Sedangkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata hanya mereka lakukan pada hari-hari libur dengan membuka warung dilokasi Pusentasi.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang bermukim di Boneoge dan Tanjung Karang, dimana kegiatan pertanian yang dapat mereka lakukan hanyalah
perkebunan kelapa dan kebun untuk tanaman buah-buahan dan sayuran. Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata secara intensif hanya
dilakukan oleh mereka yang bermukim di Tanjung Karang, sedangkan di Boneoge hanya dilakukan ketika hari libur.
5.2. Persepsi, Partisipasi, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Pariwisata
5.2.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
Persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi, terutama yang berkaitan dengan ada tidaknya
manfaat yang diberikan oleh pariwisata terhadap kehidupan masyarakat dikemukakan pada Tabel 17.
Tabel 17. Persepsi responden terhadap keberadaan kegiatan pariwisata saat ini
Pekerjaan Persepsi
Jumlah Bermanfaat
Tidak bermanfaat
Tidak tahu
Nelayan 13
11 3
27 Petanipeternak
7 7
1 15
Dagang 7
1 8
SopirOjek 5
1 6
GuruPNS 4
2 6
BuruhPertukangan 4
1 5
Jasa 3
3 Jumlah
43 23
4 70
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 70 orang responden masyarakat lokal di lokasi penelitian, seperti terlihat pada tabel tersebut,
menunjukan bahwa sebagian besar 61,43 responden masyarakat lokal menyatakan bahwa kegiatan pariwisata memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun demikian, masih terdapat sekitar 32,86 responden yang menyatakan pariwisata tidak memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah ini, sedangkan
sebagian kecil lainnya 5,71 menyatakan tidak tahu. Responden yang
menyatakan bahwa pariwisata memberikan manfaat, pada umumnya adalah mereka yang memiliki aktifitas usaha yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pariwisata, disamping pekerjaan pokoknya sebagai petani dan nelayan. Aktifitas usaha yang dilakukan adalah berupa pekerjapenyedia sarana
penginapan, warung, transportasi wisata perahu, pemandu wisata dan penyediapenyewaan sarana rekreasi lainnya seperti tikar, ban, dan kacamata
renang. Pandangan masyarakat dan beberapa stakeholder lainnya yang berkaitan
dengan manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Persepsi stakeholder tentang manfaat dan kerugian dari kegiatan pariwisata
Persepsi Masyarakat
lokal Aparat
Pemerintah Pengusaha
Pariwisata
LSM
Jumlah jawaban Manfaat kegiatan pariwisata
Membuka peluang pekerjaan 36
6 4
2 Menambah pendapatan
30 6
4 1
Mendorong kemajuan desa 23
4 3
1 Memperkenalkan budaya lokal
21 4
4 Lingkungan menjadi baikbersih
21 3
3 1
Dapat menjual hasil usaha 11
Desa menjadi terkenal 8
Kerugian kegiatan pariwisata Merusak moral
41 2
1 Mengganggu kegiatan nelayan
27 1
1 Mengancam kepemilikan lahan
23 2
1 Kerusakan lingkungan
19 1
2
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 18 tersebut terlihat bahwa kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar
bagi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan memperlihatkan bahwa manfaat yang paling banyak dinyatakan 51,43 oleh masyarakat lokal
adalah terciptanya peluang pekerjaanusaha serta meningkatkan pendapatan. Terdapat tiga hal yang secara spontan dikemukakan oleh masyarakat berkaitan
dengan kepentingan ekonomi mereka yaitu terbukanya lapangan pekerjaan, menambah pendapatan, dan pemasaran dari hasil usaha perikanan mereka dapat
lebih terbuka. Sejalan dengan pandangan masyarakat, stakeholder lainnya juga menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memeberikan manfaat ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Seluruh informan yang berasal dari aparat pemerintah, pengusaha pariwisata, dan LSM menyatakan kegiatan tersebut dapat membuka
peluang pekerjaan bagi masyarakat, diversifikasi usaha masyarakat, dan pada akhirnya akan memberikan tambahan pendapatan.
Pada saat tertentu, yaitu sekitar bulan Nopember hingga Januari masyarakat yang bekerja sebagai nelayan hampir tidak dapat turun melaut karena
cuaca yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu pada saat-saat seperti ini mereka melakukan pekerjaan diluar perikanan seperti buruh pelabuhan dan
bangunan. Bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk menjalankan usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata setidaknya dapat memperoleh
tambahan pendapatan meskipun tidak dapat melaut. Sebanyak 42,86 responden masyarakat lokal menyatakan bahwa
kegiatan pariwisata dapat memberikan tambahan pendapatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, baik pada saat wawancara maupun pada diskusi
kelompok terungkap bahwa disaat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut, mereka masih bisa mendapatkan hasil perikanan dari sekitar gugusan karang
yang terdapat didepan obyek wisata Tanjungkarang. Namun, saat ini kegiatan tersebut tidak dapat lagi dilakukan oleh masyarakat karena gugusan karang ini
telah menjadi lokasi penyelaman yang dilakukan oleh para wisatawan. Beberapa manfaat yang dikemukakan diatas merupakan sesuatu yang
seharusnya diperoleh masyarakat disekitar lokasi kawasan wisata karena pengembangan kegiatan kepariwisataan di suatu lokasi diharapkan dapat
memberikan efek positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, dalam bentuk pendapatan dan kesempatan kerja Pitana dan Gayatri, 2005; Liu dan
Wall, 2006; Ross dan Wall, 1999; UNEP, 2002a. Bahkan bila pengelolaan pariwisata yang dilakukan berjalan dengan sistim pengelolaan yang baik, dan
dengan melibatkan semua unsur masyarakat maka akan menjadikan sumber pendapatan yang dapat berlangsung terus menerus Scheyvens, 1999.
Disamping manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal, kegiatan pariwisata juga dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dalam
bentuk devisa dan peningkatan pendapatan pemerintah Pitana dan Gayatri, 2005. Pendapatan pemerintah inilah yang diharapkan akan memberikan
sumbangan bagi kemajuan pembangunan daerah dan tentu saja akan berakibat positif bagi kemajuan desakelurahan yang menjadi lokasi kegiatan
kepariwisataan. Hal ini jelas terungkap didalam wawancara yang dilakukan dengan masyarakat serta dalam pelaksanaan diskusi kelompok terfokus yang
dilakukan di lokasi penelitian. Seperti yang tertera pada Tabel dimuka bahwa salahsatu manfaat yang diharapkan oleh masyarakat 32,86 adalah kemajuan
bagi desa tempat tinggal mereka. Meskipun demikian, menurut sebagian tokoh masyarakat dan aparat
pemerintah pada tingkat desa, kegiatan pariwisata yang telah berlangsung di wilayah ini belum banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan desa. Hal ini
disebabkan karena redistribusi pendapatan yang diperoleh pemerintah tidak sepenuhnya ditujukan kepada pengembangan desa dan masyarakat di lokasi
wisata tersebut. Berkembangnya kegiatan pariwisata diharapkan juga dapat meningkatkan
pengenalan dan pemahaman orang-orang luar wisatawan terhadap budaya masyarakat di suatu lokasi yang dikunjungi. Menurut masyarakat lokal dan
stakeholder lainnya pada kawasan wisata Tanjungkarang-Pusentasi bahwa kegiatan pariwisata yang berlangsung dapat menjadi sarana untuk
memperkenalkan budaya lokal. Dikembangkannya atraksi budaya sebagai produk wisata yang ditawarkan kepada para wisatawan diharapkan dapat menjadi
wahana memperkenalkan, memelihara, dan mendorong masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Berkaitan dengan pengembangan atraksi budaya tersebut, Spillane 1987 menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat menggairahkan perkembangan
kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur kebudayaan yang sudah hampir dilupakan. Selanjutnya, Damanik dan Weber 2006
mengemukakan bahwa aspek sosial budaya juga merupakan sesuatu yang penting bagi suatu daerah tujuan wisata, karena pengalaman budaya di daerah tujuan
menjadi salahsatu daya tarik yang diperhitungkan oleh wisatawan. Selanjutnya dikemukakan bahwa sekitar 42 persen wisatawan Inggris mengatakan informasi
kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal merupakan basis pertimbangan untuk memilih destinasi dan 37 persen mengatakan pentingnya menjalin interaksi
dengan masyarakat setempat. Manfaat lainnya yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah yang
berkaitan dengan kondisi lingkungan 30 . Kondisi lingkungan yang dimaksudkan adalah menyangkut kebersihan dan keindahan lingkungan
pemukiman, serta kebersihan dan keindahan pantai. Dikemukakan bahwa kondisi lingkungan pemukiman dan pantai saat ini sangat jauh berbeda dengan
keadaannya ketika kegiatan pariwisata belum intensif seperti saat ini, terutama di Tanjungkarang.
Pada beberapa tempat tertentu, khususnya di desa Boneoge, kebersihan dan keindahan pantai masih kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan
karena hanya sebagian kecil wilayah desa ini yang dimanfaatkan sebagai lokasi wisata, walaupun hampir sepanjang desa memiliki potensi wisata yang cukup
baik karena memiliki pantai yang berpasir putih. Salahsatu kendala dalam penataan lokasi ini adalah karena padatnya rumah sebagai tempat pemukiman
nelayan, utamanya di desa Boneoge. Melalui diskusi kelompok dan wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat di desa ini juga terungkap keinginan mereka
untuk menata kondisi ini, meskipun masih ada kekhawatiran bila suatu saat mereka akan kehilangan lahannya ketika lokasi ini juga sudah berkembang.
Disamping pemahaman tentang lingkungan yang terbatas pada aspek penataan pemukiman, sebagian masyarakat dan stakeholder lainnya juga
mengemukakan tentang manfaat kegiatan pariwisata terhadap lingkungan alam. Dikemukakan bahwa keadaan ini tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang
dipengaruhi langsung oleh kegiatan pariwisata tetapi merupakan suatu rantai proses sebab-akibat antar berbagai manfaat tersebut.
Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pariwisata akan mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan budaya lokal dan menjaga
kondisi lingkungan alam, karena keduanya merupakan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh suatu lokasi pariwisata. Bila penanganan terhadap kedua aspek
tersebut berlangsung dengan baik maka manfaat ekonomipun akan diperoleh. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa terpeliharanya budaya lokal akan sangat
bermanfaat bagi terpeliharanya kondisi lingkungan alam, karena masyarakat memiliki akar budaya yang kuat dalam bentuk tata aturan pemanfaatan potensi
sumberdaya alam yang baik. Manfaat langsung yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah
pemasaran langsung hasil usaha berupa hasil pertanian, perikanan, kerajian, dan masakan yang diproduksi oleh masyarakat lokal. Mereka dapat langsung
memasarkan hasil pertanian mereka, terutama buah-buahan, dan hasil olahan makanan yang biasanya dikonsumsi oleh wisatawan lokal pada hari-hari libur.
Sebagian besar olahan makanan merupakan hasil pertanian dan perikanan yang dihasilkan oleh masyarakat lokal. Keadaan ini merupakan manfaat ganda
Spillane, 1987 yang didapatkan oleh masyarakat dari adanya kegiatan pariwisata.
Selain memberikan manfaat, juga terdapat beberapa kerugian atau akibat- akibat negatif dari berkembangnya kegiatan pariwisata di wilayah ini.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat lokal, seperti yang tertera pada Tabel 18, akibat-akibat negatif yang terjadi dan sudah menjadi
kekhawatiran masyarakat adalah berkaitan dengan moral, status kepemilikan lahan, konflik pemanfaatan sumberdaya, dan gangguan terhadap lingkungan.
Masalah moral merupakan hal yang sangat mendapat perhatian masyarakat 58,57 . Berdasakan penjelasan masyarakat, baik pada saat wawancara maupun
ketika dilakukan diskusi kelompok, terungkap bahwa persoalan moral yang dimaksud adalah berkaitan dengan etika, tatakrama, adat istiadat dan juga
hubungan-hubungan sosial antar sesama masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih 2002 di wilayah ini juga
mendapatkan bahwa dampak negatif dari kegiatan pariwisata menurut masyarakat adalah kerusakan moral pada generasi muda, yang terutama disebabkan oleh
adanya wisatawan mancanegara. Kebiasaan wisatawan mancanegara yang suka berjemur dan berenang dengan menggunakan pakaian minim, menurut
masyarakat akan mempengaruhi moral masyarakat, terutama kaum mudanya. Hal inilah yang oleh Yoeti 1987 dinyatakan sebagai ”kebiasaan jelek” para
wisatawan yang sering mengakibatkan kegoncangan didalam masyarakat dan membuat masyarakat setempat menderita.
Selanjutnya, Cohen 1984 dalam Pitana dan Gayatri 2005 mengemukakan bahwa terdapat beberapa pengaruh pariwisata terhadap sosial
budaya masyarakat lokal, diantaranya dampak terhadap organisasikelembagaan sosial masyarakat, ritme kehidupan sosial masyarakat, hubungan antar personal,
adat istiadat yang kemudian menyebabkan terjadinya penyimpangan- penyimpangan sosial. Demikian pula halnya dengan masyarakat di wilayah
penelitian, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi ketika perkembangan kegiatan pariwisata dilihat sebagai sebuah peluang ekonomi yang terlepas dari
kepentingan dan kontrol masyarakat lokal yang memiliki budaya gotongroyong, termasuk dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan ekonominya.
Akibatnya terjadi perubahan hubungan-hubungan sosial didalam masyarakat. Dalam hal ini, menurut Mathieson dan Wall 1982 dalam Pitana dan Gayatri
2005 pariwisata telah mengubah struktur internal masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pembedaan antara mereka yang memiliki hubungan
dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Pengalaman masyarakat dalam beberapa kegiatan yang merupakan hasil
rancangan pihak luar baik pemerintah maupun swasta sering menciptakan konflik kecil diantara masyarakat ketika pihak diluar memanfaatkan salahsatu atau
beberapa anggota masyarakat untuk membawa kepentingan pihak luar. Dalam kaitan dengan dengan keadaan tersebut, seperti tergambar dalam diskusi
kelompok, mereka mengharapkan bahwa diperlukan komunikasi yang lebih baik dan terbuka antara berbagai pihak dalam merencanakan dan mengembangkan
program yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, termasuk juga pengembangan pariwisata.
Akibat negatif lainnya yang dapat terjadi adalah terganggunya kepemilikan lahan masyarakat 38,57 . Hasil wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat terungkap bahwa bergesernya status kepemilikan lahan yang diakibatkan oleh kuatnya tuntutan untuk lebih mengembangkan kegiatan
pariwisata. Pada satu sisi perkembangan kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, tetapi disisi lain memarginalkan
masyarakat dari aktifitas tersebut, terutama bagi mereka yang tidak memiliki modal yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih 2002 di lokasi ini
juga mengungkapakan bahwa sebagian masyarakat di wilayah ini enggan untuk terlibat didalam kegiatan pariwisata karena memberikan dampak yang negatif
bagi mereka. Kegiatan pariwisata menurut mereka suatu saat akan menggusur lahan pertanian dan pemukiman yang mereka miliki saat ini.
Kehadiran pariwisata telah menimbulkan kekhawatiran 32,86 akan hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya yang terdapat disekitar wilayah
pemukiman masyarakat. Kasus pelarangan terhadap masyarakat untuk mengambil ikan yang terdapat di gugusan karang didepan lokasi wisata
Tanjungkarang telah menjadi pengalaman buruk bagi masyarakat tentang pengembangan pariwisata. Karenanya, dalam wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat selalu terungkap harapan mereka agar kondisi tersebut tidak terjadi pada lokasi yang lain seperti di Boneoge dan Dusun Kaluku.
Berkembangnya kegiatan pariwisata, dapat memberikan keuntungan bagi lingkungan bila dikelola dengan pendekatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelestarian sumberdaya alam. Potensi alam yang merupakan salahsatu daya tarik bagi wisatawan semestinya tetap dijaga keasliannya. Bila mengamati keadaan
pariwisata di daerah ini, jelas terlihat bahwa atraksi utama yang diharapkan oleh wisatawan adalah kondisi lingkungan yang masih alami. Hal ini terutama berlaku
bagi wisatawan mancanegara yang memanfaatkan suasana lingkungan tropis untuk mengisi masa liburannya.
Pada disisi lain, seperti juga terjadi pada beberapa kawasan wisata lainnya di Indonesia, keadaan lingkungan yang bersifat alami kadang tergeser oleh
kepentingan pembangunan sarana pariwisata Marpaung, 2002. Padahal degradasi lingkungan yang terjadi di kawasan pariwisata, disaat meningkatnya
jumlah wisatawan yang menyukai keindahan alam dan kesadaran akan lingkungan, dapat menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu
kawasan wisata tertentu Lawrence, 1994. Masyarakat lokal di kawasan wisata ini 27,14 juga melihat bahwa kegiatan pariwisata telah menberikan akibat
yang negatif bagi lingkungan. Partisipasi masyarakat lokal merupakan suatu bagian yang penting dalam
menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan, termasuk juga kegiatan
pariwisata Garrot, 2003. Keadaan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 19.
Tabel 19. Matriks partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya di Kawasan
Wisata Tanjungkarang Pusentasi
Stakeholder
Jenis Bentuk kegiatan
Mas ya
rakat l
oka l
Pengu saha pa
ri w
isa ta
D inas par
iw isat
a
Pem eri
n tah
desa k
el u
rahan
L SM
K SM
K el
om p
ok tan i
n el
a yan
K aran
g T aruna
PKK D
asa Wi
sm a
K el
om p
ok ar isan
K el
om p
ok p enga
ji an
L em
baga adat
Pengelolaan kawasan wisata
Perencanaan lokasi Wisata
- √
√ √ √
- -
- -
- -
Pengembangan produk -
√ √
- -
- -
- -
- -
Pemasaran wisata -
√ √
- -
- -
- -
- -
Pengelolaan pintu masuk lokasi
√ -
- -
√ -
√ -
- -
-
Pengelolaan usaha
Akomodasi -
√ √
- -
- -
- -
- -
Pondok peristrahatan √
- √
- -
- -
- -
- -
Transportasi wisata √
√ -
Penyediaan suvenir -
√ -
- -
- -
- -
- -
Jasa penyediaan konsumsi
- √
- -
- -
- -
- -
Pemandu wisata -
√ -
- √
- -
- -
- -
Penyediaan sarana rekreasi
√ √
- -
- -
- -
- -
- Berdagang makanan
√ -
- -
- -
- -
- -
-
Monitoring dan evaluasi kepariwisataan
- √
√ √
√ -
- -
- -
-
Keterangan : Tanda √ menandakan adanya keterlibatanpartisipasi.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata setidaknya berkaitan dengan dua hal yaitu peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan
pembagian manfaat dari kegiatan pariwisata McIntosh dan Goeldner, 1986 dalam Ying dan Zhou, 2007. Bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi, kedua hal tersebut nampaknya belum sepenuhnya dapat diperoleh. Pada Tabel 23 terlihat bahwa partisipasi masyarakat
lokal masih terbatas pada kegiatan usaha tertentu yang mampu mereka lakukan
berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal sebagai usaha untuk menambah pendapatan keluarga adalah
penyediaan sarana rekreasi ban untuk pemampung renang, kacamata renang, dan tikar, berdagang makanan yang dilakukan pada hari-hari libur ketika lokasi
wisata ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, pondok peristirahatan, dan berdagang makanan.
Kegiatan usaha seperti penyediaan akomodasi penginapan, penyediaan suvenir, jasa penyediaan konsumsi belum dapat dilakukan oleh masyarakat lokal.
Keadaan ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan masyarakat baik dari aspek permodalan maupun keterampilan untuk mengembangkan usaha-usaha
tersebut. Beberapa informan masyarakat lokal yang melakukan usaha penyewaan sarana rekreasi dan berdagang makanan bagi kepentingan wisatawan lokal,
menyatakan bahwa yang mereka lakukan saat ini hanyalah sebuah usaha yang dilakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena dibangun
dengan modal yang sangat terbatas dan mereka tidak memiliki keterampilan untuk mengembangkan usaha lainnya.
Dari gambaran yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa peran masyarakat dalam menjalankan usaha pariwisata di kawasan wisata ini pada
umumnya masih sangat rendah, meskipun juga diakui bahwa pada lokasi Tanjungkarang peran masyarakat dalam menjalankan usaha sudah terbangun.
Namun, beberapa peran lainnya seperti perencanaan pengembangan lokasi wisata, pengembangan produk dan pemasaran masih sepenuhnya ditangani oleh
pemerintah dan pihak swasta. Keadaan ini menyebabkan potensi produk yang mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal tidak dapat tergali dengan baik.
Sebuah hasil studi yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, yang dikemukakan oleh Suranti 2005,
diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan karena belum
adanya ketentuan yang jelas dan rinci mengenai keterlibatan masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata, yang ada hanyalah berupa himbauan agar
masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut. Seperti halnya yang terjadi di wilayah penelitian, konsep partisipasi masyarakat masih berupa
arahan kebijakan Disparsenibud Donggala, 2002, tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara dan tahapan pelaksanaannya Suranti, 2005.
Gambar 6. Salahsatu kegiatan usaha masyarakat di Tanjung Karang.
Bila kita mencermati keadaan yang berkembang pada kawasan wisata ini, seperti yang telah diuraikan diatas, terlihat bahwa terdapat dua tingkatan
partisipasi yang telah terjadi ditengah masyarakat. Disatu sisi, berkaitan dengan konsep dan rencana pengembangan kawasan wisata posisi masyarakat beserta
organisasi lokal yang dimilikinya masih berada pada tingkatan partisipasi yang terendah dimana masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan informing,
yang oleh Pretty 1994 dalam Pleumaron 1997 dinyatakan sebagai partisipasi pasif. Pada posisi ini masyarakat masih ditempatkan sebagai penerima informasi
dari pihak luar. Adapun proses yang dilakukan hanya bersifat formalitas sebagai suatu syarat yang mungkin harus dilakukan dan komunikasi yang terjadi bersifat
satu arah. Namun pada sisi lain, masyarakat telah mengambil inisiatif untuk ikut
didalam proses untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan pariwisata tersebut.
Keadaan yang terakhir tersebut, bila dikaitkan dengan konsep tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty 1994 dalam Pleumaron 1997 berada
pada tingkatan dimana masyarakat sudah mulai masuk pada partisipasi untuk mendapatkan insentif material. Tingkatan ini masih sangat riskan karena
didalamnya, biasanya, tidak terjadi proses belajar yang dapat membangun kekuatan masyarakat, dan akibatnya bila aktifitas yang menjadi tempat
bergantung masyarakat terhenti maka akan sangat mempengaruhi kehidupan
mereka. Oleh karena itu maka proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat kepada tingkatan yang lebih bersifat fungsional dimana
mereka dapat membangun kekuatan bersama melalui pengembangan kelompok atau organisasi lokal yang dapat membangun inisiatif, ataupun merespon inisiatif
dari luar dengan posisi tawar yang cukup kuat. Sehubungan dengan keadaan yang dikemukakan tersebut, diperlukan
suatu upaya untuk membangun kapasitas organisasi lokal yang dimiliki oleh masyarakat dengan melibatkan mereka didalam proses kegiatan kepariwisataan di
kawasan ini. Pengembangan kapasitas ini penting untuk meningkatkan kekuatan organisasi lokal dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya
alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata, dimana efektifitas pengelolaan sumberdaya tergantung kepada kekuatan organisasi tersebut dan hanya dapat
dilakukan bila didukung oleh semua pihak terutama pemerintah Pomeroy, 1995.
5.2.2. Keinginan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata