Pengelolaan parawisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karangpusentasi Donggala

(1)

PENGELOLAAN PARIWISATA BERBASIS

MASYARAKAT DI KAWASAN WISATA PANTAI

TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Abdulbasir Languha

NIM P052020131


(3)

ABSTRACT

ABDULBASIR LANGUHA. Community Based Tourism Management in the Beach Tourism Area of Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Under Supervision of ANI MARDIASTUTI and E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Beach tourism area in Tanjung Karang Pusentasi is one of tourism area in the Donggala District, which has diversity and interesting tourism objects. Because of this diversity, the Government of Donggala District has defined the area to become the important area for tourism development. This tourism area is located at the end of the Palu Bay and is directly toward the Makassar Strait, in Tovale, Limboro, Boneoge, and Labuan Bajo villages. To develop this important tourism area, a lot of researches need to be conducted. The objective of this research is to study and develop community based tourism concept, based on: (1) community perception on tourism activity and their expectation of involvement in developing this sector; (2) traditional/local wisdom particularly on natural resources management that can be used as a basis for a community based tourism management; and (3) government concept and other stakeholder views related with community based tourism management.

This research indicated that local community has a positive view/perception on the tourism activity. This is indicated by most of community (61.43%) stated that tourism sector has provided benefits to them. Local community has indicated that they are interested to fully involved in the planning, managing and evaluating tourism activity in their area. Local community has their local wisdom in the natural resources management for agriculture and fishery uses, such as site selection for agriculture (nompepoyu), and having break period in the natural resources management (ombo). Additionally, there are some traditional/cultural activities/products that potentially can be used as tourism attractions. Government policy supports in the implementation of community based tourism management will be the main factor to develop this initiative and to integrate tourism as part of community activities. The development of this sector should be based on community interests and approaches. Private sectors stated that their involvement in this sector is by recruiting local community in their business, as well as encouraging local community to protect their natural resources. Meanwhile, community group and non-government organization views that there is a need on cooperative-management between stakeholders in this tourism area. This research has recommended that there is a need to increase local community capacity and their organization, as well as preparation of regulation and clear mechanism in the community involvement and other stakeholders in the tourism management in Tanjung Karang Pusentasi.


(4)

ABDULBASIR LANGUHA. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi merupakan salahsatu kawasan wisata yang terdapat di Kabupaten Donggala dan memiliki keragaman obyek dan daya tarik wisata. Karena keragaman potensi tersebut, pemerintah daerah menjadikan kawasan wisata ini sebagai salahsatu kawasan unggulan. Kawasan wisata ini terletak di ujung Teluk Palu dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang meliputi wilayah desa Tovale, desa Limboro, kelurahan Boneoge, dan kelurahan Labuan Bajo. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan : (1) pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut, (2) kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, dan (3) konsep pemerintah serta pandangan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat lokal memiliki pandangan yang positif tentang kegiatan pariwisata. Hal ini diindikasikan oleh sebagian besar masyarakat lokal (61,43 %), yang menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memberikan manfaat bagi mereka. Masyarakat lokal berkeinginan untuk terlibat secara penuh dalam kegiatan pariwisata yang mencakup aspek perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi kegiatan pariwisata yang berlangsung di wilayah ini. Masyarakat memiliki kearifan dalam pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk kepentingan pertanian maupun perikanan, diantaranya dalam pemilihan lokasi yang tepat untuk usaha tani

(nompepoyu) dan pemberian waktu jeda terhadap pemanfaatan sumber daya alam

(ombo). Disamping itu, mereka juga memiliki kegiatan dan produk budaya yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Faktor yang mendukung penerapan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat adalah dukungan kebijakan pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas masyarakat dan mengembangkannya dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pihak pengusaha wisata berpandangan bahwa selama ini mereka telah melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja, dan mendorong masyarakat untuk melindungi potensi alam dan budaya sebagai daya tarik wisata. Sementara itu, kelompok dan lembaga swadaya masyarakat berpandangan bahwa diperlukan suatu bentuk pengelolaan bersama antar semua pihak yang berkepentingan di kawasan wisata ini.


(5)

Penelitian ini merekomendasikan bahwa diperlukan upaya untuk membangun kapasitas masyarakat lokal dan organisasi yang dimilikinya, disamping mempersiapkan aturan dan mekanisme yang jelas tentang keterlibatan masyarakat dan pihak lainnya dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi

Kata kunci : pariwisata, kawasan wisata pantai, pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat.


(6)

TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Judul Tesis : Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala.

Nama : ABDULBASIR LANGUHA

NIM : P 052020131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S Ketua Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dan Lingkungan

Dr. Drh. Hasim, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(8)

 Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)


(10)

Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2007 ini adalah pengelolaan pariwisata dengan judul “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala”.

Selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari peran kedua pembimbing, masing-masing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti selaku ketua komisi pembimbing beserta Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan saran selama proses penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa mungkin saja masih terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Berkaitan dengan itu, maka segala hal yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut merupakan kekeliruan penulis dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.

Peran masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus organisasi masyarakat, dan aparat desa/kelurahan di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi dalam mensukseskan kegiatan penelitian yang penulis lakukan sangatlah besar. Demikian pula dengan aparat pemerintah Kecamatan Banawa dan Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala, pengusaha pariwisata dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah mendukung penulis dalam memberikan dukugan berupa data dan informasi yang disampaikan ketika wawancara dilakukan. Penulis berharap upaya yang telah mereka lakukan bersama penulis dalam mendiskusikan masalah pariwisata di wilayah ini dapat memberikan dorongan dan nilai tambah bagi upaya pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien

Bogor, Agustus 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 18 Oktober 1958 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari Ayah D. Languha dan Ibu Hanisa (Almarhumah).

Menamatkan pendidikan masing-masing, Sekolah Dasar pada tahun 1970 di SDN No. 1 Donggala, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1973 di SMP Negeri 1 Donggala dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1976 di SMA Negeri Donggala. Jenjang pendidikan Strata 1 diselesaikan pada Tahun 1987 pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.

Sejak tahun 1990, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Penulis memiliki seorang isteri bernama Nuraeni dan tiga orang putra-putri masing-masing Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa.

Pada bulan Agustus 2002, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.


(12)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala ni’mat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor.

Upaya yang penulis lakukan hingga saat ini, tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bimbingan dan do’a dari orang tua penulis masing-masing Ayahanda D. Languha dan Ibunda Hanisa (almarhumah). Semoga jerih payah dan kasih sayang yang diberikannya kepada penulis dapat menempatkan mereka pada posisi yang terhormat disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan selesainya penulisan penulisan tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sangat tinggi kepada kedua pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran selama proses penyelesaian ini. Kedua pembimbing tersebut masing-masing:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan

2. Ibu Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Disamping itu, ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian tesis penulis yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2008. Tiada sesuatu yang dapat penulis berikan kepada mereka bertiga kecuali do’a yang penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga amal baik mereka mendapatkan ridha dari Allah SWT dan diberikan kelapangan dalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya.

Selanjutnya kepada isteri tercinta, Nuraeni, serta anak-anakku Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa, terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis berikan atas pengorbanan yang mereka berikan selama penulis menempuh pendidikan. Demikian pula ucapan terima kasih yang tinggi kepada adik-adikku Zohrah, Abdulhakim Languha, Abdurrasyid Languha, dan Zalichah atas segala perhatian dan bantuan yang


(13)

selama ini diberikan kepada penulis. Semoga Allah meridhai dan memberikan limpahan rahmatNya.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik materil maupun moril penulis ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmatNya kepada mereka. Amien.


(14)

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Donggala merupakan salahsatu wilayah yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 10.472 km² yang terdiri atas 16 wilayah kecamatan. Daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sudah dikenal hingga mancanegara seperti Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Laut Pulau Pasoso, dan Pantai Tanjung Karang. Disamping lokasi-lokasi tersebut, daerah ini juga memiliki potensi lokasi wisata lainnya yang secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Air Terjun Loli, Air Terjun Vera, Air Panas Mantikole, Pantai Parimpi, Pantai Pusentasi, Danau Talaga, dan Danau Rano.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Donggala menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor unggulan disamping pertanian, perkebunan, dan perikanan (Pemda Kabupaten Donggala, 2005). Rencana tata ruang Kabupaten Donggala tahun 1999-2009 menetapkan lokasi-lokasi tersebut sebagai kawasan pengembangan pariwisata. Penetapan tersebut didasarkan pada minat masyarakat untuk berkunjung juga disebabkan lokasi-lokasi tersebut memiliki pemandangan alam yang indah, potensi budaya yang dimiliki oleh masyarakat sekitarnya, dan potensi flora dan fauna yang dimilikinya (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999).

Salahsatu lokasi tujuan wisata di Kabupaten Donggala yang saat ini sedang berkembang adalah Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang dan Pusentasi yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa. Kegiatan pariwisata di kawasaan pantai ini telah berlangsung sejak lama, dan secara tradisional merupakan lokasi wisata masyarakat Donggala dan sekitarnya, termasuk yang berasal dari Kota Palu. Karena potensi alam yang dimiliki, maka saat ini lokasi tersebut telah dikelola oleh pemerintah dan swasta serta dijadikan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang cukup dikenal terutama yang berasal dari Eropa.

Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala dalam rencana strategis pembangunan pariwisata telah menetapkan salahsatu arahan kebijakan


(15)

2

pembangunan pariwisata, yaitu meningkatkan peran aktif masyarakat di dalam mengelola dan mengembangkan kegiatan pariwisata (Disparsenibud Donggala, 2002). Kebijakan ini memang sangat beralasan karena pada dasarnya kawasan yang dikembangkan menjadi obyek wisata tersebut merupakan wilayah usaha masyarakat setempat yang dilakukan dengan berbagai aktifitas seperti perikanan, pertanian dan peternakan. Disamping itu pada kawasan ini juga terdapat kegiatan industri rumah tangga penduduk setempat berupa pembuatan sarung tenun Donggala, yang merupakan ciri khas sarung tenunan lokal Sulawesi Tengah serta potensi sosial budaya masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi produk-produk wisata. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang telah dilakukan pada lokasi wisata Tanjungkarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum terlibat langsung pada kegiatan pengelolaan pariwisata (Agusniatih, 2002).

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha untuk menggali dan mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, konsep dan kebijakan pemerintah serta keterlibatan pihak lain diluar masyarakat dan pemerintah seperti pihak swasta yang bergerak di bidang pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat. Studi ini beranjak dari asumsi bahwa berbagai persoalan yang timbul dari suatu pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pariwisata, disebabkan tidak dilibatkannya masyarakat berdasarkan kepentingan dan potensi sosial budaya yang dimilikinya. Padahal, menurut Huguinen (2000) masyarakat memiliki pengalaman empirik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang terdapat disekitar lingkungan kehidupannya. Pengetahuan tersebut kemudian, menurut Flyman (2002) membentuk sistim pengelolaan oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupannya.

Salah satu sifat dari kegiatan pariwisata adalah “konsumsi dilakukan di tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga wisatawan yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya (Cooper et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat potensial untuk dikembangkan pada saat krisis karena disamping untuk


(16)

meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002).

Akibat positif dari pembangunan pariwisata tersebut ternyata juga menghasilkan berbagai akibat negatif yang berkaitan dengan aspek sosio-kultural dan lingkungan pada banyak lokasi tujuan wisata, terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata dapat berupa peningkatan harga lahan, degradasi budaya dan akulturasi, masuknya spesies asing ke dalam flora dan fauna lokal, kerusakan lokasi warisan budaya, kerusakan terumbu karang, sampai pada pencemaran akibat pembuangan sampah dan kotoran pada lokasi tujuan wisata yang terkenal dan padat pengunjung (Sashidaran et al., 2002). Keadaan tersebut hanya merupakan beberapa akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Akibat lainnya yang sangat penting terutama bagi kelestarian potensi sumber daya alam yang menjadi salahsatu daya tarik wisata adalah perebutan atau konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal, pihak swasta yang berasal dari luar dan pemerintah.

Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan usaha yang menitik beratkan aspek sumberdaya alam dan budaya sebagai bahan baku produknya maka pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengkaji dan mengembangkan konsep tersebut. Menurut Adhikari (2001) pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, termasuk didalamnya pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, merupakan suatu konsep pengelolaan yang dilakukan oleh, untuk, dan dengan masyarakat lokal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, jaminan dan penguatan masyarakat lokal serta untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap sumberdaya alam tersebut. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Harris dan Vogel, 2004) .


(17)

4

1.2. Rumusan Masalah

Penerapan konsep pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu alternatif untuk mengatasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh konsep tersebut mendapat dukungan dari kondisi sosio-kultural masyarakat setempat, kebijakan pemerintah dan keterlibatan pihak lain seperti swasta dan LSM yang berkepentingan terhadap kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang diangkat didalam penelitian ini adalah ” bagaimana bentuk pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat yang dapat dikembangkan ”, yang dibagi menjadi beberapa pertanyaan dan diharapkan dapat mendukung ditemukannya jawaban bagi pertanyaan pokok tersebut, sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Sejauhmana masyarakat masih memiliki kelembagaan (pranata) sosial, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaaan sumber dayaalam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat.

3. Bagaimana pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal memandang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kegiatan pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia saat ini telah semakin berkembang. Perkembangan ini melibatkan semua komponen yang terdapat didalam suatu masyarakat, baik masyarakat lokal maupun individu ataupun kelompok usahawan/swasta yang berasal dari luar suatu wilayah tertentu, termasuk pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan pembangunan.

Kemajuan dari kegiatan pariwisata telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Manfaat tersebut disamping untuk meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi


(18)

dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada kenyataannya disamping memberikan manfaat, kegiatan pariwisata juga memberikan akibat yang negatif terutama bagi masyarakat yang terdapat di sekitar wilayah/lokasi kegiatan pariwisata. Dengan kata lain, bahwa perkembangan kegiatan pariwisata di suatu wilayah/lokasi belum tentu dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal, yang disebabkan oleh konsep atau sistim pengelolaan yang belum memberikan peluang bagi semua pihak untuk mengambil peran dan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, suatu konsep yang memberikan kesempatan kepada semua pihak terutama masyarakat lokal, telah ditawarkan dan dikembangkan pada berbagai tempat didunia, yang disebut dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Menurut Harris dan Vogel (2004) konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sebuah pendekatan pengelolaan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan-keputusan pengelolaan. Konsep tersebut dikembangkan berdasarkan pada persepsi masyarakat terhadap usaha yang akan dikembangkan. Peran masyarakat tersebut tidak terlepas dari interaksinya dengan pemerintah dan pihak lain yang berasal dari luar. Disamping itu potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya menjadi modal bagi pengembangan konsep tersebut.

Konsep pariwisata berbasis masyarakat menunjuk pada adanya dua pilar sosial sebagai subyek pelaku, yaitu pengusaha wisata dan masyarakat lokal. Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat adalah proses interaksi sinergis kekuatan-kekuatan sosial ekonomi dari kedua pilar tersebut serta keberadaan pemerintah sebagai sebagai pemegang kendali kebijakan. Secara skematis, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.


(19)

6

Pemerintah Masyarakat lokal Pengusaha wisata

Pengelolaan pariwisata berbasis

masyarakat Potensi sumberdaya

alam dan sosial budaya masyarakat

Konsep dan kebijakan pemerintah

Persepsi, harapan, dan potensi masyarakat

Persepsi/pandangan pengusaha dan LSM

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan :

1. Pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

3. Konsep pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.


(20)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan perencana lainnya dalam melakukan perencanaan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. 2. Sebagai sumber informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan sementara seseorang ke tempat lain dari tempat tinggal dan tempat kerjanya serta melakukan berbagai kegiatan selama berada ditempat tujuan dan memperoleh kemudahan dalam penyediaan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Mathieson dan Wall, 1992).

Burkart dan Medik (1981) dalam Ross (1998) menggambarkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh para wisatawan dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengadakan perjalanan ke dan tinggal diberbagai tempat tujuan.

2. Tempat yang dituju dalam kegiatan tersebut berbeda dari tempat tinggal dan tempat kerjanya sehari-hari. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja ditempat tujuan wisatawan.

3. Orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut (wisatawan) bermaksud pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan. Karena itu perjalanannya bersifat sementara dan berjangka pendek.

4. Perjalanan dilakukan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap ditempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah.

Spillane (1987) memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu perjalanan dari satu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Disamping itu, menurut Cooper et al., (1999) kegiatan pariwisata memiliki suatu kelebihan dimana “konsumsi dilakukan di tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga dengan demikian wisatawan yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya.

Dari gambaran-gambaran yang dikemukakan tersebut dapat dikatakan bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya sekedar dilakukan untuk melakukan perjalanan dan menikmati suasana di tempat tujuan tetapi juga


(22)

memberi makna yang luas. Oleh karenanya kegiatan pariwisata juga memiliki dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan dan berbagai interaksi antara berbagai aspek kehidupan manusia. Berkaitan hal ini, Pendit (2003) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan sebuah industri yang didalamnya terdapat setidaknya sepuluh unsur pokok yaitu politik/kebijakan pemerintah, perasaan ingin tahu yang melahirkan keinginan untuk berwisata, sifat ramah tamah, aksesibilitas, akomodasi, transportasi, harga, publisitas dan promosi, dan kesempatan berbelanja bagi wisatawan.

Secara garis besar, pariwisata dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu pariwisata alam dan pariwisata budaya. Pariwisata alam atau nature tourism atau nature-based tourism adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung tergantung pada sumber daya alam yang belum berkembang/dikembangkan, termasuk pemandangan, topografi, perairan, tumbuhan dan hewan liar (World Conservation Union, 1996 dalam Tribuwani, 2002). Selanjutnya Raharjo (2000)

dalam Winarso (2004) mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam memiliki

prinsip-prinsip yaitu kontak dengan alam, pengalaman yang bermanfaat secara pribadi maupun sosial, bukan merupakan mass tourism, mencari tantangan fisik dan mental, interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat, adaptif terhadap kondisi akomodasi pedesaan, toleran terhadap ketidaknyamanan, partisipasi aktif, dan lebih mengutamakan pengalaman dibanding kenyamanan.

Berdasarkan hal tersebut, maka secara prinsip pariwisata alam tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan pariwisata budaya. Meskipun demikian, wisata budaya dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perjalanan yang semata-mata hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya disuatu tempat tertentu (McKercher, 2002 dalam Suranti, 2005).

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan suatu proses keterlibatan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam dimana mereka menggantungkan hidupnya (International Institute of Rural Reconstruction, 1998). Adhikari (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh, untuk dan dengan masyarakat lokal yang


(23)

11

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan penguatan masyarakat lokal serta dalam rangka perlindungan terhadap sumberdaya alam.

Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat tergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan hal tersebut dapat berlangsung bila ada manfaat yang nyata diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut (Adhikari, 2001). Hal ini berarti bahwa masyarakat harus memiliki tanggungjawab yang penuh dan otonomi terhadap perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Uphoff, 2002)

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan tidak hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan institusi lokal (Rasmussen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001). Keterlibatan masyarakat dan institusi lokal diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan dan terbentuknya konsensus yang berkaitan dengan keadaan lingkungan saat itu (Innes, 1996; Selman, 2001). Selanjutnya, keberhasilan pendekatan partisipasi lokal akan sangat ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat, struktur masyarakat dan hubungan antar individu yang terbangun didalam masyarakat tersebut (Selman, 2001).

Konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat seringkali diasosiasikan dengan berbagai istilah yang berkaitan seperti pengelolaan sumberdaya masyarakat (community resource management), pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (community-based coastal resource

management), kehutanan masyarakat (community forestry), co-management

(Carr et al., 1998), collaborative management (Allmendinger, 2002).

Konsep-konsep tersebut pada dasarnya ditujukan agar dapat mengakomodasi peranserta masyarakat yang bermukim disekitar wilayah pengelolaan. Perencanaan pengelolaan lingkungan dan upaya meningkatkan pembangunan berkelanjutan pada tingkat lokal akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat sekitar yang akan dipengaruhi oleh upaya pengelolaan tersebut (Selman, 2001).


(24)

2.3. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat adalah pariwisata yang secara de facto direncanakan dan dikelola oleh suatu kelompok individu/rumahtangga yang terdiri dari masyarakat sebagai suatu kelompok usaha komunal. Kegiatan tersebut dapat pula dikelola oleh suatu perusahaan swasta dimana agenda kegiatannya disusun oleh masyarakat (Sharma, 1998b dalam Godde, 1998). Selanjutnya, Ngece (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat bila masyarakat lokal memiliki kontrol yang kuat dan terlibat didalam kegiatan pariwisata dimana sebagian besar, jika tidak keseluruhan, manfaatnya dapat tinggal dan diperoleh masyarakat.

Beberapa alasan yang mendasari betapa pentingnya posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, seperti yang dikemukakan oleh Godde (1998) sebagai berikut :

Pertama ; adanya peningkatan demand akan wisata terhdap sumber-sumber alam yang terdapat dilingkungan pada umumnya menunjukan adanya tekanan yang besar terhadap peran pengelolaan oleh masyarakat,

Kedua ; kegiatan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat,

Ketiga ; pariwisata berbasis masyarakat dapat memenuhi keinginan kita akan adanya suatu identitas budaya masyarakat yang diharapkan dapat menghambat akibat negatif dari pariwisata.

Keempat ; pariwisata berbasis masyarakat juga dapat menciptakan suatu struktur perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan pariwisata yang efektif serta untuk memudahkan dalam menentukan skala aktifitas ekonomi yang tepat.

Harris dan Vogel (2004) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang berbasis masyarakat dapat memberikan kontribusi dan insentif bagi perlindungan alam dan budaya disamping memberikan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, konsep pariwisata berbasis masyarakat dapat dikatakan ada apabila keputusan mengenai aktifitas wisata dan pengembangannya dikendalikan oleh masyarakat setempat. Menurut Godde (1998) masyarakat


(25)

13

berperan sebagai pemimpin dalam perencanaan, pengelolaan dan pemilik dari kegiatan wisata tersebut.

Beberapa ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Harris dan Vogel (2004) adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan pariwisata dijalankan dan berdasarkan persetujuan masyarakat lokal. Berkaitan hal ini, masyarakat lokal harus berpatisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan wisata.

2. Diutamakan pelibatan masyarakat daripada pelibatan individu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelibatan secara individu akan lebih memungkinkan terjadinya gangguan sosial.

3. Adanya pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat lokal. Idealnya hal ini juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan sosial masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan.

4. Menghormati budaya tradisional dan struktur sosial setempat serta dilakukan dengan ramah lingkungan.

2.4. Pengembangan Masyarakat

Masyarakat adalah suatu kata yang memiliki berbagai macam makna dan penggunaan. Pada umumnya, masyarakat dipandang sebagai kumpulan orang-orang yang bermukim di suatu tempat tertentu, atau suatu populasi yang memiliki suatu karakter yang sama (Nisbet, 1969 dalam Doe dan Khan, 2004). Namun demikian, Reid (1999) dalam USDA (2005) mengemukakan bahwa masyarakat dapat pula didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya bersama, bahasa, dan kepercayaan ataupun kepentingan bersama (yang sering disebut sebagai

communities of interest). Selanjutnya Agrawal dan Gibson (1999) mengemukakan

bahwa masyarakat terbentuk dari suatu unit spasial yang kecil, memiliki struktur sosial yang homogen, dan memiliki kepentingan bersama serta norma yang sama.

Kata pengembangan dalam istilah pengembangan masyarakat memiliki pengertian yang sama dengan pembangunan (development). Dengan demikian, maka pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk membangun kemampuan masyarakat dalam berbagai aspek. Frank dan Smith (1999) mengemukakan bahwa pengembangan masyarakat merupakan suatu proses perubahan yang terencana menyangkut hajat


(26)

hidup masyarakat dalam segala aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya). Upaya pengembangan masyarakat tersebut menurut Robert D. Putnam (Frank dan Smith , 2005) dibangun berdasarkan atas empat sumberdaya yang penting yaitu modal sosial, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan finansial.

Pengembangan masyarakat diyakini sebagai suatu proses pembangunan yang lebih bersifat partisipatif dan pemecahan masalah dilakukan secara bersama-sama (cooperative) oleh semua pihak yang berkepentingan (Fuller dan Reid, 1998

dalam Pinel, 1999). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas pengembangan

masyarakat merupakan upaya yang sangat tepat dalam rangka pemberdayaan

(empowerment) masyarakat, terutama masyarakat lokal yang masih memiliki

berbagai keterbatasan.

2.5. Persepsi dan Partisipasi

Persepsi pada umumnya menjadi dasar bagi sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat. Adiputro (1999) mengemukakan bahwa persepsi merupakan pendapat, sikap dan prilaku yang bersifat pribadi dan subyektif yang mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri manusia.

Menurut Sarwono (2002) persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Bagaimana persepsi sesorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi atau seberapa jauh terdapat hubungan-hubungan antara keduanya.

Perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya menurut Sarwono (2002) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) Perhatian ; rangsangan yang ada di sekitar kita tidak kita tangkap sekaligus, tapi kita hanya menfokuskan pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan yang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi, 2) Set ; adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya seorang pelari yang siap digaris start terhadap set bahwa akan terdengar letusan pistol disaat ia harus berlari, 3) Kebutuhan ; kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut, 4) Sistem nilai seperti adat istiadat dan kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap


(27)

15

persepsi, dan 5) Ciri kepribadian misalnya watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi sesorang.

Partisipasi secara sederhana memiliki arti peran serta seseorang atau sekelompok orang ataupun sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan tersebut (Sumardjo, 2003). Sedangkan Sastroepoetro, (1988) dalam Illahi, (1998)menyatakan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab terhadap kepentingan untuk mencapai tujuan.

Partisipasi masyarakat akan memiliki nilai bagi pembangunan bila masyarakat memahami arti dan tujuan partisipasi mereka. Oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan mengandung unsur edukasi. Partisipasi merupakan kegiatan yang bersifat sukarela yaitu adanya kebebasan dan keinginan yang dilandasi oleh kesadaran individu atau masyarakat untuk terlibat dan ikut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat memiliki tingkatan yang beragam mulai dari sekedar memperoleh informasi hingga terbangunnya inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pada Tabel 1 dikemukakan tingkat/level partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994).

Tabel 1. Tingkatan/level partisipasi masyarakat

Tipologi Komponen dari masing-masing tipe

Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi karena diberitahu apa yang akan dan telah terjadi. Pengarahan dilakukan oleh penguasa ataupun pejabat proyek, respon masyarakat tidak menjadi pertimbangan. Informasi yang diberikan adalah milik para profesional dari luar masyarakat setempat.

Partisipasi dalam memberikan informasi

Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dari luar maupun manager proyek dengan menggunakan kuesioner, survei, ataupun pendekatan sejenis. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi proses, karena hasil penelitian ataupun desain proyek tidak diberitahukan atau dicek kebenarannya. Partisipasi dengan

konsultasi

Masyarakat berpartisipasi dengan cara diminta pendapatnya, dan agen dari luar mendengarkan pandangan masyarakat tersebut. Agen dari luar mendefinisikan masalah dan cara

penyelesaiannya, serta dapat mengubahnya setelah

mengetahui respon masyarakat. Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, dan para profesional tidak wajib mengikuti pandangan.


(28)

Partisipasi untuk insentif material

Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan sarana, tenaga kerja dengan imbalan seperti makanan, uang, atau insentif material lainnya. Masyarakat setempat terlibat dalam kegiatan itu tetapi tidak terlibat didalam proses belajar. Partisipasi tersebut biasanya akan berhenti dengan selesainya proyek.

Partisipasi fungsional

Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yang berhubungan dengan proyek. Inisiatif proyek dapat berasal dari luar masyarakat. Keterlibatan mereka biasanya tidak sejak awal atau tahap perencanaan, namun baru mulai setelah keputusan utama diambil. Pada partisipasi jenis ini, kelompok yang terbentuk cenderung tergantung pada inisiatif eksternal dan fasilitator, tetapi juga bisa menjadi mandiri.

Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, yang kemudian diikuti dengan rencana aksi dan pembentukan kelompok lokal atau memperkuat yang telah ada. Cara ini cenderung dilaksanakan melibatkan banyak pihak dengan metode interdisipliner, yang mencari berbagai perspektif dan menggunakan proses belajar terstruktur ataupun sistematis. Kelompok ini mengontrol pengambilan keputusan lokal, dan juga orang (lokal) memiliki kepedulian dalam pengelolaan program.

Mobilisasi diri sendiri/Mandiri

Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif yang bebas dari institusi eksternal untuk membuat perubahan. Mobilisasi mandiri dan kegiatan bersama dilakukan untuk mengubah keadaan dan pembaharuan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan.


(29)

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Letak Geografis

Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Kecamatan Banawa adalah salahsatu dari 19 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala. Wilayah ini membentang di sepanjang pesisir pantai mulai dari bagian barat Teluk Palu hingga Selat Makassar yang membentang dari arah utara ke selatan dengan panjang pantai ± 35 kilometer.

Kecamatan Banawa, yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Donggala, terletak antara 0°9´-0°1´ LS dan 119°34´-119°10´ BT dengan batas fisik wilayah yaitu :

- Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Palu,

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan, - Sebelah timur berbatasan dengan Kota Palu, dan

- Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Kecamatan Banawa memiliki luas 213,39 km², yang terdiri dari 17 desa dan kelurahan. Semua desa dan kelurahan dapat dilalui dengan kendaraan roda empat, sehingga mempermudah hubungan antara satu desa/kelurahan ke ibukota kecamatan dan dengan desa/kelurahan lainnya.

Secara khusus, Kawasan Wisata Tanjung Karang-Pusentasi mencakup dua wilayah Kelurahan dan dua Desa yaitu Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro, dan Desa Tovale. Meskipun demikian, fokus kegiatan pariwisata hanya terdapat pada lokasi Tanjung Karang yang merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, dan Dusun Kaluku yang merupakan bagian dari wilayah Desa Limboro, serta salah satu lokasi yang dikenal dengan nama Pusentasi terletak diujung Desa Tovale dan tidak dihuni oleh masyarakat. Kawasan ini berada pada ujung barat Teluk Palu, yang memanjang dari utara ke selatan sepanjang ± 10 kilometer dan sebagian besar terletak di Selat Makassar.


(30)

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2. Iklim dan Curah hujan

Sebagaimana dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Donggala memiliki dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Musim panas terjadi antara bulan April sampai September, sedangkan musim hujan pada bulan Oktober sampai Maret.

Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu pada tahun 2005 bahwa suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juli (34,0° C) dan suhu udara maksimum terendah terjadi pada bulan Nopember (31,6° C). Sementara suhu rata-rata minimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 23,8° C, sedangkan suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Juni yang mencapai 22,1° C (Badan Meteorologi dan Geofisika Palu, 2006).

Kelembaban udara yang tercatat pada stasiun yang sama berkisar antara 73 – 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Pebruari yang mencapai 82 persen, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi


(31)

19

pada bulan Juli dan Agustus yaitu 73 persen. Curah hujan pada tahun 2005 yaitu antara 27-281 mm perbulan atau rata-rata 148,08 mm perbulan, sementara jumlah hari hujan berkisar anatara 4-13 hari perbulan atau rata-rata 8,25 hari perbulan. Penyinaran matahari rata-rata 69%, dan penguapan rata-rata 6,14 mm/hari.

Tabel 2. Keadaan curah hujan di Kecamatan Banawa tahun 2006 Lokasi pengukuran Bulan Hari hujan Curah hujan (mm)

Banawa Januari 12 281

Pebruari 8 125

Maret 11 200

April 9 183

Mei 7 265

Juni 5 81

Juli 13 177

Agustus 4 27

September 6 35

Oktober 4 29

Nopember 11 202

Desember 9 172

Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.3. Kondisi hidrologi

Secara umum, keadaan hidrologi di Kecamatan Banawa sama dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Donggala. Di Kecamatan Banawa terdapat beberapa buah sungai yang keadaan airnya sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya curah hujan. Sungai-sungai tersebut masing-masing terdapat di Desa Loli Oge, Loli Tasiburi, Kabonga Besar, Limboro dan Tovale, serta satu buah sungai yang membelah kota Donggala.

Khusus untuk ketiga lokasi yang masuk kedalam kawasan wisata yaitu Tanjung Karang, Boneoge dan Dusun Kaluku tidak terdapat sungai. Selain Tanjung Karang, kedua lokasi tersebut memiliki sumber air tanah yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluannya sehari-hari dengan menggali sumur di sekitar pemukiman mereka. Sementara, Tanjung Karang merupakan wilayah daratan yang menjorok ke laut, dengan wilayah dataran yang relatif sempit dan tidak memiliki sumber air tawar berupa air tanah seperti yang dimiliki oleh kedua lokasi lainnya. Karenanya untuk kebutuhan air bagi warga dan wisatawan sangat tergantung pada suplai air dari Perusahaan Daerah Air Mimum (PDAM) di Donggala.


(32)

3.4. Geologi dan Topografi

Kawasan Kecamatan Banawa merupakan bagian dari wilayah Dataran Bambamua-Tanah Mea, yang secara geologi terdiri dari endapan-endapan pantai

dan alluvial baru yang berasal dari sedimen yang lebih tua. Tanahnya bertekstur

sedang dengan drainase dari lambat sampai agak baik. Topografi dari datar sampai bergelombang. Dataran-dataran yang lebih sempit/kecil terdapat di wilayah pesisir pantai.

Kawasan pesisir kecamatan Banawa merupakan dataran yang berbatasan dengan laut, dengan ketinggian antara 0 - 100 meter dari permukaaan laut. Topografi relatif sedang dengan kemiringan tanah 2 – 15 %. Disepanjang pantai membentang pasir putih dan rataan terumbu karang (reef flat), yang merupakan habitat beberapa jenis ikan karang (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, 2003). Keadaan topografi wilayah di kawsan wisata Tanjung Karang Pusentasi tersebut dikemukakan pada Tabel berikut.

Tabel 3. Luas wilayah dan keadaan topografi di wilayah penelitian

Desa/Kelurahan Luas (km²)

Bentuk permukaan tanah (%) Ketinggian dari permukaan laut (meter) Dataran Perbukitan Pegunungan

Boneoge 5,50 40 60 - 0 – 250

Labuan Bajo 5,50 50 50 - 0 – 250

Limboro 23,46 60 40 - 0 – 200

Sumber: Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.5. Tipologi dan Ekosistem Pantai

Kawasan pantai Tanjung Karang - Pusentasi sebagian didominasi oleh jenis batuan lepas (rawan longsor) dan karang pantai seperti yang terdapat pada bagian ujung selatan Boneoge sampai Dusun Kaluku, Limboro, sedangkan pantai yang landai dan berpasir sebagian besar terdapat pada bagian tengah hingga utara Desa Boneoge dan Tanjung Karang.

Di bagian utara kawasan ini terdapat terumbu pantai yang relatif sempit, dan rataan tengah yang relatif lebar. Disamping itu terdapat pula suatu patch reef (gosong) dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman antara 1 – 2 meter pada saat air surut. Gosong tersebut memanjang dari Tanjung Karang ke Wilayah


(33)

21

Boneoge. Di kawasan ini, khususnya di Boneoge dan Dusun Kaluku (Limboro) sebagian ditumbuhi oleh lamun dari jenis Enhallus acoroides, Thalassia

hemprichii, dan Syringgoinium sp. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan

Kelautan Sulawesi Tengah (2003) pada beberapa tempat telah terjadi kerusakan karang yang disebabkan oleh aktifitas manusia berupa pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potasium. Disamping itu kerusakan yang terjadi juga disebabkan oleh organisme pemangsanya yaitu bintang laut bermahkota duri atau Acanthaster plancii.

Pantai di kawasan ini umumnya ditumbuhi oleh vegetasi hutan pantai seperti jenis Ketapang (Terminalia catappa), Beringin (Ficus benyamina), dan Bayam (Intsia bijuga). Pada bagian lain sebagian besar ditumbuhi oleh pohon kelapa milik masyarakat. Disamping itu juga terdapat beberapa jenis burung seperti burung Gosong (Megapodius bernsteinee), Dara Laut (Sterna hirundo), Elang Perut Putih (Haliaeetus leucogaster), dan Nuri atau Betet kelapa punggung biru (Tanygnathus sumatranus). Sedangkan jenis fauna yang lainnya adalah Biawak (Varanus sp.), Musang Sulawesi (Macrogalidea Musschenbroeki), dan Penyu (Celonia sp.) (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah, 2003).

3.6. Sosial Ekonomi dan Budaya 3.6.1. Penduduk

Secara keseluruhan penduduk yang mendiami kelurahan dan desa di kawasan wisata ini berjumlah 1424 KK atau 6799 jiwa. Jumlah penduduk pada masing-masing kelurahan/desa diwilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata per rumah tangga

Desa/Kelurahan Luas wilayah

(km²)

Rumah

tangga Penduduk

Rata-rata per Rumah

Tangga

Rata-rata per km²

Limboro 5,50 366 1.565 4 521

Labuan Bajo 5,50 394 2.371 6 431

Boneoge 23,46 663 2.863 4 67

Jumlah 1.423 6.799


(34)

Jika dilihat jumlah penduduk sebanyak 6.799 jiwa dan dibandingkan dengan luas wilayah (37,94 km²), secara geografis kepadatan penduduk pada kawasan ini adalah 179,20 jiwa per km². Penduduk yang bermukim di wilayah ini memiliki mata pencaharian yang beragam, tetapi sebagaian besar diantara mereka bekerja sebagai nelayan. Gambaran tentang keragaman mata pencaharian penduduk disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Mata pencaharian penduduk di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi

Desa/Kelurahan

Mata pencaharian

Petani Peternak Nelayan Dagang Buruh dan lainnya

Limboro 177 6 5 25 110

Labuan Bajo 21 5 195 45 400

Boneoge 125 10 132 12 247

Jumlah 323 21 332 82 757

Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Bila dilihat pada tabel tersebut, sebagian besar masyarakat di kawasan ini menggantungkan hidupnya sebagai buruh dan lainnya yang terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai buruh baik di pelabuhan Donggala maupun sebagai buruh bangunan, pegawai negeri, sopir, serta beberapa kegiatan jasa baik sebagai sopir angkutan maupun sebagai ojek. Namun jika dicermati maka pekerjaan sebagai nelayan menempati posisi yang tertinggi disusul oleh pekerjaan sebagai petani, dan peternak.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat di wilayah penelitian, sebagian penduduk memiliki pekerjaan ganda seperti nelayan dan peternak, nelayan dan petani, ataupun nelayan dan sesekali bekerja sebagai buruh pelabuhan atau bangunan dan beberapa pekerjaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut terutama dilakukan pada saat musim tertentu yaitu musim barat ketika mereka tidak dapat melaut karena cuaca yang tidak memungkinkan. Keadaan tersebut dapat berlangsung selama kurang lebih tiga bulan yaitu pada bulan Desember, Januari, dan Pebruari.


(35)

23

3.6.2. Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan dan kesehatan merupakan prasyarat bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, disamping aspek-aspek yang lainnya. Di wilayah ini, fasilitas pendidikan dan kesehatan terdapat pada semua desa dan kelurahan meskipun tingkatnya disesuaikan dengan kondisi dan status wilayahnya. Keadaan sarana pendidikan dan kesehatan di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Sarana pendidikan dan kesehatan di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi

Desa/Kelurahan

Tingkat pendidikan Sarana kesehatan

TK SD SLTP SMA Pustu/

Polindes Pos KB

Limboro 1 1 1 - 1 1

Labuan Bajo 2 4 - - 1 1

Boneoge 1 2 1 - 1 1

Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

Bila dilihat dari sarana pendidikan yang ada maka peluang masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sampai pada tingkat menengah cukup besar. Dengan demikian, sebagian penduduk di wilayah ini setidaknya memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan sekolah lanjutan pertama dan selanjutan tingkat atas. Keadaan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan rinci karena saat ini tidak tersedia data yang menerangkan tentang tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan baik pada ketiga desa/kelurahan di kawasan wisata ini maupu Kecamatan Banawa secara keseluruhan.

Sedangkan yang berkaitan dengan sarana kesehatan, yang tersedia baru berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) masing-masing di desa Limboro, kelurahan Labuan Bajo dan Boneoge. Hal ini dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh (hanya sekitar 3 – 9 km) dari Kota Donggala yang memiliki sarana kesehatan yang lebih lengkap, sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk menjangkau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun demikian, jika dilihat dari kepentingan wilayah ini sebagai suatu kawasan wisata yang banyak dikunjung orang dan memiliki peluang untuk menghadapi resiko didalam aktifitasnya maka sarana kesehatan yang lebih baik tentu sangat dibutuhkan.


(36)

3.6.3. Kelompok Etnis

Masyarakat yang bermukim di wilayah Kecamatan Banawa terdiri dari berbagai etnis, meskipun didominasi oleh Suku Kaili sebagai kelompok etnis asli. Kelompok etnik lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah Bugis, Jawa, Minahasa, dan kelompok etnik lainnya meskipun dalam jumlah yang kecil. Kehidupan antara etnis berlangsung rukun dan damai, dan terjalin interaksi yang baik antar mereka.

Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam pemerintahan, komunikasi antar etnis, pendidikan, dan bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa daerah biasanya hanya digunakan untuk berkomunikasi secara internal pada masing-masing kelompok etnis.

3.7. Kegiatan Pariwisata di Kecamatan Banawa

Kegiatan kepariwisataan di wilayah ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama sebelum pemerintah menetapkannya sebagai salahsatu sektor prioritas. Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa memiliki beberapa lokasi wisata yang dikenal dan merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat baik yang bermukim di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu dan sekitarnya. Lokasi wisata tersebut diantaranya Pemandian Loli yang terletak di Desa Loli Oge, Air terjun Loto yang terletak di Desa Loli Tasiburi, pantai pasir putih Tanjung Karang yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Pantai Pasir Putih Boneoge di Kelurahan Boneoge, Pantai Pasir Putih Kaluku yang terletak di Dusun Kaluku Desa Limboro, dan Pantai Pusentasi di Desa Tovale.

Pada dekade 1990an Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala, mulai memberikan perhatian kepada wilayah ini karena memiliki potensi yang cukup besar bagi pembangunan daerah. Disamping kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor yang terus didorong perkembangannya, juga karena kunjungan wisatawan lokal yang tetap stabil pada lokasi-lokasi tersebut serta mengalirnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Tanjung Karang merupakan dorongan bagi pemerintah daerah untuk lebih serius dalam memberikan perhatiannya. Bukti keseriusan pemerintah daerah tersebut adalah dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai salahsatu unggulan dan kemudian berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 1995 dibentuk Dinas Pariwisata


(37)

25

di Kabupaten Donggala, yang selanjutnya berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 2001 berubah menjadi Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud Donggala, 2002).

Pada Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi terdapat beberapa lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu Tanjung Karang, Boneoge, Kaluku, dan Pusentasi. Tanjung Karang merupakan lokasi yang merupakan sebuah tanjung diujung Teluk Palu dimana salahsatu sisi pantainya menghadap ke teluk sementara sisi yang lainnya menghadap ke Selat Makassar. Lokasi ini memiliki pantai pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang yang dekat dari pantai. Hal ini menyebabkan Tanjung Karang menjadi lokasi yang paling dikenal dan disukai oleh wisatawan dibanding lokasi lainnya di kawasan ini. Berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh pengelola pintu masuk, lokasi ini dikunjungi oleh sekitar 200 – 700 orang wisatawan lokal setiap minggu (dihitung berdasarkan jumlah karcis pintu masuk yang terjual). Disamping wisatawan lokal yang biasanya berkunjung pada setiap hari Minggu, terutama minggu pertama dan kedua, lokasi ini juga banyak dikunjunhg oleh wisatawan mancanegara.

Gambar 3. Lokasi wisata Tanjung Karang dilihat dari salahsatu sisi

Lokasi Wisata Boneoge yang terletak sekitar 1 kilometer sebelah barat Tanjung Karang merupakan sebuah kelurahan yang memanjang dari arah timur ke barat dan memiliki pantai pasir putih membentang hampir disepanjang wilayahnya. Namun demikian, kondisi pantainya nampak tidak terurus karena sebagian besar dipenuhi oleh sampah yang sebagian besar terbawa oleh air laut


(38)

pada saat pasang, kecuali pada ujung bagian barat dimana terdapat pondok peristrahatan/penginapan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten Donggala. Dibandingkan dengan Tanjung Karang, lokasi ini agak jarang dikunjungi oleh wisatawan. Meskipun demikian, wisatawan lokal yang berkunjung ke Tanjung Karang sering melanjutkan perjalanan ke Boneoge untuk membeli ikan segar yang dijual oleh nelayan yang baru tiba melaut.

Gambar 4. Sebagian Pantai Boneoge yang belum terurus (kiri), dan sumur laut yang terdapat di Lokasi Pusentasi (kanan).

Lokasi Wisata Pantai Kaluku yang terletak di Desa Limboro merupakan lokasi yang memiliki pantai yang landai dengan pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang yang merupakan salahsatu sumber mata pencaharian nelayan. Pada bagian lain dari lokasi ini terdapat sebuah batu karang berukuran besar terletak agak menjorok kelaut yang oleh masyarakat disebut dengan vatu nolanto (batu mengapung) yang sering digunakan untuk melakukan pesta adat untuk mendapatkan keselamatan dalam melakukan aktifitas melaut. Pada lokasi ini terdapat 5 buah pondok penginapan yang dimiliki oleh pengusaha


(39)

27

dari Palu, namun karena pengelolaan yang kurang baik lokasi ini sangat jarang dikunjungi.

Lokasi yang terakhir adalah Pusentasi yang berjarang sekitar 500 meter dari Kaluku. Di lokasi ini terdapat sebuah sumur air laut yang terletak ± 75 meter dari bibir pantai yang oleh masyarakat disebut dengan pusentasi atau pusat laut. Pusentasi merupakan lokasi yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala dan sering dijadikan sebagai lokasi festival budaya yang dilakukan oleh pemerintah. Di lokasi ini terdapat beberapa bangunan sebagai tempat peristrahatan bagi pengunjung dan sering pula digunakan sebagai ruang pameran dan berbagai aktifitas lainnya. Setiap minggu lokasi ini ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal baik yang berasal dari Kota Palu maupun Donggala, tetapi tidak diperoleh catatan tentang jumlah pengunjung yang mendatangi lokasi ini.

Berkaitan dengan potensi pariwisata baik alam maupun budaya yang tersedia, pemerintah daerah Kabupaten Donggala menjadikan lokasi-lokasi yang terdapat di kawasan ini sebagai bagian dari prioritas pengembangan pariwisata (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999). Berdasarkan rencana strategi pengembangan kepariwisataan Kabupaten Donggala, aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian adalah dalam hal pengembangan produk yang khas dan memiliki daya tarik, promosi, peningkatan keterampilan pengelola, dan pengembangan kelembagaan (Disparsenibud Donggala, 2002).

3.8. Tipologi wisatawan

Wisatawan yang berkunjung di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasiterdiri dari wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara, dan wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara berasal dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa, dan Asia. Berdasarkan catatan kunjungan wisatawan mancanegara yang dimiliki oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala terlihat bahwa pada tahun 2005 berjumlah 254 wisatawan. Sebagaian besar diantaranya berasal dari Jerman sejumlah 100 orang, selebihnya berasal dari Perancis 53 orang, Belanda 39 orang, Australia 13 orang, Austria 11 orang, Amerika Serikat 15 orang, Inggris 9 orang, Swiss 6 orang,


(40)

Selandia Baru 3 orang, Ukraina 2 orang, serta Belgia, Italia, dan Thailand masing-masing 1 orang, dengan waktu tinggal selama 5 – 21 hari.

Sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung merupakan wisatawan yang melakukan perjalanan dengan inisiatif sendiri karena telah mengetahui informasi tentang lokasi ini melalui informasi perorangan. Berdasarkan wawancara dengan pemilik dan pengelola salahsatu cottage, seorang yang berkebangsaan Jerman, bahwa informasi tentang lokasi wisata Tanjung Karang beredar melalui kawan-kawan dan keluarga beliau yang pernah berkunjung ke lokasi ini. Sementara itu, wisatawan yang berkunjung sebagian besar merupakan wisatawan yang berasal dari kelas menengah. Meskipun demikian, tidak diperoleh data yang lengkap tentang tipologi wisatawan secara rinci baik pada lokasi wisata maupun pada instansi pemerintah di daerah ini.

Wisatawan lokal yang berkunjung terutama berasal dari kota Palu yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri dan swasta yang berkunjung secara perorangan maupun berkelompok. Mereka memanfaatkan hari-hari libur untuk berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi. Diantaranya ada pula yang menggunakan sarana penginapan/cottage baik yang disediakan oleh pemerintah, pengusaha wisata, maupun masyarakat lokal untuk bermalam di lokasi wisata. Sementara itu, wisatawan nusantara yang berkunjung sebagian besar adalah warga masyarakat dari luar daerah baik dari bwebagai wilayah di Sulawesi maupun dari daerah lainnya yang kebetulan memiliki kegiatan baik di Palu maupun Donggala.


(41)

IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat eksploratif untuk mempelajari kemungkinan dikembangkannya pariwisata yang berbasis masyarakat di wilakayah Kecamatan Banawa, khususnya di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi yang lengkap berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka digunakan pendekatan triangulasi (Decrop, 1999 ; Oppermann, 2000), sebagai sebuah pendekatan untuk memahami atau menjawab suatu masalah dengan menggunakan lebih dari satu sumber dan cara pengumpulan data.

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang-Pusentasi Donggala yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala dan mencakup 3 (tiga) desa/kelurahan yaitu Kelurahan Labuanbajo, Desa Boneoge, dan Limboro. Penelitian di lapangan selama 3 (tiga) bulan, dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2007.

4.2. Metode Penelitian 4.2.1. Penentuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) (Soeratno dan Arsyad, 1993). Responden yang diwawancarai untuk mengetahui berbagai hal tentang kegiatan pariwisata di wilayah penelitian, persepsi masyarakat dan para pihak lainnya, ekspektasi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata, dan konsep pengelolaan pariwisata adalah sejumlah 82 responden yang terdiri dari 70 orang masyarakat lokal, 6 orang aparat pemerintah, 4 orang pengusaha pariwisata, dan 2 orang dari lembaga/kelompok swadaya masyarakat. Sampel yang dimaksudkan disini bukan keterwakilan populasi tetapi merupakan keterwakilan dari permasalahan atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktifitas (Sugiyono, 2005). Penyebaran responden pada masyarakat lokal, pemerintah, pengusaha wisata dan LSM dikemukakan pada Tabel 7.


(42)

Tabel 7. Penyebaran responden pada berbagai kelompok Kelompok

responden

Aktifitas/Bidang Kegiatan Jumlah informan

Masyarakat lokal Nelayan 27

Peteni/peternak 15

Dagang 8

Sopir/ojek 6

Guru/PNS 6

Buruh/pertukangan 5

Jasa 3

Pengusaha Pemilik Penginapan/Cottage 3

Biro perjalanan 1

Pemerintah Pemda/Bupati 1

Dinas Pariwisata 1

Camat 1

Lurah dan Kepala Desa 3

LSM/KSM LSM yang berasal dari Donggala,

dan LSM lokal (POKDARWIS) 2

Penggalian data secara partisipatif dengan menggunakan teknik PRA melibatkan tokoh masyarakat, kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, kelembagaan adat serta kelompok wanita dan pemuda serta kelompok sadar wisata yang terdapat di lokasi penelitian.

4.2.2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder (Tabel 8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi, wawancara, penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal) (Campbell, 2002 ; Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998), dan diskusi kelompok terfokus (Danim, 2002; Mikkelsen, 2001 ; Trigg dan Roy, 2007). Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi atraksi wisata yang berpeluang untuk dikembangkan. Potensi tersebut dapat berupa potensi alam maupun potensi sosial budaya masyarakat setempat. Sedangkan wawancara dilakukan untuk untuk mengetahui persepsi dan keinginan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat.

Penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal) dilakukan terhadap sekumpulan anggota masyarakat yang merupakan representasi dari keseluruhan masyarakat di wilayah penelitian. Untuk memudahkan penggalian data maka akan digunakan beberapa alat-alat kaji yang terdapat dalam PRA diantaranya :


(43)

31

1. Diagram Venn, yang merupakan diagram yang terdiri dari beberapa lingkaran dengan berbagai ukuran yang berbeda, yang satu dengan lainnya saling berhubungan secara simbolis. Diagram ini ditujukan untuk melihat peran berbagai institusi dalam pengelolaan pariwisata di lokasi penelitian.

2. Matriks analisis stakeholder, yang digunakan untuk memetakan pihak-pihak yang berperan dan memiliki kepentingan terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.

3. Pemetaan yang terdiri atas pemetaan aktifitas masyarakat dan pembuatan sketsa lokasi yang menggambarkan tentang penggunaan ruang pada lokasi wisata oleh berbagai stakeholder yang ada.

Diskusi kelompok terfokus, dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri atas 10 – 12 orang dengan panduan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Data sekunder diperoleh dengan menghimpun informasi dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Kantor Statistik, serta dokumen-dokumen yang terdapat pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.

Tabel 8. Jenis data yang akan dikumpulkan

Jenis data Aspek Sumber data Metode

Data Primer

Persepsi, partisipasi dan harapan masyarakat.

Masyarakat lokal Wawancara, FGD Potensi Masyarakat : Kegiatan

ekonomi dan potensi sosial budaya masyarakat.

Masyarakat lokal Organisasi masyarakat lokal

Wawancara, FGD, PRA.

Konsep Pejabat Pemerintah Wawancara.

Persepsi pengusaha wisata Pengusaha wisata, Wawancara

Persepsi LSM LSM lokal dan KSM

Pokdarwis

Wawancara FGD Data

Sekunder

Kebijakan Pemerintah : Rencana Strategik, tata Ruang dan

Keputusan-keputusan pemerintah.

Dinas dan Instansi terkait.

Potensi wilayah dan masyarakat yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial,ekonomi, dan budaya.

Kantor Statistik, Desa/Kelurahan dan Kecamatan.


(44)

4.2.3. Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya diklasifikasi menurut jenisnya dengan menggunakan peralatan berupa matriks, tabulasi, dan format (Miles dan Huberman, 1992). Untuk mendukung proses analisis maka data-data tersebut diklasifikasi dan dikelompokan kedalam suatu satuan (unit) tertentu (Denscombe, 1998) terutama untuk mengorganisasikan data-data tentang pengertian, pandangan/persepsi, sikap dan tindakan ; serta dengan melakukan perbandingan dan membangun hubungan-hubungan antar data tersebut. Penelaahan dengan cara ini dimaksudkan untuk mencari kaitan yang lebih luas dari fakta yang ditemukan di lokasi penelitian. Persepsi masyarakat tentang kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini dan konsep pariwisata berbasis masyarakat akan diketahui melalui pendapat dan pandangan mereka terhadap kedua aspek tersebut.

Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah analisa kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk menformulasikan strategi suatu kegiatan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunity) dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknes) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 2003).

Analisis dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai teknik pengumpulang data yang dilakukan dan dilakukan pengintegrasian antara S-O, S-T, W-O, dan W-T untuk merumuskan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Model analisisnya disusun dengan menggunakan matrik SWOT yang menggabungkan aspek atau faktor internal dan eksternal dari komponen atau bidang. Bentuk dari tahapan ini yang merupakan pengintegrasian dari S-O, S-T, W-O, dan W-T dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat disajikan pada Gambar 5.


(45)

33

Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Peluang (O)

Strategi S-O

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Ancaman (T)

Strategi S-T

Menciptakan strategi l pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi W-T

Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Gambar 5. Matrik Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Wilayah Penelitian.


(46)

5.1.1. Karakteristik Masyarakat

Kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi mencakup empat wilayah yang terdiri atas Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro dan Desa Tovale. Meskipun demikian, hanya penduduk yang terdapat di kelurahan Boneoge yang seluruhnya bermukim di lokasi wisata. Pada wilayah lain seperti kelurahan Labuan Bajo dan desa Limboro penduduk yang bermukim di lokasi wisata masing-masing hanya terdapat pada satu wilayah RT dan Dusun. Untuk kelurahan Labuan Bajo, lokasi dan kegiatan wisata terdapat di Tanjung Karang yang merupakan salahsatu RT di kelurahan tersebut, sedangkan di desa Limboro kegiatan dan lokasi wisata terdapat di dusun Kaluku. Sementara itu, lokasi wisata yang terdapat di desa Tovale yaitu Pusentasi yang berdampingan dengan dusun Kaluku tidak dihuni oleh penduduk. Oleh karena itu, penduduk yang berinteraksi langsung dengan aktifitas pariwisata di kawasan ini hanya terdapat pada tiga wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 761 KK atau 3.353 jiwa. Rincian jumlah penduduk pada masing-masing lokasi wisata dikemukakan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan wisata. Lokasi

Pariwisata KK

Jumlah

jiwa Laki-laki Perempuan

Boneoge 663 2.863 1.447 1.416

Tanjung Karang 39 225 123 102

Kaluku 59 265 137 128

Jumlah 761 3.353 1.707 1.646

Sumber : Data statistik masing-masing desa dan kelurahan, 2006.

Penduduk yang bermukim di wilayah ini pada umumnya adalah masyarakat nelayan dan petani dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Tingkat pendidikan masyarakat dikemukakan pada Tabel 10.


(47)

36

Tabel 10. Pekerjaan dan tingkat pendidikan responden masyarakat lokal. Pekerjaan Tingkat pendidikan Jumlah (orang)

SD SMP SMA PT

Nelayan 25 2 0 0 27

Petani/peternak 10 5 0 0 15

Dagang 1 3 4 0 8

Sopir/Ojek 3 3 0 0 6

Guru/PNS 0 0 3 3 6

Buruh/Pertukangan 3 2 0 0 5

Jasa 1 1 1 0 3

Jumlah 43 16 8 3 70

Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 10 diatas terlihat bahwa sebagian besar responden yaitu 61,4 % memiliki tingkat pedidikan sekolah dasar, selebihnya 22,9 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama, 11,4 % sekolah lanjutan tingkat atas, dan sisanya 4,3 % berpendidikan tinggi. Bila mengamati kondisi masyarakat yang terdapat di kawasan ini, yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dikemukakan bahwa potensi sumberdaya manusia yang terdapat dikawasan wisata ini masih tergolong rendah.

Sebagaimana halnya dengan masyarakat yang mendiami desa-desa pesisir lainnya, sebagian besar masyarakat di wilayah penelitian ini memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Seperti yang dikemukakan pada Tabel 10, sebagian besar responden masyarakat lokal memiliki pekerjaan atau mata pencaharian pokok sebagai nelayan.

Dari 70 responden masyarakat lokal yang diwawancarai, terdapat 27 orang atau sebesar 38,6 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai nelayan, dan sejumlah 15 orang atau sebesar 21,4 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani. Sisanya memiliki mata pencaharian pokok sebagai pedagang, sopir/penarik ojek, pegawai negeri, buruh/pertukangan, dan jasa. Disamping pekerjaan pokok tersebut, mereka juga memiliki pekerjaan atau mata pencaharian sampingan. Hal ini dilakukan disamping untuk kepentingan menambah penghasilan keluarga, juga disebabkan karena rata-rata mereka memiliki lahan, yang dapat ditanami tanaman-tanaman tertentu seperti jagung, ubi kayu, pisang, dan tanaman sayuran.


(48)

Bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan sampingan dilakukan pada saat tidak melaut, terutama pada saat terjadinya musim barat dimana mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Informasi yang diperoleh pada saat wawancara dan diskusi kelompok, kegiatan sampingan masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping bertani adalah bekerja sebagai buruh pelabuhan dan bangunan di kota Donggala, dan sebagian diantaranya memanfaatkan peluang dari aktifitas pariwisata yang berlangsung di wilayah ini (Tabel 11).

Tabel 11. Pekerjaan dan kelompok usia responden masyarakat lokal.

Pekerjaan Usia responden (tahun) Jumlah

20-30 31-40 41-50 51-60 61-70

Nelayan 5 10 7 5 0 27

Petani/peternak 2 5 5 2 1 15

Dagang 1 2 2 2 1 8

Sopir/Ojek 2 2 1 1 0 6

Guru/PNS 1 2 2 1 0 6

Buruh/Pertukangan 1 2 2 0 0 5

Jasa 1 1 1 0 0 3

Jumlah 13 24 20 11 2 70

Usia responden masyarakat lokal bervariasi mulai dari usia 20 tahun hinga 70 tahun. Pada Tabel terlihat bahwa informan yang berusia 20 – 30 tahun sebesar 18,6 %, usia 31 – 40 tahun sebesar 34,3 %, usia 41 – 50 tahun sebesar 28,6 %, usia 51 – 60 tahun sebesar 15,7 %, dan usia 61 – 70 tahun sebesar 2,9 %. Berdasarkan komposisi umur tersebut terlihat bahwa responden yang memiliki usia antara 20 – 60 tahun, sebagai kelompok usia produktif, jumlahnya mencapai 97,1 %, sedangkan yang memiliki usia antara 61 – 70 tahun hanya sebesar 2,9 %. Pekerjaan utama dari kelompok usia produkstif adalah nelayan, pertanian/peternakan, dagang, sopit/penarik ojek, guru, dan buruh. Sedangkan penduduk yang telah memiliki usia yang tua/kurang produktif memilih pekerjaan sebagai peternak dan dagang yang relatif kurang membutuhkan tenaga yang besar.


(49)

38

5.1.2. Perekonomian Masyarakat

Masyarakat yang mendiami kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti halnya masyarakat di wilayah lainnya, mengembangkan sistem perekonomian berdasarkan karakter wilayah dan potensi sumberdaya yang tersedia. Perekonomian masyarakat di kawasan ini bertumpu pada dua kegiatan yaitu pertanian/peternakan dan perikanan. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berladang dan membuka perkebunan rakyat, serta sebagian kecil diantaranya menjalankan usahatani padi sawah dengan sistim irigasi desa dan padi ladang. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat (Ha).

Desa/Kelurahan Jenis tanaman pertanian Jenis tanaman perkebunan

Padi Jagung Kelapa Cacao

Boneoge 0 4 102 6

Labuan Bajo 0 0 175 0

Limboro 40 10 120 17

Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Kegiatan perkebunan nampaknya lebih mendominasi kegiatan penduduk di wilayah ini, karena memang sejak dahulu daerah (Sulawesi Tengah) ini dikenal sebagai penghasil tanaman perkebunan, terutama kelapa. Tanaman kelapa bagi masyarakat di wilayah ini merupakan kegiatan utama untuk pemenuhan kesejahteraannya, sementara tanaman lainnya yang dilakukan dengan kegiatan berladang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten) sambil menunggu panen buah kelapa yang biasanya berlangsung setiap 3-4 bulan. Keadaan tersebut juga merupakan gambaran dari aktifitas pertanian masyarakat yang bermukim di lokasi kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi (Tanjung Karang, Boneoge, dan Dusun Kaluku). Kegiatan pertanian dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan wisata ini dikemukakan pada Tabel 13.


(50)

Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat.

Kelurahan/ Desa

Lokasi Kepemilikan Lahan (ha)

Jenis tanaman yang diusahakan

Boneoge Boneoge 0,25 – 2 Tanaman tahunan : kelapa dan coklat. Tanaman semusim : padi ladang, jagung, ubi kayu, pisang, serta tanaman-tanaman hortikultura seperti cabe, tomat dan sayuran.

Labuan Bajo Tanjung Karang

0,25 – 2

Limboro Dusun Kaluku 0,25 – 3

Disamping mengelola lahan untuk kegiatan bercocok tanam, masyarakat juga memelihara ternak sebagai usaha sampingan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat disajikan pada Tabel 14. Meskipun hanya sebagai usaha sampingan, namun usaha peternakan ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging di wilayah ini dan sebagai tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual bila mereka membutuhkan dana untuk berbagai keperluan yang mendesak.

Tabel 14. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian.

Desa/Kelurahan Jenis ternak

Sapi Kambing Ayam Buras

Boneoge 123 195 659

Labuan Bajo 54 55 270

Limboro 194 152 639

Sumber : KecamatanBanawa Dalam Angka, 2006

Dibidang perikanan, desa-desa yang terdapat diwilayah penelitian ini merupakan penghasil ikan laut yang cukup besar bagi kecamatan Banawa. Sementara Kecamatan Banawa sendiri merupakan penghasil ikan terbesar untuk wilayah Kabupaten Donggala. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala (2002), dari 8 kecamatan yang memiliki wilayah perairan laut di Kabupaten Donggala, Kecamatan Banawa merupakan penyumbang terbesar hasil tangkapan ikan di kabupaten ini. Pada tahun 2002 kontribusi penangkapan ikan laut di wilayah perairan Kecamatan Banawa terhadap total produksi di Kabupaten Donggala adalah sebesar 20,33%.

Jenis peralatan penangkapan ikan yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah ini adalah jala rumpon, pukat pantai dan gill net. Adapun sarana


(51)

40

transportasi perikanan yang dimiliki adalah perahu/kapal motor bermesin dan sejumlah perahu tanpa mesin (Tabel 15).

Tabel 15. Peralatan penangkap ikan dan sarana transportasinya di wilayah penelitian.

Desa/ Kelurahan

Peralatan penangkap ikan Sarana transportasi perikanan Jala

rumpon

Pukat

pantai Gill Net

Kapal/ Perahu motor

Perahu Tak Bermotor

Boneoge 6 15 20 12 20

Labuan Bajo 0 0 8 5 10

Limboro 0 12 8 0 5

Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Meskipun terdapat berbagai peralatan nelayan berupa perahu motor dan peralatan lainnya, namun kegiatan perikanan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan menggunakan peralatan sederhana berupa pukat, pancing, dan panah. Penggunaan pukat pantai dan panah biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menangkap ikan-ikan karang yang terdapat disekitar kawasan wisata atau tempat-tempat lainnya dimana terdapat banyak gugusan karang.

Kemampuan nelayan di kawasan ini untuk menangkap ikan dengan menggunakan panah dan harus menyelam tanpa menggunakan alat cukup terkenal disekitar kawasan ini, terutama di Teluk Palu dan perairan Kabupaten Donggala bagian barat. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan yang berasal dari Kelurahan Boneoge, mampu melakukan penyelaman dalam waktu yang cukup lama, jauh melebihi kemampuan rata-rata nelayan yang terdapat di sekitarnya.

Hasil yang diperoleh dalam menangkap ikan-ikan karang biasanya sekitar 30 – 50 ekor sekali melaut dengan harga jual sekitar Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,- per ikat. Sedangkan untuk penggunaan pancing biasanya ditujukan untuk menangkap ikan-ikan dasar dan permukaan yang biasanya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor.

Penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan pancing, diantaranya adalah kegiatan yang disebut dengan panambe. Kegiatan panambe


(1)

123

Tempat kue (kiri) dan buah-buahan (kanan)


(2)

Sendok sayur dan nasi yang digunakan masyarakat lokal


(3)

125

Lamapiran 10.

Foto beberapa lokasi di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi

Pintu gerbang memasuki lokasi Tanjung Karang


(4)

Salahsatu sudut pantai Tanjung Karang


(5)

127

Salahsatu pemandangan di Pusentasi


(6)

Cottage yang terdapat di pantai Kaluku