BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan bulan Maret 1995, Indonesia masih menggunakan WvK Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847-23 atau Kitab Undang-
undang Hukum Dagang KUHD dalam pengaturan Perseroan Terbatas PT seperti yang diatur dalam Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36
sampai dengan 56 dan perubahannya dilakukan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971. Pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas Lembaran Negara Republik Indonesia LNRI Nomor 13 Tahun 1995 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia TLNRI Nomor 3678. Setelah berusia kurang lebih 12 tahun, pada tanggal 16 Agustus 2007 diberlakukan Undang-undang
Perseroan Terbatas yang baru untuk menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, yaitu dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
tentang Perseroan Terbatas, LNRI Nomor 106 Tahun 2007 dan TLNRI Nomor 4756.
1
a. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu Alasan dilakukan penggantian UUPT tersebut sebagaimana tersebut
dalam Konsiderans Menimbang UUPT Nomor 40 Tahun 2007, yaitu :
1
Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Bandung : CV. Mandar Maju, 2008, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
b. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian
nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam mengahadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang
perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
c. Bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan
perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
d. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
lain.
Selanjutnya dalam Penjelasan UUPT tersebut ditegaskan bahwa : a.
Dalam perkembangannya ketentuan dalam undang-undang tersebut UUPT Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah
berkembang begitu pesat, khususnya pada era globalisasi.
b. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian
hukum. c.
Tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik good corporate governance.
2
Dengan perspektif seperti tersebut di atas, diharapakan UUPT ini bersifat akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif untuk mendorong
berbagai bentuk kegiatan ekonomi dan dapat menumbuhkan kegiatan usaha yang saling terkait dengan bidang lainnya. Fungsi hukum saat ini haruslah
akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif yang maksudnya : a
akomodatif, yang berarti hukum dapat mengakomodasikan semua kepentingan masyarakat, jangan sampai terjadi hukum membelenggu dan
2
Penjelasan Umum UUPT Nomor 40 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
memasung kreativitas masyarakat, dalam segala aspek hidup dan kehidupan.
b fasilitatif, yang berarti hukum dapat memfasilitasi semua kepentingan atau
kebutuhan masyarakat, dan selalu ada jalan bagi masyarakat ketika mengalami kebuntuan dalam rangka memenuhi segala kepentingan dan
kebutuhannya. c
antisipatif, yang berarti hukum dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin timbul di kemudian hari, yang pada saat ini belum tentu
terjadi. d
preskriftif, yang berarti hukum dapat meramalkan dan mengatur suatu kejadian yang mungkin terjadi, dan hukum akan memberikan arah ke
sesuatu yang akan terjadi tersebut.
3
Apabila dibuatkan kategorisasi, maka dalam UUPT Nomor 40 Tahun 2007 ini mengandung ketentuan-ketentuan yang sama sekali baru yang
sebelumnya tidak diatur dalam UUPT Nomor 1 Tahun 1995, misalnya : a
Pasal 30 mengenai pengumuman perseroan dalam Tambahan Negara Republik Indonesia menjadi tugas Menteri.
b Pasal 74, menegaskan bahwa perseroan terbatas dalam menjalankan
kegiatan usahanya untuk bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
c Pasal 77, penyelenggaraan RUPS selain dapat dilakukan di tempat
kedudukan perseroan atau di tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya, RUPS dapat juga dilakukan melalui telekonfrensi, video
3
Habib Adjie, Op.cit. Hal 3.
Universitas Sumatera Utara
konfrensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta
berpartisipasi dalam rapat. d
Pasal 126, di samping mengatur mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dikenal juga Pemisahan Perusahaan perseroan.
e Kemudian dalam pasal 156 dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan
UUPT akan dibentuk tim ahli hukum perseroan, yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri berkenaan dengan perseroan.
4
Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa UUPT yang baru yaitu UUPT Nomor 40 Tahun 2007 mewajibkan bahwa perseroan terbatas yang
dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Hal ini diatur dalam Pasal 74 UUPT yang berbunyi : Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Pasal 74 1
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
2 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3 Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5
4
Ibid, hal 4-6.
5
UUPT Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 74.
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya, secara keseluruhan kalangan dunia usaha menanggapi dengan baik lahirnya UUPT yang baru ini yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007,
hanya saja kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal dalam UU ini yaitu Pasal 74. Tatkala kegiatan Corporate Social Responsibility
CSR yang diwajibkan dalam Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sontak menuai protes. Pasalnya, aktivitas CSR
diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan dan bukannya “paksaan”. Sehingga banyak kalangan pengusaha menganggap Pasal 74 ini seharusnya
tidak perlu ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 dan pasal ini dianggap menodai UUPT yang baru ini.
Sejak DPR memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan Rancangan UUPT, muncul sikap pro dan kontra dari masyarakat khususnya
kalangan dunia usaha. Kontroversi ini muncul karena adanya kewajiban pelaksanaan CSR. Pendapat dari beberapa pihak yang kontra di antaranya :
1. CSR seharusnya bersifat sukarela. Mereka yang melaksanakan CSR dalam
pengelolaan perusahaannya akan merasakan sendiri manfaat dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya, sehinga tidak perlu diwajibkan.
2. Diwajibkannya CSR dalam UUPT dianggap akan memberatkan
perusahaan, karena dapat menambah biaya operasional. Dalam bukunya, Gunawan Widjaja menyatakan pendapat dari Ketua Kamar Dagang dan
Industri Kadin Indonesia MS Hidayat yang mengatakan : “Kami dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR
menjadi sesuatu yang wajib seperti membayar pajak. Itu CSR
Universitas Sumatera Utara
sama saja dengan pajak tambahan. Akan menggangu iklim usaha dan investasi di Indonesia”.
3. UUPT hanya mewajibkan CSR bagi perusahaan yang kegiatan usahanya
di bidang dan atau bersangkutan dengan sumber daya alam. Ketentuan kegiatan usaha di bidang dan atau bersangkutan dengan sumber daya
alam ini oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.
6
Sebaliknya, mereka yang mendukung, beragumen kalau tidak diatur maka perusahaan cenderung abai menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Pihak pro-CSR mengharapkan korporasi dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah
masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang
kuat.
7
Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate
citizenship.
8
Memang bibit-bibit CSR berawal dari semangat filantropis perusahaan. Namun tekanan dari komunitas yang keras, terutama di tengah masyarakat
yang kritis macam masyarakat Eropa, menjadikan CSR menjadi semacam social license to operation. Dan ini akan dilakukan oleh komunitas, bukan
oleh negara.
6
Gunawan Widjaja Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, Desember 2008, hal 3-4.
7
Ibid, hal 5.
8
Good Corporate Citizenship dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan atas pengaruh perusahaan secara luas terhadap masyarakat untuk kebaikan perusahaan dan
masyarakat secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
Jika diperhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara pikir, gaya hidup dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan
perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan konsumen yang kita kenal sebagai vigilante consumerism
9
yang kemudian berkembang menjadi ethical consumerism.
10
Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75 responden memberi nilai lebih kepada produk barang dan jasa yang
dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66 responden juga menunjukkan
mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ‘minat’
konsumen dari ‘produk’ menuju korporat.
11
Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan
Konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih luas, yang menyangkut etika bisnis dan tanggung jawab
sosialnya. Kepedulian konsumen telah meluas dari sekedar kepada suatu produk menjadi kepada korporatnya.
9
Vigilante Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang hanya menaruh minatnya kepada produk.
10
Ethical Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang pantas atau konsumen yang beretika yaitu kepedulian konsumen telah meluas tidak hanya terhadap tanggung jawab sosial saja
tetapi juga menyangkut terhadap etika bisnis.
11
A.B.Susanto, A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, Jakarta: The Jakarta Consulting Group, November 2007, hal 3 dan 5.
Universitas Sumatera Utara
jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan, harmonisasi dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis.
Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari
kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas CSR menjadi menu wajib bagi perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undang-undang.
12
Gambar 1 : Ilustrasi Evolusi Hubungan Perusahaan dengan Komunitas
Sumber : A.B. Susanto,
A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, Jakarta : The Jakarta Consulting Group, November 2007, hal 7.
Hubungan antara komunitas dengan perusahaan telah mengalami pergeseran.
Awalnya perusahaan meluncurkan program Community Development CD
13
12
Ibid, hal 6.
13
Community Development adalah kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi
sosial, ekonomi, kehidupan dan kualitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.
dalam upayanya membina hubungan dengan komunitas. Kemudian dengan aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Dan
terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai peran kepemimpinan dalam komunitasnya.
Community Development
Corporate Social
Responsibility Corporate
Social Leadership
Relationship with community
Mutual partnership, sustainable program
Social license to operation
Universitas Sumatera Utara
Namun ternyata hanya sekedar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi mencukupi. Dalam pelaksanaannya CSR masih memiliki kekurangan.
Program-program CSR yang banyak dijalankan oleh perusahaan banyak yang hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan skala yang terbatas. Program-
program CSR yang dilaksanakan sering kali kurang menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesunguhnya. Sering kali pihak perusahaan
masih menganggap dirinya sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang
menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu, aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi
perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam jangka panjang.
Kritik lain dari pelaksanaan CSR adalah karena seringkali diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka CSR identik
dengan perusahaan besar yang ternama. Yang menjadi permasalahan adalah dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan besar
dan ternama ini mampu membentuk opini publik yang
14
14
Ibid, hal 7-8.
mampu mengesankan seolah-olah mereka telah melaksanakan CSR, padahal yang dilakukannya
hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk menutupi perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melangar hukum.
Diidentikkannya CSR dengan perusahaan besar dan ternama membawa aplikasi lain. Bila perusahaan besar dan ternama tersebut melakukan perbuatan
yang tidak etis bahkan melanggar hukum, maka sorotan tajam publik akan
Universitas Sumatera Utara
mengarah kepada mereka. Namun bila yang melakukannya perusahaan kecil atau menengah yang kurang ternama, maka publik cenderung untuk kurang
peduli, atau kalaupun publik menaruh perhatian, perhatian yang diberikan tidak sebesar bila yang melakukannya adalah perusahaan besar yang ternama.
Padahal perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh siapa pun tidak dapat diterima.
Sekali lagi, ini bukan berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap penting dan harus dijalankan. Namun di samping CSR, perusahaan perlu
mengambil inisiatif kepemimpinan sosial. Inilah yang diistilahkan oleh Hills dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership CSL
15
Dalam CSL, program-program yang dilaksanakan harus mampu benar- benar memberdayakan masyarakat, artinya masyarakat yang memiliki daya
. Dalam CSL, perusahaan bukan hanya dituntut untuk menjalankan tangung jawab sosialnya,
namun juga harus menjadi sebuah institusi yang memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas
hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang. Dalam CSL, perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian
yang tak terpisahakan dari masyarakat yang lebih luas, sehingga hal buruk yang menimpa dan merugikan masyarakat pada gilirannya akan berdampak
pada mereka juga. Oleh karena perusahaan harus memperlakukan komunitasnya sebagai mitra.
15
Corporate Social Leadership adalah perusahaan juga harus menjadi institusi memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas hidup
masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
tahan yang tinggi serta mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi dengan kekuatan sendiri dalam jangka panjang.
16
B. Perumusan Masalah