2.1 Umbi Walur
Umbi walur merupakan tanaman yang termasuk ke dalam dunia Spermatophyta, sub dunia Angiospermae dan kelas Monokotiledon. Umbi walur
juga termasuk ke dalam kelas talas-talasan areceae, genus Amorphophallus, dan spesies Amorphophallus campanulatus. Menurut Ohtsuki 1967, di Jawa banyak
berkembang dua varietas Amorphophallus campanulatus, yaitu varietas sylvestris, yang dikenal dengan nama umbi walur Gambar 1a dan varietas hortensis dengan
nama umbi suweg Gambar 1b.
a b
Gambar 1 Umbi walur a; suweg b Sumber : Koleksi pribadi 2010
Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu,
mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya Gambar 2a. Tangkainya belang hijau putih, berbintil-
bintil dengan panjang 50-150 cm. Perbungaannya muncul setelah daun hilang dari permukaan tanah, terdiri atas tangkai bunga, seludang dan tongkol. Tongkolnya
berbau tidak enak dan terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah bunga betina, bagian tengah bunga jantan dan bagian atas bunga mandul. Spesies
Amorphophallus campanulatus suweg dan walur mengandung kadar pati yang
tinggi yaitu sekitar 77 dan poliosa 14 Ohtsuki 1968.
a b
c Gambar 2 Pohon walur a; batang umbi walur b; batang umbi suweg c
Sumber : Koleksi pribadi 2010 Perbedaan kedua jenis varietas tanaman ini terletak pada batang yang
dimilikinya. Umbi walur memiliki batang yang kasar Gambar 2b sedangkan suweg memiliki batang yang halus Gambar 2c. Namun, keduanya sangat mudah
untuk dikembang biakan melalui anakan atau umbi. Selain mempunyai batang yang kasar, walur memiliki umbi yang sangat gatal jika dikonsumsi Kriswidarti
1980. Oleh karena itu, walur belum dimanfaatkan penduduk dan masih merupakan tumbuhan liar sedangkan umbi suweg dapat dikonsumsi karena
oksalat yang terdapat pada umbi suweg dapat dihilangkan dengan cara perebusan sehingga sudah cukup banyak dimanfaatkan dan banyak ditanam di pekarangan.
2.2 Pati
2.2.1 Sifat Fisikokimia pati
Pati merupakan bagian makanan utama yang terdapat dalam tanaman dan menyediakan 70-80 kalori yang dikonsumsi oleh manusia. Pati dan produk
hidrolisisnya merupakan karbohidrat yang dapat dicerna yang tersedia dalam makanan. Selain itu, pati juga banyak digunakan untuk membuat berbagai produk
makanan. Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel dan disebut
granula. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman dan letak hilium berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman penghasil
pati. Dengan demikian sifat fisik tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam identifikasi pati.
Dalam granula pati, campuran molekul yang berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau
lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut dengan hilium. Penampakan hilium pada granula pati adalah akibat dari
pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya Campbell et al. 1999. Letak hilium dalam granula pati ada
yang di tengah dan ada yang di tepi Jane et al. 1996 melaporkan bahwa ukuran granula pati yang berasal dari
biji-bijian lebih kecil dari tanaman sumber pati lainnya, yaitu berkisar antara 3-20
μm, sedangkan yang berasal dari akar dan umbi-umbian berkisar antara 10-100
μm dan yang berasal dari batang 50 μm. Bentuk granula pati bervariasi, yaitu mulai dari bentuk bulat, oval, elips, polgonal sampai bentuk yang tidak
beraturan. Pati merupakan polisakarida yang tersusun atas unit-unit glukosa dengan
ikatan α-glikosidik Winarno 1997. Tiap jenis pati memiliki sifat yang berbeda-
beda bergantung pada panjang rantai karbonnya. Selain itu, perbandingan antara molekul amilosa dan amilopektin serta kandungan protein dan lemak juga menjadi
faktor yang mempengaruhi sifat dari suatu jenis pati. Amilosa merupakan polimer linier dengan ikatan
α-1,4-D-glukosa sedangkan amilopektin memiliki percabangan pada
α-1,6-D- glukosa dan memiliki ukuran yang lebih besar dari amilosa Gambar 3. Amilopektin
merupakan komponen terbesar dalam pati, menyusun sekitar 70-75 dari keseluruhan pati dan amilosa sekitar 20-25 Fenema 2000. Granula pati
berbentuk semikristalin yang terdiri atas 30 unit kristal dan 70 unit amorf. Unit kristal terdiri atas amilopektin sedangkan unit amorf mengandung sejumlah
amilosa tetapi juga mengandung amilopektin dalam jumlah yang cukup banyak
a
b Gambar 3 Struktur kimia amilosa a; amilopektin b.
Sumber : Tester dan Karkalas 2004 Amilosa bersifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus
hidroksil, oleh karena itu molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen dan gaya van der walls. Oleh karena itu,
amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Kristalisasi sering pula disebut sebagai retrogradasi, proses yang
menyebabkan molekul pati menjadi tidak larut dalam air yang bersifat dapat balik karena terjadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat Klucinec et al.
1999.
2.2.2 Sifat Fungsional Pati
Sifat fungsional pati merupakan sifat-sifat pati yang turut menentukan mutu produk akhir. Sifat fungsional pati antara lain penyerapan air, penyerapan
minyak, kemampuan pengembangan dan kelarutan, pembentukan gel dan pola gelatinisasi. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat
ditentukan oleh karakteristik kimianya Suspensi pati ketika dipanaskan mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi
adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air
secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula. Mekanisme
gelatinisasi dibedakan menjadi tiga fase Fennema 2000, yaitu tahap awal, air secara perlahan-lahan dan secara bolak-balik masuk ke dalam granula, selanjutnya
tahap kedua, yaitu suhu 60-85 °C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati akan kehilangan sifat
birefringentnya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati akan berdifusi keluar granula.
Selama pemanasan dalam air, peregangan lamela granula berawal dari penyerapan molekul air di bagian amorf granula. Selanjutnya bagian ini akan
menginduksi pengembangan bagian kristalin granula sehingga molekul amilopektin pada titik percabangan dapat terpisah. Bangun molekul dari
amilopektin memungkinkan kemampuan untuk memerangkap air yang lebih besar daripada rantai linier yang membentuk heliks sehingga amilopektin mempunyai
peran pada pengembangan granula pati yang lebh besar daripada amilosa Jane et al.
1999. Pengembangan granula pati akan mencapai maksimal pada suhu gelatinisasi sehingga dapat meningkatkan viskositas secara drastis.
Pemanasan lebih lanjut di atas suhu akhir gelatinisasi akan menyebabkan dinding granula rusak sehingga isi granula terbebaskan ke medium dan
menghasilkan pasta. Peningkatan kelarutan juga diikuti dengan peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya bebas bergerak di luar granula
pati menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi.
Pasta pati dapat membentuk gel jika dilakukan pendinginan. Amilosa yang tercuci ke dalam medium dispersi akan membentuk jaringan tiga dimensi yang
bersifat kontinyu. Sebaliknya, molekul amilopektin berperan untuk mempertahankan molekul air di dalam gel. Faktor yang mempengaruhi
karakteristik suspensi pati dan gelnya adalah pH, suhu dan pengadukan yang diberikan serta keberadaan komponen lain seperti gula, protein lipid dan serat.
Faktor konsentrasi pati menentukan jumlah air yang diperlukan untuk mengembangkan granula, pH dapat menurunkan viskositas akibat hidrolisis oleh
asam dan pengadukan dapat meningkatkan atau menurunkan viskositas tergantung dari rasio amilosa dan amilopektin.
Scoch dan Maywald 1968 mengelompokkan pati ke dalam empat tipe pola gelatinisasi berdasarkan kemampuan pengembangan granula pati dan
ketahanannya terhadap panas serta pengadukan. Keempat jenis pola viskositas tersebut adalah tipe A, B, C dan D. Tipe A adalah jenis pati yang memiliki
kemampuan pengembangan yang tinggi. Granula pati dari tipe ini mengembang dengan mudah ketika dipanaskan dalam air dan ikatan internalnya menjadi lemah
sehingga menjadi tidak tahan terhadap pengadukan. Kurva viskositas tipe ini menghasilkan puncak viskositas yang tinggi diikuti dengan pengenceran secara
cepat selama pemasakan. Jenis pati yang memiliki pola viskositas tipe ini adalah pati kentang, tapioka, dan sereal jenis wax.
Tipe B adalah pati yang mengalami pengembangan yang moderat. Karena granula pati tidak mengembang secara sempurna sehingga menyebabkannya
menjadi tidak mudah pecah, maka pati jenis ini menunjukkan puncak viskositas yang lebih rendah dan mengalami sedikit pengenceran selama pemasakan.
Contohnya adalah pati sereal. Tipe C merupakan jenis pati yang mengalami pembengkakan terbatas. Kurva viskositasnya tidak menunjukkan adanya puncak
viskositas tapi memiliki viskositas yang sangat tinggi dan meningkat selama pemasakan berlangsung.
Pola viskositas tipe D merupakan pati yang memiliki pengembangan yang sangat terbatas. Biasanya, pati yang memiliki pola viskositas ini adalah pati yang
mengandung amilosa sangat tinggi. Hal ini karena kekakuan ikatan internal akibat interaksi molekul-molekul linier sehingga menyebabkan granula pati tidak
memberikan pembengkakan yang cukup untuk meningkatkan viskositas selama
pemasakan. 2.3 Oksalat dalam Bahan Pangan
Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri atas dua atom karbon pada masing-masing molekul Gambar 4a. Asam oksalat dalam keadaan
murni berupa senyawa kristal, larut dalam air 8 pada 10 °C dan larut dalam alkohol. Asam oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali Na dan K,
yang larut dalam air 5-25, sementara itu asam oksalat juga dapat berikatan dengan ion logam dan membentuk endapan tak larut, seperti kalsium oksalat
Gambar 4.
a b
Gambar 4 Struktur kimia asam oksalat a; kalsium oksalat b. Oksalat banyak ditemukan di dalam tanaman. Lebih dari 215 keluarga
tanaman mengakumulasi kristal ini di dalam jaringannya. Kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80 bb dan 90 dari total oksalat tanaman berada
dalam bentuk garam oksalat. Kristal kalsium oksalat dalam tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai pengatur kalsium dalam jaringan,
melindungi dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi logam Nakata 2003.
Senyawa oksalat dalam tanaman biasanya berada dalam bentuk larut air dan tidak larut air. Oksalat larut air berada dalam bentuk asam oksalat, sodium
oksalat dam kalium oksalat, sedangkan oksalat yang tidak larut air berada dalam bentuk garam kalsium oksalat, magnesium oksalat terutama garam kalsium
Noonan dan Savage 1999. Kalsium oksalat merupakan jenis garam yang
terbentuk antara ion kalsium dan ion oksalat.
Secara umum terdapat lima jenis kalsium oksalat yang berada di dalam tanaman, yaitu berbentuk jarum raphide, bentuk pensil rectangular, bulat
druse, prisma dan parallelogram rhomboid. Semua jenis kristal kalsium oksalat tersebut merupakan mineral yang relatif stabil dan sedikit larut dalam air Webb
1999, tidak larut dalam keadaan netral atau alkali dan mudah dipecahkan oleh asam Noonan dan Savage 1999.
2.4 Penurunan kadar Oksalat
Umbi yang termasuk ke dalam spesies Araceae terutama edible aroid mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan menyebabkan iritasi
pada bibir, mulut serta kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan
kulit tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal calsium oksalat jenis rafida. Kristal rafida ini hanya berfungsi sebagai pembawa
sedangkan senyawa yang menyebabkan iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 KDa Paul et al. 1999.
Jenis oksalat lain yang terdapat dalam umbi araceae adalah oksalat larut air. oksalat larut air yang ada dalam bahan pangan tersebut jika masuk ke dalam
tubuh manusia, maka dapat menghambat bioavailibilitas kalsium dalam tubuh karena akan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna. Kompleks ini akan
mengendap di dalam ginjal dan membentuk batu ginjal Noonan dan Savage 1999. Oleh sebab itu, kedua jenis oksalat, baik oksalat larut air maupun yang
tidak larut air memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh jika berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Untuk perlu dilakukan proses penurunan kadar
oksalat untuk dapat mengurangi efek negatif tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan oksalat
dalam sampel. Sangketkit et al. 2001 melakukan proses penurunan kadar oksalat pada umbi yam New Zealand Oxalis Tuberosa Mol. dengan beberapa cara
pemasakan konvensional, yaitu dengan perebusan, pengukusan dan pemanggangan. Hasilnya, terjadi penurunan kandungan total oksalat pada umbi
yang direbus dan dikukus, namun terjadi kenaikan kandungan oksalat pada umbi yang dipanggang. Hasil yang sama juga terjadi pada proses penurunan kadar
oksalat berbagai jenis varietas umbi talas oleh Catterwood et al. 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan proses perebusan, terjadi penurunan kandungan total
oksalat dari 1714 ppm menjadi 506 ppm, sedangkan proses pemanggangan meningkatkan kandungan oksalat menjadi 2290 ppm.
Metode penurunan kadar oksalat juga tidak hanya dilakukan pada berbagai jenis umbi, Judprasong et al. 2006 juga melakukannya pada beberapa jenis
gandum, kacang polong dan juga sayur-sayuran. Hasilnya hampir sama, dimana dengan proses perebusan, maka akan mengurangi kandungan total oksalat dalam
sampel, sedangkan dengan proses pemanggangan akan meningkatkannya. Proses perebusan dapat mengurangi kandungan oksalat karena dengan proses perebusan,
maka akan melarutkan berbagai jenis oksalat larut air ke dalam air perebusan tersebut.
Berbeda dengan proses perebusan, proses pemanggangan menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan oksalat dalam sampel. Hingga saat ini, terdapat
dua penjelasan ilmiah yang mungkin mengenai hal ini. Pertama, kulit permukaan umbi akan terkena dengan suhu tinggi selama proses pemanggangan yang akan
menyebabkan terjadinya proses pemutusan prekursor oksalat yang ada pada kulit dan jaringan luar. Karena fungsi oksalat dalam tanaman adalah untuk melindungi
dari pemangsa, maka kemungkinan besar jumlah oksalat di kulit luar lebih banyak dibandingkan di dalam. Selain itu, selama proses pemanggangan akan terjadi
penguapan kandungan air dalam umbi sehingga kandungan oksalat dalam sampel akan terkonsentrasi Sangketkit et al. 2001
2.5 Cookies dan mie