Risiko Hukum Dan Bisnis Perusahaan Tanpa Corporate Social Responsibility
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
JASWINDERJIT 060200235
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
JURUSAN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
JASWINDERJIT 060200235
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Nip. 195603291986011001
PEMBIMBING I : PEMBIMBING II :
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Nip. 195603291986011001 Nip. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan hormat Penulis hantarkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan kasih-Nya yang dilimpahkan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan S-1 Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Medan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh Penulis, seperti pepatah mengatakan bahwa “Tak Ada Gading Yang Tak
Retak”. Maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak
khususnya pembaca, dengan tangan terbuka Penulis sangat mengharapkannya.
Dalam penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik saran materil maupun immoril. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(4)
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi.
7. Bapak Hermansyah, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis. 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu-persatu yang telah mendidik Penulis selama tujuh semester hingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ini.
9. Terkhusus buat orang tua Penulis yang tercinta yang selalu menyayangi dan mendoakan Penulis serta pemenuhan materi dan immateri yang tidak terkira. 10.Buat kedua saudara laki-laki Penulis yang tercinta.
11.Seluruh teman-teman stambuk 2006 Penulis khususnya buat Geng UNO Grup D yaitu Imelda Sugiharti, Agnest Elga Margareth, Iryanti Sagala, Helen Hosianna, Aswin Asmara, Dwi Silfia, Wartini Wijaya, dan Miranda Syahputri dan teman-teman Penulis lainnya yang turut mendukung Penulis yaitu Ingrid Gratsya Zega, Maria Afriyanti Pasaribu, Rentha Natalia Pardede, Witra Evelyn Sinaga dan Slamet Teguh Rikiyanta Ginting hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12.Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2007, 2008, dan 2009 yang telah banyak membantu Penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(5)
Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak terkhusus pembaca.
Medan, November 2009 Penulis,
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR GAMBAR ……… vi
DAFTAR TABEL ……… vii
ABSTRAKSI ……….. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1
B. Perumusan Masalah ………. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 12
D. Keaslian Penulisan ………... 13
E. Tinjauan Pustaka ……….. 14
F. Metode Penulisan ………. 16
G. Sistematika Penulisan ………... 18
BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI CSR A. Latar Belakang CSR ………. 21
B. Pengertian dan Manfaat CSR ………... 29
C. Konsep CSR ………. 37
D. Kategori Perusahaan Menurut Implementasi ………... 46 CSR dan Faktor yang Mempengaruhi Implementasi CSR
(7)
E. Beberapa Produk Hukum yang Mengatur ……… 54
Mengenai Pelaksanaan CSR BAB III STAKEHOLDERS DALAM PERUSAHAAN A. Eksistensi, Arti, dan Tujuan Perusahaan ……….. 61
B. Pengertian Stakeholders dan Lahirnya ………. 68
Kepentingan dalam Perusahaan C. Pembagian Stakeholders Perusahaan ………... 72
D. Manajemen Stakeholders ………. 85
E. Hubungan Perusahaan dengan Stakeholders ……… 92
BAB IV RISIKO HUKUM DAN BISINIS PERUSAHAAN TANPA CSR A. Cara Pandang Perusahaan Terhadap CSR ……….. 101
B. Keuntungan Pelaksanaan CSR ………... 109
C. Konteks Pelaksanaan CSR di Indonesia ……… 117
D. Risiko Hukum dari Suatu Perusahaan yang ………... 128
Tidak Melaksanakan CSR BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 137
B. Saran ………... 139
(8)
DAFTAR GAMBAR
Gambar I : Ilustrasi Evolusi Hubungan Perusahaan ……… 8
dengan Komunitas Gambar II : Ilustrasi Hubungan Antara Profit, ………... 42
People, dan Planet Gambar III : Ilustrasi Model Pengaruh Langsung ……… 88
Gambar IV : Ilustrasi Model Moderasi ……… 88
Gambar V : Ilustrasi Model Komitmen Stakeholder Intrinsik ……… 90
(9)
DAFTAR TABEL
(10)
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CSR
*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH **) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
***) Jaswinderjit
ABSTRAKSI
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR, konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Perusahaan di dalam memandang CSR ada yang karena keterpaksaan untuk dilakukan, ada yang untuk memenuhi kewajiban, dan yang terakhir CSR itu dilakukan benar-benar tulus dari dalam (sudah adanya kesadaran untuk menjalankan CSR). Sedangkan konteks pelaksanaan CSR di Indonesia ada yang bersifat sukarela yaitu inisiatif dari perusahaan itu sendiri dan ada yang karena sudah diwajibkan oleh undang-undang.
CSR sendiri diatur di dalam Pasal 15 UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dan Pasal 74 UUPT Nomor 40 Tahun 2007. Pada UUPM risiko hukum bagi badan usaha atau usaha perseroan yang tidak melaksanakan CSR diatur di dalam pasal 34 UUPM tersebut dan dalam UUPT sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR tidak diatur secara spesifik dalam UUPT tersebut melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang terkait.
Kata Kunci : Corporate Social Responsibility (CSR)
*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II
(11)
RISIKO HUKUM DAN BISNIS PERUSAHAAN TANPA CSR
*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH **) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
***) Jaswinderjit
ABSTRAKSI
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR, konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR.
Perusahaan di dalam memandang CSR ada yang karena keterpaksaan untuk dilakukan, ada yang untuk memenuhi kewajiban, dan yang terakhir CSR itu dilakukan benar-benar tulus dari dalam (sudah adanya kesadaran untuk menjalankan CSR). Sedangkan konteks pelaksanaan CSR di Indonesia ada yang bersifat sukarela yaitu inisiatif dari perusahaan itu sendiri dan ada yang karena sudah diwajibkan oleh undang-undang.
CSR sendiri diatur di dalam Pasal 15 UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dan Pasal 74 UUPT Nomor 40 Tahun 2007. Pada UUPM risiko hukum bagi badan usaha atau usaha perseroan yang tidak melaksanakan CSR diatur di dalam pasal 34 UUPM tersebut dan dalam UUPT sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR tidak diatur secara spesifik dalam UUPT tersebut melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang terkait.
Kata Kunci : Corporate Social Responsibility (CSR)
*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan bulan Maret 1995, Indonesia masih menggunakan WvK (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847-23) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dalam pengaturan Perseroan Terbatas (PT) seperti yang diatur dalam Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan 56 dan perubahannya dilakukan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971. Pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 13 Tahun 1995 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 3678. Setelah berusia kurang lebih 12 tahun, pada tanggal 16 Agustus 2007 diberlakukan Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru untuk menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, yaitu dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas, LNRI Nomor 106 Tahun 2007 dan TLNRI Nomor 4756.1
a. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu
Alasan dilakukan penggantian UUPT tersebut sebagaimana tersebut dalam Konsiderans Menimbang UUPT Nomor 40 Tahun 2007, yaitu :
1 Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
(13)
didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
b. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam mengahadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
c. Bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
d. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang lain.
Selanjutnya dalam Penjelasan UUPT tersebut ditegaskan bahwa :
a. Dalam perkembangannya ketentuan dalam undang-undang tersebut (UUPT Nomor 1 Tahun 1995) dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat, khususnya pada era globalisasi.
b. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum.
c. Tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).2
Dengan perspektif seperti tersebut di atas, diharapakan UUPT ini bersifat akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif untuk mendorong berbagai bentuk kegiatan ekonomi dan dapat menumbuhkan kegiatan usaha yang saling terkait dengan bidang lainnya. Fungsi hukum saat ini haruslah akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif yang maksudnya :
a) akomodatif, yang berarti hukum dapat mengakomodasikan semua kepentingan masyarakat, jangan sampai terjadi hukum membelenggu dan
(14)
memasung kreativitas masyarakat, dalam segala aspek hidup dan kehidupan.
b) fasilitatif, yang berarti hukum dapat memfasilitasi semua kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan selalu ada jalan bagi masyarakat ketika mengalami kebuntuan dalam rangka memenuhi segala kepentingan dan kebutuhannya.
c) antisipatif, yang berarti hukum dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin timbul di kemudian hari, yang pada saat ini belum tentu terjadi.
d) preskriftif, yang berarti hukum dapat meramalkan dan mengatur suatu kejadian yang mungkin terjadi, dan hukum akan memberikan arah ke sesuatu yang akan terjadi tersebut.3
Apabila dibuatkan kategorisasi, maka dalam UUPT Nomor 40 Tahun 2007 ini mengandung ketentuan-ketentuan yang sama sekali baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UUPT Nomor 1 Tahun 1995, misalnya :
a) Pasal 30 mengenai pengumuman perseroan dalam Tambahan Negara Republik Indonesia menjadi tugas Menteri.
b) Pasal 74, menegaskan bahwa perseroan terbatas dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
c) Pasal 77, penyelenggaraan RUPS selain dapat dilakukan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya, RUPS dapat juga dilakukan melalui telekonfrensi, video
(15)
konfrensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
d) Pasal 126, di samping mengatur mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dikenal juga Pemisahan Perusahaan (perseroan).
e) Kemudian dalam pasal 156 dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan UUPT akan dibentuk tim ahli hukum perseroan, yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri berkenaan dengan perseroan.4
Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa UUPT yang baru yaitu UUPT Nomor 40 Tahun 2007 mewajibkan bahwa perseroan terbatas yang dalam menjalankan kegiatan usahanya untuk bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Hal ini diatur dalam Pasal 74 UUPT yang berbunyi :
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.5
4 Ibid, hal 4-6.
(16)
Sebenarnya, secara keseluruhan kalangan dunia usaha menanggapi dengan baik lahirnya UUPT yang baru ini yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007, hanya saja kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal dalam UU ini yaitu Pasal 74. Tatkala kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diwajibkan dalam Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sontak menuai protes. Pasalnya, aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan dan bukannya “paksaan”. Sehingga banyak kalangan pengusaha menganggap Pasal 74 ini seharusnya tidak perlu ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 dan pasal ini dianggap menodai UUPT yang baru ini.
Sejak DPR memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan Rancangan UUPT, muncul sikap pro dan kontra dari masyarakat khususnya kalangan dunia usaha. Kontroversi ini muncul karena adanya kewajiban pelaksanaan CSR. Pendapat dari beberapa pihak yang kontra di antaranya :
1. CSR seharusnya bersifat sukarela. Mereka yang melaksanakan CSR dalam pengelolaan perusahaannya akan merasakan sendiri manfaat dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya, sehinga tidak perlu diwajibkan.
2. Diwajibkannya CSR dalam UUPT dianggap akan memberatkan perusahaan, karena dapat menambah biaya operasional. Dalam bukunya, Gunawan Widjaja menyatakan pendapat dari Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat yang mengatakan :
“Kami dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR menjadi sesuatu yang wajib seperti membayar pajak. Itu (CSR)
(17)
sama saja dengan pajak tambahan. Akan menggangu iklim usaha dan investasi di Indonesia”.
3. UUPT hanya mewajibkan CSR bagi perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan / atau bersangkutan dengan sumber daya alam. Ketentuan kegiatan usaha di bidang dan / atau bersangkutan dengan sumber daya alam ini oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.6
Sebaliknya, mereka yang mendukung, beragumen kalau tidak diatur maka perusahaan cenderung abai menjalankan tanggung jawab sosialnya. Pihak pro-CSR mengharapkan korporasi dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang kuat.7 Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate
citizenship.8
Memang bibit-bibit CSR berawal dari semangat filantropis perusahaan. Namun tekanan dari komunitas yang keras, terutama di tengah masyarakat yang kritis macam masyarakat Eropa, menjadikan CSR menjadi semacam social license to operation. Dan ini akan dilakukan oleh komunitas, bukan oleh negara.
6 Gunawan Widjaja & Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa
CSR, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, Desember 2008), hal 3-4.
7Ibid, hal 5.
8 Good Corporate Citizenship dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan
atas pengaruh perusahaan secara luas terhadap masyarakat untuk kebaikan perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
(18)
Jika diperhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara pikir, gaya hidup dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan konsumen yang kita kenal sebagai
vigilante consumerism9 yang kemudian berkembang menjadi ethical
consumerism.10
Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberi nilai lebih kepada produk barang dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ‘minat’ konsumen dari ‘produk’ menuju korporat.11
Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan
Konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih luas, yang menyangkut etika bisnis dan tanggung jawab sosialnya. Kepedulian konsumen telah meluas dari sekedar kepada suatu produk menjadi kepada korporatnya.
9 Vigilante Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang hanya menaruh minatnya
kepada produk.
10 Ethical Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang pantas atau konsumen yang beretika yaitu kepedulian konsumen telah meluas tidak hanya terhadap tanggung jawab sosial saja tetapi juga menyangkut terhadap etika bisnis.
11 A.B.Susanto, A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, (Jakarta: The Jakarta Consulting Group, November 2007), hal 3 dan 5.
(19)
jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan, harmonisasi dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas CSR menjadi menu wajib bagi perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undang-undang.12
Gambar 1 : Ilustrasi Evolusi Hubungan Perusahaan dengan Komunitas
(Sumber : A.B. Susanto, A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, Jakarta : The Jakarta Consulting Group, November 2007, hal 7).
Hubungan antara komunitas dengan perusahaan telah mengalami pergeseran. Awalnya perusahaan meluncurkan program Community
Development (CD)13
12 Ibid, hal 6.
13 Community Development adalah kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara
sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, kehidupan dan kualitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.
dalam upayanya membina hubungan dengan komunitas. Kemudian dengan aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Dan terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai peran kepemimpinan dalam komunitasnya. Community Development Corporate Social Responsibility Corporate Social Leadership Relationship with community Mutual partnership, sustainable program Social license to
(20)
Namun ternyata hanya sekedar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi mencukupi. Dalam pelaksanaannya CSR masih memiliki kekurangan. Program-program CSR yang banyak dijalankan oleh perusahaan banyak yang hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan skala yang terbatas. Program-program CSR yang dilaksanakan sering kali kurang menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesunguhnya. Sering kali pihak perusahaan masih menganggap dirinya sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu, aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam jangka panjang.
Kritik lain dari pelaksanaan CSR adalah karena seringkali diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka CSR identik dengan perusahaan besar yang ternama. Yang menjadi permasalahan adalah dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan besar dan ternama ini mampu membentuk opini publik yang14
14 Ibid, hal 7-8.
mampu mengesankan seolah-olah mereka telah melaksanakan CSR, padahal yang dilakukannya hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk menutupi perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melangar hukum. Diidentikkannya CSR dengan perusahaan besar dan ternama membawa aplikasi lain. Bila perusahaan besar dan ternama tersebut melakukan perbuatan yang tidak etis bahkan melanggar hukum, maka sorotan tajam publik akan
(21)
mengarah kepada mereka. Namun bila yang melakukannya perusahaan kecil atau menengah yang kurang ternama, maka publik cenderung untuk kurang peduli, atau kalaupun publik menaruh perhatian, perhatian yang diberikan tidak sebesar bila yang melakukannya adalah perusahaan besar yang ternama. Padahal perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh siapa pun tidak dapat diterima.
Sekali lagi, ini bukan berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap penting dan harus dijalankan. Namun di samping CSR, perusahaan perlu mengambil inisiatif kepemimpinan sosial. Inilah yang diistilahkan oleh Hills dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership (CSL)15
Dalam CSL, program-program yang dilaksanakan harus mampu benar-benar memberdayakan masyarakat, artinya masyarakat yang memiliki daya
. Dalam CSL, perusahaan bukan hanya dituntut untuk menjalankan tangung jawab sosialnya, namun juga harus menjadi sebuah institusi yang memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang.
Dalam CSL, perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian yang tak terpisahakan dari masyarakat yang lebih luas, sehingga hal buruk yang menimpa dan merugikan masyarakat pada gilirannya akan berdampak pada mereka juga. Oleh karena perusahaan harus memperlakukan komunitasnya sebagai mitra.
15 Corporate Social Leadership adalah perusahaan juga harus menjadi institusi memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang.
(22)
tahan yang tinggi serta mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi dengan kekuatan sendiri dalam jangka panjang.16
B. Perumusan Masalah
Melihat adanya kontroversi mengenai masalah CSR seperti yang dipaparkan di atas, di mana banyak kalangan pengusaha yang merasa berkeberatan terhadap adanya kewajiban bagi perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR), maka mendorong penulis untuk membuat skripsi yang mengkaji tentang Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR. Dalam skripsi ini akan dibahas mengapa perusahaan harus bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa keuntungan dari pelaksanaan CSR tersebut, dan bagaimana risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR itu.
Dari permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan CSR seperti banyak kalangan pengusaha yang beranggapan bahwa aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan bukannya paksaan, maka penulis melalui skripsi yang berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR” mengangkat rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara pandang suatu perusahaan terhadap CSR? 2. Bagaimana konteks pelaksanaan CSR di Indonesia?
3. Bagaimana risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR?
(23)
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini adalah guna melengkapi dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di samping itu untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah.
Beberapa tujuan khusus yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR 2. Untuk mengetahui konteks pelaksanaan CSR di Indonesia
3. Untuk mengetahui risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR
2. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis yakni mengadakan penelitian lebih lanjut serta untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam rangka pembinaan dan pembangunan nasional pada umumnya serta memberikan pemahaman dan pandangan baru terhadap pelaksanaan CSR di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa CSR baru pertama kalinya diatur di Indonesia pada tahun 2007 yaitu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun
(24)
2007 yaitu UU Investasi dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu UU Peseroan Terbatas.
2. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembaca juga sebagai bahan untuk kajian bagi para akademisi dalam menambah wawasan pengetahuan terutama di bidang pelaksanaan CSR.
D. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR” ada beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menulis skripsi tentang CSR, antara lain :
1. Revondy Khisty / 030200095 dengan judul skripsi :
“CSR yang Dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. terhadap Masyarakat Sekitar Toba Samosir”.
2. Aimi Solidei Manalu / 040200015 dengan judul skripsi :
“CSR yang Dilakukan Bank Sumut Kepada Masyarakat (Studi pada PT. Bank Sumut, Kantor Pusat Jl. Imam Bonjol No. 18 Medan).
3. Duma Natalia Saragih / 040200014 dengan judul skripsi :
“Pelaksanaan Prinsip CSR Pada PT. Telekomunikasi Indonesia (Studi pada PT. Telkom Kandatel, Medan Jl. Prof. H.M.Yamin, SH No. 13 Medan).”
(25)
4. Muhammad Iqbal / 050200076 dengan judul skripsi :
“Pengawasan Implementasi CSR PT. Inalum terhadap Masyarakat dan Lingkungan Sekitar Perusahaan.”
Meskipun demikian skripsi-skripsi tersebut berbeda substansi yang dibahas dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini melalui pemikiran, referensi dari buku-buku, internet, media massa, dan bantuan dari berbagai pihak.
E. Tinjauan Pustaka
Di dalam membahas arti perusahaan atau badan usaha (firm) bukan hanya suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang dilakukan secara berkelompok (asosiasi modal) tapi juga suatu usaha yang dilakukan secara perorangan yang menghasilkan barang dan jasa. Hal ini perlu ditafsirkan luas karena masalah tanggung jawab sosial perusahaan harus dilakukan oleh setiap pelaku kegiatan ekonomi, baik berbentuk persekutuan (partnership) atau perseroan (corporation) ataupun usaha perorangan (sale proprietorship atau individual proprietorship) dengan tujuan untuk mencari untung.
Meskipun tidak ada arti yang tegas, tapi kemudian para ahli memberikan arti atau pengertian perusahaan. Seperti menurut Molenggraaff, menurutnya perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Sedangkan menurut Polak,
(26)
bahwa baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.17
Walaupun telah menjadi isu global, sampai saat ini belum ada suatu definisi tunggal dari CSR yang diterima secara global. Secara etimologis CSR dapat diartikan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Korporasi. Menurut pasal 1 butir 3 UUPT yang dimaksud dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun pada masyarakat pada umumnya.18
Dalam bukunya, Yusuf Wibisono mengemukakan pendapat The World Business Council for Sustainable Development (WBSCD) yaitu lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu, dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat yang lebih luas.19
17 Habib Adjie, Op.cit. Hal 55-56.
18 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 1 butir 3.
19 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik : Fascho Publishing, November 2007), hal 7.
(27)
Sedangkan A.B. Susanto mengemukakan pendapat komisi Eropa yang membuat definisi yang lebih praktis, yang pada galibnya bagaimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.20
Menurut definisi yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting Group, tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tangung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Ke luar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.
Sedangkan menurut Elkington bahwa sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet bumi).
21
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tulisan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara Studi Pustaka (Library Research) yang :
20 A.B. Susanto, Op.cit. Hal 21.
(28)
1) Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, digunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data skunder.22
2) Data Penelitian
Sifat dari penelitian ini ialah bersifat deskriptif di mana penulis berusaha menjelaskan mengapa perusahaan harus bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa keuntungan dengan dilaksanakannya CSR dalam suatu perusahaan, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang mengabaikan CSR.
Penulis melakukan suatu penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang disebut juga dengan penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa.
Pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder dapat dibagi atas 3 kelompok besar yaitu :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat masyarakat yang terdiri dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
22 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), Hal 118.
(29)
2. Bahan Hukum Skunder yaitu seluruh keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti buku / literatur, makalah, seminar, skripsi, dan thesis.
3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang mendukung untuk memberi penjelasan dalam penyusunan skripsi ini yang diperoleh oleh penulis dari internet.
3) Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang disebut dengan data skunder berupa perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, sejumlah buku-buku, artikel-artikel, baik dari surat kabar, majalah, maupun media elektronik, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.
4) Analisis Data
Data skunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini sehingga diperleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
(30)
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini mempunyai kaitan dan hubungan yang erat satu sama lainnya. Karena pada dasarnya isi dari penulisan ini adalah merupakan satu kesatuan. Gambaran dari skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan beberapa sub bab sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Gambaran Umum Mengenai CSR
Bab ini akan menjabarkan hal-hal umum berkaitan dengan CSR menyangkut bagaimana latar belakang atau sejarah CSR, pengertian dan manfaat CSR, konsep CSR, kategori perusahaan menurut implementasi CSR dan faktor yang mempengaruhi implementasi CSR, dan beberapa produk hukum yang mengatur mengenai CSR.
BAB III : Stakeholders dalam Perusahaan
Bab ini akan menjabarkan tentang eksistensi, arti, dan tujuan perusahaan, pengertian stakeholders dan lahirnya kepentingan dalam perusahaan, pembagian stakeholders
(31)
perusahaan, manajemen stakeholders, dan hubungan perusahaan dengan stakeholders.
BAB IV : Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR
Bab ini akan menjabarkan tentang cara pandang perusahaan terhadap CSR, keuntungan pelaksanaan CSR, konteks pelaksanaan CSR di Indonesia, dan risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan CSR .
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bagian penutup dalam skripsi ini merupakan bab terakhir, di mana dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.
(32)
BAB II
GAMBARAN UMUM MENGENAI CSR A. Latar Belakang CSR
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) tidak terlepas dari waktu dan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan izin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.23
1. Perkembangan awal konsep CSR di era tahun 1950-1960-an.
Latar belakang lahirnya CSR dapat dibagi atas 3 periode penting yaitu :
2. Perkembangan konsep CSR di era tahun 1970-1980-an.
23 Hendi Hidayat Weblog, CSR : Sekilas Sejarah dan Konsep tanggal 18 Februari 2009, diakses tanggal 30 Juli 2009.
(33)
3. Perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an sampai dengan saat ini.
1. Perkembangan Awal Konsep CSR di era tahun 1950-1960-an
Sebenarnya jika diperhatikan di dalam sejumlah literatur tidak ada yang dapat memastikan kapan mulai dikenalnya atau munculnya CSR itu. Namun di dalam banyak literatur banyak yang sepakat bahwa karya Horward Bowen yang berjudul Social Responsibilities of the Businessman yang terbit pada tahun 1953 merupakan tonggak sejarah CSR Modern. Di dalam karyanya ini, Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai “it refers to the obligations of the businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of actions which are desirable in terms of the objectives and values of our society”. Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh Bowen telah memberi landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.24
Pada saat Bowen menulis buku ini, terdapat dua hal yang kiranya perlu diperhatikan mengenai CSR pada saat itu. Pertama, Bowen menulis buku tersebut pada saat di dunia bisnis belum mengenal bentuk perusahaan korporasi. Kedua, judul buku Bowen pada saat itu masih menyiratkan bias gender (hanya menyebutkan businessmen bukan businesswomen), karena pada saat itu pelaku bisnis di Amerika masih didominasi oleh kaum lelaki.25
24 Ibid.
25 Ibid.
(34)
sejak penerbitan buku Bowen ini, memberikan pengaruh yang besar terhadap buku-buku CSR yang terbit sesudahnya sehingga banyak yang sepakat untuk menyebut Bowen sebagai Bapak CSR.
Selanjutnya pada tahun 1960, banyak usaha yang dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR dan salah satu akademis yang dikenal pada masa itu adalah Keith Davis. Keith Davis menambahkan dimensi lain tanggung jawab sosial perusahaan, pada saat itu ia merumuskan tanggung jawab sosial sebagai, “businessmen’s decision and actions taken for reasons at least partially beyond the firm’s direct economic and technical interest”. Melalui definisi tersebut, Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi semata-mata. Argumen Davis menjadi sangat relevan karena pada masa tersebut, pandangan mengenai tangung jawab sosial perusahaan masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, ekonom klasik memandang para pelaku bisnis memiliki tanggung jawab sosial apabila mereka berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki perusahaan seefisien mungkin untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutukan oleh masyarakat pada kisaran harga yang dapat terjangkau oleh masayarakat konsumen, sehingga masyarakat bersedia untuk membayar harga barang tersebut. Bila hal tersebut berjalan dengan baik, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan maksimum sehingga perusahaan bisa melanjutkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat (yakni menghasilkan barang pada tingkat harga yang rasional, menciptakan lapangan kerja, memberikan keuntungan bagi faktor-faktor
(35)
produksi, serta memberi kontribusi pada pemerintah melalui pembayaran pajak). Pada saat itu, konsep ini telah mengakibatkan sebagian orang yang terlibat dalam aktivitas bisnis maupun para teoritis ekonomi klasik menarik kesimpulan bahwa satu-satunya tujuan perusahaan adalah meraih laba semaksimal mungkin, serta menjalankan operasi perusahaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.26
Setelah itu Davis memperkuat argumennya dan ia berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis menegaskan adanya “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan “social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power…..then the avoidance of social responsibility leads to gradual erosion of social power.” Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial para pelaku bisnis akan sejalan dengan kekuasaan sosial yang mereka miliki…..oleh karenanaya bila pelaku usaha mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka hal ini bisa mengakibatkan merosotnya kekuatan sosial perusahaan. Argumen-argumen yang dibangun oleh Davis menjadi cikal bakal bagi identifikasi kewajiban perusahaan yang akan mendorong munculnya konsep CSR di era tahun 1970-an. Selain itu konsepsi Davis mengenai “Iron Law of Responsibility” menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu perusahaan.27
26 Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility from Charity to Sustainability, (Jakarta : Salemba Empat, Agustus 2008), hal 16.
(36)
Berkembangnya konsep tanggung jawab sosial di era tahun 1950-1960 tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin perusahaan yang pada saat itu menjalankan usaha mereka dengan mengindahkan prinsip derma (charity principle) dan prinsip perwalian (stewardship principle).
Prinsip derma yang dimaksud di sini adalah para pelaku bisnis telah melakukan berbagai aktivias pemberian derma (charity) yang sebagai besar berasal dari kesadaran pribadi kepemimpinan perusahaan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Semangat berbuat baik kepada sesama manusia antara lain dipicu oleh nilai-nilai spiritual yang dimiliki para pemimpin perusahaan kala itu. Nilai-nilai tersebut, mendorong sebagian pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan filantropis di antaranya dalam bentuk derma atau sedekah.
Sedangkan prinsip perwalian yaitu bahwa perusahaan merupakan wali yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola berbagai sumber daya. Oleh karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan dengan seksama berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan yang dikenai dampak keputusan dan praktik operasi perusahaan. Berdasarkan prinsip perwalian, perusahan diharapkan untuk melakukan aktivias yang baik, tidak hanya untuk perusahaan tetapi juga untuk lingkungan sekitarnya.28
(37)
2. Perkembangan Konsep CSR Periode Tahun 1970-1980-an
Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.
CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggung jawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan). Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil. Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.
Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligation hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan
(38)
perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsiveness merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif.29
Kedua, perusahaan yang melaksanankan program CSR pada periode 1970-1980 mulai mencari model CSR yang dapat mengukur dampak pelaksanaan CSR oleh perusahaan terhadap masyarakat serta sejauh mana pelaksanaan CSR sebagai suatu investasi sosial memberikan
Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED.
Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep CSR pada era tahun 1970-1980-an. Pertama, periode awal tahun 1970-an merupakan periode berkembangnya pemikiran mengenai manajemen para pemangku kepentingan. Hasil-hasil penelitian empiris menunjukkan perlunya perusahaan untuk memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dalam keputusan-keputusan perusahaan yang akan memberikan dampak terhadap para pemangku kepentingan.
(39)
kontribusi bagi peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Kebutuhan ini telah mendorong lahirnya konsep corporate social performance30
Ketiga, periode tahun 1980-an merupakan periode tumbuh dan berkembangnya perusahaan multinasional (multinational corporation-MNC). Para MNC beroperasi di berbagai negara yang memiliki kekuatan hukum dan undang yang berbeda dengan hukum dan undang-undang di negara asal perusahaan MNC.
sebagai penyempurnaan atau konsep CSR sebelumnya.
31
3. Perkembangan Konsep CSR di Era Tahun 1990-an sampai Saat Ini Tahun 1987, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai The Brundtland Report Commission untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerja sama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut The Brutland Commisssion yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
30 Corporate Social Performance adalah suatu konfigurasi prinsip-prinsip tanggung jawab
sosial, proses social responsiveness serta berbagai kebijakan, program, dan hasil-hasil yang bisa diobservasi sebagai hasil dari hubungan sosial yang dilakukan perusahaan.
(40)
manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.32
Pengenalan konsep sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep CSR selanjutnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era tahun 1990-an sampai saat ini ialah diperkenalkannya konsep sustainable development yang mendorong munculnya sustainability report dengan menggunakan metode triple bottom line yang dikembangkan oleh Elkington maupun GRI. Perkembangan CSR saat ini juga dipengaruhi oleh perubahaan orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang memiliki keterkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang. Kotler dan Lee menyebutkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan melalui pelaksanaan CSR yang bersifat yang strategis ini, seperti peningkatan penjualan dan market share, memperkuat brand positioning, meningkatkan citra perusahaan, menurunkan biaya operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan di mata para investor dan analis keuangan.33
B. Pengertian dan Manfaat CSR
Secara etimologis pengertian CSR dapat diartikan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Definisi dari CSR atau Tanggung
32 Hendi Hidayat Weblog, Loc.cit.
(41)
Jawab Sosial Perusahaan dapat dilihat di dalam pasal 1 butir 3 UUPT yang menyebutkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.34
Menurut definisi yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting Group, tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksetrnal) perusahaan. Ke dalam, tangung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Ke luar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Pajak diperoleh dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Oleh karenanya perusahan harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga mampu meraih laba yang maksimal.35
Tidak hanya sampai di situ, dalam berbagai tulisan penggunaan istilah CSR juga ternyata tidak diterima secara menyeluruh. Ada yang mempergunakan istilah Business Social Responsibility, dan Corporate Citizenship. Perseroan juga dipersamakan sebagaimana layaknya manusia yang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam menjalani
34 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 1 butir 3. 35 A.B.Susanto, Op.cit. Hal 22.
(42)
kehidupannya sehari-hari. Abstraksi nilai-nilai inilah yang kemudian diangkat pada tingkat korporasi. Dengan demikian berarti perseroan dihadapkan juga pada berbagai macam kewajiban yan harus dipenuhi dan dilaksanakan olehnya agar kehidupan perusahaan / korporasi dan manusia-manusia yang terkait dan terlibat di dalamnya dapat terus berlanjut (sustain).36
1. bahwa sebagai suatu artifical person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi, lingkungan, maupun sosialnya.
Ini berarti dalam suatu CSR terdapat bentuk kerja sama antara perusahaan (tidak hanya perseroan terbatas) dengan segala sesuatu atau segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut, termasuk aspek sosial dan lingkungannya, untuk tetap menjamin keberadaan dan kelangsungan usaha (sustainability) perusahaan tersebut.
Rumusan atau definsi atau pengertian yang diberikan di atas menunjukkan kepada masyarakat bahwa setidaknya ada tiga hal pokok yang membentuk pemahaman atau konsep CSR. Ketiga hal tersebut :
2. keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stakeholdersnya dan bukan hanya shareholdersnya. Para stakeholders ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien, customer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang
(43)
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local community and society at large).37
3. Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR berarti juga menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR sebagaimana halnya Corporate Citizenship, pada awalnya bukanlah suatu bentuk tanggung jawab yang mempunyai akibat hukum yang memaksa. Jadi lebih merupakan suatu moral obligation perusahaan terhadap :
1. Keadaan sosial 2. Keadaan ekonomi
3. Keadaan lingkungan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usaha atau jalannya perusahaan secara berkesinmabungan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk CSR tidak selalu harus sama antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya
Perusahaan yang bergerak dalam bidang penambangan minyak harus memiliki dana yang diperlukan untuk mencegah dan pada akhirnya untuk merehabilitasi lingkungan yang tercemar sebagai akibat kegiatan yang dilakukan olehnya, bahkan lebih jauh dari itu mereka harus memastikan bahwa semua rekanan yang bekerja sama dengan merek juga
(44)
harus melakukan hal yang sama. Selanjutnya bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan siap saji harus memastikan bahwa pasokannya yang diperoleh harus higenis, proses pengolahan dengan mempergunakan alat-alat dan sarana-sarana yang ditujukan untuk tetap menjaga tidak hanya higenitas tetapi juga kandungan gizi dan sebagainya hingga proses pembuangan produk makanan yang memang sudah selayaknya dibuang. Semua biaya yang terkait dengan proses tersebut adalah biaya yang merupakan bagian dari pelaksanaan CSR dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kewajiban-kewajiban ini dalam perkembangannya, kemudian ada yang berkembang menjadi aturan yang tegas dan wajib untuk dilaksanakan, manakala yang lainnya tetap bertahan sebagai kewajiban moral.38
Dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana di sini bukan hanya sekedar
Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu profit, lingkungan, dan masyarakat. Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberikan dividen bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba yang dipergunakan guna membiayai pertumbuhan dan pengembangan usaha di masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah.
(45)
memberikan bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi dalam usaha-usah mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir bencana.
Perhatian terhadap masyarakat, dapat dilakukan dengan cara melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki berbagai bidang. Kompetensi yang meningkat ini pada gilirannya diharapkan akan mampu dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.39
Dari sisi perusahaan terdapat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR. Pertama, mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan melakukan menjalankan perilaku serta
praktek-Dengan menjalankan tanggung jawab sosial yang dijalankannya, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, namun juga turut berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitar dalam jangka panjang.
(46)
praktek yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela tempat institusi mereka bekerja.
Kedua, CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memanfaatkannya. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumer goods yang beberapa waktu lalu dilanda isi dan kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, maka masyarakat dapat memaklumi dan memanfaatkannya sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya.
Ketiga, keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memilki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas.
Keempat, CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara para perusahaan dengan
(47)
para stakeholdernya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholders senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan.
Kelima, meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide, konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memilki reputasi yang baik.
Dan keenam, insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.40
Carrol menggambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etika, dan tanggung jawab filantropis berada di puncak piramida. Tanggung jawab ekonomi memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi karyawan, membayar pajak dan kewajiban-kewajiban perusahaan lainnya. Kemudian sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial perusahaan di bidang hukum perusahaan mesti mematuhi hukum yang berlaku sebagai representasi dari rule of the game. Berikutnya tanggung jawab sosial juga
(48)
harus tercermin dari pelaku etis perusahaan, dan pemuncaknya adalah tanggung jawab filantropis perusahaan, yang mengharuskan perusahaan untuk berkontribusi terhadap komunitasnya untuk meningkatkan kualitas hidup. Pesan utama yang harus dicermati adalah jangan sampai terjadi upaya filantropis ini untuk menutupi perilaku-perilaku tidak etis perusahaan, pelanggaran hukum, atau bahkan untuk menutupi bahwa sesungguhnya tidak mampu menghasilkan laba. Kegiatan filantropik CSR, bukanlah kegiatan tukang cuci untuk menghapus perilaku tidak etis dan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.41
C. Konsep CSR
Awal mula munculnya konsep CSR adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan. Perusahaan yang dimaksud di sini tidak terbatas pada Perseroan Terbatas, tetapi setiap kegiatan usaha yang ada, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Dalam perkembangannya, Yusuf Wibisono mengatakan bahwa dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direflesikan dalam kondisi keuangannya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Dunia usaha bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk
(49)
menciptakan profit demi kelangsungan usahanya, melainkan juga tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya.42
CSR sering diartikan sebagai kegiatan donasi perusahaan atau sekedar ketaatan perusahaan pada hukum dan aturan yang berlaku (misalnya taat pada aturan mengenai standar upah minimum, tidak memperkerjakan tenaga kerja di bawah umur, dan lain-lain). Padahal, kegiatan donasi (philanthropy) dan ketaatan perusahaan pada hukum tidak dapat dikatakan sebagai CSR. Kegiatan donasi dan ketaatan perusahaan pada hukum hanya syarat minimum agar perusahaan dapat beroperasi dan diterima oleh masyarakat.43
1. CSR dan Kegiatan Philanthropy Perusahaan
Dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan philanthrophy adalah kegiatan yang bersifat amal (charity). Sebuah kegiatan amal tidak memerlukan komitmen berkelanjutan dari perusahaan. Tanggung jawab perusahaan terhadap sebuah kegiatan philanthropy berakhir bersamaan dengan berakhirnya kegiatan amal yang dilakukan perusahaan tersebut.
Lebih dari sekedar philanthropy atau sumbangan perusahaan, CSR adalah suatu komitmen bersama dari seluruh stakeholders perusahaan untuk bersama-sama bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial. Jadi, CSR bukan merupakan sumbangan dari salah sata atau lebih stakeholder perusahaan (misalnya berusaha penyisihan keuntungan dari pemegang saham untuk kegiatan sosial), tetapi menjadi tanggungan 42 Yusuf Wibisono, Op.cit. Hal xx.
(50)
seluruh stakeholders. Dalam melakukan CSR, tidak ada stakeholders yang lebih dirugikan. Setiap stakeholders berkomitmen dan bertanggung jawab atas pelaksanaan CSR ini.
Jika dalam melakukan kegiatan philanthropy, setelah sejumlah uang disumbangkan atau suatu kegiatan sosial dilakuakn perusahaan tidak memiliki tanggung jawab lagi, maka dalam melakukan CSR komitmen dan tanggung jawab perusahaan ini dibuktikan dengan adanya keterlibatan langsung dari kontinuitas perusahaan dalam setiap kegiatan CSR yang dilakukannya. Justru keterlibatan langsung dan kontinuitas kegiatan inilah yang menjadi ciri dari CSR.44
2. CSR dan Ketaatan Perusahaan Terhadap Hukum
CSR juga berbeda dengan sikap perusahaan untuk taat pada hukum atau aturan yang berlaku seperti misalnya aturan tentang ketenagakerjaan, perlindungan HAM, pelestarian lingkungan hidup dan lain-lain. Taat pada hukum adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan. Tetapi, hanya sekedar memenuhi standar kerja, melindungi hak-hak asasi karyawan, mengikuti standar prosedur pengelolaan lingkungan yang baik dan setumpuk peraturan lainnya bukan hal yang menjadi peraturan utama dari CSR.
CSR adalah sebuah komitmen bersama dari seluruh stakeholders perusahaan yang dinyatakan baik dalam code of conduct, code of ethics, corporate policy maupun statement of principles perusahaan serta
(51)
diwujudkan dalam setiap tindakan yang diambil oleh perusahaan tersebut, dan harus ditaati oleh setiap stakeholders tersebut. Jadi, dalam melaksanakan CSR, sebenarnya perusahaan menaati aturan yang dibuat sendiri (self-regulation) berdasarkan komitmen setiap stakeholders, berbeda dengan sekedar taat pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah.45
CSR adalah strategi bisnis, dan oleh karena itu komitmen yang dinyatakan dalam code of conduct, code of ethics, corporate policy dan statement of principles perusahaan ini diwujudkan dalam setiap tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan perusahaan, termasuk di dalamnya komitmen untuk menaati setiap aturan pemerintah.46
3. CSR Pada Perusahaan Multinasional
Globalisasi ekonomi dunia telah memperluas pemahaman tentang CSR. Dengan semakin menipisnya batas-batas negara, banyak perusahaan-perusahaaan dengan kekuatan modal yang besar melakuakn ekspansi usahanya keluar dari negara asalnya. Perusahaan-perusahaan seperti disebut dengan perusahaan multinasional atau peusahaan transnasional.
Pada umumnya perusahaan multinasional melakukan ekspansi usahanya dengan membangun pabrik-pabrik besar di negara-negara berkembang, di mana aturan-aturan hukum masih lemah, terutama dalalm
45 Gunawan Widjaja, Dampak Pelaksanaan UUPT terhadap Dunia Usaha di Indonesia (Tinjauan terhadap Pasal 74 UUPT), persentasi yang disampaikan dalam Seminar “Menyongsongnya berlakunya UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas” Hari Kamis tanggal 06 September 2007 di Diamond Room, Nikko Hotel, Jakarta.
(52)
masalah tenaga kerja dan standar pengelolaan lingkungan hidup yang buruk sehingga dapat menghemat biaya operasional perusahaan tersebut.
Bagi negara-negara berkembanag yang menerima investasi langsung (direct investment) perusahaan-perusahaan besar tersebut, investasi akan disambut dengan baik karena selain akan mendatangkan pemasukan negara, investasi tersebut juga akan dapat membantu negara berkembanag tersebut mengatasi masalah pengangguran di negaranya.
Masalahnya, upaya ekspansi perusahaan dengan maksud menghemat biaya operasional ini tidak selamanya berjalan mulus. Masyarakat pada negara-negara maju dengan kesadaran akan tanggung jawab perusahaaan yang semakin baik menuntut bukti nyata bahwa perusahaan tersebut melaksanakan CSR-nya.47
4. Teori Triple Bottom Line
Dengan semakin berkembangnya konsep CSR ini, maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan berbagai pihak mengenai teori ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line yang dikemukakan oleh John Elkington di mana ia memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
(53)
Gambar 2 : Ilustrasi Hubungan antara Profit, People, dan
Planet
Sosial (People)
Lingkungan (Planet) Ekonomi (Profit)
(Sumber : Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Gresik: Fascho Publishing, November 2007, hal 32.)
Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direflesikan dalam kondisi keuangannya saja, namun juga harus memperhatikan sapek sosial dan lingkungannya.48
Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi
Profit (Keuntungan)
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, aik secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham.
(54)
baiya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Termasuk juga menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin.
People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)
Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholders penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat, terutama masyarakat sekitar, sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian yang tak terpisahkan49
Dalam hal ini, bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat syarat perlu (necessary condition), yang didasarkan atas pilihan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Selain itu perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karenanya pula perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Intinya, jika ingin eksis dan akseptabel, perusahaan harus menyertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.
(55)
sendiri, bukan karena “dipaksa” oleh aturan atau “tekanan” masyarakat dan datang dari niat baik yang tulus.
Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial ini perusahaan perlu memiliki pandangan bahwa CSR adalah investasi masa depan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre), melainkan sentra laba (profit centre) di masa mendatang. Karena melalui hubungan yang harmonis dan citra yang baik, timbal baliknya masyarakat juga akan ikut menjaga eksitensi perusahaan.50
Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, di mana jika manusia merawat lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada manusia. Sebaliknya, jika manusia merusaknya, maka manusia akan menerima akibatnya. Dengan kata lain, apa yang dilakukan manusia terhadap lingkungan tempat tinggalnya pada
Planet (Lingkungan)
Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika perusahaan ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam kehidupan manusia. Semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup, seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
(56)
akhirnya akan kembali kepada manusia sesuai dengan apa yang telah dilakukan manusia. Apakah manusia akan menerima manfaat atau justru menderita kerugian, semuanya bergantung pada bagaimana manusia menjaga lingkungan.
Namun sayangnya, sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar. Maka, manusia melihat banyak pelaku industri yang hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal,51
Sebaliknya, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan kerap harus dibayar dengan harga yang mahal dengan timbulnya beragam penyakit, bencana lingkungan atau kerusakan alam lainnya. Kasus luapan lumpur panas di Sidoarjo menjadi contoh paling hangat tentang dampak yang ditimbulkan akibat kelalaian menjaga lingkungan. Masyarakat Sidoarjo banyak dirugikan karena harus kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan anak-anak dan para guru harus terganggu aktivitas belaajr-mengajarnya, serta karyawan kehilangan pekerjaan karena perusahaannya ikut terendam lumpur.
dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan mmemperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya.
(57)
Mendongkrak laba dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang penting, namun tak kalah pentingnya juga memperhatikan konsep lingkungan. Di sinilah perlunya penerapan konsep triple bottom line aatu 3BL, yakni profit, people dan planet. Dengan kata lain, “jantung hati” bisnis bukan hanya profit (laba) saja, tetapi juga people (manusia) dan
planet (lingkungan).52
D. Kategori Perusahaan Menurut Implementasi CSR dan Faktor yang Mempengaruhi Implementasi CSR
Uraian yang diberikan di atas menunjukkan bahwa keuntungan ekonomis tidak pernah dapat dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan CSR, oleh karena tujuan dari pelaksanaan CSR itu sendiri adalah sustainability bagi perusahaan. Melaksanakan CSR bukan berarti mengurangi kesejahteraan seluruh stakeholders, oleh karena itu maka aspek ekonomis juga harus menjadi pertimbangan bagi yang melaksanakan CSR.
Perilaku para pengusaha pun beragam dari kelompok yang sama sekali tidak melaksanakan sampai ke kelompok yang telah menjadikan CSR sebagai nilai inti (corevalue) dalam menjalankan usaha. Terkait dengan praktik CSR, pengusaha dapat dikelompokkan menjadi empat : kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.
Kelompok hitam adalah para pemimpin perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali. Para pengusaha yang menjalankan
(58)
bisnis semata-mata untuk kepentingan sendiri melalui berbagai upaya untuk menggunakan sumber daya perusahaan seefisien mungkin dan memaksimalkan laba. Walaupun kelompok ini memerhatikan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku namun pemimpin perusahaan sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya karena para pemimpin perusahaan beranggapan bahwa tidak memiliki rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat secara luas.53
Kelompok merah adalah para pemimpin perusahaan yang mulai menjalankan praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan rebut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok ini pada umumnya berasal dari koelompok satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan karena publik melihat kelompok ini memerlukan tekanan dan gertakan sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ini tidak ini akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
53 Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, (Jakarta : Sinar Grafika, Maret
(59)
Kelompok biru, perusahaan yang menilai praktik CSR akan memberi dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya. Dan perusahaan tersebut akan mengembangkan CSR kepada para konstituen dalam suatu lingkungan yang spesifik di mana konstituen tersebut biasanya merupakan masyarakat setempat (local communities) yang terkena dampak secara langsung oleh operasional perusahaan di daerah tempat tinggal masyarakat setempat tersebut.
Kelompok hijau, perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada strategi inti dan jantung bisnisnya, CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan, tetapi kebutuhan yang merupakan modal sosial.54
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa tujuan CSR untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai masyarakat. Pemberdayaan bertujuan untuk mengkreasikan masyarakat mandiri. Jika dibahas tentang CSR terlalu banyak definisi. Kata sosial sering diinterpretasikan dengan kedermawaan. Padahal CSR terkait dengan sustainability dan acceptability yang artinya diterima dan berkelanjutan untuk berusaha di suatu tempat, dan ingin supaya usaha tersebut berkelanjutan dalam jangka panjang. Sedangkan, kedermawaan itu adalah
Dan dalam hal ini perusahaan tidak hanya mengembangkan CSR kepada masyarakat setempat, melainkan mencakup pula masyarakat luas (broader society). Para manajer memandang bisnis sebagai bagian dari entitas publik dan merasa bertanggung jawab untuk melakukan berbagai kebijakan kepada publik.
(60)
sebagian kecil dari CSR, itu sebabnya ada perusahaan yang hanya mau menggunakan kata corporate responsibility atau CR. CR terbagi dalam dua bentuk, pertama yang sifatnya ke dalam atau internal dan kedua yang sifatnya mengatur ke luar atau eksternal. Kalau internal menyangkut transparansi, dan disebut dengan Good Corporate Governance (GCG).55
Menurut OECD, Corporate Governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur Corporate Governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.56
55 Ibid, hal 9-10.
56 Tim Studi Pengkajian Penerapan Prinsip-prinsip OECD 2004 dalam Peraturan Bapepam
mengenai Corporate Governance, 2006.
Sedangkan CR yang sifanya mengatur ke luar atau eksternal ialah menyangkut lingkungan sekitar di mana perusahaan itu berada atau dibangun seperti polusi, limbah, masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Apabila ingin berbuat sesuatu kepada masyarakat harus terlebih dahulu diketahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat itu. Oleh karena itu, harus terjadi komunikasi sebelum membuat program CSR. CSR itu jauh lebih besar dari kedermawan yang biasanya lebih karena bencana alam. Tujuan CSR juga bukan untuk memanja, karena akan terjadi pembodohan masyarakat. Jadi CSR tujuannya untuk pemberdayaan, bukan memperdayai. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri.
(1)
2. Konteks pelaksanaan CSR di Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda yaitu :
a. Pertama, pelaksanaan CSR memang merupakan praktik bisnis secara sukarela (discreationary businesss practice) artinya pelaksanaan CSR lebih banyak berasal dari inisiatif perusahaan.
b. Kedua, pelaksanaan CSR bukan lagi merupakan discreationary
business practice, melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh
undang-undang (bersifat mandatory).
3. Risiko hukum dari suatu perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban CSR dapat dilihat dari dua peraturan perundang-undangan yaitu :
a. Menurut UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, risiko hukum atau sanksi apabila badan usaha atau usaha perseorangan tidak memenuhi kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial maka dapat dikenai sanksi administratif yang telah diatur di dalam Pasal 34 UU ini.
b. Menurut UUPT sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur secara spesifik dalam UUPT tersebut melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam penerapan sanksinya karena UUPT tersebut tidak menyebutkan secara langsung peraturan perundang-undangan apa saja yang terkait yang dimaksud.
(2)
B. Saran
Dengan melihat kesimpulan di atas, penulis memberikan saran yaitu :
1. Sebaiknya setiap perusahaan yang ada di Indonesia mempunyai pikiran bahwa dengan adanya tanggung jawab sosial maka pertumbuhan dan keberlanjutan usaha akan lebih terjamin karena perusahaan mengejar keuntungan dengan memperhatikan kepentingan stakeholdersnya.
2. Konteks pelaksanaan CSR di Indonesia wajib diatur (bersifat mandatory) karena kesadaran sosial dan lingkungan para pelaku usaha di Indonesia kurang baik. Dan semoga pewajiban atas sesuatu yang sebenarnya merupakan kegiatan sukarela ini bukannya menjadi beban baru bagi dunia usaha (seperti yang banyak dikhawatirkan oleh kalangan dunia usaha), tetapi dapat melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk berpartisipasi dalam perbaikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan tersebut, berdiri, beroperasi, dan mendapatkan keuntungan.
3. Sebaiknya pemerintah sesegera mungkin mensahkan RPP tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan supaya risiko hukum atau sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban jelas pengaturannya supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam penerapan sanksinya lagi. Dan dengan disahkannya RPP tersebut, perusahaan mempunyai guidelines (pedoman) yang baku dalam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan seperti yang diamanatkan dalam UUPT.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
I. Daftar Buku
Adjie, Habib. Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab
Sosial Perseroan Terbatas. Bandung : Mandar Maju. 2008.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2004.
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations. Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti. 2005.
Purwosujipto, H.M.N.. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang (1). Jakarta : Djambatan. 1993.
Rudito, Bambang & Melia Famiola. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia. Bandung : Rekayasa Sains. 2007.
Simanjuntak, Payaman. Peranan Etika dalam Bisnis. Depnakertrans. 2005.
Susanto, A.B.. A Strategic Managemenent Approach Corporate Social
Responsibility. Jakarta : The Jakarta Consulting Group. 2007.
Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility from Charity to Sustainability
Jakarta : Salemba Empat. 2008.
(4)
Modern). Yogyakarta : Liberty. 1993.
Untung, Hendrik Budi. Corporate Social Responsibility. Jakarta : Sinar
Grafika. 2008.
Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik : Fascho
Publishing. 2007.
Widjaja, Gunawan & Yeremia Ardi Pratama. Risiko Hukum dan Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR. Jakarta : Percetakan Penebar Swadaya. 2008.
II. Majalah, Makalah, Tesis
Hartono, Sri Redjeki. Penggabungan Perusahaan. Majalah Masalah-masalah
Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Nasution, Bismar. Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Disampaikan pada “Semiloka Peran dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan terhadap Masyarakat Wilayah Operasional Perusahaaan
Perspektif Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi
Manusia di Pekanbaru, Riau Hari Sabtu tangal 23 Februari 2008.
---. Pengelolaan Stakeholders Perusahaan. Disampaikan pada
“Pelatihan Mengelola Stakeholders”, yang dilaksanakan PT. Perkebunan
(5)
2008.
Safithri, Ika. Analisis Hukum Terhadap Pengaturan CSR pada UU Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Tesis Pada Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU, Medan). 2008.
Tim Studi Pengkajian Penerapan Prinsip-prinsip OECD 2004 dalam Peraturan
Bapepam mengenai Corporate Governance. 2006.
Widjaja, Gunawan. Dampak Pelaksanaan UUPT terhadap Dunia Usaha di
Indonesia (Tinjauan Terhadap Pasal 74 UUPT). Persentasi yang
disampaikan dalam Seminar “Menyongsong Berlakunya UU RI No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas” di Diamond Room, Nikko Hotel,
Jakarta Hari Kamis tanggal 06 September 2007.
III. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program
Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program
(6)
IV. Internet
Hendi Hidayat Weblog, CSR : Sekilas Sejarah dan Konsep terakhir kali diakses tanggal 30 Juli 2009.
http://garisgaris.wordpress.com/ tentang Economist Answers About CSR tanggal 26 Januari 2008 terakhir kali diakses tanggal 28 Agustus 2009. tanggal 31 Agustus 2009.
http:/ Perusahaan terakhir kali diakses tanggal 31 Agustus 2009.
http:/ Juni 2009 terakhir kali diakses tanggal 28 Agustus 2009.