan harus memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan baik terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri maupun ekosistem lainnya.

Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2001), ada delapan strategi dan kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan masa mendatang adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan produksi dan nilai tambah perikanan dan kelautan secara efisien, optimal dan berkelanjutan, melalui kebijakan untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari, pengembangan kapasitas penangkapan, pengembangkan investasi perikanan dan kelautan dan pengembangkan teknologi budidaya laut.

2. Peningkatan ekspor produk perikanan melalui adanya kebijakan mutu, promosi dan pengembangan terminal ekspor.

3. Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui kebijakan pemberian kredit lunak bagi usaha kecil (nelayan) dan kebijakan kemitraan pengusaha kecil dan besar.


(31)

4. Pembangunan sarana dan prasarana. 5. Pembangunan pulau-pulau kecil. 6. Manajemen tata ruang.

7. Penguatan sumberdaya manusia (SDM) dan llmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

8. Penegakan hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan.

Kusumastanto (2002) menambahkan, agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Untuk mengarah pada kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari

ocean policy yang nantinya menjadi "payung" dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini maka kebijakan perikanan dan kelautan pada akhimya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundangan) pada

level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan perikanan.

2.5. Teori Lokasional dan Sektor Basis

Pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan bila membahas kegiatan pada ruang dan menganalisa bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambilan keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambilan keputusan dalam penentuan lokasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) rumah tangga; (2) perusahaan; dan (3) pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan sendiri berdasarkan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga adalah (a) penjualan jasa tenaga kerja dan (b) konsumsi; aktivitas perusahaan


(32)

meliputi (a) pengumpulan input, (b) proses produksi dan (c) proses pemasaran, dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu pemerintah disamping mempunyai peran melindung kepentingan masyarakat juga bertindak sebagai locator dari berbagai aktivitas yang ditanganinya seperti penentuan lokasi sebagai sarana dan fasilitas pelayanan umum.

Untuk mengetahui kecenderungan potensi keunggulan suatu komoditas disuatu lokasi tertentu, analisis yang sering digunakan adalah analisis basis ekonomi yaitu Location Quotient Analysis (LQ). Metode LQ secara umum merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan atau basis suatu aktifitas. Disamping itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.

LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Asumsi yang digunakan dalam LQ adalah sedikit kondisi geografis yang relatif seragam. Pola-pola aktivitas bersifat seragam serta setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ

harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat, sedangkan jika hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Shukla, 2000).

Menurut Tarigan (2004), dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah, baik ke wilayah lain dalam negeri maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatan


(33)

basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal).

Lebih lanjut menurut Tarigan (2004), mengatakan bahwa semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti

service disebut saja sektor non basis. Sektor non basis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis.

2.6. Analisis Perencanaan

Perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang (Conyers dan Hill, 1994). Pengertian tujuan dalam definisi di atas menunjukkan bahwa perencanaan erat hubungannya dengan perumusan kebijakan (Tjokroamidjojo, 1993).

Berdasarkan definisi tersebut berarti ada empat elemen dasar perencanaan yakni:

1. Merencanakan berarti memilih. Perencanaan merupakan proses memilih diantara berbagai kegiatan yang diinginkan karena tidak semua yang diinginkan tersebut dapat dilakukan dan tercapai secara simultan. Hal ini menyiratkan bahwa hubungan antara perencanaan dengan proses pengambilan keputusan sangat erat, terutama sekali berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan urut-urutan tindakan di dalam proses pengambilan keputusan.


(34)

menunjukkan segala sesuatu yang dianggap berguna dalam pencapaian suatu tujuan tertentu. Sumberdaya ini mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal dan keuangan. Perencanaan mencakup proses pengambilan keputusasan tentang bagaimana proses pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia sebaik-baiknya.

3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep perencanaan sebagai alat pencapaian tujuan muncul berkenaan dengan sifat dan proses penetapan tujuan.

4. Perencanaan untuk masa depan. Salah satu elemen penting dalam perencanaan adalah elemen waktu. Tujuan-tujuan perencanaan dirancang untuk dicapai pada masa yang akan datang dan oleh karena itu perencanaan berkaitan dengan masa depan (Conyers dan Hill, 1994). Karena perencanaan dimaksudkan untuk waktu yang akan datang, maka setiap perencana selain merumuskan tujuan juga harus menelaah situasi dimasa mendatang dengan tepat dan harus mampu memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkan. Untuk itu diperlukan penyelidikan dan analisis atas dasar data dan keterangan masa lalu. Dengan analisis dapat diketahui potensi dan masalah yang dihadapi, sehingga dapat dipilih serangkaian alternatif tindakan guna mengatasi permasalahan tersebut (Warpani, 1999).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa analisis perencanaan merupakan ilmu yang menyelidiki dan menguraikan proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.

Dalam hubungannya dengan analisis kebijakan, analisis perencanaan merupakan analisis kebijakan yang berbentuk prospektif. Analisis kebijakan prospektif memberikan informasi dan transformasi sebelum aksi kebijakan dimulai (Dunn, 1998). Berdasarkan hal tersebut, Walter Williams dalam Dunn (1998) mendefinisikan analisis kebijakan merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi yang dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam


(35)

bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan yang secara konseptual tidak termasuk mengumpulkan informasi.

Kebijakan didefinisikan oleh Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam

Dunn (1998) sebagai suatu "keputusan tetap" yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Sedangkan keputusan adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal. Kesulitan memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit dibuktikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya pengambilan keputusan (kebijakan).

Untuk mendapatkan hasil yang baik maka penentu kebijakan atau perencana harus menyusun setiap perencanaan pembangunan yang mengandung unsur-unsur pokok perencanaan pembangunan, yaitu :

1. Kebijakan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan. Unsur ini merupakan dasar dari seluruh rencana, yang kemudian dituangkan dalam unsur-unsur pokok perencanaan pembangunan lainnya.

2. Adanya kerangka rencana makro. Dalam kerangka tersebut berbagai variabel pembangunan dihubungkan.

3. Perkiraan sumberdaya bagi pembangunan khususnya sumber pembiayaan pembangunan.

4. Uraian tentang kerangka kebijakan yang konsisten, misalnya kebijakan fiskal, penganggaran serta kebijakan sektoral lainnya.

5. Perencanaan pembangunan adalah program investasi yang dilakukan secara sektoral disertai penyusunan rencana sasaran.

6. Perencanaan pembangunan adalah administrasi pembangunan yang mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (Arsyad, 1999).


(36)

2.7. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

2.7.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir

Berkenaan dengan pembangunan ekonomi, Arsyad (1999) mendefinisikannya sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi yang dapat diidentifikasi dan dianalisa dengan seksama.

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat dan manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia (Todaro, 2000).

Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia pada masa lalu terlalu menekankan kepada strategi tradisional yang mengutamakan kepada akumulasi dari capital fisik (psysical atau man-made capital), yang megabaikan keterkaitannya dengan kapital-kapital lain, seperti kapital alami (natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapital sosial (social capital). Oleh karena selama itu pertumbuhan ekonomi Indonesia dipandang tidak seimbang (unbalanced growth), karena sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tersebut terlalu banyak berasal dari ekploitasi natural assets seperti hutan, sumberdaya bahari (ikan dan lainnya), mineral, minyak dan gas bumi secara menguras. Kemudian hasil-hasil dari sumberdaya lain tersebut ditransformasikan menjadi capital fisik (jaringan jalan, komunikasi, pabrik-pabrik, perumahan, pembangkit tenaga listrik, jaringan irigasi dan lain-lain) yang terakumulasi dengan tingkat yang relatif tinggi (6 – 7 %) dan disebut pertumbuhan ekonomi. Sedangkan investasi pada kapital-kapital lain (natural, human dan social) banyak diabaikan, bahkan dengan pelaksanaan program yang sentralistik banyak merusak terhadap jenis kapital lain tersebut (Anwar, 2001).


(37)

Permasalahan masyarakat di wilayah pesisir di Indonesia hampir memiliki kesamaan, seperti yang telah diteliti oleh Tri Ratna Saridewi (2003) tentang Studi Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir di Kabupaten Subang. Dimana dari hasil penelitian tersebut didapatkan beberapa kesimpulan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki permasalahan seperti terhadap permodalan dan pemasaran. Tingkat kemiskinan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Subang merupakan penyebab terbatasnya dana operasional dalam usaha memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir yang ada.

Keterbatasan faktor pemasaran hasil produk juga merupakan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan untuk menjual hasil tangkapan dan budidaya yang mereka kembangkan. Dengan menggunakan alat analisis (software) Analysis Hierarchy Process (AHP), maka didapatkan beberapa kebijakan yang menjadi prioritas untuk dijalankan seperti: meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan meningkatkan posisi tawar. Sedangkan usaha yang perlu dikembangkan di wilayah pesisir, yaitu: usaha budidaya silvifisheries (monokultur dan polikultur), budidaya pertambakan (monokultur dan polikultur) dan peningkatan kegiatan pengolahan hasil perikanan seperti pengolahan ikan segar, penggaraman/pengeringan pemindangan dan pembuatan terasi. Sedangkan dari hasil analisa location quotient didapatkan, bahwa sektor perikanan tangkap merupakan sektor basis di Blanakan dan Pusakanegara, sedangkan sektor perikanan tambak merupakan sektor basis di Legonkulon dan Pusakanegara Kabupaten Subang.

2.7.2 Pengembangan Wilayah Pesisir

Permasalahan pengembangan wilayah pesisir dalam bentuk administrasi desa-desa telah dilakukan penelitian oleh Edi Susilo (2003) tentang Analisis Pengembangan Desa-desa Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. Penelitian tersebut menganalisis pengembangan wilayah pesisir sebagai kawasan strategis.

Peranan strategis pengembangan wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-sumberdaya domestik yang terbaharui (domestic renewable resources), (2) memiliki keterkaitan kebelakang (backward


(38)

linkage) dan ke depan (forward linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan, (3) efek ganda yang signifikan dari sektor-sektor basis dan sektor-sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah lokal/daerah (sektor pajak/retribusi) dan PDRB wilayah, (4) keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (inter and inter-regional interaction) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty), dan (5) terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus atau berkelanjutan.

Pemusatan aktifitas ekonomi berdasarkan konsentrasi tenaga kerja menurut mata pencaharian dengan analisa LQ menunjukkan sektor pertanian (termasuk perikanan) merupakan sektor basis di wilayah pesisir Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun demikian secara umum dijelaskan bahwa wilayah pesisir kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah non pesisir, dengan alasan sebagai berikut :

1. Kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah.

Umumnya berpendidikan rendah sehingga wawasan dan cara pandang terhadap suatu masalah harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.

2. Tingkat ekonomi wilayah pesisir masih rendah.

Keterbatasan masyarakat pesisir dalam melakukan aktifitas kegiatan terbatas pada kegiatan perikanan (menangkap ikan) membawa dampak kepada semakin rendahnya kinerja ekonomi masyarakat.

3. Sulitnya memperoleh modal dan investasi.

Kendala yang umum dialami oleh masyarakat nelayan adalah keterbatasan dalam hal modal usaha, sehingga banyak dijumpai nelayan masih menggunakan sarana penangkapan tradisional.


(39)

Umumnya usaha pengolahan ikan laut dilakukan dengan cara diasinkan atau dikeringkan dan diperkirakan 25 % dari total hasil tangkapan. Namun perlu dikembangkan teknologi tepat guna dalam proses pengolahan ikan, sehingga diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan.

2.7.3 Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan

Kajian konservasi lahan di hulu DAS Citarum dalam upaya mendukung pengembangan wilayah berbasis sumberdaya alam yang berkelanjutan telah diteliti Nurul Febriani (2008). Menurut Rustiadi, et al., (2003) pengembangan lebih menekankan kepada proses meningkatkan dan memperluas. Pengembangan adalah sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tetapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan dan diperluas. Selanjutnya dalam hal pengembangan masyarakat (nelayan) tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (capacity building). Secara filosofis suatu proses pembangunan/pengembangan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif pengelolaan sumberdaya alamnya yang ramah lingkungan.

Dalam menentukan prioritas pengelolaan wilayah berbasis sumberdaya alam berkelanjutan didasarkan kepada hasil wawancara dengan masyarakat yang terlibat terlebih dahulu dan juga kepada para stakeholder, dalam penentuan strategi pengelolaan sumberdaya wilayah yang berkelanjutan. Selanjutnya alternatif dan prioritas kebijakan dalam pengelolaan wilayah yang berkelanjutan dengan aspek ekonomi, sosial, ekologi dan kelembagaan masyarakat (nelayan) dilakukan analisis dengan Multi Criteria Desicion Making (MCDM) yang menggunakan software Preference Ratios in Multiattribute Evaluation (PRIME). Menurut Jankowski (1994) pengelolaan wilayah untuk mencari alternatif mengoptimalisasikan pengelolaan sumberdayanya secara berkelanjutan,


(40)

memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak guna membentuk struktur pendukung proses pengambilan keputusan, namun harus memenuhi beberapa faktor, yaitu; (i) mempunyai kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan campuran) dan pengukuran yang intangible; (ii) dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria; (iii) dapat menerapkan skema bobot yang bervariasi untuk suatu prioritas stakeholder yang berbeda; (iv) tidak membutuhkan penentuan nilai ambang sehingga tidak terjadi penurunan skala dari variabel yang continue pada skala nominal; dan (v) prosedur analisis relatif sederhana.

Peneliti memberikan implikasi kebijakan dalam pengembangan wilayah berbasis sumberdaya alam yang berkelanjutan didasarkan terhadap 3 (tiga) skenario alternatif kebijakan pengelolaan wilayah dengan menggunakan analisis multikriteria, prioritas pengelolaan untuk masa yang akan datang adalah diterapkan sebagai pengembangan wilayah. Kebijakan ini baik secara langsung maupun tudak langsung akan menimbulkan konsekuensi dalam berbagai aspek, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Implikasi kebijakan terhadap pengelolaan wilayah menguraikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yaitu :

1. Persepsi dan partisipasi masyarakat.

Pengelolaan wilayah memerlukan partisipasi masyarakat dan harus diterima oleh masyarakat lokal. Pengertian masyarakat tidak hanya terbatas pada masyarakat pengelola, tetapi juga seluruh pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan. Penerimaan terhadap konservasi dalam penelitian ini pada gilirannya akan menciptakan partisipatif aktif dari masyarakat dalam keikutsertaan untuk melakukan kegiatan konservasi di Hulu DAS Citarum. Penerimaan masyarakat diperlukan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (sence of belonging) terhadap konservasi atau pengelolaan wilayah sehingga muncul kesadaran untuk senantiasa aktif dalam melaksanakan konservasi/pengelolaan wilayah.

2. Nilai ekonomi kawasan.

Nilai ekonomi akan mengalami peningkatan dibandingkan kondisi saat ini, karena hal ini terkait dengan fungsinya dan logikanya apabila terjadi


(41)

pengembangan maka akan menjaga nilai ekologis. Hal lain yang akan memberikan nilai ekonomis terhadap kawasan adalah peningkatan jasa lingkungan bagi wilayah tersebut. Semakin tinggi perekonomian suatu wilayah yang dicirikan oleh tingginya kegiatan ekonomi per kapita dari jumlah penduduk, maka akan semakin tinggi nilai ekonomi yang diberikan oleh kawasan. Demikian juga pembangunan ekonomi regional akan semakin kuat dan berkelanjutan apabila pengelolaan wilayah semakin efektif, karena subsidi nilai dari jasa ekologis kawasan semakin tinggi.

3. Pengelolaan dan pengembangan wilayah.

Sumberdaya alam merupakan sumberdaya esensial bagi kelangsungan hidup manusia dan sumberdaya alam tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia namun juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan penduduknya dan pengembangan suatu wilayah. Dari sisi pengelolaan wilayah, konsep dari konservasi/pengelolaan wilayah yang pada dasarnya adalah sebagai upaya dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam sebagai faktor pendukung utama dalam pembangunan. Peningkatan nilai guna berupa nilai jasa lingkungan, nilai ekonomi sumberdaya baik langsung maupun tidak langsung sehingga bukan saja manfaat ekonomi yang didapat tetapi juga manfaat ekologi dalam jangka panjang bagi wilayah itu sendiri. Dalam tatanan pengembangan wilayah, konservasi/pengelolaan wilayah akan memberikan nilai tambah bagi pengembangan wilayah, karena diharapkan dari pengelolaan ini memberikan perubahan baik, sehingga mengarahkan pengembangan wilayah kepada terjadinya ekonomi (eficient), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) untuk masa yang akan datang.

4. Institusi pengelolaan.

Pengelolaan wilayah harus mencakup aspek sosial ekonomi, ekologi dan kebijakan. Usaha pengelolaan wilayah harus melibatkan pihak yang memiliki kepentingan seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan masyarakat, sektor swasta dan pihak-pihak lain. Disamping itu diperlukan komitmen kelembagaan yang kuat dari masing-masing stakeholder yang terlibat. Serangkaian program


(42)

pemberdayaan masyarakat yang dapat diterapkan dan berkaitan dengan pengelolaan wilayah/konservasi adalah:

a. Penguatan kelembagaan dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam, diantaranya melalui optimalisasi fungsi koperasi yang ada.

b. Pengelolaan berbasis pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan.

c. Pemberdayaan berbasis budidaya (pertanian, peternakan dan perikanan). d. Pemberdayaan isteri-isteri petani (termasuk nelayan) dalam memberikan

alternatif kegiatan untuk penguatan ekonomi rumah tangga.

2.7.4 Pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Provinsi Riau

Hasil penelitian Zainal (2007) menekankan suatu proses pembangunan wilayah (Provinsi Riau) memerlukan perhatian khusus dengan pendekatan yang inovatif untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, proses pembangunan ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial masyarakat.

Pengembangan kawasan strategis di Provinsi Riau diluar kontribusi minyak dan gas bumi adalah sektor pertanian , dimana 8 (delapan) kabupaten dari 11 (sebelas) kabupaten di Provinsi Riau masih mengandalkan sektor pertanian sebagai kontributor penting PDRB wilayah (termasuk Kabupaten Pelalawan). Selanjutnya Zainal memperlihatkan rendahnya kontribusi PDRB Kabupaten Pelalawan terhadap Provinsi Riau atas dasar harga berlaku tahun 2005, khususnya pada sub sektor perikanan hanya 1,14 % jauh dari kontribusi PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Inderagiri Hilir 8,78 % dan Kabupaten Rokan Hilir 8,37 %.

Provinsi Riau mengalami gejala paradoks pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan bukan bersumber dari sektor-sektor utama yang memiliki pengaruh yang kuat ke masyarakat, yakni sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan hasil-hasil pertanian; yang memiliki kontribusi tinggi terhadap pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Motor penggerak ekonomi dalam Kawasan Strategi Nasional (KSN) adalah sub sektor perkebunan berbasis tanaman kelapa sawit.


(43)

Selanjutnya strategi pengembangan KSN pada sektor pertanian : (1) pembenahan aspek hukum, (2) pengembangan infrastruktur, (3) realokasi dan

optimisasi pemanfaatan aset lahan untuk penanggulangan kemiskinan, (4) pengembangan kerjasama multipihak, (5) pengembangan investasi bagi diversifikasi produk sawit dan pengembangan industri hilir kelapa sawit, dan (6) pengembangan sumberdaya manusia.

Pembangunan KSN merupakan langkah strategis bagi Provinsi Riau dalam rangka penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan perekonomian daerah. Upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan merupakan bagian integral dari program pengembangan ekonomi daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, dimensi pemberdayaan masyarakat itu harus dilakukan secara integral dengan program pertumbuhan ekonomi, dan dibarengi program peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan.

2.7.5 Strategi Peningkatan Pendapatan

Hasil penelitian Abdul Rahman (2005) menjelaskan bahwa strategi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerahmengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun, khususnya di Kabupaten Pelalawan. Namun demikian, kontribusi kenaikan PAD tersebut terhadap total penerimaan daerah (TPD) di Kabupaten Pelalawan masih rendah. Efektivitas PAD Kabupaten Pelalawan selama tahun 2000-2003 berfluktuasi, relatif tinggi dan cenderung mengalami peningkatan. Elastisitas PAD terhadap PDRB memiliki nilai positif. Rasio kemandirian cenderung menunjukan peningkatan, namun ada 6 (enam) kendala utama di dalam manajemen penggalian potensi PAD di Kabupaten Pelalawan, yaitu disebabkan oleh; (1) masih rendahnya kemampuan SDM aparat, (2) masih minimnya sarana dan prasarana, (3) rendahnya kesadaran masyarakat, (4) kurangnya koordinasi antar instansi terkait, (5) tidak akuratnya data yang diperoleh, dan (6) belum lancarnya standar pengukuran PAD yang signifikan.


(44)

Kontribusi PAD melalui retribusi pemanfaatan perairan umum dan usaha perikananpun di Kabupaten Pelalawan masih rendah dan realisasi PAD dari sub sektor perikanan dimulai tahun 2002 mencapai Rp. 9.422.000,00 atau 0,93 % kontribusinya terhadap realisasi PAD Kabupaten Pelalawan tahun 2002. Sedangkan tahun 2003 realisasi PAD mengalami sedikit peningkatan, yaitu sebesar Rp. 11.055.000,00, namun terjadi penurunan kontribusi dibandingkan

tahun 2002, yaitu 0,62 % dari total penerimaan PAD sebesar Rp. 1.785.040.268,00.

Permasalahan masih rendahnya penggalian PAD di Kabupaten Pelalawan

diperlukan rancangan program untuk meningkatkan PAD yaitu melalui; 1. Peningkatkan keahlian SDM aparatur yang menuju profesionalitas.

2. Peningkatan sarana dan prasarana yang relevan dan efektif. 3. Pensosialisasian Peraturan daerah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. 4. Pengkoordinasian antar instansi yang berkesinambungan

5. Perbaikan sistem informasi manajemen data (data base management system). 6. Melakukan benchmarking dengan pemerintah daerah yang memiliki PAD

yang relatif tinggi, untuk mendapatkan ukuran yang standar.

Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini dilakukan di salah satu daerah yang telah terjadi pemekaran wilayah. Jadi dengan adanya pemekaran wilayah tersebut maka akan terjadi pergeseran sektor basis, sehingga hal ini akan berpengaruh pada strategi pengembangan. Selain itu, sebelumnya tidak pernah ada penelitian mengenai kajian yang sama, yaitu mengenai strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.


(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Pembangunan wilayah pesisir dalam kaitannya dengan menumbuhkan ekonomi Kabupaten Pelalawan, dan kerangka pemikiran parsialnya ialah pembangunan wilayah dan pembangunan ekonomi. Perbedaan mendasar ilmu ekonomi dan ilmu pembangunan wilayah ialah pada masalah ruang (Budiharsono, 2001). Di dalam teori ekonomi, tingkat harga dan produksi optimal ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur biaya, penerimaan (revenue) dan bentuk pasar yang berlaku. Dengan kata lain bahwa analisis ilmu ekonomi berada pada alam tanpa ruang. Ruang merupakan hal yang penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang sangat berkaitan dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah.

Dalam konsep wilayah, pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduk yang tergabung di bawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun dapat juga berupa kabupaten/kota berupa wilayah kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Karena menggunakan batas kriteria ekologis tersebut, batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas satuan wilayah administratif.

Setiap kebijakan yang akan dilaksanakan dalam strategi pengembangan wilayah pesisir tersebut dapat dipastikan akan menimbulkan dampak positip (manfaat) dan dampak negatif (kerugian) bagi masyarakat nelayan. Oleh karena itu, kebijakan yang akan dilaksanakan dapat memberikan manfaat yang lebih


(1)

PRIME didapatkan bahwa dalam pengambilan keputusan sebaiknya diarahkan kepada aspek permodalan dan pemasaran. 9) terdapat tiga sektor yang mempunyai keunggulan komparatif, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan apabila dirinci secara sub sektor, terdapat 13 sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yang salah satunya yaitu sub sektor perikanan dan kelautan.

Analisis Kebijakan yang harus diterapkan di Kabupaten Pelalawan dalam melaksanakan pembangunan dan strategi pengembangan wilayah pesisir, yaitu pengembangan budidaya silvifisheries, pengembangan teknologi penangkapan, pengembangan kegiatan penanganan hasil perikanan, pengembangan tempat pelelangan ikan, peningkatan kelembagaan modal, peningkatan kualitas sumberdaya manusia wilayah pesisir, penguatan kelembagaan masyarakat, serta penguatan sarana dan prasarana.


(2)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(3)

KAJIAN PENGEMBANGAN STRATEGI DI WILAYAH

PESISIR KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

NOFIDI H. EKAPUTRA

NRP. A 153024065

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

(5)

Judul Tugas Akhir : Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Nofidi H.Ekaputra.

NRP : A 153024065

Menyetujui,

Komisi Pembimbing:

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua Anggota

Diketahui;

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah


(6)

PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini berjudul “Kajian Pengembangan Strategi di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini akan membahas tentang aspek pertumbuhan ekonomi dari strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.

Penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai Ketua Program Studi yang sekaligus sebagai dosen penguji dan semua yang telah banyak membantu selama penyelesaian studi ini, terutama telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmunya pada kondisi nyata. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada teman-teman mahasiswa Program Studi MPD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman program studi MPD kelas khusus Bengkalis dan semua pihak yang telah mendorong dan membantu penulisan dalam menyelesaikan penelitian ini.

Pengorbanan yang luar biasa telah diberikan oleh orang-orang yang penulis cintai, Papih Soemarto dan Mamih Jajah Rokajah yang telah memberikan dorongan moril dan terutama isteriku tercinta Tuti Rahmah Yulianti yang setia dan sabar dengan pengorbanan moril dan materil mendorong suaminya agar menyelesaikan studi ini sampai tuntas. Anak-anakku tercinta: Dibi Sareta Bielmaldi, Disa Tafira Raimalda dan Difi Adhwa Dhabith yang telah mampu memberikan dorongan moril kepada ayahnya. Serta tidak lupa kepada adik kandungku Septi Kuarta Ikhtiani, SH dan saudaraku Rizal Bahtiar, SPi serta keluarga lainnya yang tidak dapat ditulis semuanya satu persatu, karena apa yang telah mereka berikan kepada penulis selama ini tidak mungkin mampu terbalaskan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongan moril dari saudaraku Sofyan Anshori yang telah memberikan dukungan tenaga demi terselesainya tesis ini.

Akhirnya semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pembaca, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan pengembangan wilayah pesisir, dan berguna bagi kemaslahatan hidup dimasa datang. Amien.

Bogor, Januari 2009