Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini akan dikaji latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, spesifikasi produk, dan defenisi operasional.

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumaji 2003: 31 menyebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam IPA atau sains dalam arti sempit sebagai disiplin ilmu terdiri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi, meteorologi, dan fisika; sedangkan life sciences meliputi ilmu biologi, zoologi, dan fisiologi. IPA sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tak ada habis-habisnya. Dalam lingkup pendidikan formal manusia mulai mempelajari ilmu tersebut sejak memasuki taman kanak-kanak hingga ia tumbuh dewasa dan masuk perguruan tinggi. Ilmu alam yang diajarkan kepada seseorang di taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi memilki tingkatannya sendiri-sendiri dan telah disesuaikan dengan usia perkembangan manusia. Pada tahapan Sekolah Dasar SD, IPA mulai diajarkan sejak anak berada di bangku kelas I, hingga akhirnya siswa berada pada tingkat akhir SD kelas VI. Dalam klasifikasi pendidikan ini, para pendidik memberikan bahan ajar pengetahuan alam yang sifatnya berada di luar bumi atau yang kerap disebut dengan luar angkasa. Siswa kelas VI SD yang pada tahun ajaran 20142015 masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP tahun 2006, terdapat kompetensi dasar mendeskripsikan sistem tata surya dan posisi penyusunan tata surya. Piaget dalam Suparno 2001: 88, menyebutkan bahwa tahap operasi formal formal operations merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif. Ini terjadi pada umur sekitar 11 atau 12 tahun ke atas. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoretis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Siswa kelas VI SD rata-rata juga berada dalam tahapan tersebut, pada usia ini mereka sudah mampu berpikir secara abstrak dalam memahami ilmu yang diberikan kepadanya. Namun dalam kenyataan di lapangan banyak siswa kelas VI SD yang masih membutuhkan hal konkret untuk memahami suatu materi walaupun usia mereka sudah berada di tahap operasi formal. Dari pihak pendidik, guru dituntut untuk menemukan teknis pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak agar pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Kenyataan di lapangan justru guru yang masih kesulitan untuk menemukan teknis pembelajaran yang tepat, hal ini dibuktikan dengan masih terdapat kegiatan belajar mengajar yang belum bermakna bagi siswa. Belum maksimalnya kegiatan belajar mengajar ini merupakan salah satu faktor penyebab belum mampunya seorang siswa dalam memahami materi secara maksimal. Contoh kasus di atas tengah dialami oleh siswa kelas VI di SD N Karangmloko 2. Berdasarkan hasil observasi pada akhir bulan Oktober 2014 dan kegiatan wawancara bersama guru kelas pada pertengahan bulan November 2014, ditemukan bahwa guru masih menggunakan model pembelajaran secara konvensional saat mengajar mata pelajaran IPA. Guru jarang untuk memberikan gambaran secara nyata media pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar seperti ini merupakan salah satu contoh penyebab pembelajaran menjadi belum bermakna bagi siswa. Hal ini menjadi dasar pemikiran peneliti untuk menciptakan media pembelajaran yang lebih konkret demi membantu memecahkan masalah yang saat ini terjadi. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, peneliti terlebih dahulu harus menganalisis kebutuhan siswa melalui wawancara dan pengisian angket yang dilakukan pada pertengahan bulan Januari 2014. Kegiatan ini melibatkan 6 orang siswa kelas VI, yang mengaku bahwa guru jarang sekali menggunakan media pembelajaran yang inovatif saat membawakan materi mata pelajaran IPA. Keenam narasumber ini secara tersirat menginginkan suatu hal yang dapat mengatasi suatu masalah yang mereka rasakan saat ini. Kegiatan ini memunculkan ide untuk mengadakan media pembelajaran video pada mata pelajaran IPA. Sebagian besar siswa tersebut menginginkan materi tata surya dikemas dalam bentuk media pembelajaran video. Para narasumber meyakini bahwa melalui video, mereka dapat menjumpai atau menemui materi secara lebih nyata di mana selama ini mereka merasakan kesulitan untuk menjumpainya secara langsung. Peneliti juga melakukan wawancara kepada kepala sekolah SD N Karangmloko 2 pada pertengahan bulan Januari 2015. Wawancara ini membahas mengenai mekanisme kegiatan belajar mengajar IPA di kelas VI. Beliau memaparkan bahwa sampai saat ini masih banyak para tenaga pengajar yang belum mengoptimalkan peranan suatu media pembelajaran dan cenderung menggunakan model pengajaran konvensional. Kepala sekolah justru memberi pengakuan bahwa guru di sekolah ini akan menggunakan media pembelajaran jika beliau-beliau dinilai dalam kemampuan mengajarnya. Untuk mengkonfirmasi keterangan dari 6 orang siswa saat melakukan kegiatan analisis kebutuhan siswa, peneliti mengajukan pertanyaan kepada kedua tenaga pengajar ini dalam waktu yang bersamaan. Pertanyaan yang dilontarkan peneliti mengenai ketersediaan sarana yang dimiliki sekolah untuk mendukung pengadaan media pembelajaran video pada mata pelajaran IPA di kelas VI. Kedua narasumber ini menyebutkan bahwa sekolah ini memiliki sarana yang cukup lengkap untuk mendukung pengadaan media pembelajaran video proyektor, pengeras suara, komputer jinjing atau laptop, dan layar proyektor. Berkat kelengkapan sarana pendukung dan tanggapan positif yang berikan oleh para tenaga pengajar ini, maka beliau-beliau menyetujui pengadaan video sebagai media pembelajaran mata pelajaran IPA. Pemilihan materi dari para tenaga pengajar tersebut ternyata mengerucut pada materi tata surya, hal ini senada dengan jawaban dari 6 siswa yang telah diwawancarai sebelumnnya. Kepala sekolah dan guru kelas VI turut memberi argumen tambahan masing-masing. Kepala sekolah menuturkan bahwa media pembelajaran video sangat diperlukan untuk memperjelas materi yang diberikan kepada siswa dan membuat mereka tidak cepat jenuh saat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Di sisi lain guru memberi tambahan bahwa pemilihan materi tata surya sangat tepat, beliau memandang melalui media pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil wawancara kepada kepala sekolah, guru kelas VI, dan 6 orang siswa di atas, peneliti memandang perlu adanya video sebagai media pembelajaran mata pelajaran IPA kelas VI di sekolah dasar. Pengadaan video sebagai media pembelajaran ini diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang lebih bermakna pada mata pelajaran IPA kelas VI di lingkup sekolah dasar. Pengembangan media pembelajaran video semakin selaras dengan hasil penggalian potensi di SD N Karangmloko 2, yang sekaligus sebagai sampel dalam penelitian ini. Potensi tersebut berupa adanya sarana yang mendukung penggunaan media pembelajaran dalam bentuk video di sekolah ini, yaitu: proyektor, pengeras suara, komputer jinjing atau laptop, dan layar proyektor. Sebelum mengetahui apakah media pembelajaran tersebut dapat membantu dalam memecahkan masalah selama ini, peneliti terlebih dahulu harus mengetahui kualitas video sebagai media pembelajaran. Kualitas media pembelajaran yang akan disusun peneliti harus dibuktikan secara rasional, sehingga media yang baru tercipta ini mempunyai dasar dan dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya. Dengan demikian peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Media Pembelajaran Video pada Mata Pelajaran IPA Materi Tata Surya Kelas VI Sekolah Dasar.

1.2 Batasan Masalah