BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Salah satu kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia adalah sastra Nusantara. Sastra Nusantara terdiri atas sastra-sastra daerah. Kekayaan akan sastra daerah adalah
hal yanga wajar karena Indonesia merupakan negara Kepulauan. Di antara beribu- ribu pulau terdapat pula berbagai kelompok etnis yang masing-masing memiliki
kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Pada akhirnya akan lahir pula konsep-konsep dan sistem budaya yang berbeda.
Kekayaan sastra Nusantara yang dimiliki bangsa Indonesia kini menjadi suatu tantangan dan tugas yang berat bagi para peneliti maupun kaum intelektual dalam
rangka menghimpun serta menyelamatkannya ke dalam bentuk yang lebih formal yaitu tulisan. Pekerjaan tersebut jelas perlu dilakukan mengingat sastra daerah, pada
dasarnya menggunakan sistem oral tradisi lisan. Kalalaian dan ketidakpedulian terhadap penyelamatan hasil sastra daerah dapat berakibat fatal. Untuk
mengantisipasi kemungkinan kepunahannya maka mutlak perlu pendokumentasian bahkan penggalian dan penganalisaan sistem konsep, dan teori-teori yang
tersembunyi di dalam tradisi karya sastra daerah. Sastra daerah biasanya tercipta berdasarkan keadaan di mana sastra itu lahir.
Artinya, sastra daerah selalu mencerminkan situasi kebudayaan pendukung sastra daerah tersebut. Di dalam sastra daerah, masyarakatnya menuangkan segala sesuatu
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
sistem nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya atau kelompok. Misalnya menyangkut norma-norma, kebiasaan-kebiasaan masyakatnya. Atau melalui sastra
daerah diungkapkan nilai moral, ajaran umum, filsafat, cita-cita hidup kelompok. Dengan kata lain, sastra daerah merupakan perwujudan hakikat dan eksistensi dirinya
sebagai seorang manusia yang diungkapkan dengan keindahan dan kekreativitasan bahasa yang menakjubkan. Maka sebenarnya sastra daerah memiliki nilai dan fungsi
tersendiri dalam hidup manusia, mungkin juga bagi manusia modern. Sekarang tergantung bersedia atau tidak memetik sesuatu yang berharga dari hasil sastra daerah
tersebut. Seperti yang dikatakan Teeuw 1982:10 sebagai-berikut; “Dalam sastra lisan suku bangsa Indonesia terungkap kreativitas bahasa yang
luar biasa, dan dalam hasil sastra itu manusia Indonesia yang berusaha mewujudkan hakikat mengenai dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga
sampai sekarang pun untuk manusia modern ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan fungsi asal dia bersedia berusaha untuk merebut maknanya bagi dia
sendiri sebagai manusia modern.”
Susuai dengan UUD 1945, bab XV, pasal 36 di dalam penjelasannya, “bahasa daerah itu adalah merupakan bagian daripada kebudayaan Indonesia yang
hidup ; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara”, yang fungsinya sebagaimana disimpulkan oleh peserta
seminar politik Bahasa Nasional tahun 1975 di Jakarta : “Didalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti
Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makassar, dan Batak berfungsi sebagai 1 lambang kebanggaan daerah, 2 lambang identitas daerah, dan 3 alat
perhubungan didalam keluarga dan masyarakat daerah. Di dalam hubunganya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daeah berfungsi sebagai 1
pendukung bahasa nasional, 2 bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
Indonesia dan mata pelajaran lain, dan 3 alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah” Halim ed., 1981:145-146.
Bahasa daerah sebagai bahasa pendukung bahasa nasional sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indoneia II tahun 1954 di Medan, merupakan sumber
pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia antara lain bidang sintaksis, semantik dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya,
bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapai dalam
perkembangannya. Mengingat pentingnya fungsi bahasa daerah perlu diadakan penelitian yang
mendasar secara sungguh-sungguh tehadap bahasa dan sastra daerah Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, sejak awal abab ke–20 dunia sastra
Indonesia mengenal bentuk sastra yang berbeda dari sastra tradisional. Yang disebut sastra modern, sastra modern sebenarnya merupakan kelanjutan dari perkembangan
sastra tradisional. Secara formal keduanya dapat di bedakan. Terutama mengenai medium percakapannya. Sastra modern dalam hal ini sastra Indonesia menggunakan
bahasa Indonesia sebagai alat ungkapnya. Sastra tradisional dalam hal ini sastra daerah memakai bahasa daerah sebagai medium ekspresinya. Sejalan dengan itu,
sastra Indonesia lahir dengan ditandai oleh semangat nasionalisme, sedangkan sastra daerah ditandai jiwa kedaerahannya.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha memperkenalkan sedikit dari khasanah kesusastraan Karo. Penulis akan meneliti tentang nilai dan fungsi
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
ndungndungen atau ndungndungen Karo. Ndungndungen merupakan bagian sastra lisan Karo yang dipakai dalam situasi tertentu, misalnya dalam upacara adat
meminang gadis atau di dalam masa pacaran muda-mudi. Dengan kata lain, penggunaan ndungndungen atau Ndungndungen terikat terhadap situasi atau konteks.
Tradisi lisan oral tradition adalah tradisi sastra yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Karo yang diwariskan turun-temurun dari
mulut ke mulut sejak zaman nenek moyang sampai sekarang. Ada bermacam-macam karya sastra lisan Karo yang dihasilkan oleh tradisi
lisan ini, antara lain : karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, dan prosa liris. Karya sastra yang berbentuk puisi dibedakan atas : 1 ndungndungen, 2 cakap lumat, 3
tabas. Karya sastra yang berbentuk prosa liris disebut bilang-bilang dan karya sastra yang berbentuk prosa disebut turi-turin.
Penelitian mengenai turi-turin Karo sudah banyak dilakukan, tetapi masih bersifat inventarisasi dan dokumentasi. Oleh sebab itu, turi-turin Karo sudah cukup
dikenal oleh masyarakat pendukungnya, tetapi penelitian mengenai ndungndungen Karo setahu peneliti masih kurang dilakukan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
peneliti ingin meneliti nilai dan fungsi ndungndungen Karo itu. Mengingat keberadaan ndungndungen di tengah masyarakat Karo pada saat sekarang ini kurang
diteliti dikatakan kurang diketahui karena sumber ndungndungen sebagai sastra lisan adalah orang-orang tua sedangkan anak-anak muda tidak dapat lagi menggunakan
ndungndungen apalagi mengetahui maknanya. Tentu keadaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan ndungndungen Karo apabila nanti generasi
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
tua habis. Maka, kita akan kekurangan khasanah sastra daerah yang merupakan pendukung dari sastra nasional kita karena bahasa dan sastra daerah adalah
pendukung dari bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Berkenaan dengan hal di atas, maka penulis merasa penting untuk meneliti
nilai dan fungsi ndungndungen Karo di tengah-tengah masyarakat Karo. Karena ndungndungen itu sendiri mengungkapkan nilai-nilai sosial, didaktis, dan moral,
maka hal itu penting untuk diteliti. Misalnya 1 apa sajakah nilai dan fungsi ndungndungen Karo? 2 bagaimanakah bentuk dan keberadaan ndungndungen di
tengah masyarakat Karo pada saat sekarang ini? 3 dan, apakah kemajuan teknologi mengambil dampak yang negatif terhadap eksistensi ndungndungen terutama dari
generasi muda sebagai pewaris tradisi ini. Menurut Tarigan 1979:9 ndungndungen sama dengan pantun yang biasanya
terdiri atas empat baris serta bersajak a b a b. dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas tiga atau lima kata
dan mempunyai suku kata tujuh sampai sepuluh. Ndungndungen terdiri atas empat baris, dua baris pertama merupakan suatu
pengantar atau aba-aba untuk sampai kepada dua baris yang berikut berupa isi atau maksud.
1.2 Perumusan Masalah