Menurut Tarigan 1979:9 sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo, mempunyai peranan dan kedudukan yang meliputi berbagai aspek
kehidupan. Sastra lisan itu biasanya di pergunakan pada upacara-upacara adat seperti upacara melamar gadis, perkawinan, kelahiran anak, menghormati orang yang lanjut
usia, kematian, penghunian rumah baru, dan pesta tahunan.
4.5.2 Bentuk Sastra Lisan Karo
Mengenai bentuk sastra lisan Karo, Tarigan 1979:9 membaginya sebagai berikut: a.
Ndungndungen, sama dengan pantun yang biasanya terdiri atas empat baris, serta bersajak a b a b. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris
terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas tiga atau empat kata dan mempunyai suku kata 7 samapi 10 buah.
b. Bilang-bilang, yang berupa dendang duka, biasanaya didendangkan dengan
ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu yang telah meninggal dunia, meratapi kekasih idaman
hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang. c.
Cakap Lumat, atau bahasa halus yang penuh dengan bahasa kias, pepatah- petitih, perumpamaan, ndungndungen, teka-teki, dan lain-lain. Cakap
Lumat biasanya dipergunakan oleh bujang pemuda dan gadis bersahut- sahutan pada masa pacaran di malam terang bulan atau oleh orang-orang tua
pemuka adat dalam upacara, misalnya upacara meminang gadis, kepintaran bercakap lumat dapat mengalihkan utang yang menjadi piutang, seharusnya
kalah, menjadi menang, seharusnya menolak lamaran, jadinya menerima
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
lamaran. Sungguh asyik mendengar pemuka-pemuka adat berbahasa halus bersahut-sahutan dalam upacara adat, terkadang lupa perut lapar dan hari
sudah sore atau larut malam. d.
Turi-turin atau cerita yang berbentuk prosa, misalnya mengenai asal-usul merga, asal-usul kampung, cerita binatang, cerita orang-orang sakti, cerita jenaka.
Biasanya diceritakan oleh orang tua-tua pada malam hari, menjelang tidur. e.
Tabas atau mantra yang umumnya hanya dukun yang mengetahuinya. Konon kabarnya, kalau mantra itu sudah diketahui oleh orang banyak maka
keampuhannya akan hilang. Dari apa yang dikemukakan oleh Tarigan di atas dapat disimpulkan bahwa
menurut bentuknya sastra lisan Karo itu dapat di bedakan atas tiga bentuk, yaitu 1 bentuk puisi, 2 bentuk prosa liris, 3 bentuk prosa. Yang termasuk dalam bentuk
puisi ialah 1 ndungndungen, 2 cakap lumat, 3 tabas. Yang termasuk dalam bentuk prosa liris ialah bilang-bilang, yang termasuk ke dalam bentuk prosa ialah
turi-turin.
4.6. Ciri-ciri Ndungndungen Karo