masyarakat yang didasarkan pada merga silima dan tidak berhubungan satu sama lainnya terhadap sejarah asal-usulnya.
Pada hakikatnya tiap orang Karo akan mewariskan merga ayahnya. Bila ia seorang laki-laki, maka ia akan menggunakan istilah merga. Sedangkan bila ia
seorang perempuan ia akan menggunakan istilah beru. Mergaberu biasanya dicantumkan di belakang nama sipemakainya. Fungsinya adalah sebagai tanda
pengenalan kelompok garis keturunan atau sebagai identitas asal-usul si pemakai merga tersebut. Dalam hubungan antar individu merga sangat beperan untuk
menentukan hubungan atau jenjang kekerabatan. Menentukan jenjang kekerabatan ini biasanya dimulai dengan ertutur berkenalan.
Suku Karo memiliki lima merga. Menurut prinst 1996:42 sesuai dengan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak Internasional
Hotel Berastagi, maka merga Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan menjadi merga dalam adat-istiadat Karo. Kelima merga ini merupakan induk
merga yang lazim di sebut “merga silima”. Setiap induk merga mempunyai sub-sub merga yang dipakai di belakang merga dalam kelompok “merga silima”.
4.3 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo ialah menurut garis keturunan ayah, yang lebih dikenal dengan istilah patrilineal. Susunan penduduk dalam
lingkungan satu desa ditentukan oleh faktor geneologi, yaitu didiami oleh satu kelompok merga. Kalau ada merga lain, mereka itu adalah pendatang yang
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
mengawini salah seorang puteri kelompok merga dari desa itu. Kampung sebagai tempat tinggal di sebut urung.
Sebutan atas puncak pemerintahan, yang tertua yang dijumpai di wilayah Karo ialah pengulu yang menjalankan pemerintahan di kampung urung menurut
adat. Terbentuknya suatu kuta harus memenuhi persyaratan adat, antara lain ada merga pendiri kuta, ada anak beru simantek kuta, serta kalimbubu simantek kuta
kalimbubu taneh. Oleh karena itu, dalam masyarakat Karo berlaku sistem pembagian masyarakat atas tiga golongan fungsional yang mengatur tata krama
pergaulan dalam kehidupan sehari-hari yang di kenal dengan istilah telu sidalinen telu ‘tiga’, sidalinen ‘sejalan’.
Ketiga golongan itu adalah: a.
Kalimbubu, yaitu pihak yang anak perempuannya diambil dan semua teman semerganya.
b. Seninaseumbuyak, yaitu saudara semarga.
c. Anak Beru, yaitu pihak laki-laki yang mengawini putri pihak pemberi.
Dengan adanya telu sidalinen ini, hubungan antar golongan atau merga sedemikian rupa sehingga tercipta suatu keseimbangan dan keserasian hidup
bermasyarakat. Orang yang semerga harus seia sekata, sepenanggungan, dan seperasaan agar tidak sampai terjadi perselisihan dan harus pandai mengambil hati
anak beru karena mereka inilah yang diharapkan dapat memberi sumbangan tenaga dan materi, sedangkan kepada kalimbubu harus hormat karena mereka inilah pemberi
berkat yang dianggap sebagai wakil Tuhan yang tampak.
Rosita Ginting : Nilai Dan Fungsi Ndungndungen Karo, 2009
Keturunan Karo bernama me-her-ga, disingkat menjadi merga karena orang- orang berharga dan berkuasa meherga berarti ‘berharga’ dalam arti berkuasa.
Keturunan meherga ada lima orang mana yang sulung dan mana yang bungsu tidak dapat diketahui, masing-masing namanya ialah Karo-Karo, Ginting, Sembiring,
Perangin-angin, dan Tarigan. Masing-masing dari kelima merga ini berkembang menjadi induk merga dan mempunyai cabang-cabang pula sehingga penyebutan suku
ini dikenal dengan merga silima tutur siwaluh, yaitu 1 sukut, 2 senina, 3 sipemeren, 4 senina siparibanen, 5 kalimbubu, 6 puang kalimbubu, 7 anak beru, 8 anak beru
mentri. Rakut sitelu ialah 1 kalimbubu, 2 senina, 3 anak beru.
4.4 Bahasa