menjadi bersifat elastis Belton 1998. Pati walur memiliki kandungan protein yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 1.5. Oleh sebab itu, semakin banyak
pati walur dalam adonan mie maka kandungan protein yang terdapat di dalamnya menjadi semakin kecil. Hal ini menyebabkan ikatan hidrogen yang terbentuk
menjadi semakin kecil yang menyebabkan adonan menjadi tidak elastis. Selain itu, sifat fungsional pati juga sangat menentukan kualitas mie yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan erat dengan pembentukan adonan dan kualitas tekstur mie. Menurut Lii dan Chang 1981,
pati yang ideal untuk mie adalah pati yang memiliki swelling power dan kelarutan yang terbatas serta memiliki pola viskositas tipe C menurut Scoch dan Maywald
1968. Mie yang dihasilkan dari pati yang memiliki karakter tersebut akan memiliki kualitas KPAP yang rendah, untaian mie yang kuat dan elastis serta
kelengketan yang rendah Collado et al. 2000. Sebelumnya sudah diketahui bahwa berdasarkan hasil analisis, pati walur
memiliki pola viskositas tipe A. Oleh sebab itulah mie yang dihasilkan oleh mie yang disubstitusi oleh pati walur memiliki nilai KPAP yang cukup tinggi,
meskipun nilai kelengketan dan elastisitasnya tidak mengalami perbedaan yang terlalu besar.
Pada mie yang terbuat dari pati, mouthfell dan tekstur merupakan karakteristik yang paling penting Tan et al. 2009. Kulitas dari mie pati
ditentukan dari tiga aspek, yaitu sensori properti penampakan dari mie pati kering, properti pemasakan kualitas makan dan tekstur properti mie pati yang
telah dimasak Chen et al. 2003.
4.4.5 Pengaruh substitusi pati walur terhadap analisis organoleptik mie
Dalam uji organoleptik terhadap mie hasil substitusi pati walur, terdapat beberapa parameter yang diujikan, yaitu kekenyalan, kelengketan, rasa dan
keseluruhan. Analisis multivariate terhadap hasil uji kesukaan panelis Lampiran 15 menunjukkan bahwa penambahan pati walur tidak mempengaruhi
tingkat kesukaan kekenyalan, kelengketan dan keseluruhan. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan pati walur hingga 60 masih menghasilkan
tingkat kesukaan yang sama dengan mie tepung terigu pada parameter kekenyalan, kelengketan dan kesuluruhan Gambar 20.
Gambar 20
Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai kesukaan mie. Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5.
Namun, berdasarkan
analisis multivariate
juga diketahui bahwa penambahan pati walur mempengaruhi tingkat kesukaan rasa dari panelis. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel mie hingga substitusi 40 pati walur masih memiliki tingkat kesukaan rasa yang sama dengan tingkat kesukaan
mie tepung terigu. Namun secara umum mie hingga substitusi 60 pati walur
masih disukai oleh panelis Gambar 20.
Parameter kesukaan warna tidak diujikan dalam penelitian ini. Hal ini karena serupa dengan produk cookies, secara visual produk mie yang dihasilkan
menunjukkan peningkatan warna dengan semakin banyaknya kandungan pati walur dalam produk mie Gambar 21. Seperti halnya produk cookies,
peningkatan warna pada produk mie juga kemungkinan disebabkan oleh adanya reaksi maillard selama proses pemanggangan.
Gambar 21 Produk mie substitusi pati walur kontrol a; 10 pati b; 20 pati c; 30 pati d; 40 pati e; 60 pati f.
4.4.6 Karakterisasi mie pati walur 4.4.6.1 Pengaruh substitusi pati walur terhadap karakteristik pemasakan mie
Mie pati walur yang dihasilkan selanjutnya dianalisis karakteristik pemasakannya. Pada saat pemasakan, sebagian kecil dari mie pati akan terpisah
dari mie itu sendiri dan tersuspensikan di dalam air pemasakan. Mie akan menjadi lebih lemah sementara air pemasakan akan berwarna keputihan. Secara kuantitatif
kejadian ini disebut dengan kehilangan padatan selama pemasakan KPAP Chen et al.
2003. Selama pemasakan, mie pati akan menyerap air yang menyebabkannya menjadi mengembang. Keadaan ini dikatakan sebagai
kemampuan pengembangan. Analisis pemasakan terhadap mie pati walur yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah waktu optimum pemasakan, kemampuan penyerapan air dan kehilangan padatan selama pemasakan KPAP serta analisis tekstur. Waktu
optimum pemasakan dilakukan hingga mie yang dianalisis tidak menunjukkan garis putih ketika ditekan dengan menggunakan kaca sedangkan analisis tekstur
dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer Brookfield Engineering
©
TC3.
Waktu optimum pemasakan
Waktu optimum pemasakan adalah waktu yang dibutuhkan mie untuk kembali mengabsorpsi air sehingga teksturnya menjadi kenyal dan elastis seperti
sebelum dikeringkan. Hasil analisis pemasakan menunjukkan bahwa waktu optimum pemasakan dari seluruh sampel berada pada kisaran waktu 5 hingga 7
menit Tabel 13. Waktu optimum pemasakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ketebalan untaian mie Huang dan Lai 2010 dan juga suhu gelatinisasi dari
pati yang digunakan Yadav et al. 2011. Tabel 13 Pengaruh kandungan pati walur terhadap waktu pemasakan menit mie
Penyerapan air
Persen penyerapan air menyatakan jumlah air yang dapat diserap oleh mie. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 12 menunjukkan bahwa penambahan pati
walur berpengaruh nyata terhadap penyerapan air pada mie pati walur. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mie 30 pati walur menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan mie kontrol sedangkan mie dengan formulasi hingga 60 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Hasil ini
menunjukkan bahwa jika menginginkan karakteristik penyerapan air yang sama dengan mie tepung terigu, maka substitusi pati walur dapat dilakukan
hingga 30. Berdasarkan data pada Gambar 22, diketahui bahwa nilai penyerapan air
mie pati walur semakin meningkat dengan semakin tingginya kandungan pati walur di dalam sampel mie. Nilai penyerapan air dipengaruhi oleh kandungan
protein di dalam sampel. Pada saat proses pemanasan, protein gluten yang terdapat pada mie akan terdenaturasi dan membentuk suatu ikatan yang dapat
mencegah penetrasi air dan mencegah masuknya air ke granula pati pada suhu
Pati walur Waktu pemasakan menit
0 5.0 10 5.0
20 5.5 30 5.5
40 6.5 60 7.0
c
d f
e
gelatinisasi. Hal ini akan menyebabkan mie memiliki tekstur yang kuat dan kenyal Kovacs et al. 2004. Namun, seperti yang diketahui pada Tabel 5 bahwa
kandungan protein pati walur jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan tepung terigu sehingga kemungkinan terbentuknya ikatan yang akan mencegah masuknya
air ke dalam granula pati menjadi semakin sedikit. Hal inilah mungkin yang menyebabkan semakin tingginya kandungan pati walur di dalam sampel mie
maka persen penyerapan airnya menjadi semakin besar.
196.02 216.32
247.65 261.78
314.71 377.97
50 100
150 200
250 300
350 400
450
10 20
30 40
60
Substitusi pati walur p
e n
ye r
ap an
ai r
Gambar 22 Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai penyerapan air mie. Keterangan: Standar deviasi n=2.
Kehilangan padatan selama pemasakan
Kehilangan padatan selama pemasakan KPAP adalah pengukuran kualitas pemasakan dari mie pati. Ini merupakan pengukuran ketahanan mie pati
terhadap disintegrasi selama pemasakan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan pati walur tidak berpengaruh nyata terhadap KPAP mie.
Hasil ini mengindikasikan bahwa mie hingga 60 pati walur masih menunjukkan karakteristik KPAP yang sama dengan tepung terigu.
Nilai KPAP mie semakin besar dengan semakin banyaknya kandungan pati walur di dalam sampel Gambar 23. Menurut Vignoux et al. 2005, nilai
KPAP berhubungan dengan adanya ikatan antara amilosa dengan protein. Semakin lemah ikatan amilosa-protein gluten, maka struktur keseluruhan mie
akan melemah dan memudahkan materi padatan untuk larut selama pemasakan
berlangsung Rayas Duarte et al. 1996. Sebelumnya telah diketahui bahwa kandungan protein pati walur lebih kecil dibandingkan dengan tepung terigu. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan lemahnya ikatan amilosa dan protein yang ada sehingga memudahkan materi padatan untuk larut selama proses pemasakan.
4.26 5.76
7.30 7.33
7.42 7.56
1 2
3 4
5 6
7 8
9
10 20
30 40
60
Substitusi pati walur KP
A P
g g
Gambar 23 Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai KPAP mie. Keterangan: Standar deviasi n=2.
Kim et al. 1996 menyatakan bahwa nilai kemampuan pengembangan dan viskositas puncak yang tinggi juga menyebabkan tingginya nilai KPAP. Pati
walur memiliki nilai kemampuan pengembangan dan viskositas puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Hal ini jugalah yang mungkin
menyebabkan nilai KPAP mie semakin tinggi dengan semakin banyaknya kandungan pati walur pada mie tersebut. Hal ini karena semakin tinggi
kemampuan pengembangan suatu jenis pati menyebabkan granula patinya menjadi lebih mudah pecah dan menyebabkan kebocoran amilosa. Hasil yang
sama juga ditunjukkan oleh Sandhu et al. 2010 yang menunjukkan bahwa pati kentang yang memiliki nilai kemampuan pengembangan dan viskositas puncak
yang lebih tinggi dibandingkan pati beras menghasilkan mie yang memiliki nilai KPAP yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie pati beras.
Produk mie hasil substitusi pati walur menunjukkan nilai KPAP di bawah 8 Gambar 23. Menurut Chinese Agriculture Trade Standard untuk mie pati,
nilai KPAP mie yang masih dapat diterima adalah ≤ 10 Moorthy 2002. Mie
dengan nilai KPAP yang tinggi tidak diinginkan karena akan menghasilkan tekstur mie yang lengket Bhattacharya et al. 1999. Berdasarkan data tersebut,
dapat disimpulkan bahwa produk mie substitusi hingga 60 pati walur masih memiliki nilai KPAP yang dapat diterima.
4.4.7 Pengaruh substitusi pati walur terhadap analisis profil tekstur mie