Fase Pembangunan Nasional 1969 – 1985 Fase-Fase Perkembangan HMI Cabang Medan

yang dilakukan dapat memberikan tekanan yang sangat besar terhadap pemerintahan Indonesia yang saat itu masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Setelah kejatuhan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno, tekanan yang diterima oleh kader – kader HMI dan elemen mahasiswa yang tergabung dalam KAMI masih terus dirasakan. Hal ini dikarenakan HMI masih terus berjuang untuk membersihkan pemerintahan Indonesia dari sisa – sisa orde lama dan PKI yang masih ada. HMI – HMI Cabang juga mengalami intimidasi yang dilakukan oleh massa – massa yang masih mendukung Presiden Soekarno. Termasuk yang dialami oleh HMI Cabang Medan. Akan tetapi dengan keteguhan hati dari pengurus HMI Cabang Medan pada masa itu, segala intimidasi baik yang berbentuk fisik maupun psikologis dapat dihadapi oleh kader – kader HMI di Kota Medan dengan tabah. Intimidasi ini terus terjadi seiring dengan perjuangan para kader HMI di daerah – daerah dan secara nasional untuk membersihkan sisa – sisa orde lama yang masih bercokol di Indonesia hingga pada akhirnya mencapai puncak ketika digantinya Presiden Soekarno dan diangkatnya Jenderal Soeharto pada Sidang Umum V MPRS pada tanggal 21 sd 30 Maret 1968.

3.4.2.4. Fase Pembangunan Nasional 1969 – 1985

Fase ini merupakan fase setelah runtuhnya pemerintahan orde lama yang digantikan oleh pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Pada fase peran HMI tidak lagi dikonsentrasikan pada urusan politik dalam negeri Indonesia, akan tetapi lebih dikonsentrasikan pada pembenahan organisasi HMI yang cukup lama porak paranda sebagai akibat permasalahan politik dalam negeri. Di tambah lagi, sebagai akibat dari peran serta HMI yang berhasil menggulingkan pemerintah orde lama di bawah Universitas Sumatera Utara pimpinan Soekarno, antusias mahasiswa untuk masuk ke HMI sangat terasa secara nasional. Kalau pada awal berdirinya HMI, HMI lah yang mencari mahasiswa untuk mau masuk menjadi anggota HMI, sekarang mahasiswalah yang mencari HMI. Gejala itu sudah nampak sewaktu HMI diganyang PKI, tetapi mencapai puncaknya di masa Orde Baru. Hal ini memberikan penyadaran bagi segenap kader dan pengurus HMI di seluruh Indonesia bahwa pertambahan kuantitas anggota harus diikuti dengan peningkatan kualitas. Oleh sebab itu, pasca runtuhnya orde lama yang digantikan oleh pemerintahan orde baru, HMI harus membenahi intern organisasinya. Pembenahan internal yang dilakukan meliputi struktur organisasi, pola perkaderan, garis – garis besar haluan organisasi, serta tentu saja menyusun program kerja HMI yang di sesuaikan dengan kondisi Negara pada waktu itu. Pembenahan internal ini melibatkan seluruh elemen organisasi yang ada di HMI baik dari tingkat Komisariat, Cabang, Badko, hingga PB. Mekanisme yang digunakan melalui lembaga pengambilan keputusan yang ada dan berlaku di masing – masing tingkatan seperti Rapat Anggota Komisariat RAK di tingkat Komisariat, Konferensi di tingkat Cabang, dan Kongres di tingkat Pengurus Besar Nasional . Kongres yang dilakukan oleh PB HMI secara nasional yang melibatkan Pengurus HMI Cabang, Badko HMI se-Indonesia serta Pengurus PB HMI ini yang merumuskan garis – garis besar tujuan organisasi serta pembenahan internal organisasi HMI. Bentuk – bentuk pembenahan internal organisasi yang dilakukan ialah : - Penyusunan format pengkaderan kader HMI. Dari penyusunan format pengkaderan ini akhirnya berhasil dirumuskan jenjang – jenjang training yang harus dilalui oleh Universitas Sumatera Utara - Pembenahan administrasi sekretariat HMI - Penyusunan Nilai – Nilai Dasar Perjuangan yang merupakan ruhnya para kader HMI di dalam memperjuangkan persoalan keumatan di Indonesia. - Memperluas jaringan kerja sama dengan organisasi luar HMI tidak hanya dengan organisasi yang ada di dalam negeri tetapi juga dengan organisasi kemahasiswaan Islam yang ada di luar negeri. - Memperluas cabang – cabang HMI ke daerah – daerah yang belum ada HMI-nya di seluruh Indonesia maupun ke luar negeri di mana banyak mahasiswa Islam yang kuliah dan belajar di sana. Akan tetapi pembenahan internal ini tidak juga melupakan peran HMI sebagai organisasi penyimbang terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soeharto. Walaupun secara tidak langsung HMI mempunyai peranan di dalam menaikkan Soeharto dan Orde Baru sebagai penguasa di Republik Indonesia, akan tetapi HMI tidak mau terlena dengan kondisi tersebut. HMI tidak mau dijadikan anak emas oleh Pemerintah Indonesia, sehingga melupakan peran HMI sebagai organisasi yang memikirkan persoalan keummatan yang ada di Indonesia. Tidak jarang HMI pada fase pembangunan nasional ini mendapat tekanan dari pemerintahan di bawah pimpinan Soeharto. Salah satu bentuk tekanan tersebut ialah ketika Pemerintah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1985, tanggal 17 Juni 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan, di mana dalam Undang – Undang tersebut diatur bahwa seluruh organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia harus Universitas Sumatera Utara berazaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentu saja bertentangan dengan azas yang selama ini telah dianut oleh HMI yaitu azas Islam. Sebagai dampak pembelakukan azas ini banyak terjadi penolakan di kalangan kader HMI di daerah – daerah, baik yang mendukung pemberlakuan azas ini maupun yang menolak diberlakukannya azas ini. Wacana akan diberlakukannya azas ini sebelumnya telah dikembangkan sejak dimulainya Kongres ke-15 HMI di Medan. Sebelum berlangsungnya Kongres ini telah muncul isu akan diberlakukannya azas tunggal untuk semua organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Dan baru pada Kongres Ke-16 di Padang tahun 1986, HMI menerima azas Pancasila disahkan. Pada Kongres ke-15 di Medan, pro dan kontra atas diberlakukannya azas tunggal ini nampak terasa. Hal ini diawali oleh pernyataan salah seorang alumni HMI yang menjabat Menteri pada pemerintahan Soeharto pada waktu itu yaitu Abdul Gafur untuk meminta kepada HMI mengganti azas Islamnya menjadi azas Pancasila. Di karenakan tidak ada kata sepakat dari para peserta Kongres di dalam menyikapi persoalan azas tunggal ini, akhirnya Kongres di Medan ini hanya melahirkan rekomendasi bagi pengurus PB HMI yang terpilih untuk melakukan penelitian apakah HMI menerima Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1985 tersebut atau tidak. Sehingga pada akhirnya pada Kongres ke-16 HMI di Padang, HMI merubah azasnya dari Islam menjadi Pancasila. Pada saat isu kebijakan azas tunggal mulai menguat tahun 1982, HMI tetap berteguh mempertahankan Islam sebagai Azas Organisasinya. Hal ini terlihat kemudian saat HMI menggelar kongres ke-15 di Medan dan menegaskan bahwa dasar HMI tetap Islam. Pada perjalanan HMI selanjutnya, amanah dari Kongres Medan untuk mempertahankan Azas Islam, tidak Universitas Sumatera Utara saja memperoleh penafsiran yang berbeda melainkan juga melahirkan sikap dan kebijaksanaan yang berbeda antara Pengurus Besar dengan Cabang-cabang utama HMI. Hal ini terlihat ketika PB HMI yang ketuanya dijabat Harry Azar Azis melaporkan sikapnya tentang penerimaan azas tunggal Pancasila. Munculnya HMI MPO berdasarkan Surat Keputusan Bersama Cabang-Cabang utama yang menghadiri forum bersama secara nasional pada Milad HMI XXXVII tanggal 14 sampai 16 Februari di Jakarta. Pada forum inilah Organisasi tandingan HMI muncul dengan membentuk Majelis Penyelamat Organisasi MPO HMI, yang kemudian dikenal dengan nama HMI MPO. Majelis ini dibentuk berdasarkan Surat keputusan bersama Cabang-Cabang Utama. Perubahan azas ini mendapat reaksi keras dari kader – kader HMI yang tidak mau HMI menjadi azas Pancasila. Penolakan yang diberikan berupa keluar sebagai anggota HMI karena mereka anggap sudah tidak sesuai lagi dengan niat awal pembentukan HMI. Pengunduran diri sebagai kader HMI ini terjadi di hampir seluruh HMI Cabang yang ada di daerah – daerah. Di HMI Cabang Medan sendiri, beberapa kader HMI yang menolak HMI memilih azas Pancasila mengundurkan diri sebagai anggota HMI, antara lain Zahrin Piliang, Usman Pelly. Bagi HMI, banyaknya anggota yang mundur sebagai anggota HMI sebagai akibat azas Pancasila ini merupakan kebebasan berpikir yang tidak bisa dihalang – halangi. Dan tidak ada sanksi yang diberikan atas sikap yang diambil oleh sebagian kader HMI tersebut. Dan itu semua dilakukan tidak lain karena keinginan untuk mempertahankan keberadaan HMI itu sendiri, karena ada kekhawatiran dari presiden saat itu yakni Soeharto akan pertumbuhan kalangan Islam yang mungkin akan menggerogoti kepemimpinannya. Universitas Sumatera Utara Didalam mensikapi kebijakan pemerintah tentang pergantian dasar ormas tersebut oleh umat Islam ditanggapi dalam empat sikap. 27 Pertama, menerima tanpa banyak persoalan. Sikap yang demikian ini antara lain ditunjukkan oleh NU dan kelompok lain yang memiliki hubungan dengan pemerintah atau partai pemerintah pada saat itu, dengan alasan bahwa pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, mau menerimanya tetapi menunggu adanya undang-undang formal yang diouat pemerintah, dan kebanyakan ormas Islam mengambil sikap kedua ini, termasuk Muhammadiyah. Ketiga, berdikap apatis, yaitu mereka yang berpendidikan rendah dan selalu mendukung kehendak pemerintah. Sikap ketiga ini merupakan sikap mayoritas umat Islam. Keempat, menolak sama sekali kebijakan pemerintah tersebut. Yang termasuk sikap keempat ini ditunjukkan oleh Pelajar Islam Indonesia PII, dan Gerakan Pemuda Marhaenis, termasuk juga HMI yang tidak setuju dengan perubahan azas ini yaitu HMI Majelis Penyelamat Organisasi MPO. 27 M.R. Karim, Op.cit. hlm 204-240. Universitas Sumatera Utara

BAB IV Peranan HMI Cabang Medan Di Kota Medan