yang berjajar di sepanjang jalan. Setelah tahun 1960 pola pemukiman seperti ini misalnya Pajak Hongkong, Mercu Buana, dan Pajak Sambas.
Pertumbuhan penduduk Kota Medan sebagian besar disebabkan oleh arus migrasi kelompok etnik dari berbagai wilayah di sekitar Indonesia. Di zaman kolonial orang Cina
dan Jawa didatangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh di perkebunan, sedangkan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh sebagian besar perantau yang
bebas bergerak di sektor perdagangan dan sebagian lagi yang berpendidikan barat bekerja di perkantoran.
3.2. Kondisi Sosial Ekonomi
Kota Medan dari aspek pertumbuhan ekonomi bagi wilayah Sumatera Utara mempunyai fungsi sebagai pusat perdagangan, pusat administrasi pemerintahan, pusat
pendidikan, pusat kebudayaan dan sebagai kota industri memiliki potensi yang cukup besar. Hal ini terlihat antara lain dari jumlah dan kualitas penduduk serta luas arealnya
yang ditinjau dari hubungan daerah antar negara, disamping lengkapnya prasarana dan sarana ekonomi, seperti angkutan darat maupun laut yang sudah mulai berkembang
sekitar tahun 50-an. Jika dilihat dari sektor pertanian di Kota Medan setiap tahunnya cenderung
berkurang karena lahan-lahan tersebut dipergunakan untuk perindustrian, pusat perkantoran dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi ada banyak tipe-tipe lapangan
pekerjaan non formal di Kota Medan yang cenderung didominasi oleh etnis tertentu. Hal tersebut tampak misalnya pada tipe tenaga kerja tidak menetap. Kecenderungan adanya
tenaga kerja tidak menetap dapat dilihat dengan jelas terutama pada buruh pabrik,
Universitas Sumatera Utara
bangunan, pekerja kasar di bengkel, penyapu jalan dan lain-lain. Tenaga kerja seperti ini berasal dari daerah, seperti Tembung, Saentis, Sampali, Batang Kuis, Kelambir Lima,
Labuhan, Tandem serta Tanjung Morawa. Mereka ini melakukan pekerjaan dari pagi hari dan kembali pada sore hari. Sebagian besar dari mereka ini adalah etnis Jawa, sulit untuk
menemukan diantara mereka itu tenaga kerja dari suku bangsa lain termasuk suku Aceh. Etnis Mandailing umumnya mendominasi instansi-instansi pemerintahan, etnis
Batak Toba banyak yang memilih profesi di kepolisian dan bisnis angkutan kota, bisnis rumah makan banyak dikelola oleh etnis Minangkabau. Selain didominasi oleh etnis Cina
kaum pedagang yang ada di Kota Medan umumnya diramaikan oleh etnis Batak, Karo, Aceh dan sedikit dari etnis Melayu.
Di Medan hubungan kekerabatan sering dimanfaatkan dalam kesempatan mencari kerja, meskipun kenyataannya ini telah membudaya dalam seluruh masyarakat Indonesia
pada akhir-akhir ini. Akan tetapi praktek seperti ini jarang dilakukan oleh etnis Melayu. Ada kecenderungan bahwa mereka enggan untuk memakai kerabat dalam rangka
memperoleh kesempatan kerja di sektor formal, bahkan dapat dikatakan dalam suku bangsa Melayu hubungan pertemanan ini lebih diutamakan daripada hubungan
kekerabatan. Hal ini terjadi karena hubungan kekerabatan dalam memberikan pekerjaan dianggap etnis Melayu sering mengakibatkan resiko yang besar, karena hubungan itu
memiliki ikatan-ikatan lain dalam pranata keluarga atau adat, sehingga jika terjadi hubungan yang tidak baik suatu ketika dalam pranata adat akan mempengaruhi jalannya
pekerjaan, sedangkan hubungan pertemanan tidak memiliki resiko yang terlalu besar. Seperti halnya masyarakat Melayu, hal ini juga berlaku bagi masyarakat Aceh
yang ada di Kota Medan. Hubungan sesama etnis dan sekampung tidak membuat
Universitas Sumatera Utara
seseorang mendapat posisi pekerjaan dalam suatu instansi pemerintahan. Hal ini tampak pada instansi pemerintahan yang ada di Kota Medan, ketika ada masyarakat Aceh yang
memimpin tidak banyak dari golongannya yang diangkat dan diberi jabatan tertentu. Kondisi sosial ekonomi penduduk Kota Medan juga dapat dilihat pada kampung
elit dan kampung miskin. Batas kedua kategori itu sulit ditentukan, dalam arti keduanya saling membaur. Dalam kampung elit terdapat pula warga yang menurut ukuran Kota
Medan termasuk tidak mampu, walaupun demikian dengan memberi sedikit ciri-ciri dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat secara kualitatif dapat ditentukan
kampung-kampung seperti yang dimaksud. Kampung Elit dalam pengertian masyarakat Kota Medan adalah tempat
pemukiman penduduk umum, pejabat serta kompleks perumahan dinas. Kampung elit mempunyai ciri-ciri antara lain bangunan rumah umumnya permanen, anggota warga
terdiri dari pejabat dan karyawan instansi tertentu, tingkat kepadatan penduduk relatif rendah, lingkungan pemukiman teratur, tertib dan bersih serta memiliki berbagai fasilitas
yang memadai. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain sumber air bersih, tempat pembuangan sampah, listrik, gang-gang lurus yang langsung dihubungkan dengan jalur
aspal, serta mempunyai saluran air hujan dan limbah. Kedua adalah kampung miskin ini tercermin pada kondisi perumahan dan
lingkungan yang relatif buruksebagai pemukiman yang sehat biasanya keadaan ini disebabkan oleh tingkat pendapatan penduduk yang rendah. Ciri-ciri kampung ini antara
lain adalah rumah yang relatif buruk dan sempit, tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi dan fasilitas pemukiman yang kurang memadai. Sumur merupakan sumber air
bersih, tetapi tidak semua rumah memilikinya. Jamban atau WC keluarga darurat dan
Universitas Sumatera Utara
sering berpindah-pindah. Selokan atau parit pembuangan air limbah sangat jarang kalaupun ada tetapi kurang berfungsi. Pada musim kemarau kampung-kampung ini sering
kesulitan air bersih, tetapi apabila musim hujan sering terjadi banjir.
3.3. Kondisi Sosial Budaya