3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW
yang cendrung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan yang ada.
2.3 Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan memiliki banyak kerugian terhadap ekosistem, ketahanan pangan, tenaga kerja, dan lain-lain. Menurut Pearce dan Turner 1990,
merekomendasikan tiga pendekatan pengendalian alih fungsi lahan sawah, yaitu: 1.
Regulation. Melalui pendekatan pengambil kebijakan menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan
teknis, ekonomis, dan sosial, pengambilan kebijakan bisa melakukan pewilayahan terhadap lahan serta kemungkinan proses alih fungsi.
Pemerintah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2. Acquisition and Management. Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu
menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan yang ada guna mendukung upaya ke arah
mempertahankan keberadaan lahan pertanian. 3.
Incentive and Charges. Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak
yang menarik bagi mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya
pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan
kegiatan budidaya pertanian.
Menurut Isa dari Badan Pertanahan Nasional 2006 strategi pengendalian konversi ditempuh melalui 3 yaitu:
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi, dapat dilihat dari dua sisi yaitu
sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi untuk dirubah. Dari sisi
permintaan pengendalian sawah dapat ditempuh melalui: a.
Mengembangkan pajak tanah yang progresif b.
Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non pertanian sehingga tidak ada tanah terlantar
c. Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan
dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun. 2.
Mengendalikan kegiatan konversi lahan a.
Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai
fungsi lingkungan tinggi. b.
Mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada
kawasan yang kurang produktif. c.
Membatasi luas lahan yang dapat dikonversi di setiap kabupaten kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan mandiri.
d. Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi,
dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat.
3. Instrumen pengendalian konversi lahan, dapat digunakan untuk
perlindungan dan pengendalian lahan sawah adalah melalui instrumen yuridis dan non yuridis yaitu:
a. Instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang
mengikat apabila memungkinkan setingkat undang-undang dengan ketentuan sanksi yang memadai.
b. Instrumen insentif dan disentif bagi pemilik lahan sawah dan
pemerintah daerah setempat.
c. Pengalokasian dana dekosentrasi untuk mendorong pemerintah daerah
dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama sawah d.
Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW dan perizinan lokasi. Sehubungan dengan itu, kebijakan perioritas yang diusulkan dalam rangka
pengendalian konversi lahan pertanian adalah sebagai berikut: 1.
Menyusun peraturan perundang-undangan tentang ketentuan perlindungan lahan pertanian produktif, baik dalam bentuk Peraturan Presiden,
Peraturan Pemerintah maupun Undang-Undang. 2.
Menetapkan zonasi lokasi lahan-lahan pertanian yang dilindungi, misalnya: Sawah Perlindungan Abadi, Sawah Konversi Terbatas dan
Sawah Konversi, dalam bentuk Keputusan Presiden 3.
Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan pemerintah daerah setempat
4. Mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Provinsi dan kabupaten kota 5.
Membentuk komisi Pengendali Konversi Lahan Sawah baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupatenkota, dengan keputusan kepala
daerah yang bersangkutan. Pengendalian adalah melakukan suatu tindakan tertentu dengan tujuan
agar proses, output, dan outcomes yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu secara normatif langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mencakup lima aspek, yaitu Deptan, 2005
1. Penentuan cakupan, tujuan dan sasaran, pengendalian lahan berfungsi
untuk mengamankan kepentingan publik. Mengingat pengendalian lahan bersifat spatial maka perlu adanya harmonisasi antara wilayah
administrasi sehingga pengendalian lahan merupakan kebijakan berlingkup nasional.
2. Penentuan pendekatan dan metode, tergantung pada tiga aspek, yaitu:
a cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian alih fungsi lahan pertanian itu sendiri, b permasalahan empiris yang terkait dengan
penyebab, pola, dan dampak alih fungsi lahan pertanian, dan c
sumberdaya yang dimiliki yang diperkirakan dapat dipergunakan untuk mendukung pendekatan atau metode pengendalian yang akan
diterapkan. 3.
Identifikasi instrumen kebijakan, sebagai contoh, jika pendekatan yang ditempuh adalah regulasi dan metode yang akan diterapkan adalah
zonasi, maka instrumen yang sesuai adalah peraturan perundang- undangan. Jika pendekatan yang digunakan berupa incentive and
charges dan metode yang diterapkan adalah peningkatan insentif kepada petani untuk mempertahankan usahataninya. Penentuan
instrumen kebijakan harus mempertimbangkan kelayakan teknis, ekonomi, sosial, dan politik.
4. Implementasi kebijakan, jika langkah-langkah di atas telah
dilaksanakan maka tahap paling krusial tentu saja implementasi dari strategi kebijakan yang telah ditentukan.
5. Evaluasi, diperlukan untuk mengukur sejauhmana strategi kebijakan
yang telah diterapkan tersebut mencapai sasarannya dan sangat diperlukan
untuk memperoleh
masukan yang
bermanfaat penyempurnaan lebih lanjut. Hal ini mempertimbangkan bahwa secara
empiris alokasi lahan merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang sangat kompleks. Sejumlah perbaikan harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan efektivitasnya maupun dalam rangka mengantisipasi dinamika yang dihadapi di lapangan.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup 2013 dalam upaya pengendalian dan perlindungan lahan, terdapat beberapa strategi, yaitu:
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi.
2. Mengendalikan kegiatan konversi.
Membatasi konversi lahan, menyerap tenaga kerja, dan mempunyai fungsi lingkungan yang tinggi.
Konversi lahan untuk industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif.
Membatasi luas lahan yang dikonversi mengacu pada kemampuan pangan mandiri.
Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan
pemerintah daerah setempat. 3.
Instrumen pengendalian konversi Instrumen yuridis.
Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan sawah dan
pemerintah daerah setempat. Pengalokasian dana dekosentrasi untuk mendorong pemerintah
daerah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian. Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW dan
perizinan lokasi.
2.4 Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW
Buku “Konsep Tata Ruang Ekonomi dalam Pengembangan Wilayah” menurut Rahardjo 2010, kawasan merupakan wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budidaya ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek fungsional
serta memiliki ciri tertentu. Sedangkan wilayah merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan aspek fungsional. Sedangkan Tata Ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak
direncanakan. Menurut Sugandi dan Murtopo 1987, tata ruang adalah: 1.
Tata ruang adalah pengaturan susunan ruang suatu wilayah atau daerah sehingga terciptanya persyaratan yang bermanfaat bagi segi ekonomi,
sosial, budaya dan politik yang menguntungkan bagi perkembangan di wilayah atau daerah tersebut.
2. Tata ruang adalah suatu wadah dalam tiga dimensi, yakni tinggi, lebar dan
kedalamannya yang menyangkut bumi, air, sungai, danau, lautan, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya, udara, ruang angkasa
diatasnya secara terpadu, sehingga penggunaan serta pengelolaan mencapai manfaat sebesar-besarnya dan kesejahteraan rakyat.