dan 790 RVU. Tingginya nilai breakdown ini disebabkan karena besarnya nilai kemampuan pengembangan dari pati walur. Menurut Zaidul et al. 2007b,
tingginya kemampuan pengembangan suatu jenis pati menyebabkan lemahnya ikatan intermolekular dan menyebabkannya sangat senisitif terhadap pengadukan
pada saat terjadi peningkatan suhu. Pati walur memiliki kemampuan pengembangan yang cukup tinggi Tabel 10. Hal inilah mungkin yang
menyebabkan tingginya nilai viskositas breakdown pada pati walur dibandingkan dengan tepung terigu.
Viskositas setback menunjukkan perbedaan antara viskositas akhir dan viskositas minimum selama proses pendinginan. Nilai viskositas setback
mengindikasikan derajat retrogradasi dari pati, terutama amilosa. Retrogradasi pati terjadi ketika molekul pati yang telah mengalami gelatinisasi membentuk
struktur kristal kembali melalui interaksi hidrogen antar sesamanya. Akibatnya molekul air yang semula terperangkap di dalam matriks gel pati akan keluar.
Pengeluaran molekul air ini dinamakan dengan sineresis. Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa viskositas setback pati walur lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung terigu. Hal ini menunjukkan bahwa pati walur lebih mudah mengalami retrogradasi dibandingkan dengan tepung terigu.
Tepung terigu memiliki kandungan amilosa sebesar 27.2 Zaidul et al. 2007a sedangkan pati walur sebesar 22.42. Berdasarkan data tersebut,
seharusnya tepung terigu lebih mudah mengalami retrogradasi dibanding pati walur. Namun hasil analisis menunjukkan hasil yang sebaliknya. Hal ini karena
selain dipengaruhi oleh kandungan amilosa, nilai viskositas setback juga dipengaruhi oleh kandungan fosforus di dalam sampel, dimana semakin tinggi
kandungan fosforus, maka nilai viskositas setback juga semakin tinggi Zaidul et al.
2007b.
4.4 Aplikasi Pati Walur dalam Produk Pangan
4.4.1 Pengaruh Substitusi Pati Walur terhadap Kekerasan Cookies yang
dihasilkan
Pati walur yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai bahan pensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan produk pangan. Produk pangan
yang diproduksi dengan campuran tepung terigu dan pati walur adalah produk cookies
dan mie. Pembuatan cookies dilakukan dengan formulasi tepung komposit pati walur sebesar 0, 25, 50, 75 dan 100. Pembuatan mie dengan menggunakan
penambahan pati walur sebesar 0, 10, 20, 30, 40 dan 60. Pembuatan cookies pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
formulasi dari Gustiar 2009 yang membuat cookies dari pati garut. Semua adonan yang terbentuk dari formulasi ini, baik adonan tepung terigu maupun
adonan yang mengandung pati walur tidak dapat dicetak dengan menggunakan alat pencetak karena karakter adonan yang cukup lengket. Oleh sebab itu, dalam
proses pembuatannya, cookies dicetak secara manual dengan menggunakan tangan.
Dalam produk cookies, tekstur, flavor dan penampakan merupakan atribut kualitas yang penting. Untuk mengetahui karakteristik tekstur dari cookies yang
dihasilkan, maka selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan alat Texture Analyzer Brookfield Engineering
©
TC3. Hasil analisis kekerasan produk cookies
ditunjukkan pada Gambar 17. Berdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa penambahan pati walur berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan dari
produk cookies yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cookies
pati walur, tidak menunjukkan karakteristik kekerasan yang sama dengan cookies
tepung terigu. Nilai kekerasan cookies dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu Kandungan lemak Zoulias et al. 2002, kemampuan lemak dalam
menangkap udara pada saat pencampuran Kamel 1994 dan kemampuan pengembangan dari pati tepung penyusunnya Singh et al. 2003.
Gambar 17 Pengaruh substitusi pati walur terhadap kekerasan cookies g. Keterangan : Standar deviasi n=3.
Ingredient yang paling berperan dalam pembentukan tekstur cookies
adalah lemak. Lemak berpengaruh terhadap tekstur dan mouthfeel serta akan memberikan intensitas flavor dan persepsi yang baik. Zoulias et al. 2002
melaporkan bahwa peningkatan kadar lemak dalam pembuatan cookies akan menghasilkan produk cookies yang lebih krispi dan lebih rapuh. Namun, diketahui
bahwa jumlah lemak yang ditambahkan pada semua formulasi cookies adalah sama. Selain itu, proses pencampuran untuk semua formulasi cookies dilakukan
dalam waktu yang seragam, oleh sebab itu kemungkinan yang menyebabkan perbedaan kekerasan cookies adalah kemampuan pengembangan dari pati yang
digunakan. Kemampuan pengembangan pati berfungsi untuk membentuk zona udara
dengan volume tertentu, sehingga kemampuan pengembangan yang berbeda akan menghasilkan zona udara dengan volume yang berbeda-beda yang akan
mempengaruhi kekerasan dari cookies yang dihasilkan. Semakin tinggi kemampuan pengembangan suatu jenis pati akan menyebabkan semakin
menurunnya kekerasan cookies yang dihasilkan. Secara umum Gambar 17 menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan
pati walur dalam sampel maka kekerasannya semakin menurun. Hal ini dikarenakan pati walur memiliki kemampuan pengembangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung terigu Tabel 9 yang menyebabkan terbentuknya zona udara dengan volume yang lebih besar dibandingkan dengan cookies tepung
terigu. Semakin banyak pati dalam sampel, zona udara dengan volume udara yang lebih besar juga semakin banyak dan menyebabkan nilai kekerasannya menjadi
semakin menurun.
4.4.2 Pengaruh Substitusi Pati Walur terhadap Analisis organoleptik Cookies