BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan dan Lahan Gambut
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan UU RI No. 41 Tahun 1999.
Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.
Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi
pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan
hutan pada daerah temprate Rahman 1992 dalam Bakri 2009. Hutan alami merupakan penyimpan karbon C tertinggi bila dibandingkan
dengan sistem penggunaan lahan SPL pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi Hairiah dan Rahayu 2007.
Daniel et a. 1992 menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: 1 pengembangan dan penyediaan atmosfir yang
baik dengan komponen oksigen yang stabil, 2 produksi bahan bakar fosil batu bara, 3 pengembangan dan proteksi lapisan tanah, 4 produksi air bersih dan
proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, 5 penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, 6 penyediaan material bangunan,
bahan bakar dan hasil hutan, 7 manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi
bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan. Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.
Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan
setara dengan 20 biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3.5 milliar ton karbon FWI 2003.
Terdapat beberapa kondisi hutan yaitu primary forest, logged over area, secondary forest
, dan degraded forest. Hutan Primer primary forest adalah seluruh kenampakan hutan yang belum menampakan dilakukannya kegiatan
penebangan belum dieksploitasi, dan telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya. Pada umumnya hutan
primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang- batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya
kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang
pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan virgin forest Anonim 2011.
Hutan bekas tebangan logged over area adalah hutan yang pernah dan atau sedang dieksploitasi secara terencana. Menurut Kaffka 1990 dalam Irwanto
2010 mengemukakan bahwa hutan-hutan bekas tebangan logged over area yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi
hutan sekunder. Hutan sekunder secondary forest adalah seluruh kenampakan hutan yang
telah menampakkan bekas penebangan kenampakan alur pembalakan bercak bekas penebangan dan sudah dieksploitasi yang tampak dengan adanya jalan
angkutan kayu. Selain itu, hutan sekunder merupakan hasil regenerasi pemulihan setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat, misalnya
akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam Anonim 2011. Definisi degradasi hutan menurut FAO 1993 dalam Wayana 2011 adalah
perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan sehingga dapat menurunkan kapasitas produksi.
Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih masuk kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC
menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan. Sedangkan IPCC mendefinisikan
degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut
sebagai deforestasi.
Indonesia memiliki berbagai tipe hutan yaitu Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan
Pantai Soerianegara dan Indrawan 2005 Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir,
maupun di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau, di
sekitar sungai atau danau Wetland International-Indonesian Programme 1997, dalam Wahyunto et al 2005.
Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tipe vegetasi hutan dataran rendah lainnya di
daerah tropika. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan rawa gambut setara dengan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan kerangas dan hutan sub
pegunungan daerah tropika tetapi masih lebih tinggi daripada keanekaragaman jenis hutan pegunungan dan bakau Simbolon dan Mirmanto 2000 dalam Arsil
2009. Lahan rawa gambut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi
hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan
pemanfaatannya. Dalam penggalian dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk lahan rawa gambut serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu penggunaan
teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang
pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan dan pemanfaatannya memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan
pengelolaan yang tepat. Dengan mengetahui sifat-sifat sumberdaya lahan rawa gambut, dan penggunaan lahan pada saat sekarang existing landuse akan dapat
dibuat perencanaan yang lebih akurat untuk optimalisasi pemanfaatan dan usaha konservasinya Wahyunto 2003 dalam Arsil 2009.
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic C-organik 18 dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan
gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang back swamp atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob danatau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik Hardjowigeno 1986. Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000
tahun yang lalu pada periode Holosin dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu Andriesse 1994.
Gambut ialah bahan atau serasah tanaman yang terdekomposisi secara parsial dan telah terakumulasi di lahan-lahan tergenang dalam kondisi kekurangan
oksigen, dimana laju pemasukan bahan atau serasah tanaman lebih cepat daripada laju dekomposisinya Radjagukguk 1991 dalam Yuono 2009
Gambut ialah tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 atau 30 tergantung tekstur tanah mineralnya dan mempunyai ketebalan lebih dari
40 cm. tingkat dekomposisi bahan organik bervariasi dari kasar fibrist sampai halus saprist, tetapi pada umumnya mempunyai tingkat dekomposisi sedang
hemist Tim Fakultas Pertanian IPB 1992. Tanah gambut organik adalah tanah yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 50 pada kedalaman 80 cm
Andriesse 1998. Hasil penelitian yang dilakukan IPB di beberapa lokasi di Sumatera,
menunjukkan bahwa kerapatan lindak tanah gambut bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan organik dan kandungan bahan mineral Hardjowigeno
1989. Tanah gambut dengan kandungan lebih dari 65 bahan organik 38 C- organik mempunyai kerapatan lindak untuk jenis fibrik 0.11-0.14 gcm
3
, untuk hemik 0.14-0.16 gcm
3
, dan untuk saprik 0.18-0.21 gcm
3
. Bila kandungan bahan organik antara 30-60, kerapatan lindak untuk jenis hemik adalah 0.21-0.29
gcm
3
dan untuk saprik 0.30-0.37 gcm
3
.
2.2 Biomassa dan Karbon Hutan