Letak Geografis Merga SISTEM SOSIAL PADA MASYARAKAT KARO

BAB IV SISTEM SOSIAL PADA MASYARAKAT KARO

4.1 Letak Geografis

Kabupaten Karo terletak di Provinsi Sumatera Utara, jaraknya dari Kota Medan lebih kurang 63 km. Kabupaten Karo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian 20–1.400 meter dari permukaan laut dan dikelilingi oleh gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Luas Kabupaten Karo adalah 2.127,23 km 2 atau kira-kira 3 dari luas Provinsi Sumatera Utara. Iklimnya berkisar antara 16 -27 C dengan kelembaban udara 82 . Batas wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan lima kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, di sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara, di sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Pemerintahan Kabupaten Karo beribu kota di Kabanjahe. Kabupaten Karo terdiri atas 17 kecamatan yaitu : Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Munthe, Kecamatan Payung, Kecamatan Juhar, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Barus Jahe, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Mardinding, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Lau Balang, Kecamatan Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009 Merek, Kecamatan Dolat Rayat, Kecamatan Merdeka, Kecamatan Naman Teran, dan Kecamatan Tiganderket.

4.2 Merga

Masyarakat Karo memiliki nama yang dipakai secara bersama dalam lingkungan keluarga. Nama keluarga itu dikenal dengan istilah merga. Istilah merga secara harafiah berarti ‘merga’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia 1988:559, ‘merga’ adalah kelompok kekerabatan yang eksogen dan unilinear, baik secara matrilineal garis keturunan ibu maupun patrilineal garis keturunan ayah. Sementara itu, Prinst dan Darwin Prinst 1985:31 menyatakan merga adalah: “suatu nama yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ayah, menurut garis lurus baik ke atas maupun ke bawah”. Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa, pada masyarakat Karo penerus garis keturunan terletak pada pihak laki-laki. Sedangkan menurut Jaya S. Meliala dalam Prinst dan Darwin Prinst, 1985:31 merga adalah kelompok unilineal kelompok tersebut membagi masyarakat Karo menjadi lima golongan besar merga yang terdapat pada masyarakat Karo. Kelima golongan besar itu tidak pernah saling terpaut terhadap sejarah asal usulnya. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa merga adalah kelompok kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ayah patrilineal, serta membagi Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009 masyarakat yang didasarkan pada merga silima dan tidak berhubungan satu sama lainnya terhadap sejarah asal-usulnya. Pada hakikatnya tiap orang Karo akan mewariskan merga ayahnya. Bila ia seorang laki-laki, maka ia akan menggunakan istilah merga. Sedangkan bila ia seorang perempuan ia akan menggunakan istilah beru. Mergaberu biasanya dicantumkan di belakang nama sipemakainya. Fungsinya adalah sebagai tanda pengenalan kelompok garis keturunan atau sebagai identitas asal-usul si pemakai merga tersebut. Dalam hubungan antar individu merga sangat beperan untuk menentukan hubungan atau jenjang kekerabatan. Menentukan jenjang kekerabatan ini biasanya dimulai dengan ertutur berkenalan. Suku Karo memiliki lima merga. Menurut prinst 1996:42 sesuai dengan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak Internasional Hotel Berastagi, maka merga Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan menjadi merga dalam adat-istiadat Karo. Kelima merga ini merupakan induk merga yang lazim di sebut “merga silima”. Setiap induk merga mempunyai sub-sub merga yang dipakai di belakang merga dalam kelompok “merga silima”.

4.3 Sistem Kekerabatan