dengan bantuan enzin α-Glukan Dekinase GWD dan merupakan bagian dari
jalur biosintesis pati. Fosforus hanya akan menempel pada molekul amilopektin yang memiliki rantai samping yang panjang. Amilopektin rantai panjang yang
mengandung gugus ester monofosfat ini, akan memiliki sifat seperti amilosa yang akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel suatu jenis pati Blennow
2004. Jenis pati lain yang juga memiliki kandungan fosforus yang tinggi adalah
pati kentang. Hasil penelitian Noda et al. 2006 menunjukkan bahwa pati dari delapan jenis kultivar kentang memiliki nilai modulus elastis berkisar antara
8000-15000 Nm
2
dengan nilai terendah dimiliki oleh jenis pati kentang yang memiliki kandungan fosfat monoester yang paling rendah. Hasil ini
mengindikasikan bahwa kandungan fosforus pada pati dapat meningkatkan kekuatan gel. Semakin tinggi kandungan fosfat monoester pada pati maka nilai
modulus elastisnya menjadi semakin tinggi. Nilai modulus elastis pati walur lebih rendah bila dibandingkan dengan pati kentang. Hasil ini menunjukkan bahwa
kandungan fosfat monoester pati walur lebih kecil dibandingkan dengan pati kentang, meskipun diketahui bahwa pati walur memiliki kandungan fosforus yang
lebih tinggi.
4.2 Pengaruh Proses Perendaman Terhadap Kandungan Total Oksalat
4.2.1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat
Hampir semua jenis umbi yang termasuk ke dalam suku araceae mengandung oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal. Umbi walur segar
memiliki kandungan total oksalat sebesar 3.6059 g100 g sampel Tabel 4. Hasil
ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan oksalat dalam umbi talas Colocasia esculenta L. schoot yang memiliki kandungan total oksalat
sebesar 0.6940 g100 g sampel Savage dan Martenson 2010. Tanaman Colocasia esculenta
merupakan jenis tanaman talas-talasan yang paling utama digunakan sebagai bahan makanan pokok terutama di daerah asia pasifik
Catterwood et al. 2007. Proses perebusan pada umbi talas, hanya mampu mengurangi kandungan oksalat total sebanyak 50 Savage dan Martenson
2010. Jika proses ini diaplikasikan pada umbi walur, maka masih menyisakan total oksalat dalam jumlah yang masih tinggi, yaitu sekitar 2 g100 g sampel.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut
selama 5 menit terhadap total oksalat ppm
Perlakuan Total oksalat
g100 g Penurunan
Pelarut Konsentrasi N
Segar - 3.6059 -
Air - 0.7471
79.28 HCl
0.2 0.6066 83.18
NaOH 0.2 0.9549
73.52 NaCl
1.7 0.7952 77.95
Konsumsi oksalat per hari yang diizinkan di Inggris adalah sebesar 70-150 mg Noonan dan Savage 1999. Untuk pasien yang memiliki penyakit
ginjal, American Dietetic Association’s Nutrition Care Manual
merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40-50 mg per hari Messey 2007. Dengan data tersebut, apabila diasumsikan konsumsi pati walur
per hari adalah sebesar konsumsi tepung terigu, yaitu sebesar 47.8 ghari, maka perlu dilakukan upaya selain proses perebusan untuk dapat mengurangi
kandungan oksalat dalam umbi walur agar mencapai jumlah oksalat yang aman untuk dikonsumsi.
Dalam penelitian ini dilakukan proses pemanasan selama 3 jam dan diikuti oleh proses perendaman irisan umbi walur dalam berbagai jenis pelarut selama 5
menit yang selanjutnya diikuti dengan proses perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1 selama 5 menit. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
adalah air, NaCl 1.7 N, NaOH 0.2 N dan HCl 0.2 N. Proses pemanasan selama 3 jam dan konsentrasi pelarut tersebut dipilih berdasarkan hasil penelitian Mayasari
2010. Proses pemanasan selama 3 jam bertujuan untuk merusak kristal kalsium oksalat secara mekanis sehingga proses pelarutan kalsium oksalat menjadi lebih
mudah Mayasari 2010. Proses perendaman dalam natrium bikarbonat 1 dilakukan berdasarkan rekomendasi Kurdi 2002 yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya peningkatan kandungan oksalat. Menurut Chalmer et al. 1985, dapat terjadi pertumbuhan kristal oksalat akibat oksidasi asam askorbat di bawah pH 5.
COO2Ca 2 NaOH
COONa2 CaOH2
+ +
COO2Ca 2 NaCl
COONa2 CaCl2
+ +
COO2Ca COOH2
CaCl2 2 HCl
+ +
Semua jenis pelarut yang digunakan dapat menurunkan kandungan oksalat dalam umbi walur dengan persen penurunan tertinggi yaitu sebesar 83.18 oleh
pelarut HCl 0.2 N dan persen penurunan terendah sebesar 73.52 oleh pelarut NaOH 0.2 N. Persen penurunan oksalat pada umbi walur yang direndam dengan
menggunakan air dan NaCl berturut-turut sebesar 79.28 dan 77.95 Tabel 4. Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 menunjukkan bahwa proses
penurunan kandungan oksalat berpengaruh nyata terhadap total oksalat yang dihasilkan Lampiran 2a.
Oksalat larut air dapat dengan mudah dilarutkan di dalam air. Sedangkan menurut Noonan dan Savage 1999, oksalat tidak larut air, hanya dapat
dilarutkan oleh asam dan tidak larut oleh garam dan basa. Berdasarkan data pada Tabel 4 tersebut, diketahui bahwa pelarut basa memiliki persen penurunan sebesar
73.52. Nilai ini masih berada di bawah persen penurunan oksalat dengan pelarut air, yaitu sebesar 79.28. Hal ini mengindikasikan bahwa NaOH tidak dapat
melarutkan kalsium oksalat dan kurang efektif dalam melarutkan oksalat larut air. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Noonan dan Savage 1999 bahwa
pelarut basa tidak dapat melarutkan kalsium oksalat. Apabila dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara NaOH
dan kalsium oksalat Gambar 10, maka NaOH dan kalsium oksalat akan membentuk garam Na
2
C
2
O
4
yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium hidroksida yang bersifat larut dalam air sebanyak 2gL Cotton dan
Wilkinson 1989. Namun, hal tersebut tidak dapat terjadi karena proses perendaman umbi walur dalam pelarut NaOH dilakukan tanpa adanya panas,
sedangkan senyawa kalsium hidroksida membutuhkan banyak panas dalam proses pembentukannya. Seperti pembentukan kalsium hidroksida dari oksidanya CaO
dan air yang prosesnya membutuhkan banyak panas Arsyad MN 2001. a
b c
Gambar 10 Reaksi kimia antara kalsium oksalat dengan pelarut NaOH a; NaCl b; HCl c.
Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa pelarut air dan NaCl menunjukan total oksalat yang tidak berbeda nyata Lampiran 2b. Hasil ini
mengindikasikan bahwa pelarut netral kurang efektif dalam melarutkan kalsium oksalat. Apabila dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara
kalsium oksalat dan NaCl Gambar 10, maka akan terjadi suatu reaksi penggaraman menghasilkan CaCl
2
dan Na
2
C
2
O
4.
Berdasarkan mekanisme reaksi tersebut, seharusnya proses perendaman umbi walur dengan pelarut NaCl akan
menghasilkan total oksalat yang lebih rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini. Hal ini kemungkinan karena garam natrium oksalat yang
dihasilkan dari reaksi tersebut belum seluruhnya terlarut dalam air dan hilang pada proses pencucian. Garam natrium oksalat memiliki nilai kelarutan dalam air
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan asam oksalat, yaitu sebesar 37 gL pada suhu 20 °C Cotton dan Wilkinson 1989 sehingga lebih sulit untuk
dilarutkan di dalam air pada suhu ruang. Pelarut lain yang digunakan adalah HCl. Berdasarkan Gambar 11
diketahui bahwa pelarut HCl menghasilkan total oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut air. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelarut HCl
dapat melarutkan kalsium oksalat. Reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium klorida.
Asam oksalat yang dihasilkan dari reaksi antara HCl dan kalsium oksalat memiliki nilai kelarutan sebesar 90 gL pada suhu 20 °C Cotton dan Wilkinson
1989 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelarutan garam sodium oksalat. Hal ini diduga yang menyebabkan perendaman dalam pelarut HCl menghasilkan
total oksalat dengan persen penurunan yang paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya.
Gambar 11 Pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat g100 g sampel.
Keterangan : Standar deviasi dengan n=2.
Umbi hasil pemanasan selama 3 jam dan rendaman HCl 0.2 N selama 5 menit menghasilkan persen penurunan yang paling tinggi dengan sisa oksalat
sebesar 0.6066 g100 g Tabel 4. Dengan mengacu pada data konsumsi terigu per hari, yaitu sebanyak 47.8 g Data BPS, maka jumlah oksalat yang dikonsumsi per
hari adalah sebesar 289.96 mg. Nilai ini masih berada jauh di atas konsentrasi yang direkomendasikan, baik untuk orang normal maupun yang memiliki
penyakit ginjal. Untuk itu, perlu dilakukan reoptimasi lama perendaman irisan umbi walur dengan HCl 0.2 N agar diperoleh nilai total oksalat yang lebih rendah.
Proses optimasi pelarut dilakukan dengan terlebih dahulu dipanaskan selama 3 jam sebelum selanjutnya direndam dalam beberapa jenis pelarut selama
5 menit. Apabila proses ini diaplikasikan dalam skala besar, maka proses pemanasan selama 3 jam tersebut akan menyebabkan biaya produksi menjadi
sangat tinggi. Sehingga pada proses optimasi lama perendaman dengan menggunakan pelarut terbaik, yaitu HCl 0.2 N dilakukan tanpa adanya proses
pemanasan terlebih
dahulu. Selain itu, proses optimasi pelarut dilakukan terhadap umbi yang diiris hingga ketebalan 2 mm. Namun pada saat optimasi
lama perendaman, umbi walur tidak diiris melainkan diparut untuk lebih mengoptimalkan kerja pelarut HCl dalam menurunkan kandungan oksalat dalam
umbi walur.
4.2.3 Pengaruh lama perendaman terhadap kandungan oksalat umbi walur