Analisis efektivitas pengendalian gulma secara mekanis, kimia dan kombinasi pada kebun tebu rakyat di Cimahpar, Bogor

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA

MEKANIS, KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU

RAKYAT DI CIMAHPAR, BOGOR

SKRIPSI

ABDUL MANAN

F14060518

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

THE ANALYSIS EFFECTIVENESS OF WEED CONTROL BY MECHANICAL,

CHEMICAL AND COMBINATION METHODS ON SUGARCANE PLANTATION

SMALLHOLDER IN CIMAHPAR, BOGOR

Abdul Manan1 and Tineke Mandang2

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

e-mail: abdulmanan_17@yahoo.com

ABSTRACT

This research aims to study any weed control methods on sugarcane plantation, was conducted on sugarcane plantation in Cimahpar, North Bogor – Bogor from May to August 2010. The experimental used ten levels of weed control treatments and two replications. The treatments were Ko = without weed control, M = mechanical, MM = mechanical – mechanical, MMM = mechanical – mechanical - mechanical MK = mechanical – chemical, MMK = mechanical – mechanical – chemical, MKM = mechanical – chemical – mechanical, K = chemical, KM = chemical – mechanical and KMM = chemical – mechanical – mechanical. Controlling method chemically used two varies herbicide, gliphosate and paraquat, while controlling method mechanically was conducted by using walking type cultivator. Glyphosate herbicide has been used on sugarcane area dominated by Imperata cylindrica and paraquat herbicide has been used on sugarcane area dominated by grass or Paspalum conjugatum. The result showed that the treatment of MMK could suppress the growth of weeds, especially Imperata cylindrica is the best in the percentage of weeds by 0.75% and 1.505 cm high weeds on domination Imperata cylindrica areas. MKM treatment showed suppression of growth of weeds, especially Paspalum conjugatum of the best weed in the percentage of weeds 9% and 4.39 cm high weeds on sugarcane Paspalum conjugatum areas. Paraquat herbicide usage caused poisoning symptoms in sugarcane with exist of color change on sugarcane stem, further symptoms was not causing death.

Keywords: weed control, mechanical, chemical, combination, sugarcane

1

Student of Mechanical and Biosystem Engineering Department, Faculty of Agricultural Technology

– Bogor Agricultural University

2

Lecture of Mechanical and Biosystem Engineering Department, Faculty of Agricultural Technology


(3)

ABDUL MANAN. F14060518. Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor. Di bawah bimbingan Tineke Mandang. 2011.

RINGKASAN

Gula memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia, adanya industri gula dapat menciptakan sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar pabrik gula. Masalah utama mengenai gula saat ini adalah produksi gula dalam negeri yang belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan gula dalam negeri. Menurut Ditjenbun (2009) kebutuhan gula nasional tahun 2010 diperkirakan mencapai 4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri sebesar 2.8 juta ton. Diketahui bahwa produsen gula dalam negeri terdiri dari Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta. Persentase poduksi gula terbesar berasal dari perkebunan rakyat (Ditjenbun, 2009) dan hasil ini pun selalu didukung oleh pemerintah dengan beberapa kebijakan seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

Diakui bahwa untuk memproduksi gula, diperlukan biaya yang besar, usaha yang keras untuk mengefisiensikan kerja pabrik dan sistem pengelolaan kebun yang baik. Salah satu kendala dalam pengelolaan kebun adalah adanya gangguan pada masa budidaya, diantaranya gangguan oleh gulma. Berbagai spesies gulma tumbuh dan mengganggu sejak tebu ditanam atau dikepras, sampai tebu hendak ditebang. Gangguan lainnya adalah gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Pertumbuhan gulma yang lebat dan yang menutupi tajuk tebu seringkali menjadi penyebab rendahnya bobot hasil tebu . Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15.0 – 53.7% (Kuntohartono, 1998). Berdasarkan pengalaman populasi gulma hanya dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda yang ada, seperti dengan cara biologis, kimia, mekanis atau kombinasi dari cara-cara tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai metoda pengendalian gulma di kebun tebu yaitu secara kimia, mekanis dan kombinasi dengan melihat pertumbuhan kembali gulma, kapasitas lapang, perubahan dominansi gulma dan respon gulma terhadap alat dan mesin pengendalian.

Metode pengendalian yang dipergunakan adalah kimia, mekanis dan kombinasi antara keduanya, penggunaan dua macam alat dan mesin yaitu walking type cultivator Yanmar Te 550 n dan

sprayer otomatis SWAN tipe A-14/I. Beberapa perlakuan diaplikasikan di dua areal tebu dengan jenis gulma dominan yang berbeda, perlakuan tersebut diantaranya adalah M, MM, MMM, MK, MKM, MMK, K, KM, KMM dan kontrol (tanpa pengendalian). M merupakan aplikasi mekanis dengan menggunakan walking type cultivator dan K merupakan aplikasi kimia dengan menggunakan sprayer

otomatis. Aplikasi kimia menggunakan dua buah jenis bahan aktif yang berbeda yaitu glyphosate dan

paraquat. Herbisida berbahan aktif glyphosate digunakan untuk mengendalikan gulma pada areal tebu yang didominasi oleh alang-alang dan herbisida berbahan aktif paraquat digunakan untuk mengendalikan gulma pada areal tebu yang didominasi oleh rerumputan. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Jarak antar aplikasi dan waktu pengamatan adalah dua minggu selama 12 minggu.

Hasil penelitian memperlihatkan MMK merupakan perlakuan yang terbaik dalam menekan pertumbuhan gulma di areal yang didominasi oleh alang-alang sedangkan di areal yang didominasi oleh rerumputan perlakuan terbaik adalah MKM. Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya persentase penutupan gulma dan tinggi gulma pada saat 12 minggu setelah aplikasi (MSA). Perlakuan tiga kombinasi lainnya yaitu MKM dan KMM dapat menghentikan pertumbuhan alang-alang kembali yang ditunjukkan oleh SDR alang-alang yang bernilai 0% pada saat 12 MSA. Aplikasi mekanis ketiga pada perlakuan KMM di areal dominan alang-alang menunjukkan efisiensi kerja tertinggi, sedangkan di areal dominan rerumputan efisiensi kerja tertinggi dihasilkan oleh aplikasi mekanis pada perlakuan KM. Pengendalian gulma tebu secara mekanis dengan walking type cultivator Yanmar Te 550 n akan lebih efektif apabila areal tidak banyak ditumbuhi gulma, hal ini ditunjukkan oleh aplikasi mekanis ketiga pada perlakuan MMM yang menghasilkan kapasitas lapang efektif (KLE) tertinggi baik di areal dominan alang-alang maupun rerumputan. Penurunan persentase penutupan dan tinggi gulma lebih respon terhadap aplikasi mekanis dibandingkan dengan aplikasi kimia.


(4)

ANALISIS EFEKTIVITAS PENGENDALIAN GULMA SECARA MEKANIS,

KIMIA DAN KOMBINASI PADA KEBUN TEBU RAKYAT DI CIMAHPAR,

BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh: ABDUL MANAN

F14060518

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

ii Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi

pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor Nama : Abdul Manan

NIM : F14060518

Menyetujui,

Pembimbing Akademik,

(Prof.Dr.Ir.Tineke Mandang L, MS)

NIP 19550524 197903 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr.Ir.Desrial, M.Eng)

NIP 19661201 199103 1 004


(6)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Yang membuat pernyataan

Abdul Manan F14060518


(7)

iv

© Hak cipta milik Abdul Manan, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(8)

v

BIODATA PENULIS

Abdul Manan. Lahir di Kuningan pada tanggal 17 Oktober 1987, putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wahid dan Ibu Cartinah. Penulis adalah tamatan SDN Kananga I pada tahun 2000. Penulis meneruskan pendidikannya di SLTPN 1 Cimahi dan lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan kembali jenjang pendidikannya ke SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2006 serta pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi kemahasiswaan, antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa TPB IPB pada tahun 2006 sebagai staff Departemen Pengembangan Minat dan Bakat, Tahun 2007 hingga 2009 penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Kuningan (HIMARIKA), pada tahun 2007 sebagai Kepala Departemen Infokom, tahun 2008 sebagai Kepala Departemen PSDM dan tahun 2009 menjadi Koordinator Badan Pengawas. Selain kegiatan organisasi, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum antara lain asisten praktikum mata kuliah Teknik Mesin Budidaya Pertanian, mata kuliah Motor dan Tenaga Pertanian serta mata kuliah Alat dan Mesin Perkebunan.

Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2009 di PT. Great Giant Pineapple, Lampung dengan judul “Aspek Keteknikan Pertanian Pada Proses Budidaya Nanas di PT. Great Giant Pineapple, Terbanggi Besar Lampung”. Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Efektivitas Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi pada Kebun Tebu Rakyat di Cimahpar, Bogor”.


(9)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Rob sekalian alam. Atas segala limpahan nikmat dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengendalian Gulma Secara Mekanis, Kimia dan Kombinasi Pada Kebun Tebu di Cimahpar, Bogor” dengan baik dan Insya Allah bermanfaat. Skripsi ini disusun untuk melengkapi syarat-syarat mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, MS yang telah sabar dan tekun memberikan bimbingan, saran, motivasi dan nasihat kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, MS dan Dr. Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr selaku dosen penguji

skripsi atas saran dalam penyempurnaan laporan penelitian ini dan nasihat yang berharga bagi penulis.

3. Ayah dan Ibu tercinta atas usahanya yang tak terhenti untuk anaknya.

4. Mak Hj. Oom dan Pak Dwi yang telah menyediakan banyak fasilitas selama penelitian di Cimahpar.

5. Riva NF, Indra FB, Septian DS, dan L. Hanief R yang telah meluangkan waktu dan tenaganya selama pengambilan data di lapangan.

6. Pak Wana dan Pak Jul selaku teknisi Lab. TMBP yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini.

7. Teman-teman kontrakan Al-Hikmah (Fery, Reza, Ayip, Roni, Mojo, Bryan, Rauf dan Bayu) yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta do‟anya.

8. Teman-teman Teknik Pertanian 43 yang telah banyak membantu dan memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya kepada Allah SWT kita serahkan segala urusan.

Bogor, Juli 2011


(10)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Gulma di Kebun Tebu ... 4

B. Teknik Pengendalian Gulma ... 5

1. Pengendalian Gulma Secara Kimia ... 6

2. Pengendalian Gulma Secara Mekanis... 9

C. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Kimia ... 10

1. Fungsi Sprayer ... 10

2. Klasifikasi Sprayer ... 10

3. Komponen Utama Sprayer ... 12

D. Alat dan Mesin Pengendalian Secara Mekanis ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

B. Alat dan Bahan ... 17

C. Metode Penelitian ... 18

D. Tahapan Penelitian ... 19

1. AnalisisVegetasi Gulma ... 20

2. Pemetaan Plot Perlakuan ... 20

3. Aplikasi Perlakuan ... 22

4. Pengamatan dan Pengukuran ... 22

5. Pengolahan Data ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Kondisi Umum ... 25

B. Analisis Vegetasi Gulma ... 25

C. Pengaruh Pengendalian Tunggal Secara Kimia... 28

D. Pengaruh Pengendalian Secara Mekanis ... 33

1. Perlakuan Tunggal ... 33

2. Perlakuan Ganda ... 34

3. Perlakuan Triple ... 35

E. Pengaruh Pengendalian Secara Kombinasi ... 38

1. Perlakuan Dua Kombinasi ... 38

2. Perlakuan Tiga Kombinasi ... 40

F. Pengaruh Pengendalian dengan Mesin Potong Rumput ... 41

G. Pengaruh Perlakuan Terhadap Selisih Penutupan Gulma dan Tinggi Gulma ... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45


(11)

viii B. SARAN ... 45 DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN ... 48


(12)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan ... 1

Tabel 2. Rekapitulasi Perkebunan Tebu Rakyat Provinsi Jawa Barat tahun 2008 ... 2

Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah ... 5

Tabel 4. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan tegalan ... 5

Tabel 5. Jenis dan dosis herbisida ... 8

Tabel 6. Jenis dan konsentrasi herbisida untuk post emergence ... 8

Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya ... 9

Tabel 6. Perlakuan tunggal dan dua kombinasi ... 17

Tabel 7. Perlakuan tiga kombinasi ... 17

Tabel 8. Pemetaan plot pada masing-masing perlakuan ... 21

Tabel 9. Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada masing-masing areal percobaan ... 26

Tabel 10. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan rerumputan ... 27

Tabel 11. Keadaan gulma sebelum perlakuan pada areal dominan alang-alang... 28

Tabel 12. Selisih persentase penutupan gulma di areal dominan alang-alang (%) ... 42

Tabel 13. Selisih tinggi gulma di areal dominan alang-alang (cm)... 42

Tabel 14. Selisih persentase penutupan gulma di areal dominan rerumputan (%) ...43


(13)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penyemprot tipe gendong ... 12

Gambar 2. Jenis torak pada pompa angin ... 13

Gambar 3. Bentuk-bentuk nosel pada hand sprayer ... 14

Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis ... 15

Gambar 5. Cultivator 8 larikan ... 16

Gambar 6. (a) hand sprayer otomatis, (b) walking type cultivator ... 17

Gambar 7. Kwadran sampel ... 17

Gambar 8. Tahapan penelitian ... 19

Gambar 9. Layout areal tebu untuk percobaan... 21

Gambar 10. Ilustrasi pengukuran dalam kwadran sampel ... 22

Gambar 11. Kondisi lahan sebelum aplikasi ... 25

Gambar 12. Gulma dominan sebelum perlakuan ... 26

Gambar 13. Pengaruh perlakuan tunggal kimia tunggal glyphosate terhadap penutupan gulma ... 29

Gambar 14. Kondisi plot dan alang-alang pada perlakuan K glyphosate... 30

Gambar 15. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap penutupan gulma ... 30

Gambar 16. Pengaruh perlakuan K paraquat terhadap SDR jenis gulma ... 31

Gambar 17. Perubahan warna pada tebu setelah aplikasi K paraquat ... 32

Gambar 18. Pengaruh perlakuan tunggal mekanis terhadap penutupan gulma ... 33

Gambar 19. Pengaruh perlakuan ganda mekanis terhadap penutupan gulma ... 34

Gambar 20. Pengaruh perlakuan triple mekanis terhadap penutupan gulma ... 36

Gambar 21. Kerusakan daun tebu karena aplikasi mekanis ... 36

Gambar 22. Gulma dan tanah lembab pada pisau rotary cultivator ... 37

Gambar 23. Pengoperasian walking type cultivator ... 38

Gambar 24. Pengaruh perlakuan dua kombinasi MK terhadap penutupan gulma ... 39

Gambar 25. Pengaruh perlakuan dua kombinasi KM terhadap penutupan gulma ... 39

Gambar 26. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan alang-alang ...40

Gambar 27. Perbandingan pengaruh perlakuan antar tiga kombinasi terhadap penutupan gulma di areal dominan rerumputan ... 41


(14)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spesifikasi walking type cultivator ... 49

Lampiran 2. Spesifikasi hand sprayer otomatis ... 50

Lampiran 3. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan M ... 51

Lampiran 4 Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MM ... 52

Lampiran 5. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMM ... 53

Lampiran 6. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MK... 54

Lampiran 7. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MKM ... 55

Lampiran 8. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan MMK ... 56

Lampiran 9. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan K ... 57

Lampiran 10. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KM ... 58

Lampiran 11. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan KMM ... 59

Lampiran 12. Data penutupan dan tinggi gulma kontrol (tanpa pengendalian)... 60

Lampiran 13. Data penutupan dan tinggi gulma dengan perlakuan mesin potong rumput ... 61

Lampiran 14. Data efisiensi pengendalian ... 62

Lampiran 15. Data analisis vegetasi gulma sebelum perlakuan ... 64

Lampiran 16. Data analisis vegetasi gulma setelah perlakuan ... 65

Lampiran 17. Summed Dominance Ratio (SDR) dalam % pada setiap perlakuan di areal dominan alang- alang ... 66

Lampiran 18. Summed Dominance Ratio (SDR) dalam % pada setiap perlakuan di areal dominan rerumputan ... 67

Lampiran 19. Data kapasitas kerja penyemprotan (K) ... 68

Lampiran 20. Kecepatan maju walking type cultivator pada areal dominan alang-alang ... 69

Lampiran 21. Kecepatan maju walking typecultivator pada areal dominan rerumputan ... 70

Lampiran 22. Kapasitas lapangan aplikasi mekanisdi areal dominan alang-alang ... 71


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri gula merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar pabrik gula dan beberapa tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan gula. Selain itu, komoditas gula juga dapat mempengaruhi devisa negara karena adanya sistem ekspor-impor. Menurut Dirjen Perkebunan mengenai statistik perkebunan tebu yang dipublikasikan tahun 2010, pada kurun waktu 2000 – 2008 rata-rata nilai impor gula hablur Indonesia mencapai 1.47 juta ton per tahun, sedangkan rata-rata nilai ekspor turunan produk gula lainnya sebesar 1,894 ton per tahun. Tingginya nilai impor dikarenakan laju pertumbuhan gula dalam negeri tidak diimbangi oleh laju pertumbuhan penduduk dan industri makanan-minuman. Kebutuhan gula nasional untuk tahun 2010 diperkirakan mencapai 4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri diasumsikan mencapai 2.8 juta ton (Ditjenbun 2009). Hasil produksi ini merupakan gabungan dari tiga pengusahaan perkebunan tebu nasional yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Diakui bahwa sebenarnya luas panen dan produksi tebu setiap tahun semakin meningkat, namun cukup memprihatinkan jika mengingat sejarah pergulaan nasional yang mengalami kejayaan pada tahun 1930-an yang mencapai produktivitas gula 14.79 ton/ha, sedangkan pada tahun 2008 produktivitas hanya mencapai 6.11 ton/ha. Sumbangsih terbesar untuk pergulaan nasional berasal dari perkebunan rakyat yang mencapai sekitar 53% (tabel 1). Besarnya persentase ini tidak terlepas dari program pemerintah yang menerapkan perubahan sistem penanaman tebu dari penyewaaan lahan petani oleh pabrik gula, menjadi pengusaha tanaman tebu yang dilakukan oleh petani di lahannya sendiri. Program ini dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang sesuai dengan Inpres No.9 Tahun 1975. Penyuluhan dan pengawasan pelaksanannya perlu ditingkatkan lagi, karena selain dapat memantapkan produksi gula juga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009) *) : angka sementara

**) : angka estimasi

Adanya TRI yang dijalankan dengan baik dapat menumbuhkembangkan kesadaran petani untuk menanam tebu dilahannya sendiri. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi produsen gula yang terus meningkatkan perkebunan rakyatnya. Berdasarkan Dirjen Perkebunan, pada tahun 2006

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah

2000 171279 64133 105248 340660 790573 234288 665143 1690004

2001 178887 87687 77867 344441 813538 310949 600980 1725467

2002 196509 79975 74238 350722 967160 297685 490509 1755354

2003 172015 87251 76459 335725 839028 370476 422414 1631918

2004 184283 78205 82305 344793 1028681 383892 639071 2051644

2005 211479 80383 89924 381786 1193653 423421 624668 2241742

2006 213876 87227 95338 396441 1028681 383892 639071 2051644

2007 249487 81655 96657 427799 1514529 424692 684565 2623786

2008 252783 82222 101500 436505 1536209 396186 736033 2668428

2009* 255313 80069 108450 443832 1546511 410948 892310 2849769

2010** 256710 80959 108481 446150 1553915 412611 894577 2861103

Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)


(16)

2 jumlah petani tebu rakyat di Jawa Barat sebanyak 7,152 kepala keluarga, sedangkan tahun 2010 estimasi jumlah petani tebu rakyat sebanyak 15,437 kepala keluarga (tabel 2). Meningkatnya jumlah petani tebu di Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh produksi rata-rata, sejak tahun 2008 mengalami penurunan hingga tahun 2009. Beberapa indikasi disebabkan oleh faktor-faktor di lapangan seperti pada saat musim tanam (masalah bibit, biaya garap, dan pengorganisasian petani dalam produksi), pada saat panen (giliran tebang, pengangkutan, penetapan rendemen dan pemasaran gula bagian petani (IAGI 1975). Permasalahan lainnya ketika dalam proses budidaya tebu, para petani tebu tidak/ belum mendapatkan bimbingan teknis mengenai tebu baik prapanen maupun pascapanen (IAGI 1975).

Tabel 2. Rekapitulasi Perkebunan Tebu Rakyat Provinsi Jawa Barat tahun 2008

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009) *) : angka sementara

**) : angka estimasi

Pada tahun 2010 tebu rakyat sudah mulai diberlakukan di kabupaten Bogor, hal ini tergolong baru karena berdasarkan Tabel 2 tahun sebelumnya belum ada perkebunan tebu rakyat. Berkembangnya perkebunan tebu di provinsi Jawa Barat ini diharapkan dapat mampu memenuhi kebutuhan gula domestik, sehingga Indonesia dapat mengurangi impor gula. Diakui bahwa untuk memproduksi gula, diperlukan biaya yang besar, usaha yang keras untuk mengefisiensikan kerja pabrik dan sistem pengelolaan kebun yang baik. Salah satu kendala dalam pengelolaan kebun adalah adanya gangguan pada masa pertanaman, diantaranya gangguan oleh gulma yang makin sulit dikendalikan. Kelebatan tumbuhan gulma dan adanya beberapa spesies gulma baru menimbulkan masalah dalam pengendaliannya. Berbagai spesies gulma tumbuh dan mengganggu sejak tebu ditanam atau dikepras, sampai tebu hendak ditebang. Gangguan lainnya adalah gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Pertumbuhan gulma yang lebat dan yang menutupi tajuk tebu seringkali menjadi penyebab rendahnya bobot hasil tebu . Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15.0 – 53.7% (Kuntohartono, 1998). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa gulma yang dibiarkan tumbuh dan tidak disiangi pada tanaman tebu dapat menurunkan hasil panen bobot tebu berkisar antara 9.2 – 13.1% (Marjayanti et al.1991) dan 25% (Moenandir 1990). Untuk keluar dari masalah hasil pertanaman tebu ini, kiranya perlu dipikirkan cara yang diharapkan cukup jitu untuk Produksi Rerata produksi Jumlah petani

Tanam Panen (ton) (kg/ha) (KK)

Subang 355 355 1797 5062 92

Cirebon 8681 8681 43544 5016 7877

Kuningan 997 997 5278 5294 1227

Majalengka 1268 1268 5037 3972 750

Sumedang 155 155 744 4800 85

Garut - - - -

-Indramayu 105 105 368 3505 38

Jumlah Tahun 2006 9931 9931 56816 5721 7152

Jumlah Tahun 2007 11628 11563 61035 5278 14469

Jumlah Tahun 2008 11561 11561 56768 4910 10069

Jumlah Tahun 2009* 12014 12014 56645 4715 15236

Jumlah Tahun 2010** 12928 12654 59702 4718 15437

Luas areal (ha) Kabupaten


(17)

3 mengatasinya; antara lain penerapan metoda pengendalian yang mampu menghentikan pertumbuhan jenis gulma.

Konsep pengendalian sejauh mungkin harus diserahkan pada tebunya sendiri untuk mampu melawan dan bersaing dengan gulma, sedangkan usaha untuk pengendalian gulma secara langsung

dilakukan terutama pada saat tebu belum mampu mengatasinya sendiri. Prinsip utama dalam pengendalian gulma adalah melakukan upaya untuk mengurangi populasi gulma sebelum gulma itu merugikan pertanaman tebu, dan dilakukan dengan berbagai cara. Berdasarkan pengalaman populasi gulma hanya dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena itu, pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda yang ada, seperti dengan cara biologis, kimia, mekanis atau kombinasi dari cara-cara tersebut.

Pengendalian gulma secara kimia adalah pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia yang dapat menekan pertumbuhan gulma, bahan kimianya disebut pestisida dan pestisida untuk mengendalikan gulma disebut herbisida. Aplikasi pestisida dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (spraying), pengasapan (fogging), penghembusan (dusting), pencelupan (dipping), fumigasi, injeksi, penyiraman, penaburan dan pestisida butiran (Djojosumarto 2008). Penyemprotan merupakan cara yang paling umum dilakukan oleh para pelaku pertanian. Pada penyemprotan ini, cairan atau larutan dipecah menjadi butiran-butiran halus sehingga dapat disebarkan secara merata pada daerah permukaan ataupun ruang yang dilindungi.

Pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Teknik pengendalian ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik alat yang digunakan. Aplikasi dalam teknik pengendalian gulma secara makanis dapat dilakukan melalui pengolahan tanah (land preparation), penggenangan, pencabutan (hand pulling), pembabatan (mowing), pembakaran (burning) (Sukman 2002). Alat-alat sederhana yang digunakan dalam teknik pengendalian gulma ini meliputi sabit, garpu, cangkul, kored, celandak, garu dengan hewan penggerak dan lain-lain, sedangkan alat-alat berat yang lebih modern seperti traktor dengan instrumen-instrumen penting yang dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan dan kondisi lapangan.

Banyaknya jenis metoda pengendalian gulma di atas maka perlu ditelaah lebih lanjut ketika akan mengaplikasikannya, hal ini untuk menentukan metoda pengendalian gulma yang paling sesuai dengan keadaan tanaman yang dibudidayakan dan lingkungan sekitar. Areal yang sudah lama tidak digunakan untuk budidaya tanaman membuat keadaan areal dipenuhi oleh berbagai vegetasi gulma. Pengolahan tanah yang telah dilakukan untuk membuka lahan siap tanam sekaligus membenamkan gulma ke dalam tanah, ternyata belum mampu menghentikan pertumbuhan kembali gulma pada areal tersebut. Gulma sudah mulai tumbuh kembali pada masa kritis pertumbuhan tebu, bahkan ketinggian gulma lebih tinggi daripada tinggi tanaman tebu. Menurut Kuntohartono, 1987, masa kritis pertumbuhan tebu merupakan masa tebu untuk bertunas dan fase anakan sehingga harus terhindar dari persaingan dengan gulma.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dicari metoda pengendalian yang mampu menekan pertumbuhan kembali gulma selama mungkin atau minimalnya selama masa kritis pertumbuhan tebu.

B.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji berbagai metoda pengendalian gulma yaitu secara kimia, mekanis dan kombinasi dalam kaitannya dengan efektivitas pengendalian gulma di kebun tebu.


(18)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Gulma di Kebun Tebu

Pengertian gulma selalu dikaitkan dengan perencanaan penggunaan sesuatu lahan, contohnya pada kondisi tertentu alang-alang masih berguna bagi manusia karena dapat mengurangi erosi dan meningkatkan bahan organik dalam tanah. Namun, bila lahan tersebut akan dipergunakan untuk budidaya tanaman pokok maka berubahlah statusnya menjadi gulma. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berinteraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi. Persaingan gulma dalam memperebutkan unsur hara, air, cahaya matahari dan ruang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al 1984). Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman pokok dibudidayakan oleh manusia (Humbert, 1968). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat dimana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktifitas manusia (Sastroutomo 1990). Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan rhizome dan biji. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit dikontrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968).

Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu tebu harus terhindar dari persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan. Masa tersebut merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tanaman tebu 8-12 minggu.

Kehadiran gulma akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas penebangan tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa mencapai 6.6% – 11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk yang diberikan oleh gulma dapat dilihat pada berkurangnya jumlah anakan tebu, batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna pucat.

Menurut Setyamidjaja dan Azharni (1992), macam spesies gulma di kebun tebu sangat ditentukan oleh cara mengolah tanah dan macam tanaman budidayanya. Pengolahan tanah menyeluruh dengan membajak akan mengurangi kepadatan berbagai spesies gulma dari keluarga

poaceae, tetapi dapat menambah pertumbuhan teki dan berbagai spesies gulma berdaun lebar. Pada lahan tegalan, macam spesies gulma pada pertanaman baru agak berbeda dengan keprasannya, karena waktu pertumbuhan tanaman baru jatuh pada awal musim hujan, sedangkan waktu pertumbuhan


(19)

5 keprasan adalah musim kemarau. Beberapa spesies gulma yang ada di kebun tebu dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.

Tabel 3. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan sawah

(Sumber: Setyamidjaja 1992)

Tabel 4. Spesies gulma penting di kebun tebu lahan tegalan

Gulma Di pulau Jawa Di luar pulau Jawa

Berdaun sempit

Echinochloa colonum Echinochloa colonum Dactyloctenium aegyptium Dactyloctenium aegyptium Rottboelia exaltata Imperata cylindrica Digitaria sp Rottboelia exaltata

Eleusine indica

Berdaun lebar

Amaranthus spinosus Amaranthus spinosus Commelina benghalenisis Mimosa invisa Centrosema pubescens Mikania cordata Ageratum conyzoides Boreria alata Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus (Sumber: Setyamidjaja 1992)

B.

Teknik Pengendalian Gulma

Menurut Sukman (2002), pengertian pengendalian gulma (control) harus dibedakan dengan pemberantasan gulma (eradication). Pengendalian gulma (weed control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien. Dalam pengendalian gulma tidak ada keharusan untuk membunuh seluruh gulma, melainkan cukup menekan pertumbuhan dan atau mengurangi populasinya sampai pada tingkat dimana penurunan produksi yang terjadi tidak berarti atau keuntungan yang diperoleh dari penekanan

Gulma Diolah secara Reynoso Diolah secara mekanis

di kebun bibit di kebun produksi

Berdaun sempit

Cynodon dactylon

Cynodon dactylon

Echinochloa colonum

Polytrias amaura

Echinochloa colonum Leptochloa chinensis Panicum reptans

Berdaun lebar Ipomoea triloba

Amaranthus spinosa Euphorbia sp Portulaca oleraceae Teki-tekian Cyperus rotundus Cyperus rotundus Cyperus rotundus


(20)

6 gulma sedapat mungkin seimbang dengan usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomik atau tidak melampaui ambang ekonomik, sehingga sama sekali tidak bertujuan menekan populasi gulma sampai nol.

Pemberantasan merupakan usaha mematikan seluruh gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat-alat reproduksinya, sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai nol. Cara ini akan lebih baik dilakukan pada areal yang sempit dan tidak miring, sebab pada areal yang luas cara ini merupakan sesuatu yang mahal dan pada tanah miring kemungkinan besar menimbulkan erosi. Eradikasi pada umumnya hanya dilakukan terhadap gulma-gulma yang sangat merugikan dan pada tempat-tempat tertentu (Sukman 2002).

Menurut Sukman (2002), terdapat beberapa metode/cara pengendalian gulma yang dapat dipraktikkan di lapangan, metode-metode tersebut diantaranya adalah:

1. Pengendalian dengan upaya preventif (pembuatan peraturan/ perundangan, karantina, sanitasi dan peniadaan sumber invasi).

2. Pengendalian secara mekanis/fisik (pengerjaan tanah, penyiangan, pencabutan, pembabatan, penggenangan dan pembakaran).

3. Pengendalian secara kultur-teknis (penggunaan jenis unggul terhadap gulma, pemilihan saat tanam, cara tanam-perapatan jarak tanam/heavy seeding, tanaman sela, rotasi tanaman dan penggunaan mulsa).

4. Pengendalian secara hayati (pengadaan musuh alami, manipulasi musuh alami dan pengelolaan musuh alami yang ada di suatu daerah).

5. Pengendalian secara kimiawi (herbisida dengan berbagai formulasi, surfaktan, alat aplikasi dsb).

6. Pengendalian dengan upaya memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti sayur, bumbu, bahan obat, penyegar, bahan/karton, biogas, pupuk, bahan kerajinan dan makanan ternak.

1.

Pengendalian Gulma Secara Kimia

Pengendalian secara kimiawi adalah mengenakan bahan-bahan kimia baik berupa cairan maupun padatan kepada bagian-bagian tanaman, bahan-bahan kimia atau obat-obatan tersebut disemprotkan dengan merang sebagai alat tradisional atau dengan alat penyemprot (sprayer)dan alat pedebu (duster) (Hermawan dkk 2010). Menurut Sukman (2002) bahan kimia atau obat-obatan yang dipergunakan sebagai pengendali gulma dikenal dengan nama herbisida. Sehingga menurutnya herbisida berarti suatu senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan gulma tanpa mengganggu tanaman pokok. Adapun keuntungan yang diberikan oleh herbisida adalah sebagai berikut (Sukman 2002):

1. Dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu 2. Dapat mengendalikan gulma di larikan tanaman 3. Dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman

4. Lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar 5. Dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh

6. Dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa. Disamping herbisida dapat memberikan kelebihan dan keuntungan, herbisida juga mempunyai kekurangan-kekurangan yang dapat merugikan. Kerugian itu antara lain adalah herbisida dapat menimbulkan: a) efek samping, b) spesies gulma yang resisten, c) polusi, dan d) residu dapat meracuni tanaman, pada pola pergiliran tanaman.


(21)

7 Pemilihan dan penggunaan jenis herbisida harus tepat dan sesuai dengan gulma yang ingin dikendalikan termasuk dengan tanaman yang di budidayakan. Oleh karenanya, menurut Sukman (2002) herbisida digolongkan menjadi beberapa macam. Penggolongan ini juga bertujuan untuk mempermudah pengenalan jenis herbisida yang sangat banyak jenisnya. Secara umum Sukman (2002) mengklasifikasikan herbisida menjadi empat, yaitu herbisida berdasarkan waktu aplikasi, herbisida berdasarkan aplikasi, herbisida berdasarkan molekul dan herbisida berdasarkan cara kerja.

a.

Herbisida Berdasarkan Waktu Aplikasi

Waktu aplikasi herbisida ditentukan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun gulma. Berdasarkan hal tersebut, maka Sukman (2002) membagi waktu aplikasi herbisida menjadi:

1. Pre plant, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat tanaman (crop) belum ditanam, tetapi tanah sudah diolah

2. Pre emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan sebelum benih tanaman (crop) atau biji gulma berkecambah. Pada perlakuan ini benih dari tanaman (crop) sudah ditanam dan gulma belum tumbuh

3. Post emergence, maksudnya herbisida diaplikasikan pada saat gulma dan tanaman sudah lewat stadia perkecambahan. Aplikasi herbisida bisa dilakukan pada waktu tanaman masih muda maupun pada waktu tanaman sudah tua.

b.

Herbisida Berdasarkan Cara Aplikasi

Herbisida yang berdasarkan cara aplikasi ini Sukman (2002) membaginya menjadi dua yaitu melalui daun dan melalui tanah. Herbisida yang diaplikasikan melalui daun dibagi dua yaitu bersifat kontak dan sistemik. Bersifat kontak berarti herbisida hanya mematikan bagian hijau tumbuhan yang terkena semprotan, sedangkan yang bersifat sistemik herbisida yang diberikan pada gulma setelah diserap oleh jaringan daun kemudian ditranslokasikan keseluruh bagian tumbuhan (gulma) tersebut. Herbisida yang diaplikasikan melalui tanah adalah herbisida yang bersifat sistemik. Herbisida ini disemprotkan ke tanah yang kemudian akan diserap oleh akar gulma dan ditranslokasikan bersama aliran transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun dan menghambat proses pada

photosystem II pada fotosíntesis.

Penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma di kebun tebu berbeda-beda, hal ini tergantung dari keadaan di lapangan. Beberapa diantaranya tergantung dari masa tanam tebu, jenis gulma dominan, jenis tebu yang dibudidayakan dan penutupan gulma. Ardhita (2009) menjelaskan bahwa pengendalian gulma secara kimia pada kebun tebu terdiri dari dua jenis, yaitu pengendalian sebelum gulma tumbuh (pre-emergence) dan pengendalian setelah gulma tumbuh (post-emergence).

Pengendalian gulma sebelum tumbuh (pre-emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat biji gulma atau rimpang dan tebu belum berkecambah atau tumbuh, dilakukan 3 hari setelah tanam untuk Plant Cane (PC), dan 3 hari setelah tebang untuk Ratoon Cane (RC). Setyamidjaja 1992 menerangkan bahwa PC atau yang bisa disebut juga tanaman pertama merupakan budidaya tebu yang ditanam dari bibit tebu baru, sehingga sebelum proses penanaman membutuhkan penyiapan lahan dan pengolahan tanah terlebih dahulu agar tanah memiliki kondisi yang baik dan siap untuk ditanami tebu. Sedangkan RC atau yang bisa disebut juga tanaman tebu keprasan adalah tanaman tebu yang berasal dari tanaman pertama setelah ditebang dan tunggul-tunggulnya dipelihara kembali sampai menghasilkan tunas-tunas baru menjadi tanaman baru. Pelaksanaan pre-emergence

pada kondisi lahan lembab dan bersih dari bongkahan-bongkahan dan sampah. Aplikasi pre-emergence paling optimum dilakukan pada rentang waktu antara pukul 04.00-09.00, karena pada waktu itu kondisi lahan masih lembab dan tidak ada angin yang bertiup.


(22)

8 Lebih lanjut Ardhita (2009) memaparkan bahwa pengendalian gulma setelah tumbuh ( post-emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tebu sudah tumbuh, dilakukan dengan menggunakan herbisida. Pelaksanaan pengendalian gulma secara post-emergence

untuk tanaman tebu biasanya dilakukan 1 – 2 kali. Namun demikian, jika kondisi tajuk tebu (kanopi) sudah saling menutup, maka post-emergence hanya dilakukan 1 kali. Pada kondisi tertentu dimana masih dijumpai gulma yang tumbuh atau gulma yang merambat sebagai akibat lebih awalnya aplikasi

post-emergence I atau kurang sempurnanya aplikasi post-emergence I, maka perlu dilaksanakan aplikasi post-emergence II. Post-emergence I dilakukan pada saat umur tanaman sekitar 2 bulan dan

post-emergence II dilakukan pada sekitar umur 4 bulan. Post-emergence baik I maupun II dilakukan dengan peralatan hand sprayer.

Menurut Ardhita (2009), herbisida banyak dijual di pasaran dengan berbagai nama dagang, akan tetapi yang terpenting dalam pemilihan suatu herbisida adalah bahan aktif yang terkandung di dalam herbisida tersebut. Baik pre-emergence ataupun post-emergence memerlukan dosis yang tepat pada setiap aplikasinya. Tabel di bawah ini menampilkan beberapa jenis herbisida, konsentrasi dan dosis yang sering digunakan untuk pengendalian gulma di perkebunan tebu :

Tabel 5. Jenis dan dosis herbisida

Waktu

Aplikasi Jenis Tebu

Umur Tanaman (hari)

Dosis (liter/ha)

Diuron Ametryn 2.4D Paraquat Sticker

Pre-emergence PC/RPC/RC 1-5 2.5 - 1.5 - -

Post-Emergence 1 PC/RPC/RC 75 - 2 1.5 0.5 0.5

Post-Emergence 2 PC/RPC/RC 120 - - - 1.5 0.5

(Sumber: Arditha 2009)

Tabel 6. Jenis dan konsentrasi herbisida untuk post emergence

Aplikasi

Jenis dan konsentrasi herbisida/200 liter air Ametry

n Paraquat 2-4 Diamin Stiker Post Emergence 1

Post Emergence 2

- Alternatif 1

- Alternatif 2 1

- 1

0.25 – 0.5

0.75 0.25 – 0.5

0.75

- 0.75

0.25

0.25 0.25


(23)

9 Jika berdasarkan jenis gulma dan waktu aplikasinya, herbisida dapat dikelompokkan seperti dalam tabel 7:

Tabel 7. Jenis herbisida dan gulma sasarannya

Jenis Herbisida

Sifat Herbisida Objek Pengendalian

Keterangan Sistemik Kontak Daun

Sempit

Daun Lebar

Alang-alang

Diuron √ - √ - - Pre-emergence

Ametrin √ - √ - - Post-emergence

2-4 D. Amine √ - - √ -

Pre/Post-emergence

Paraquat - √ √ √ - Post-emergence

Glyphosate √ - √ √ √ Post-emergence

(Sumber: Arditha 2009)

2.

Pengendalian Gulma Secara Mekanis

Menurut Sukman (2002) pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Dalam praktiknya dilakukan secara tradisional dengan tangan, alat sederhana sampai penggunaan alat berat yang lebih modern, sehingga pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan cara; pengolahan tanah, pencabutan, pembabatan, pembakaran dan penggenangan. Setyamidjaja (1992) menyatakan pengendalian secara mekanis secara tidak langsung ditujukan untuk menekan populasi gulma dengan cara mengolah tanahnya pada persiapan penanaman tebu. Dengan pengolahan tanah yang baik dimana tanah dihaluskan dan digemburkan serta pada kadar air tanah yang tepat, populasi gulma dan macam spesies gulma berubah dan dengan demikian

dapat mengurangi persaingan terhadap tanaman tebu. Pengolahan tanah dengan alat-alat seperti cangkul, bajak, garu, traktor dan sebagainya, pada

umumnya juga berfungsi untuk mengendalikan gulma. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik karena dapat memotong akar gulma sehingga gulma mati disebabkan potongan-potongan akar akan mengering sebelum pulih kembali serta mengganggu kondisi hara tersebut (Sukman 2002). Metode pengolahan tanah dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada suatu pertanaman. Hasil penelitian Pramuhadi (2005) menunjukkan bahwa penutupan gulma dan bobot kering gulma pada pertanaman tebu cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas penggaruan tanah, tetapi cenderung menurun dengan bertambahnya intensitas pembajakan tanah, terutama pembajakan dengan bajak singkal. Gulma kalah bersaing dengan tebu pada kondisi densitas dan tahanan penetrasi tanah yang rendah. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum yang menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi sebesar 1.2 – 1.3 g/cc dan 6.0 – 14.0 kgf/cm2

menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi tertekan.

Menurut Hermawan dkk (2010) penyiangan atau pemberantasan gulma secara mekanis dapat dilakukan dengan cara memotong, mencabut akar atau menutup gulma tersebut. Cara penyiangan dengan memotong atau mencabut akar gulma akan lebih mudah dan baik dilakukan bila gulma tersebut sudah cukup tinggi, sedangkan penyiangan dengan menutup gulma (covering) akan lebih


(24)

10 efektif dilakukan untuk gulma yang pendek. Sembiring (1981) menyatakan mengenai cara pemberantasan alang-alang/gulma secara mekanis bermaksud menekan pertumbuhan alang-alang dengan memotong-motong rhizom, mengangkatnya ke permukaan untuk dikeringkan, membenamkan potongan rhizom ke dalam tanah. Soeryani (1970) diacu dalam Sembiring (1981) menyatakan terpotong-potongnya rhizom dapat mematahkan dominasi pucuk (apical dominance) yang menyebabkan tumbuhnya mata tunas dan mengakibatkan berkurangnya cadangan makanan dalam rhizom. Perihal waktu pelaksanaannya Setyamidjaja (1992) menyatakan bahwa pengendalian gulma secara mekanis lebih tepatnya dimulai sejak tanaman berumur 3-4 minggu dan diulangi 1-2 kali pada waktu gulma telah tumbuh lebat.

C.

Alat dan Mesin Pengendalian Secara Kimia

Masalah pengendalian hama serangga dan penyakit tumbuhan menyebabkan perlunya sebagian petani dan pekebun buahan-buahan untuk menambahkan dalam alat usahatani mereka mesin-mesin untuk pemberian pestisida baik dalam bentuk debu maupun cairan (Smith dan Wilkes 1976). Berdasarkan pernyataan tersebut maka untuk mengaplikasikan bahan kimia termasuk herbisida diperlukan alat dan mesin. Menurut Daywin (1992), saat ini sudah ada dua jenis alat yaitu sprayer

dan duster, duster adalah alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk tepung atau butiran halus sedangkan sprayer merupakan alat yang digunakan untuk menghembuskan bahan kimia berbentuk cairan. Duster memiliki konstruksi yang lebih sederhana dibandingkan sprayer dan bagian-bagian yang bergerak lebih sedikit.

Sprayer pertama kali dikembangkan dan digunakan untuk pemberian fungisida dalam pengendalian penyakit tanaman anggur di sekitar Borduex, Perancis. Sprayer tangan untuk memberantas serangga dikembangkan antara tahun 1850 – 1860 oleh John Bean dari California, D. B. Smith dari New York dan Brandt bersaudara dari Minnesota. Sprayer dengan tenaga motor bensin dikembangkan sekitar tahun 1900. Penyemprot yang dipasang pada traktor belum dikembangkan sampai beberapa tahun setelah diperkenalkan traktor untuk tanaman larikan pada tahun 1925. Palang penyemprot dipasang pada pesawat udara pertama kali pada awal tahun 1940-an (Smith dan Wilkes 1976).

1.

Fungsi

Sprayer

Menurut Bronson dan Anderson dalam Smith (1990), fungsi utama dari suatu sprayer adalah memecah cairan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang efektif untuk didistribusikan secara merata di atas permukaan atau ruang yang harus dilindungi. Fungsi lain adalah mengatur banyaknya pestisida untuk menghindarkan pemberian yang berlebihan yang terbukti bersifat merusak atau merupakan pemborosan. Sedangkan tujuan utama dari penyemprotan obat anti hama dengan menggunakan

sprayer adalah untuk melindungi tanaman dari jasad pengganggu dalam batas-batas yang menguntungkan petani (Daywin et al 1992).

2.

Klasifikasi

Sprayer

Tenaga yang digunakan untuk menggerakkan pompa pada sprayer bisa berasal dari tenaga manusia sebagai operator, motor bakar bensin, ataupun putaran dari PTO suatu traktor. Menurut Smith (1990), sprayer dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan tenaga penggeraknya, yaitu:

a. Sprayer dengan penggerak tangan (hand operated sprayer), yang terdiri atas:

1) Hand sprayer, yaitu sprayer yang berukuran kecil dan khusus untuk keperluan di lapangan rumah, taman dan penyemprotan ringan lainnya.


(25)

11 2) Sprayer otomatis: yaitu sprayer dengan tekanan tinggi dimana tekanan diberikan atau

dibentuk melalui pemompaan sebelum penyemprotan dilakukan. Sprayer ini disebut juga comprassed air sprayer dengan tekanan dalam tangki sekitar 140 – 200 psi atau

10 – 14 kg/cm2 .

3) Sprayer semi otomatis, yaitu sprayer yang bentuk fisiknya menyerupai sprayer

otomatis tetapi tidak memerlukan tekanan tinggi. Pembentukan tekanan melalui pemompaan yang diberikan sebelum dan selama penyemprotan berlangsung.

4) Jenis-jenis lainnya seperti bucket sprayer, barrel sprayer, cheel barrow sprayer, slide pump sprayer. Pada tipe-tipe ini tangki dan pompa tidak tersusun dalam satu unit, melainkan saling terpisah.

b. Sprayer bermotor (power sprayer): menggunakan sumber tenaga penggerak dari motor bakar atau motor listrik atau PTO traktor. Ada beberapa tipe dari power sprayer yaitu

hydraulic sprayer sprayer, hydraulic-pneumatic sprayer: blower sprayer: aerosol generator.

Menurut Barus (2003) sprayer dibagi menjadi tiga jenis yaitu hand atau knapsack sprayer, motor sprayer dan CDA sprayer. Controlled Droplet Application (CDA) sprayer merupakan sprayer yang tidak menggunakan tekanan udara untuk menyebarkan larutan herbisida ke arah gulma sasaran, melainkan berdasarkan gaya gravitasi dan putaran piringan. Putaran piring digerakkan oleh dynamo dengan sumber tenaga baterai 12 volt. Putaran piringan sekitar 2000 rpm dan butiran yang keluar berbentuk seragam dengan ukuran 250 mikron. Ukuran butiran 250 mikron merupakan ukuran butiran yang optimal untuk membasahi permukaan gulma dan meresap ke dalam jaringan gulma.

Menurut Barus (2003) hand sprayer atau alat semprot punggung merupakan sprayer yang paling banyak digunakan di perkebunan. Prinsip kerjanya, larutan dikeluarkan dari tangki akibat adanya tekanan udara melalui tenaga pompa yang dihasilkan oleh gerakan tangan penyemprot, pada waktu gagang pompa digerakkan, larutan keluar dari tangki menuju tabung udara sehingga tekanan di dalam tabung meningkat. Keadaan ini menyebabkan larutan herbisida dipaksa keluar melalui klep dan selanjutnya diarahkan oleh nosel ke gulma sasaran. Pada penggunaan hand sprayer, tekanan udara yang dihasilkan harus diusahakan agar tetap konstan, tekanan pompa yang tidak konstan mengakibatkan butiran-butiran herbisida tidak seragam dari waktu ke waktu. Dari seluruh butiran yang dihasilkan, sekitar 80% berukuran 100 mikron. Hal ini menyebabkan terjadinya drift karena butiran yang kecil dan halus mudah terbawa oleh hembusan angin.

Menurut Hardjosentono dkk (2000) ada dua jenis alat penyemprot tangan/penyemprot gendong (hand sprayer) yang lebih dikenal di Indonesia yaitu penyemprot semi otomatis (lihat gambar 1a) dan penyemprot otomatis (lihat gambar 1b). Perbedaan kedua penyemprot tersebut terletak pada sistem pemompaan. Penyemprot semi otomatis menggunakan tipe pompa cairan (pompa isap), dalam pengoperasiannya pemompaan tambahan diperlukan terus-menerus selama pekerjaan penyemprotan berlangsung agar diperoleh kondisi semprotan yang konstan. Penyemprot otomatis menggunakan tipe pompa angin, dalam pengoperasiannya memerlukan sejumlah pemompaan untuk memasukkan angin (udara) sehingga terdapat cukup tekanan udara untuk menyemprotkan habis seluruh cairan yang ada di dalam tangki, tanpa pemompaan ulang.


(26)

12

(a) (b)

Gambar 1. Penyemprot tipe gendong (Hardjosentono 2000); (a) Tipe semi otomatis (b) Tipe otomatis

3.

Komponen Utama Sprayer

Berdasarkan Hardjosentono dkk (2000), penyemprot tipe gendong terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu tangki, pompa dan bagian pengabut.

a.

Bagian tangki (

reservoir

)

Tangki pada sprayer merupakan tempat atau wadah untuk menyimpan cairan yang akan disemprotkan. Adapun bahan yang biasa digunakan untuk membuat tangki adalah bahan plastik dan bahan logam. Bahan dari plastik memiliki keunggulan terutama dari segi dimensi yang lebih ringan dibandingkan bahan dari logam. Akan tetapi bahan dari logam memiliki keunggulan dalam penggunaannya, contohnya adalah kemudahan pada saat membersihkan tangki dari sisa-sisa bahan semprot (Smith dan Wilkes 1990).

Ukuran tangki berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, untuk hand sprayer kapasitas yang digunakan biasanya berkisar 10 sampai 17 liter. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan operator untuk menggendongnya, selain itu hand sprayer hanya diperuntukkan bagi tugas penyemprotan ringan dengan areal yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk penyemprotan bahan yang lebih luas digunakan boom sprayer yang dipasang pada traktor dengan tangki berkapasitas sampai 500 galon atau 1892 liter (Smith dan Wilkes 1990).

Menurut Hardjosentono dkk (2000), ada 2 macam bentuk tangki yang sangat popular, yaitu: 1) Bentuk bulat panjang atau silinder. Penyemprot otomatis menggunakan tangki berbentuk

silinder.

2) Bentuk pipih (penampang melintang), berbentuk elips, dan bagian belakang disesuaikan dengan lekuk punggung.

Pelengkap tambahan lainnya adalah manometer, komponen ini berfungsi sebagai penunjuk tekanan. Menurut Smith dan Wilkes (1990), manometer merupakan komponen pengukuran tekanan yang telah dikalibrasi dengan cermat dalam kisaran tekanan pompa, disediakan pada saluran pengeluaran untuk memandu operator dalam pengaturan tekanan untuk setiap pekerjaan dalam penyemprotan. Dengan demikian operator dapat menyesuaikan tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan ukuran diameter dan pola butiran semprot yang diinginkan. Bila operator menginginkan butiran yang halus, maka tekanan yang digunakan harus cukup kuat. Pada hand sprayer SWAN tipe A-14 kisaran tekanan pada


(27)

13 manometer adalah 0 sampai 10 kg/cm2, sedangkan tekanan yang dianjurkan oleh pihak produsen berkisar dari 4 sampai 6 kg/cm2 dan kisaran 6 sampai 10 kg/cm2 merupakan ambang maksimum tekanan yang diperbolehkan. Sehingga di manometer yang ada pada sprayer, kisaran tekanan 6 sampai 10 kg/cm2 diberi warna merah.

b.

Bagian Pompa (unit pompa)

Unit pompa merupakan komponen yang terpenting dari penyemprot tipe gendong karena dari konstruksinya dapat mengetahui mengenai perbedaan tipe pompa, cara kerja dan perbedaan bentuk alat penyemprot secara keseluruhannya. Pompa inilah yang dapat menghasilkan tekanan udara di dalam pipa komponen pemompa. Selanjutnya tekanan udara tersebut mendorong cairan pada tangki yang berisi larutan pestisida sehingga akan terdorong dengan cairan yang mengalir ke dalam pipa pengeluaran dan selanjutnya akan tersemprot keluar melalui nosel. Dekat atau jauhnya pancaran larutan nosel tersebut sangat tergantung pada besarnya tekanan pompa. Semakin kuat tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan jauh dan sebaliknya semakin lemah tekanan pompa maka pancaran larutan dari nosel akan dekat. Ada dua tipe pompa penyemprot gendong yang paling umum, yaitu tipe pompa angin atau pompa torak dan tipe pompa isap (tekan). Tipe pompa isap digunakan pada hand sprayer tipe semi otomatis, sedangkan tipe pompa torak digunakan pada hand sprayer tipe otomatis (Hardjosentono 2000).

Kampas (torak) merupakan salah satu komponen yang paling penting pada tipe pompa torak, torak berfungsi untuk menekan angin/udara di dalam tabung pompa. Smith dan Wilkes (1990) menyatakan pompa torak telah menjadi standar dalam industri penyemprotan selama bertahun-tahun karena penampilannya yang sangat baik dalam pemompaan hampir setiap bahan semprotan, termasuk bentuk pestisida serbuk yang dapat dibasahkan. Pompa tipe torak biasanya dipergunakan dalam kisaran keluaran kurang dari 2 – 8 galon per menit (7.6 – 50.3 liter per menit) dengan tekanan mencapai kisaran 400 psi (27.6 kg/cm2) atau lebih. Menurut Hardjosentono (2000), kampas (torak) pompa angin ada 2 macam yaitu torak bentuk mangkuk yang terbuat dari kulit (lihat gambar 2a) dan torak bentuk paking yang terbuat dari karet (lihat gambar 2b).

(a) (b)

Gambar 2. Jenis Torak pada pompa angin (Hardjosentono 2000)

c.

Bagian Pengabut (Unit Selang dan Pelengkap nosel)

Hardjosentono (2000) menyatakan unit komponen pengabut terdiri atas tiga bagian penting antara lain selang, laras penyembur dan kepala penyemprot.

1) Selang

Panjang selang penyembur rata-rata 1 meter. Salah satu ujung diberi mur penguat yang ditautkan pada pipa (keran utama) tangki, sedangkan ujung lainnya terpaut pada pegangan (handle) lengkap dengan keran semprot. Selang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan


(28)

14 terhadap tekanan dan lekukannya tidak mengakibatkan selang melipat. Untuk mengatasi masalah tersebut, bagian dalam keran diberi lapis (kain) atau kawat spiral baja yang halus. 2) Laras Penyembur

Panjang laras penyembur rata-rata 45-50 cm. Laras penyemprot terbuat dari logam campuran. 3) Kepala Penyemprot (nosel)

Nosel penyemprot merupakan komponen terpenting yang berfungsi untuk memecah cairan semprotan menjadi tetes-tetes dengan ukuran yang diinginkan dan memancarkannya ke permukaan yang harus disemprot (Smith dan Wilkes, 1990). Bentuk kepala penyemprot ada bermacam-ragam, tetapi hanya beberapa saja yang umum terdapat pada hand sprayer (lihat gambar 3), antara lain:

a) Jenis tunggal, terdapat dalam bentuk I dan L b) Jenis ganda, terdapat dalam bentuk U, T dan O

Gambar 3. Bentuk-bentuk nosel pada hand sprayer (Hardjosentono 2000)

D.

Alat dan Mesin Pengendalian Secara Mekanis

Menurut Smith dan Wilkes (1990) alat yang pertama yang digunakan untuk pengendalian gulma adalah cangkul. Di zaman dulu, hampir kebanyakan tanaman ditanam dengan cara disebar, dan cangkul merupakan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk membasmi gulma di antara tanaman. Hal ini diperkuat oleh Sukman (2002) yang menyatakan bahwa meskipun cangkul merupakan alat pengolah tanah tetapi dapat juga digunakan untuk pengendalian gulma terutama untuk pertanian di lahan kering, meskipun tidak keseluruhan akar gulma terpotong. Selain cangkul, alat sederhana lain yang digunakan untuk mengendalikan gulma secara mekanis adalah sabit, garpu, kored, lalandak dan garu dengan hewan penggerak. Alat pemotong berupa parang atau sabit/celurit biasanya hanya memotong bagian atas saja sehingga untuk pertanaman semusim kurang dianjurkan dan pemotongan biasa dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan semak belukar. Sedangkan lalandak alat pengendali gulma pada tanah sawah dan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik biasanya penggunaan lalandak disertai dengan pencabutan (Sukman 2002). Alat sederhana biasanya dikerjakan secara manual.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan banyaknya pengembangan dari alat sederhana telah banyak melahirkan alat modern/besar untuk mengendalikan gulma secara mekanis. Seperti halnya menurut Sukman (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan peralatan besar seperti kultivator dan

rotary weeder merupakan kemajuan besar menyusul penggunaan peralatan pengendalian gulma dengan tangan (manual weed control). Penggunaan kultivator dan rotary weeder untuk jalur tanaman yang lurus dengan jarak antar jalur sesuai dengan peralatan. Menurut Setyamidjadja (1992) pengendalian gulma secara mekanis dilaksanakan dengan menggunakan traktor yang menarik alat penyiang mekanis seperti weeder rake, multi-weeder dan spinner weeder. Cara ini dilaksanakan oleh perkebunan besar tebu terutama di areal tanaman yang luas dan dimaksudkan untuk mengatasi


(29)

15 kesulitan tenaga kerja atau karena mahalnya tenaga kerja untuk melaksanakan pengendalian gulma secara manual. Beberapa jenis alat penyiang disajikan pada gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. Beberapa jenis alat penyiang mekanis (Hermawan dkk 2010); (a) Tipe manual (b) Kultivator dengan taktor

Menurut Smith dan Wilkes (1990), sejarah berkembangnya kultivator pada akhir tahun 1880-an, kultivator mulai dioperasikan dengan ditarik oleh seekor kuda satu larik dengan berjalan dan dikendarai. Pada tahun 1900 kultivator ditarik dengan dua kuda dengan dikendarai. Kultivator tanaman larikan tanaman pertama yang digunakan dengan traktor adalah kultivator yang ditarik kuda yang disesuaikan dengan penyambungan di belakang traktor. B. F. Avery Company membuat kultivator yang dipasang pada traktor sekitar tahun 1918. Kultivator yang terpasang secara terpadu pertama pada traktor dikembangkan kira-kira tahun 1925 oleh International Harvester Company. Rangkaian alatnya diangkat dengan tuas-tuas yang dioperasikan secara manual. Kultivator dengan daya (penggerak) baru dikembangkan menjelang tahun 1933 (Smith dan Wilkes 1990).

Smith dan Wilkes (1990) menyatakan bahwa kultivasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang membutuhkan semacam alat yang akan mengaduk permukaan tanah sampai kedalaman yang sedikit saja dengan cara sedemikian rupa, hingga gulma yang masih kecil akan dibinasakan dan pertumbuhan tanaman budidaya dapat ditingkatkan. Dengan demikian tujuan kultivasi adalah (Smith dan Wilkes 1990) :

a) Menahan lengas dengan membasmi gulma, melonggarkan mulsa pada permukaan dan menahan air.

b) Mengembangkan bahan makan tanaman.

c) Aerasi tanah yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam tanah. d) Meningkatkan kegiatan jasad renik (mikroorganisme)

Sukman (2002) menerangkan lebih lanjut mengenai cara kerja kultivator dengan 2 cara yaitu memotong pucuk gulma seperti dalam pemangkasan rumput atau memecah ke sistem bawah tanah dan membenamkan bagian potongan ke dalam tanah.

Banyak tipe kultivator telah digunakan, mulai dari kultivator kecil yang digunakan dengan tangan yang cocok untuk kebun keluarga sampai kultivator besar untuk 8 larikan yang terpasang pada traktor yang mampu mengkultivasi 40.5 – 52.7 hektar per hari ( lihat gambar 5). Namun menurut Srivastava (1993) pada dasarnya terdapat dua tipe kultivator, yaitu field cultivator dan row crop cultivator. Field cultivator sering digunakan sebagai pengolahan tanah kedua untuk mempersiapkan persemaian. Field cultivator memiliki penampilan mirip dengan bajak chissel tetapi memiliki kemampuan kedalaman lebih dangkal. Row crop cultivator digunakan untuk perawatan dan pengendalian gulma selama periode pertumbuhan tanaman dalam baris. Field cultivator merupakan salah satu tipe penggandengan secara mounted atau pull type dengan roda untuk untuk mengatur


(30)

16 kedalaman pengolahan. Menurut The Illustrated Science and Invention Encyclopedia ada juga jenis kultivator lainnya yaitu rotary cultivator, yakni salah satu implemen traktor yang memiliki prinsip memotong tanah dan menghaluskan sehingga kondisinya sesuai untuk persemaian benih. Selain itu, kultivator dapat memotong tanaman yang tidak diinginkan menjadi mulch (campuran batang, daun dan jerami) kemudian dikomposkan sebagai pupuk untuk tanaman selanjutnya. Disebut rotary cultivator karena mempunyai rangkaian pisau bergulir.


(31)

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Bertempat di salah satu kebun tebu di Kelurahan Cimahpar Kecamatan Bogor Utara – Bogor.

B.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah:

1. Satu unit hand sprayer otomatis merk SWAN tipe A-14/I (gambar 6a) 2. Satu unit walking type cultivator (gambar 6b)

3. Kwadran sampel dengan ukuran 50 cm x 50 cm (gambar 7) 4. Meteran dan pita ukur

5. Stopwatch

6. Gelas ukur 7. Patok

a b

Gambar 6. (a) hand sprayer otomatis, (b) walking type cultivator

Gambar 7. Kwadran sampel

Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida dengan bahan aktif glyphosat dan paraquat.


(32)

18

glyphosate 0.6 liter dengan dosis 4.9 liter/ha (Sembiring 1981) dan paraquat 0.375 liter dengan dosis 1.5 liter/ha (Arditha 2009). Glyphosate merupakan jenis herbisida yang bersifat sistemik sedangkan

paraquat merupakan jenis herbisida yang bersifat kontak, keduanya dapat mengendalikan jenis gulma daun sempit dan lebar.

C.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perlakuan yang terdiri dari satu atau lebih aplikasi pengendalian gulma, aplikasi herbisida dilakukan maksimal satu kali setiap perlakuan dengan tujuan mengurangi dampak negatif penggunaan bahan kimia terhadap lingkungan dan lainnya. Beberapa perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Areal tebu dengan gulma dominan alang-alang

1) K (K)

2) K 2 minggu M (KM)

3) K 2 minggu M 2 minggu M (KMM)

4) M 2 minggu K (MK)

5) M 2 minggu K 2 minggu M (MKM)

6) M (M)

7) M 2 minggu M (MM)

8) M 2 minggu M 2 minggu K (MMK)

9) M 2 minggu M 2 minggu M (MMM)

10) Ko (Ko1)

11) P (P)

Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida berbahan aktif glyphosate

2.

Areal tebu dengan gulma dominan rerumputan

1) K (K)

2) K 2 minggu M (KM)

3) K 2 minggu M 2 minggu M (KMM)

4) M 2 minggu K (MK)

5) M 2 minggu K 2 minggu M (MKM)

6) M (M)

7) M 2 minggu M (MM)

8) M 2 minggu M 2 minggu K (MMK)

9) M 2 minggu M 2 minggu M (MMM)

10) Ko (Ko)

Bahan kimia yang digunakan adalah herbisida berbahan aktif paraquat

Keterangan:

K = Metoda tunggal kimia dengan herbisida yang disemprotkan oleh handsprayer otomatis M = Metoda tunggal mekanis dengan walking type cultivator (Yanmar Te 550 n)

MK = Metoda kombinasi mekanisdan kimia KM = Metoda kombinasi kimia dan mekanis MM = Metoda ganda mekanis


(33)

19 KMM = Metoda kombinasi kimia dan ganda mekanis

MMK = Metoda kombinasi ganda mekanis dan kimia MMM = Metoda triple mekanis

MKM = Metoda kombinasi ganda mekanisyang diselingi kimia Ko = Kontrol (tanpa pengendalian)

P = Metoda tunggal dengan mesin potong rumput

Jumlah perlakuan yang diaplikasikan sebanyak 10 metoda dan satu metoda tambahan yaitu perlakuan dengan mesin rumput yang diaplikasikan pada areal tebu dengan gulma dominan alang-alang. Metoda-metoda tersebut dilaksanakan pada lahan tebu dengan umur tanaman 10 minggu dan sudah ditumbuhi gulma. Gulma sasaran yang dikendalikan adalah alang-alang dan rerumputan pada lokasi yang berbeda sehingga 11 perlakuan untuk gulma alang-alang dan 10 perlakuan untuk gulma rerumputan. Setiap perlakuan diaplikasikan di antara baris tanaman tebu sepanjang 10 m secara acak dengan ulangan sebanyak dua kali, sehingga seluruhnya berjumlah 42 petak percobaan/daerah aplikasi.

D.

Tahapan Penelitian

Proses dan tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 8. Tahapan penelitian Mulai

Analisis vegetasi

Aplikasi perlakuan

Pengolahan data Pengamatan dan pengukuran

Selesai Pemetaan plot perlakuan


(34)

20

1.

Analisis Vegetasi Gulma

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui jenis gulma yang dominan di areal, dilakukan sebelum perlakuan yaitu pada 0 minggu setelah aplikasi (0 MSA) dan di akhir pengamatan selesai (12 MSA).

Metode analisis yang digunakan adalah metode kuadrat. Pengamatan dilakukan dalam distribusi petak contoh secara sampling acak tidak langsung. Parameter yang diamati dan diukur adalah dominansi dan frekuensi. Dari dua parameter tersebut didapatkan Summed Dominance Ratio

(SDR) atau perbandingan nilai penting, sehingga dapat diketahui hubungan jumlah dominansi suatu jenis gulma dengan jenis gulma lainnya dalam satu komunitas (Tjitrodoedirdjo 1984). Identifikasi mengenai jenis atau nama gulma dengan menggunakan buku panduan identifikasi gulma. Penghitungan SDR dengan cara berikut:

Dominansi nisbi suatu jenis = (1)

Frekuensi nisbi suatu jenis = % (2)

Nilai penting suatu jenis = Dominansi nisbi + frekuensi nisbi (3)

SDR suatu jenis = (4)

2.

Pemetaan Plot Perlakuan

Pemetaan plot lebih ditekankan pada penentuan daerah aplikasi dalam melakukan suatu perlakuan. Pada pengamatan pendahuluan telah ditentukan tiga areal/petak yang telah ditumbuhi tebu yang secara visual 2 areal (II dan III) banyak ditumbuhi alang-alang dan satu (I) areal lainnya banyak ditumbuhi rerumputan (gambar 9). Pada masing-masing areal tersebut akan ditentukan suatu daerah aplikasi percobaan yaitu di antara barisan tebu dengan panjang 10 m dan batasan lebar dari lembah guludan tebu yang satu ke lembah guludan tebu yang lainnya. Jumlah daerah aplikasi disesuaikan dengan jumlah perlakuan dan penentuannya dilakukan secara acak.


(35)

21 Gambar 9. Layout areal tebu untuk percobaan

Hasil dari pengacakan perlakuan terhadap daerah aplikasi atau nomor plot ditunjukkan pada tabel di bawah ini:


(36)

22

3.

Aplikasi Perlakuan

Sebelum aplikasi perlakuan, semua alat dan bahan sudah disiapkan serta daerah aplikasi sudah ditentukan. Semua perlakuan dilakukan pada pagi hari terutama aplikasi kimiadan diperkirakan tidak turun hujan pada saat penyemprotan serta selama enam jam setelah penyemprotan. Beberapa aplikasi dilakukan setiap 2 minggu sekali berdasarkan komposisi perlakuan yang sudah ditentukan. Adapun pembatas-pembatas yang kemudian digunakan adalah: aplikasi penyemprotan/kimia dilakukan dengan ketinggian semprot yang minimal, tekanan yang maksimal dan nosel yang jumlah lubangnya paling sedikit. Ketiga faktor ini akan dapat menghasilkan taraf keseragaman butiran semprot yang optimal, berdasarkan hasil penelitian Susanto (2001) nosel dari tanah setinggi 50 cm dengan tekanan 8 kg/cm2 dan nosel yang memiliki satu lubang. Selama aplikasi, nosel dipertahankan setinggi 50 cm dari tanah atau kira-kira setinggi lutut dan tekanan dipertahankan antara 4 – 8 kg/cm2. Sehingga, ketika dipertengahan aplikasi tekanannya kurang dari 4 kg/cm2, maka hand sprayer dipompa kembali hingga tekanannya mencapai 8 kg/cm2. Aplikasi mekanis dilakukan dengan mengoperasikan walking type cultivator Yanmar Te 550 n dengan kecepatan gigi dua dan tingkat gas maksimal/penuh. Hal ini dipilih setelah dilakukan percobaan, apabila kecepatan gigi tiga dan empat mesin cultivator akan mati sedangkan pada kecepatan gigi satu putaran rotor pisau lebih rendah daripada posisi kecepatan gigi dua. Pisau rotary walking type cultivator dipasang pada hexagon rotor dan dibagian belakang walking type cultivator dipasangkan Bar Resistance H.

4.

Pengamatan dan Pengukuran

Pengamatan dan pengukuran dimulai sebelum aplikasi dan setiap dua minggu, meliputi pengamatan pada tanaman tebu dan gulma selama 12 minggu. Parameter yang diukur meliputi :

a.

Penutupan Gulma

Pengukuran dilakukan secara visual pada setiap alur tanaman yang disebabkan oleh gulma

re-growth (pertumbuhan gulma kembali) dan new-growth (gulma baru). Selang penutupan gulma antara 0% - 100% yang diamati pada 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MSA. Pengukuran penutupan gulma dilakukan dengan cara mengambil sampel secara acak dengan menggunakan kwadran sampel berukuran 50 cm x 50 cm. Pada kwadran sampel tersebut terdapat petakan-petakan berukuran 5 cm x 5 cm, sehingga dalam kwadran sampel terdapat 100 petak. Petak yang terisi gulma (lebih dari setengahnya) dihitung sebagai petak terisi gulma, seperti yang diilustrasikan dalam gambar 10 berikut ini (satuan dalam cm).


(37)

23 Penutupan gulma diukur 2 kali ulangan setiap perlakuan. Evaluasi hasil pengendalian dilakukan dua minggu setelah aplikasi dilakukan. Evaluasi dilakukan dengan cara menghitung jumlah gulma yang masih tumbuh setelah pengendalian dengan menggunakan kwadran. Dari hasil evaluasi hasil ini dapat dihitung efisiensi pengendalian dengan persamaan (Hermawan dkk, 2010):

Ef = x 100%

(5)

dimana: Ef = efisiensi pengendalian gulma (%) nawal = jumlah gulma awal pengukuran nakhir = jumlah gulma akhir pengukuran

b.

Tinggi Gulma

Dalam kwadran sampel diukur juga mengenai tinggi gulma. Pengukuran tinggi dengan menggunakan mistar mulai dari dasar tanah hingga puncak gulma dengan mengambil satu jenis gulma tertinggi dalam petak kwadran. Tinggi gulma diukur 5 kali ulangan setiap kwadran sampel/pengukuran penutupan gulma.

c.

Kerusakan Tanaman Tebu

Tingkat kerusakan tebu meliputi keracunan disebabkan oleh aplikasi herbisida dan cacat oleh aplikasi cultivator, bagian yang diamati adalah daun dan batang tebu. Keracunan ditandai dengan adanya perubahan warna secara tidak normal pada bagian-bagian tebu. Cacat tebu ditandai dengan rusaknya bagian-bagian tebu secara fisik.

5.

Pengolahan Data

Semua data yang didapatkan kemudian diolah dengan merata-ratakan dari beberapa ulangan pengukuran yang dilakukan. Penghitungan rerata dilakukan pada hasil pengaruh setiap perlakuan yaitu penutupan gulma dan tinggi gulma. Penghitungan SDR dengan menggunakan persamaan (4) efisiensi pengendalian dengan menggunakan persamaan (5) dan kapasitas kerja dengan menggunakan persamaan berikut:

KLE = (6)

KLT = 0.36 x lk x Vt (7)

Vt = (8)

E = (9) Keterangan:

KLE : kapasitas lapang ekeftif (ha/jam) KLT : kapasitas lapang teoritis (ha/jam) L : luas lahan yang diolah (m2)

Wk : waktu kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan lahan terolah (menit)


(1)

68 Lampiran 19. Data kapasitas kerja penyemprotan (K)

Perlakuan K paraquat

Luasan (m2)

Waktu (detik)

Perlakuan K glyphosate

Luasan (m2)

Waktu (detik)

K 11.4 113 K 13.2 109

12 147 13.5 120

KM 11.2 163 KM 11.5 124

11.5 145 11 161

KMM 10 112 KMM 17.7 148

11 152 11.3 160

MK 12.5 182 MK 13.6 149

8.2 162 12.5 161

MMK 11.3 178 MMK 15.5 231

11 194 12.5 103

MKM 10.8 125 MKM 11.8 171

12.7 159 13.9 130

Rata-rata 11.13 152.67 Rata-rata 13.17 147.25

Rata-rata penyemprotan 12.15 m2 149.96 detik

Kapasitas Lapang Teoritis (KLT) = = = 12.34 = 12.34 = 34.28 jam/ha Asumsi efisiensi 80%

Kapasitas Lapang Efektif (KLE) = 34.28 jam/ha × 0.8 = 27.43 jam/ha


(2)

69 Lampiran 20. Kecepatan maju cultivator pada areal dominan alang-alang

No Plot

M aplikasi ke-1 M aplikasi ke-2 M aplikasi ke-3

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

Lintasan 3 (km/jam)

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

Lintasan 3 (km/jam)

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

Lintasan 3 (km/jam)

II.6 0.29 0.25 0.39 - - - -

III.6 0.27 0.41 - 0.46 0.39 - - - -

III.1b 0.33 0.35 - 0.46 0.46 - 0.33 0.33 -

III.5 0.33 0.26 - 0.36 0.31 - - - -

III.1a 0.19 0.49 - - - -

II.2a 0.24 0.41 - - - - 0.36 0.29 -

II.5 - - - 0.35 0.32 0.39 - - -

II.3a - - - 0.33 0.22 0.33 0.19 0.24 0.21

III.3a - - - 0.26 0.49 - 0.44 0.44 -

II.10 - - - 0.30 0.39 - - - -

III.4 - - - 0.27 0.35 - - - -

III.2b - - - 0.29 0.37 - - - -

II.3b - - - 0.28 0.38 - 0.32 0.34 -

II.7 - - - 0.40 0.39 -


(3)

70 Lampiran 21. Kecepatan maju cultivator pada areal dominan rerumputan

No Plot

M aplikasi ke-1 M aplikasi ke-2 M aplikasi ke-3

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

Lintasan 1 (km/jam)

Lintasan 2 (km/jam)

I.9b 0.32 0.29 - - - -

I.8b 0.33 0.54 0.40 0.55 - -

I.2b 0.21 0.47 0.64 0.64 0.34 0.35

I.4b 0.27 0.30 0.48 0.63 - -

I.3a 0.26 0.43 - - - -

I.5b 0.29 0.36 - - - -

I.1b 0.21 0.30 - - 0.27 0.37

I.5a 0.33 0.51 - - 0.34 0.41

I.8a 0.48 0.48 - - - -

I.9a - - 0.41 0.40 0.52 0.82

I.6a - - 0.40 0.59 - -

I.2a - - 0.18 0.28 - -

I.3b - - 0.17 0.35 - -

I.7a - - 0.12 0.26 0.32 0.37

I.6b - - 0.14 0.27 0.46 0.37


(4)

71 Lampiran 22. Kapasitas lapangan aplikasi mekanis di areal dominan alang-alang

No plot Dalam perlakuan Vt (m/detik) A (m2)

Wk (menit) KLT (ha/jam) KLE (ha/jam) Efisiensi (%)

II.6 M 0.0862 23.600 12.6167 0.0186 0.0112 60.2718

III.6 MM 0.0945 20.000 8.5333 0.0204 0.0141 68.8872

III.1b MMM 0.0953 21.600 8.2833 0.0206 0.0156 75.9943

III.5 MMK 0.0820 22.500 8.9000 0.0177 0.0152 85.6912

III.1a MK 0.0949 19.500 9.3500 0.0205 0.0125 61.0146

II.2a MKM 0.0908 18.800 8.5167 0.0196 0.0132 67.5271

Rata-rata aplikasi

pertama 0.0906 21.000 9.3667 0.0196 0.0136 69.8977

No plot Dalam perlakuan Vt (m/detik) A (m2)

Wk (menit) KLT (ha/jam) KLE (ha/jam) Efisiensi (%)

II.5 MM 0.0978 23.000 10.8333 0.0211 0.0127 60.3245

III.6 MM 0.1185 20.000 7.5167 0.0256 0.0160 62.3973

III.3a MMM 0.1035 19.700 8.1667 0.0224 0.0145 64.7166

III.1b MMM 0.1282 21.600 6.6500 0.0277 0.0195 70.3759

III.5 MMK 0.0930 22.500 8.1333 0.0201 0.0166 82.6432

II.10 MMK 0.0953 19.500 7.6667 0.0206 0.0153 74.1121

Rata-rata aplikasi

kedua 0.1060 21.050 8.1611 0.0229 0.0158 69.0949

III.4 KM 0.0859 18.500 9.1833 0.0185 0.0121 65.1767

III.2b KM 0.0919 18.000 9.0333 0.0198 0.0120 60.2495

II.3a KMM 0.0818 24.700 10.5167 0.0177 0.0141 79.7474

II.3b KMM 0.0923 18.300 8.3667 0.0199 0.0131 65.8584

Rata-rata aplikasi

kedua 0.0879 19.8750 9.2750 0.0190 0.0128 67.7580

No plot Dalam perlakuan Vt (m/detik) A (m2)

Wk (menit) KLT (ha/jam) KLE (ha/jam) Efisiensi (%)

II.3a KMM 0.0594 24.700 13.0500 0.0128 0.0114 88.5456

II.3b KMM 0.0914 18.300 8.1167 0.0197 0.0135 68.5080

Rata-rata aplikasi

ketiga 0.0754 21.5000 10.5833 0.0163 0.0124 78.5268

II.2a MKM 0.0902 18.800 8.2000 0.0195 0.0138 70.6399

II.7 MKM 0.1093 20.900 7.6667 0.0236 0.0164 69.2694

Rata-rata aplikasi

ketiga 0.0997 19.8500 7.9333 0.0215 0.0151 69.9547

III.3a MMM 0.1227 19.700 7.4167 0.0265 0.0159 60.1307

III.1b MMM 0.0913 21.600 7.6333 0.0197 0.0170 86.0681

Rata-rata aplikasi


(5)

72 Lampiran 23. Kapasitas lapangan aplikasi mekanis di areal dominan rerumputan

No plot

Dalam perlakuan

Vt (m/detik)

A (m2)

Wk (menit)

KLT (ha/jam)

KLE (ha/jam)

Efisiensi (%)

I.9b M 0.0850 16.500 6.1500 0.0184 0.0161 87.7130

I.8b MM 0.1209 18.800 4.8000 0.0261 0.0235 89.9714

I.2b MMM 0.0944 17.500 6.2167 0.0204 0.0169 82.8678

I.4b MMK 0.0802 18.000 6.5500 0.0173 0.0165 95.2000

I.3a MK 0.0955 19.500 6.1833 0.0206 0.0189 91.7336

I.5b MK 0.0892 15.200 6.2167 0.0193 0.0147 76.1517

I.1b MKM 0.0714 19.700 7.9667 0.0154 0.0148 96.1646

I.5a MKM 0.1163 17.800 5.2667 0.0251 0.0203 80.7280

Rata-rata aplikasi

pertama 0.0941 17.8750 6.1688 0.0203 0.0177 87.5663

No plot

Dalam perlakuan

Vt (m/detik)

A (m2)

Wk (menit)

KLT (ha/jam)

KLE (ha/jam)

Efisiensi (%)

I.8a MM 0.1333 19.000 4.9500 0.0288 0.0230 79.9663

I.8b MM 0.1319 18.800 4.6500 0.0285 0.0243 85.1206

I.9a MMM 0.1137 20.400 5.1500 0.0245 0.0238 96.8160

I.2b MMM 0.1786 17.500 4.3000 0.0386 0.0244 63.3075

I.6a MMK 0.1375 18.300 4.2667 0.0297 0.0257 86.6334

I.4b MMK 0.1544 18.000 4.3000 0.0333 0.0251 75.3171

Rata-rata aplikasi

kedua 0.1416 18.6667 4.6028 0.0306 0.0244 81.1935

I.2a KM 0.0644 18.200 8.0667 0.0139 0.0135 97.3160

I.3b KM 0.0732 18.500 7.3167 0.0158 0.0152 95.9838

I.7a KMM 0.0532 17.000 9.6000 0.0115 0.0106 92.3949

I.6b KMM 0.0574 18.000 9.0500 0.0124 0.0119 96.2624

Rata-rata aplikasi


(6)

73 Lampiran 23. Kapasitas lapangan aplikasi mekanisdi areal dominan rerumputan (lanjutan)

No plot

Dalam perlakuan

Vt (m/detik)

A (m2)

Wk (menit)

KLT (ha/jam)

KLE (ha/jam)

Efisiensi (%)

I.7a KMM 0.0961 17.000 5.6000 0.0208 0.0182 87.7791

I.6b KMM 0.1156 18.000 4.9667 0.0250 0.0217 87.0489

Rata-rata aplikasi

ketiga 0.1059 17.5000 5.2833 0.0229 0.0200 87.4140

I.1b MKM 0.0891 19.700 6.3167 0.0193 0.0187 97.1855

I.5a MKM 0.1040 17.800 5.4167 0.0225 0.0197 87.7813

Rata-rata aplikasi

ketiga 0.0966 18.7500 5.8667 0.0209 0.0192 92.4834

I.9a MMM 0.1861 20.400 4.1667 0.0402 0.0294 73.0789

I.2b MMM 0.0948 17.500 5.3500 0.0205 0.0196 95.8399

Rata-rata aplikasi