Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan Pemerintah terhadap Input

72

6.3. Dampak Kebijakan

Kebijakan pemerintah dalam aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak postif atau negatif bagi para pelaku ekonomi, demikian pula dengan usahatani jambu biji. Kebijakan pemerintah dapat berupa subsidi, pajak, dan penentuan tarif impor. Dampak kebijakan pemerintah bisa dilihat melalui beberapa indikator dalam PAM, yaitu kebijakan terhadap output Transfer Output TO, Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO, kebijakan terhadap input Transfer Input TI, Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI, Transfer Faktor TF, dan kebijakan input-output Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer BersihNT, Koefisien Keuntungan PC, Rasio Subsidi bagi Produsen SRP.

6.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output

Kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan perbedaan harga output pada tingkat harga privat maupun sosial. Hal ini bertujuan untuk melindungi produsen atau konsumen output. Kebijakan terhadap output dilihat dari transfer output TO dan koefisien proteksi terhadap output NPCO. Berdasarkan hasil perhitungan PAM pada Tabel 12, nilai TO sebesar negatif Rp 13.579.602Ha. Nilai TO yang negatif mengindikasikan bahwa penerimaan privat lebih rendah dari penerimaan sosial. Hal ini disebabkan oleh harga domestik jambu biji lebih rendah dari harga sosialnya. Dapat dikatakan bahwa konsumen dalam negeri membeli jambu biji dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya dibayar dibandingkan apabila pasar tidak terdistorsi atau tanpa kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini menguntungkan konsumen dalam negeri, sehingga menimbulkan transfer insentif dari petani kepada konsumen. 73 Dampak kebijakan terhadap output juga dilihat dari nilai NPCO. Nilai NPCO jambu biji sebesar 0.661 NPCO 1, menunjukkan bahwa penerimaan domestik jambu biji lebih rendah 33,91 persen dari penerimaan sosialnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam memproteksi petani petani jambu biji masih belum efektif, sehingga penerimaan yang diterima oleh petani menjadi lebih rendah. Namun pada kenyataannya tidak ada kebijakan pemerintah yang benar-benar terjadi pada komoditi jambu biji. Rendahnya harga jambu biji yang diterima petani disebabkan oleh ketidakefektifan peran kelompok tani dan kurangnya pemberdayaan petani dalam penguasaan informasi harga, jaringan pasar, dan kontinuitas produksi. Hal ini membuat para petani berada dalam posisi tawar-menawar yang lemah karena petani tidak memiliki alternatif lain untuk menjual jambu biji selain kepada pedagang pengumpul.

6.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input

Kebijakan pemerintah tidak hanya berpengaruh terhadap output, tapi juga berpengaruh terhadap input. Kebijakan tersebut berupa subsidi positif atau negatif dan hambatan perdagangan penetapan tarif atau kuota agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan pemerintah dapat melindungi produsen dalam negeri. Ukuran besarnya insentif pemerintah terhadap input produksi usahatani jambu biji dapat dilihat dari nilai Transfer Input TI, Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI, dan Transfer Faktor TF. TI merupakan indikator untuk melihat besarnya divergensi distorsi kebijakan yang dikenakan pada input tradable. Berdasarkan Tabel 12, nilai TI adalah Rp 17.556 dalam 1 Ha. Nilai TI yang positif menunjukkan terdapat 74 kebijakan pemerintah terhadap input tradable berupa pajak pada obat-obatan tanaman jambu biji dan herbisida serta pajak pada input plastik pembungkus. Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI menunjukkan besarnya tingkat insentif yang diberikan pemerintah terhadap input tradable. Berdasarkan Tabel 12, nilai NPCI diperoleh sebesar 1,043. NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah berupa pajak terhadap input, sehingga petani membayar input lebih tinggi 4,33 persen dari harga sebenarnya. Hal ini menyebabkan transfer dari konsumen input petani kepada produsen input. Transfer Faktor TF menunjukkan dampak kebijakan pada input faktor domestik seperti lahan, modal, peralatan dan tenaga kerja. Nilai TF pada usahatani jambu biji di lokasi penelitian adalah Rp 2.636.122Ha. Nilai TF yang positif mengindikasikan bahwa terdapat pajak atau terjadi transfer dari petani kepada pemerintah dan produsen input domestik, sehingga petani harus membayar input domestik lebih tinggi dari harga sosialnya. Kebijakan tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan PBB dan Pajak Pertambahan Nilai PPN pada obat-obatan tanaman jambu biji dan pestisida. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input belum memberikan insentif kepada petani jambu biji untuk mengembangkan usahanya. Penetapan PBB dan PPN pada input menyebabkan biaya produksi menjadi lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan petani. Walaupun demikian, usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal mampu menghasilkan produksi yang lebih besar, sehingga petani memperoleh keuntungan dan bisa mempertahankan kelangsungan produksi dalam usahatani jambu biji. 75

6.3.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output