Pendugaan Potensi Karbon Bahan Organik Mati Berdasarkan Tingkat Dekomposisi di Berbagai Kondisi Hutan Gambut. (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau)

(1)

KONDISI HUTAN GAMBUT

(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber,

Provinsi Riau)

PUTI FITRIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

KONDISI HUTAN GAMBUT

(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber,

Provinsi Riau)

PUTI FITRIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

PUTI FITRIA. E14070019. Pendugaan Potensi Karbon Bahan Organik Mati Berdasarkan Tingkat Dekomposisi di Berbagai Kondisi Hutan Gambut (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau) di bawah bimbingan UJANG SUWARNA.

Hutan alam merupakan agen penting dalam mengurangi perubahan iklim global melalui penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa. Perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC) ke lapisan atmosfir sudah menimbulkan dampak lingkungan. Kadar CO2 dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Salah satu tipe hutan yang memiliki potensi dalam penyerapan dan penyimpanan karbon ialah hutan rawa gambut. Karbon yang terdapat di hutan gambut tersimpan di atas dan bawah permukaan tanah.Sumber karbon hutan salah satunya terdapat pada bahan organik mati (nekromasa/kayu mati dan serasah) yang berpotensi untuk melepaskan CO2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi.

Penelitian ini bertujuan untuk menduga besarnya biomassa dan potensi karbon bahan organik mati di berbagai kondisi hutan gambut (primary forest,logged over area/LOA, secondary forest, dan degraded forest) berdasarkan tingkat dekomposisi tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk untuk nekromasa serta dekomposisi kasar dan halus untuk serasah. Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber pada bulan Juni – Juli 2011, dilanjutkan dengan pengujian contoh nekromasa dan serasah di Laboratorium Departemen Hasil Hutan pada bulan Agustus-September 2011.

Metode penelitian terdiri atas metode penelitian di lapangan dan metode penelitian di laboratorium. Metode penelitian di lapangan yaitu pengukuran bahan organik mati (petak ukur nekromasa 100 m x 100 m, dan serasah 1 m x 1 m), analisis vegetasi nekromasa, dan pengambilan contoh bahan organik mati. Sedangkan metode penelitian di laboratorium yaitu penentuan kadar air, berat jenis nekromasa, berat kering/biomassa, kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon (C%), dan potensi karbon bahan organik mati.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa biomassa dan karbon nekromasa berdasarkan dekomposisi dari yang tertinggi sampai terendah yaitu tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk. Pada serasah yaitu serasah kasar lebih besar dibandingkan serasah halus. Potensi biomassa dan karbon pada nekromasa di setiap kondisi hutan dari yang tertinggi sampai terendah yaitu LOA, degraded forest, secondary forest, dan primary forest. Pada serasah yaitu primary forest, LOA, degraded forest, dan secondary forest. Potensi biomassa pada nekromasa di setiap kondisi hutan rata sebesar 51.12 ton/ha. Sedangkan pada serasah rata-ratanya sebesar 9.48 ton/ha. Potensi karbon pada nekromasa di setiap kondisi hutan rata-ratanya sebesar 24.22 tonC/ha. Sedangkan pada serasah rata-ratanya sebesar 3.18 tonC/ha.


(4)

PUTI FITRIA. E14070019. Dead Organic Matter’s Carbon Potential Estimation Based on Decomposition Level in Various Condition of Peat Swamp Forest (Case Study at IUPHHK-HA Area of PT. Diamond Raya Timber, Riau Province). Under supervision of UJANG SUWARNA.

Natural forest was important agent in global climate change reduction trough absorption and storage of carbon in form of biomass. Global climate change, which is caused by the increasing concentration of glasshouse gas (CO2, CH4, N2O, and CFC) to atmosphere stratum, has caused any affect to environment. Human activities have caused the increasing of CO2 content from year to year. One of forest type that has potential to absorb and store carbon was peat swamp forest. One of carbon source of forest was from dead organic matter (necromass/dead trees and litter) that has potential to release CO2 to atmosphere trough decomposition process.

This research was supposed to predict the total of biomass and carbon potential of dead organic matter in various condition of peat swamp forest (primary forest, logged over area/LOA, secondary forest, and degraded forest) based on non-decayed, half-decayed, and decayed decomposition level for necromass and also rough and smooth decomposition for litter. This research was carried out in IUPHHK-HA area of PT. Diamond Raya Timber at June–July 2011, and then continued by necromass and litter sample testing in Forest Product Laboratory at August-September 2011. Field research method was including dead organic matter measurement (100 m x 100 m for necromass plot, and 1 m x 1 m for litter plot), necromass vegetation analysis, and dead organic matter sample collecting, while laboratory research method was including water content determination, necromass specific weight, biomass, flying substances content, ash content, carbon content, and carbon potential of dead organic matter.

Research results show that biomass and necromass carbon based on decomposition, from highest to lowest, was decayed, half-decayed, and decayed, respectively. For litter, rough litter was higher than smooth litter. Biomass and carbon potential of necromass in each condition of forest, from highest to lowest, was LOA, degraded forest, secondary forest, and primary forest, respectively. For litter, highest to lowest biomass and carbon potential was primary forest, LOA, degraded forest, and secondary forest, respectively. Average biomass and necromass potential in each forest condition was 51.12 ton/ha, while its average litter potential was 9.48 ton/ha. Average carbon potential in each forest condition was 24.22 tonC/ha, while average carbon potential for litter was 3.18 tonC/ha.


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Potensi Karbon Bahan Organik Mati Berdasarkan Tingkat Dekomposisi di Berbagai Kondisi Hutan Gambut. (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dosen Pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Puti Fitria NRP E14070019


(6)

(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau)

Nama : Puti Fitria NIM : E14070019

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F NIP : 197206121997021001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP : 196304011994031001


(7)

Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya yang masih diberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang merupakan tugas akhir dalam menempuh gelar Sarjana di perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berjudul “Pendugaan Potensi Karbon Bahan Organik Mati Berdasarkan Tingkat Dekomposisi di Berbagai Kondisi Hutan Gambut. (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau)” ini dengan baik. Penelitian ini mengupas tentang potensi biomassa dan karbon yang terdapat pada bahan organik mati (nekromasa dan serasah) di berbagai kondisi hutan gambut yaitu primary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest untuk kebutuhan penulis dan instansi terkait mengenai informasi cadangan karbon yang tersimpan pada bahan organik mati.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua, Aang dan Teteh atas cinta dan kasih sayang, dukungan, motivasi dan doa tulus.

2. Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F selaku dosen pembimbing yang telah mengajar dan membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Elias dan Ibu Sekartining Rahayu S.Hut, M.Si yang telah memberi masukan dan saran dalam proses pelaksanaan penelitian.

4. Bapak Surya Agung, SE selaku Direktur Utama IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Bapak Ir. Rudi Hartanto selaku Direktur Produksi, Bapak Vyria Dharma Maitri selaku Manager Camp dan Bapak Wahyu Hindrayanto, S.Hut selaku Manager Pemanenan yang telah mempercayai dan memberikan kesempatan dilaksanakannya penelitian.

5. Ibu Esti Prihatini, S.Si, Bapak Atin, Bapak Kadiman, Mas Wawan, dan Bapak Hasanudin selaku laboran di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Bagian Kimia Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan serta Bagian


(8)

6. Mas Dede Daryanto, S.Hut, Mas Nugroho P.W, S.Hut, Mbak Omita M, S.Hut, Mas Mukhtarom B, S.Hut, Mas M. Rois Ridho, S.Hut, Mas Galang B. Cendana, S.Hut, Abang Iwan, dan Abang Mudri serta karyawan camp tengah dan camp bawah PT. Diamond Raya Timber yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

7. Lia Herliana, Konny Rusdianti, Nenden Meitasari, Devita Ayu Dewi, Erin Roslina, dan Frida Agustiani atas kebersamaan dan persahabatan yang indah serta D.Andrian atas kesabaran, kasih sayang, dukungan, dan doanya.

8. Yanti Febrina dan Prasetya Prio Utama sebagai teman satu dosen pembimbing atas kerjasamanya yang kompak selama menjalani penelitian serta telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, memberikan masukan, saran, semangat, dan dukungan.

9. Teman-teman di Laboratorium Pemanfaataan Hutan khususnya teman seperjuangan Dwi Ratna Purnamasari dan Tri Rohidayanti atas semangat, masukan dan dukungannya.

10. Teman-teman di Fakultas Kehutanan khususnya Departemen Manajemen Hutan tahun 2007 atas kebersamaan, semangat dan keceriaannya selama ini

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Penulis berharap semoga hasil karya penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan penelitian dan dapat menambah wawasan bagi yang membacanya.

Bogor, 2011 Penulis


(9)

PUTI FITRIA dilahirkan di Ciamis pada tanggal 13 Mei 1988 merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Endang Suteja dan Ibu Neni, S.Pd,SD. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Sindangsari pada tahun 2001, dilanjutkan di SLTP Negeri 3 Cimerak tahun 2004 dan lulus di SMA Negeri 2 Ciamis pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri dan lulus melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Manajemen Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen untuk Praktikum Mata Ajaran Inventarisasi Sumber Daya Hutan tahun 2009, dan Praktikum Mata Ajaran Pemanenan Hutan tahun 2011. Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan organisasi yaitu sebagai pengurus Divisi Media dan Komunikasi Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2008-2009, panitia Temu Manajer Departemen Manajemen Hutan tahun 2009 dan panitia E-Green tahun 2009.

Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Papandayan dan Sancang Timur Garut, Jawa Barat Juli-Agustus 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan di Tanggeung (KPH Cianjur), Jawa Barat Juli 2010, Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber Kalimantan Tengah selama periode Februari-April tahun 2011. Kemudian penulis melaksanakan penelitian di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber pada bulan Juni-Agustus tahun 2011 dengan judul “Pendugaan Potensi Karbon Bahan Organik Mati Berdasarkan Tingkat Dekomposisi di Berbagai Kondisi Hutan Gambut. (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau)”.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... .... i

DAFTAR TABEL ... … iv

DAFTAR GAMBAR ... … vi

DAFTAR LAMPIRAN ... .... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... …. 1

1.2 Tujuan ... …. 3

1.3 Manfaat Penelitian ... …. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan dan Lahan Gambut ... …. 4

2.2 Biomassa dan Karbon Hutan ... …. 8

2.3 Sifat Fisik dan Kimia Kayu ... ... 12

2.4 Bahan Organik Mati ... ... 14

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat.. ... ... 19

3.2 Batasan Penelitian ... ... 19

3.3 Alat dan Bahan ... ... 25

3.4 Jenis Data.. ... ... 25

3.5 Metode Penelitian ... ... 25

3.5.1 Metode Pengukuran Data di Lapangan ... ... 26

3.5.1.1 Metode Pengukuran Nekromasa ... ... 27

3.5.1.2 Metode Pengukuran Serasah ... ... 28

3.5.2 Analisis Vegetasi Nekromasa ... ... 28

3.5.2.1 Kerapatan ... ... 28

3.5.2.2 Frekuensi ... ... 29

3.5.2.3 Indeks Nilai Penting (INP) ... ... 29

3.5.3 Pengambilan Contoh Bahan Organik Mati ... ... 29

3.5.3.1 Pengambilan Contoh Nekromasa ... ... 29


(11)

3.5.4 Metode Pengolahan Data

3.5.3.1 Kadar Air Nekromasa dan Serasah ... … 31

3.5.3.2 Berat Jenis Nekromasa ... … 31

3.5.4.3 Biomassa Bahan Organik Mati ... … 32

3.5.4.3.1 Biomassa Pohon Mati/Nekromasa ... … 32

3.5.4.3.2 Biomassa Serasah ... … 33

3.5.4.4 Kadar Zat Terbang Nekromasa dan Serasah... … 34

3.5.4.5 Kadar Abu Nekromasa dan Serasah ... … 34

3.5.4.6 Kadar Karbon (%) Nekromasa dan Serasah ... … 35

3.5.4.7 Potensi Karbon Nekromasa dan Serasah ... … 35

3.5.5 Analisis Data ... … 35

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik dan Administrasi ... … 37

4.2 Luas Efektif ... … 38

4.3 Aksesibilitas ... … 39

4.4 Topografi dan Kelerengan ... … 39

4.5 Geologi dan Tanah ... … 39

4.6 Iklim dan Intensitas Hujan ... … 41

4.7 Hidrologi ... … 41

4.8 Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi ... … 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi ... … 46

5.1.1 Kerapatan Relatif ... … 48

5.1.2 Frekuensi Relatif ... … 49

5.1.3 Indeks Nilai Penting ... … 52

5.2 Potensi Nekromasa Pada Setiap Kondisi Hutan Berdasarkan Tingkat Dekomposisi ... 55

5.3 Potensi Serasah Pada Setiap Kondisi Hutan Berdasarkan Tingkat Dekomposisi ... 57

5.4 Kadar Air ... … 59

5.4.1 Kadar Air Nekromasa ... … 59

5.4.2 Kadar Air Serasah ... … 61


(12)

5.6 Kadar Zat Terbang ... … 64

5.6.1 Kadar Zat Terbang Nekromasa ... … 64

5.6.2 Kadar Zat Terbang Serasah ... … 65

5.7 Kadar Abu ... … 66

5.7.1 Kadar Abu Nekromasa ... … 66

5.7.2 Kadar Abu Serasah ... … 67

5.8 Kadar Karbon ... … 68

5.8.1 Kadar Karbon Nekromasa ... … 68

5.8.2 Kadar Karbon Serasah ... … 69

5.9 Biomassa ... … 70

5.9.1 Biomassa Pohon Mati/Nekromasa ... … 70

5.9.2 Biomassa Serasah ... … 73

5.9.3 Biomassa Bahan Organik Mati ... … 74

5.10 Potensi Karbon ... .... 75

5.10.1 Potensi Karbon Nekromasa ... … 75

5.10.2 Potensi Karbon Serasah ... … 77

5.10.3 Potensi Karbon Bahan Organik Mati ... … 78

5.11 Anailisis Data ... … 81

5.11.1 Analisis Data Nekromasa ... … 81

5.11.2 Analisis Data Serasah ... … 84

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... … 86

6.2 Saran ... … 86

DAFTAR PUSTAKA ... … 87


(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Parameter-parameter biomassa di atas permukaan tanah dan metode

pengukurannya ... 8

2. Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa tanaman) dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral (ton/ha) ... 11

3. Kelas dekomposisi kayu mati tumbang dan cirri-ciri pengenalnya ... 15

4. Perbandingan potensi karbon bahan organik mati pada berbagai tipe hutan ... 18

5. Perbedaan kondisi hutan pada primary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest ... 22

6. Kelas dekomposisi nekromasa dan cirri-ciri pengenalnya di lapangan .... 23

7. Batas-batas areal kerja IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber ... 37

8. Peruntukan areal di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber . 38

9. Tipe tanah di sekotar DAS Rokan... 40

10. Perbandingan Perbandingan jumlah nekromassa pada primary forest/PF, secondary forest/SF, logged over area/LOA, dan degraded forest/DF ... 46

11. Nilai kerapatan relatif nekromasa tertinggi di setiap kondisi hutan ... 48

12. Nilai frekuensi relatif nekromasa tertinggi di setiap kondisi hutan ... 49

13. Hasil analisis vegetasi pohon pada semua kondisi hutan gambut ... 51

14. Indeks Nilai Penting nekromasa tertinggi di setiap kondisi hutan gambut ... 52

15. Jenis-jenis Nekromasa dominan berdasarkan jumlah total INP dari 4 kondisi hutan gambut ... 54

16. Volume Nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi dari setiap kondisi hutan gambut ... 55

17. Perbandingan Rata-rata Produksi Serasah (Kasar dan Halus) dari 4 Kondisi Hutan Gambut ... 58

18. Rata-rata kadar air dari 7 nekromassa dominan hutan gambut ... 60

19. Rata-rata kadar air serasah berdasarkan tingkat dekomposisi dari setiap kondisi hutan gambut ... 61

20. Rata-rata berat jenis kayu nekromasa dominan hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi ... 62


(14)

21. Rata-rata kadar zat terbang nekromasa dominan hutan gambut

berdasarkan tingkat dekomposisi ... 65

22. Rata-rata kadar zat terbang serasah berdasarkan tingkat dekomposisi ... 66

23. Rata-rata kadar zat abu nekromassa berdasarkan tingkat dekomposisi .... 66

24. Rata-rata kadar zat abu serasah dari setiap kondisi hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi ... 67

25. Rata-rata kadar karbon Nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi ... 68

26. Rata-rata kadar karbon Serasah berdasarkan tingkat dekomposisi ... 69

27. Total biomassa Nekromasa dari setiap kondisi hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi ... 71

28. Rata-rata biomassa serasah dari setiap kondisi hutan gambut ... 73

29. Rata-rata biomassa bahan organik mati dari setiap kondisi hutan gambut 74

30. Potensi karbon nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi dari setiap kondisi hutan gambut ... 76

31. Hasil potensi karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi ... 77

32. Potensi karbon bahan organik mati di setiap kondisi hutan gambut ... 79

33. Hasil uji-T kadar karbon (%C) nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi di semua kondisi hutan gambut ... 82

34. Hasil uji-T biomassa nekromasa setengah lapuk dan lapuk ... 83

35. Hasil uji-T potensi karbon nekromasa setengah lapuk dan lapuk ... 83

36. Hasil uji-T biomassa nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi ... 84

37. Tabel 37 Hasil uji-T potensi karbon (C) nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi di setiap kondisi hutan gambut ... 84

38. Hasil uji-T kadar karbon (%C) serasah berdasarkan tingkat dekomposisi 84

39. Hasil uji-T biomassa dan potensi karbon (C) serasah kasar/SK dan serasah halus/SH di setiap kondisi hutan gambut ... 85


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta lokasi penelitian di hutan gambut PT. Diamond Raya Timber ... 19 2. Kondisi hutan primer (primary forest) ... 20 3. Kondisi hutan bekas tebangan/LOA : (a) bekas jalan ongkak, (b) pohon

tebangan, dan (c) tunggak bekas penebangan ... 20 4. Hutan sekunder : (a) Kondisi hutan sekunder, (b) papan-papan kayu, dan

(c) balok-balok kayu ... 21 5. Kondisi hutan terdegradasi (degraded forest) ... 21 6. Nekromasa/pohon mati (a) pohon mati berdiri, (b) pohon tumbang, dan

(c) tunggak pohon ... 23 7. Serasah berdasarkan dekomposisi :(a) serasah kasar dan halus di lantai

hutan, dan (b) serasah kasar dan halus di dalam plastik. ... 24 8. Titik pengukuran nekromasa (1 Ha) dan serasah (1 m x 1 m) ... 26 9. Pengukuran nekromasa/pohon mati : (a) tunggak pohon, (b) pohon mati

tumbang, dan (c) pohon mati berdiri ... 27 10. Peta IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber ... 38 11. Perbandingan Jumlah total nekromassa dari setiap kondisi hutan ... 47 12. Histogram nilai rata-rata berat jenis dari 7 kayu nekromassa dominan

hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi. ... 64 13. Perbandingan total biomassa pohon mati/nekromasa di setiap kondisi

hutan gambut ... 70 14. Histogram perbandingan total biomassa bahan organik mati pada setiap

kondisi hutan gambut. ... 75 15. Histogram perbandingan potensi karbon pada bahan organik mati di

setiap kondisi hutan gambut. ... 78


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Perhitungan kadar air nekromasa dominan ... 91 2. Perhitungan berat jenis nekromasa dominan... 93 3. Perhitungan zat terbang (%ZT), zat abu (%ZA), dan fixed carbon (%C)

nekromasa dominan ... 95 4. Perhitungan zat terbang (%ZT), zat abu (%ZA), dan fixed carbon (%C)

serasah ... 98


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan alam merupakan agen penting dalam mengurangi perubahan iklim global. Perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (CO2,

CH4, N2O, CFC) ke lapisan atmosfir merupakan salah satu isu penting yang

mendapat sorotan dunia saat ini. Diantara beberapa gas rumah kaca tersebut, CO2

memiliki jumlah yang paling berlimpah. Ekosistem hutan memainkan peranan penting dalam mengurangi perubahan iklim. Peran sektor kehutanan, khususnya hutan tropis dalam menekan efek kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (CO2)

adalah melalui penyerapan karbon dalam bentuk biomassa. Biomassa vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat menjaga dan memberikan keseimbangan siklus karbon di muka bumi (Elias 2002). Selain berfungsi sebagai penyerap karbon, hutan juga sebagai sumber emisi karbon melalui proses respirasi.

Indonesia merupakan Negara yang memiliki hutan yang sangat luas sehingga Indonesia dapat berperan penting dalam usaha menurunkan emisi CO2

melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di dalam hutan (carbon sinks). Hal ini dapat terjadi jika pengelolaan hutan dilakukan secara lestari, reboisasi serta pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu tipe hutan yang memiliki potensi dalam penyerapan dan penyimpanan karbon ialah hutan rawa gambut. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP 2008).

Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki tanah yang kaya akan bahan organik yang terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh dan miskin hara, sehingga pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas


(18)

rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun setara dengan penambatan 0-5.4 tCO2/ha/tahun

(Agus 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2.

Peningkatan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC) di atmosfer sudah

menimbulkan dampak lingkungan yang diakibatkan naiknya panas bumi sehingga kadar CO2 dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang disebabkan dari

sebagian besar aktivitas manusia. Kesepakatan internasional dalam Kyoto Protokol tahun 1997 yang menghasilkan Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih dan perdagangan karbon yang membantu negara industri untuk memenuhi target penurunan emisi GRK secara kolektif sebesar 5.2% selama periode 2008-2012 dari tingkat emisi tahun 1990 dengan pengukuran kandungan karbon yang diserap, reforestasi, dan penghijauan lahan kritis dalam upaya untuk mencegah peningkatan suhu bumi (Global Warming) yang dapat mengakibatkan perubahan iklim global, serta membantu negara-negara berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai hasil penelitian IPCC bahwa konsentrasi GRK di atmosfer sebelum era industri sekitar 275 ppm, dan pada tahun 1990 konsentrasi tersebut sudah mencapai 350 ppm (Kementerian Lingkungan Hidup 2001)

Karbon yang terdapat di hutan tersimpan di atas dan bawah permukaan tanah. Karbon di atas permukaan tanah disimpan dalam tegakan berdiri, tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan yang telah mati. Sedangkan karbon di bawah permukaan tanah tersimpan dalam akar, tanah dan biota tanah.

Sumber karbon lain yang cukup besar di hutan produksi adalah bahan organik mati (dead organic matter) termasuk di dalamnya serasah dan nekromasa yang memiliki tingkat dekomposisi yang berbeda-beda. Walaupun dengan penerapan pembalakan berdampak rendah (RIL), nekromasa di hutan bekas tebangan di kawasan IUPHH tetap lebih besar 50% dari pada di hutan primer (Palace et al 2007). Dekomposisi dari nekromasa yang cukup besar tersebut juga menghasilkan emisi karbon. Karena itu nekromasa di hutan produksi merupakan salah satu sumber karbon yang penting untuk diukur. Terlebih jika areal tersebut


(19)

juga memiliki tingkat kerawanan terhadap bahaya kebakaran, yang menjadikan nekromasa menjadi sumber bahan bakar dan berpotensi sebagai sumber emisi.

Perbedaan sifat fisik dan lingkungan tempat tumbuh menyebabkan kadar karbon yang terkandung di setiap lokasi dan jenis vegetasi berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi karbon tersimpan di hutan gambut pada beberapa kondisi hutan untuk mengetahui potensi cadangan karbon bahan organik mati berdasarkan tingkat dekomposisinya.

1.2 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menduga besarnya biomassa dan potensi karbon bahan organik mati (nekromasa pohon dan serasah) di berbagai kondisi hutan gambut yaitu primary forest, logged over area/LOA, secondary forest, dan degraded forest berdasarkan tingkat dekomposisi tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk untuk nekromasa serta serasah kasar dan halus untuk serasah.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi bagi peneliti dan instansi terkait mengenai cadangan karbon tersimpan pada bahan organik mati yaitu nekromasa pohon dan serasah berdasarkan tingkat dekomposisi pada berbagai kondisi hutan yang berbeda yaitu primary forest, logged over area/LOA, secondary forest, dan degraded forest.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hutan dan Lahan Gambut

Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999).

Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Berbeda letak dan kondisi suatu hutan, berbeda pula jenis dan komposisi pohon yang terdapat pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah temprate (Rahman 1992 dalam Bakri 2009).

Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang tinggi (Hairiah dan Rahayu 2007).

Daniel et a. (1992) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3.5 milliar ton karbon (FWI 2003).


(21)

Terdapat beberapa kondisi hutan yaitu primary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest. Hutan Primer (primary forest) adalah seluruh kenampakan hutan yang belum menampakan dilakukannya kegiatan penebangan (belum dieksploitasi), dan telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan (virgin forest) (Anonim 2011).

Hutan bekas tebangan (logged over area) adalah hutan yang pernah dan atau sedang dieksploitasi secara terencana. Menurut Kaffka (1990) dalam Irwanto (2010) mengemukakan bahwa hutan-hutan bekas tebangan (logged over area) yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.

Hutan sekunder (secondary forest) adalah seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur pembalakan & bercak bekas penebangan) dan sudah dieksploitasi yang tampak dengan adanya jalan angkutan kayu. Selain itu, hutan sekunder merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat, misalnya akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam (Anonim 2011).

Definisi degradasi hutan menurut FAO (1993) dalam Wayana (2011) adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan sehingga dapat menurunkan kapasitas produksi. Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih masuk kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai penurunan stok karbon hutan yang masih termasuk sebagai lahan hutan. Sedangkan IPCC mendefinisikan degradasi adalah emisi bersih akibat kegiatan manusia selama periode tertentu dari hutan yang menyebabkan berkurangnya tutupan tajuk tetapi belum disebut sebagai deforestasi.


(22)

Indonesia memiliki berbagai tipe hutan yaitu Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai (Soerianegara dan Indrawan 2005)

Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau, di sekitar sungai atau danau (Wetland International-Indonesian Programme 1997, dalam Wahyunto et al 2005).

Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tipe vegetasi hutan dataran rendah lainnya di daerah tropika. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan rawa gambut setara dengan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan kerangas dan hutan sub pegunungan daerah tropika tetapi masih lebih tinggi daripada keanekaragaman jenis hutan pegunungan dan bakau (Simbolon dan Mirmanto 2000 dalam Arsil 2009).

Lahan rawa gambut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya. Dalam penggalian dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk lahan rawa gambut serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu penggunaan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan kelestarian sumber alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan dan pemanfaatannya memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Dengan mengetahui sifat-sifat sumberdaya lahan rawa gambut, dan penggunaan lahan pada saat sekarang (existing landuse) akan dapat dibuat perencanaan yang lebih akurat untuk optimalisasi pemanfaatan dan usaha konservasinya (Wahyunto 2003 dalam Arsil 2009).

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik >18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan


(23)

gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse 1994).

Gambut ialah bahan atau serasah tanaman yang terdekomposisi secara parsial dan telah terakumulasi di lahan-lahan tergenang dalam kondisi kekurangan oksigen, dimana laju pemasukan bahan atau serasah tanaman lebih cepat daripada laju dekomposisinya (Radjagukguk 1991 dalam Yuono 2009)

Gambut ialah tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% atau 30% (tergantung tekstur tanah mineralnya) dan mempunyai ketebalan lebih dari 40 cm. tingkat dekomposisi bahan organik bervariasi dari kasar (fibrist) sampai halus (saprist), tetapi pada umumnya mempunyai tingkat dekomposisi sedang (hemist) (Tim Fakultas Pertanian IPB 1992). Tanah gambut (organik) adalah tanah yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari 50% pada kedalaman 80 cm (Andriesse 1998).

Hasil penelitian yang dilakukan IPB di beberapa lokasi di Sumatera, menunjukkan bahwa kerapatan lindak tanah gambut bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan organik dan kandungan bahan mineral (Hardjowigeno 1989). Tanah gambut dengan kandungan lebih dari 65% bahan organik (>38 % C-organik) mempunyai kerapatan lindak untuk jenis fibrik 0.11-0.14 g/cm3, untuk hemik 0.14-0.16 g/cm3, dan untuk saprik 0.18-0.21 g/cm3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk jenis hemik adalah 0.21-0.29 g/cm3 dan untuk saprik 0.30-0.37 g/cm3.


(24)

2.2 Biomassa dan Karbon Hutan

Biomassa merupakan keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah, misalnya pohon, hasil panen, rumput, serasah, akar, hewan dan sisa/kotoran hewan (EPA Glossary dalam Sutaryo 2009). Biomassa digunakan untuk memperkirakan karbon tersimpan, karena sekitar 50% dari biomassa tanaman adalah karbon (Brown 1997). Untuk mengukur besarnya karbon tersimpan di atas permukaan tanah digunakan persamaan alometrik dengan menduga biomassa suatu pohon dari pengukuran diameter dan tinggi pohon. Parameter biomassa atas permukaan dan metode pengukuran yang biasa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter-parameter biomassa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya

Parameter Metode Tumbuhan bawah

Serasah kasar dan halus Arang dan abu

Tumbuhan berkayu Pohon-pohon hidup Pohon mati masih berdiri Pohon mati sudah roboh Tunggak pohon

Destruktif Destruktif Destruktif Destruktif

Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, rumus silinder Non-destruktif, rumus silinder

Sumber : Hairiah et al (2001)

Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan di seluruh dunia mencapai 830 milyar ton. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfer yang terikat dalam CO2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon

tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam hutan (Gardner dan Engelman 1999 dalam Suhendang 2002).

Jumlah karbon dalam tegakan dipengaruhi oleh proses fotosintesis dan respirasi dari tegakan yang akan mempengaruhi jumlah CO2 bebas di atmosfer.


(25)

Hubungan timbal balik ini merupakan proses pengikatan dan pelepasan karbon bebas di atmosfer menjadi karbon yang terikat oleh tegakan.

Umumnya karbon menyusun 45%-50% bahan kering dari tanaman. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah besar, oleh karena itu Hutan Tropika dapat menyediakan simpanan penting karbon (Deley 1970 dalam Hidayat et al 1998). Hutan tropis dataran rendah areal bekas tebangan menyimpan karbon di atas permukaan tanah sebesar 57.68–107.71 tonC/Ha dan di hutan primer sebesar 229.33 tonC/Ha (Junaedi 2007). Whitmore (1985) menyatakan hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah.

Berdasarkan keberadaannya di alam, karbon ditemukan di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Proporsi terbesar penyimpanan C daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran /perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya.

Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati (nekromassa dan serasah) dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer (Sutaryo 2009).

Menurut keberadaannya komponen karbon daratan dapat dibedakan menjadi dua yaitu di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Simpanan karbon di atas permukaan tanah meliputi :

1. Biomassa pohon. Biomassa pohon dapat dibedakan menjadi biomassa daun, ranting, kulit, cabang, dan batang.


(26)

2. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput, dan gulma.

3. Nekromassa yaitu batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang.

4. Serasah yaitu bagian tanaman/tumbuhan yang gugur berupa daun dan ranting. Simpanan karbon di bawah permukaan tanah terdiri dari :

1. Biomassa akar. Pada tanah hutan biomassa akar lebih terkonsentrasi pada akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang memiliki daur hidup lebih pendek.

2. Bahan organik tanah. Bahan organik tanah meliputi sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi

(Hairiah dan Rahayu 2007)

Lasco (2002) dan Butler (2007) dalam Rahayu et al (2005), menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22%–67%. Teknik pemanenan berdampak rendah dapat dilakukan untuk mengurangi cadangan karbon yang hilang.

Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanaman pada tanah mineral. Perbandingan kandungan karbon di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral disajikan pada Tabel 2.


(27)

Tabel 2 Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa tanaman) dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral (ton/ha)

Komponen Hutan gambut

(ton/ha)

Hutan primer tanah mineral (ton/ha)

Atas permukaan tanah 150-200 200-350

Bawah permukaan tanah 300-6.000 30-300

Sumber : Agus dan Subiksa (2008)

Pengumpulan data biomassa dapat dikelompokkan dengan cara destruktif dan non destruktif tergantung jenis parameter vegetasi yang diukur. Chapman (1976) dalam Triantomo (2004) mengelompokkan metode pendugaan biomassa diatas tanah kedalam dua kelompok besar yaitu :

1. Metode destruktif (pemanenan)

a. Metode pemanenan individu tanaman. Metode ini digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit.

b. Metode pemanenan kuadrat. Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversikan berat bahan organic tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu.

c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran seragam.

2. Metode non destruktif (tidak langsung)

a. Metode hubungan allometrik. Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon (diameter, tajuk, dan tinggi) dengan biomassanya. Pembuatan persamaan tersebut dengan cara menebang pohon yang mewakili sebaran kelas diameter dan ditimbang. Persamaan allometrik tersebut digunakan untuk menduga berat semua individu pohon dalam pohon dalam suatu unit area.

b. Crop meter. Penduga biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakan diatas permukaan tanah pada jarak tertentu.


(28)

Karbon merupakan suatu unsur yang diserap dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan disimpan dalam bentuk biomassa. Tingkat penyerapan karbon di hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain iklim, topografi, karakteristik lahan, umur dan kerapatan vegetasi, komposisi jenis serta kualitas tempat tumbuh. Tempat penyimpanan utama karbon adalah terdapat dalam biomassanya (termasuk bagian atas yang meliputi batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah serta bagian bawah yang meliputi akar), bahan organik mati, tanah dan yang tersimpan dalam produk kayu yang nantinya dapat diemisikan untuk produk jangka panjang.

2.3 Sifat Fisik dan Kimia Kayu

Sifat fisika kayu adalah sifat-sifat asli dari kayu (wood inheren factors) yang dapat berubah-ubah karena adanya pengaruh lingkungan (suhu dan kelembaban udara). Sifat fisika kayu ini antara lain kadar air, berat jenis/kerapatan, perubahan dimensi kayu, sifat termis kayu, sifat elektris, sifat resonansi dan sifat akustik (Istikowati 2010)

Kadar air didefinisikan sebagai berat air yang terdapat di dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur. Perhitungan kadar air dapat digunakan untuk menduga biomassa pohon. Dalam penentuan uji kadar air digunakan 2 metode oven yaitu metode temperature rendah 103±2oC dan metode temperature tinggi 130–133oC. Kedua metode tersebut dapat digunakan dalam penentuan kadar air (Bonner 1995).

Tumbuhan hidup mengandung 70-80% air. Setelah mati, kandungan airnya akan dipengaruhi temperatur, kelembaban dan angin. Yang sangat besar mempengaruhi kadar air bahan bakar adalah hujan. Kadar air bahan bakar dibedakan sebagai berikut : sangat kering (<20%), kering (10-20%), agak kering (20-30%), basah (30-50%), dan sangat basah (>50%). Kandungan air atau tingkat kebasahan menentukan mudah tidaknya terjadi ignasi atau penyalaan bahan bakar hutan (Balai Teknologi Reboisasi Banjar Baru 1992 dalam Baskara 2011)

Besarnya perubahan kadar air sangat terkait erat dengan perubahan suhu harian dibanding fluktuasi kelembaban udara maupun kadar air tanah. Bahan bakar mati seperti serasah bersifat dapat menyerap air dari atmosfer sekitarnya (higroskopis) atau sebaliknya melepaskan kelengasan sampai terjadi kesetimbangan. Kadar air pada kondisi kesetimbangan ini disebut kadar air


(29)

setimbang (equilibrium moisture content, EMC) yang ditentukan oleh suhu dan kelembaban relatif udara, serta oleh sifat-difat internal bahan bakar (Asril 2002).

Berat Jenis adalah rasio antara kerapatan suatu bahan dengan kerapatan air. Berat jenis disebut juga kerapatan relatif (Tsoumis 1991 dalam Iswanto 2008). Besarnya berat jenis pada tiap-tiap kayu berbeda-beda dan tergantung dari kandungan zat-zat dalam kayu, kandungan ekstraktif serta kandungan air kayu. Berdasarkan volume basahnya, berat jenis kayu akan mencerminkan berat kayunya. Klasifikasi yang ada terdiri dari :

a. Kayu dengan berat ringan, bila BJ kayu <0.3 b. Kayu dengan berat sedang, bila BJ kayu 0.36–0.56 c. Kayu dengan berat berat, bila BJ kayu >0.56

Menurut Brown et al (1952) dalam Adipedia (2011), berat jenis kayu adalah perbandingan antara kerapatan kayu tersebut terhadap benda standart. Kerapatan adalah perbandingan antara massa atau berat benda terhadap volumenya. Air pada temperatur 40 C atau 32,5 0F mempunyai kerapatan sebesar 1 g/cm3 dalam kondisi anomali air (4.4oC).

Berat kayu meliputi berat zat kayu sendiri, berat zat ekstraktif dan berat air yang dikandungnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya konstan, sedangkan jumlah air berubah-ubah. Oleh karna itu berat jenis dari sepotong kayu bervariasi tergantung dari kadar air yang dikandungnya. Untuk mendapat keseragaman, maka pada umumnya dalam penentuan berat jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur. Dalam keadaan kering tanur, volume kayu akan mencapai minimum sedangakan air yang dikandungnya sangat kecil, kurang lebih 1% dari berat kayu.

Brown et al (1952) menyatakan bahwa berat jenis kayu bervariasi diantara berbagai jenis pohon dan diantara pohon dari satu jenis yang sama. Variasi ini juga terjadi pada posisi yang berbeda dari satu pohon. Adanya variasi jenis kayu tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah zat penyusun dinding sel dan kandungan zat ekstraktif per unit volume.

Kayu sering mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif dan infiltrasi meliputi terpen, resin, polifenol seperti tannin, gula, minyak, senyawa anorganik, silikat, karbonat, dan fosfat. Bahan ekstraktif yang dikandung mempengaruhi


(30)

kerapatan dan berat jenis. Selain itu kerapatan kayu dipengaruhi factor spesies, laju pertumbuhan, umur pohon setelah menghasilkan kayu, dan letak kayu (Haygreen dan Bowyer 1989)

Kadar zat terbang adalah persen kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950oC yang terkandung pada arang terhadap berat kering dan bebas air. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan, yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen dan Bowyer 1982).

Kadar abu didefinisikan sebagai berat sisa yang tertinggal, dinyatakan sebagai persen terhadap berat bahan air setelah pembakaran pada suhu tinggi dengan tersedianya oksigen yang melimpah. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalsium, kalium, magnesium, dan silica. Dalam abu persen kandungan mineral terhadap berat kayu kering oven masing-masing dapat lebih rendah dari 0.2% atau bahkan lebih dari 1%. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksidasi tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990).

Besarnya kandungan karbon terikat ditentukan oleh besarnya nilai kadar abu dan kadar zat terbang dimana semakin besar kandungan kadar zat terbang dan kadar abu maka makin rendah kandungan karbon terikat yang ada dalam kayu tersebut. Kadar abu merupakan kadar oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi yang terdiri dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Sedangkan kadar zat terbang merupakan kandungan zat-zat yang mudah menguap atau hilang pada suhu pemanasan 950ºC yang tersusun dari senyawa alifatik, terfana dan fenolik.

2.4 Bahan Organik Mati

Bahan organik mati mencakup kayu mati yang masih tegak / berdiri, kayu mati yang sudah tumbang, tunggul atau tunggak (nekromassa) dan serasah. Kayu mati yang masih berdiri diperlakukan seperti pohon hidup dengan memperhatikan tingkat dekomposisinya. Kayu mati dengan diameter •10 cm diambil sampelnya


(31)

dengan metode pemanenan kuadrat seperti halnya pohon. Sedangkan untuk serasah dan kayu mati dengan diameter <10 cm dilakukan pengumpulan sample dengan metode pemanenan kuadrat. Berikut adalah tabel tingkat dekomposisi untuk kayu mati tumbang atau roboh.

Tabel 3 Kelas dekomposisi kayu mati tumbang dan ciri-ciri pengenalnya

Kelas Dekomp osisi Struktur Tekstur Bagian yang Membusuk Warna kayu Akar yang menginvasi Cabang dan ranting

1 Segar, baru

tumbang, kayu bulat utuh. Utuh, tidak membusuk Warna asli

Tidak ada Cabang ada, ranting masih menyatu dan mempunyai kulit yang kencang

2 Segar Nyaris utuh,

lunak atau hampir membusuk tetapi tidak bisa dilepas-kan dengan tangan

Warna asli

Tidak ada Cabang ada, bebrapa ranting terlepas, yang masih ada mempunyai kulit yang terlepas

3 kayu bagian

dalam segar, potongan dapat menahan beratnya sendiri Keras, potongan berukuran besar, bagian luar kayu dapat dilepas dengan tangan atau tidak ada

Coklat kemerah an atau warna asli Hanya pada kayu bagian luar Cabang yang ada tidak bias dilepas dengan tangan

4 Bagian dalam

kayu membusuk, potongan tidak bisa menahan beratnya sendiri tetapi bisa mem-pertahankan bentuknya

Lunak,potongan kecil, paku logam dapat di tekan dengan tangan hingga bagian tengah kayu Kemera han atau coklat muda Hampir ke-seluruhan Cabang yang masih ada bisa di lepas dengan tangan

5 Tidak ada,

potongan tidak lagi dapat mem-pertahankan bentuknya, tersebar di tanah

Lunak, berupa serbuk ketika kering Merah coklat sampai coklat tua Hampir ke-seluruhan Cabang yang masih ada umumnya sudah membusuk


(32)

Kayu Mati merupakan semua biomasa kayu mati, baik yang masih tegak (mati berdiri dan tunggak), rebah maupun di dalam tanah dengan diameter lebih ≥10 cm. Pohon mati berdiri adalah pohon berkayu yang mempunyai batang jelas, berdiri di atas tanah dengan tinggi minimal 5 meter. Tunggak adalah bagian pangkal batang yang ditinggalkan setelah penebangan. Tinggi tunggak pada pohon-pohon rimba sekitar 60-80 cm terkadang karena kondisi lapangan, tinggi tunggak bisa sekitar 40 cm bahkan ada yang mencapai 1 m atau lebih.

Dalam garis besar kerusakan kayu yang timbul pada nekromassa disebabkan oleh 3 hal antara lain akibat penyusutan kayu, serangan jamur pembusuk, dan bahan kimia di dalam kayu (zat ekstraktif). Sedangkan faktor pelapukan yang berperan pada perubahan yang terjadi di permukaan kayu nekromassa yaitu radiasi sinar matahari (ultra violet, sinar tampak, dan infra merah), air (embun, hujan, salju, dan kelembaban), suhu, dan oksigen. Secara alami tanaman memiliki waktu pelapukan yang lambat, misalnya untuk non legum membutuhkan waktu lebih dari 24 bulan (2 tahun), sementara untuk tanaman legum adalah 12 bulan (Santoso 2011).

Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di atas permukaan tanah, serasah juga dikenal dengan istilah nekromasa tak berkayu yang dibedakan menjadi serasah kasar dan serasah halus. Serasah kasar mencakup ranting-ranting dan dedaunan yang masih utuh yang tergeletak di permukaan tanah, sedangkan serasah halus berupa bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran lebih dari 2 mm. Sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu.

Serasah didefinisikan sebagai tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Kayu mati yang ukurannya >2 mm dan diameternya <10 cm dikategorikan sebagai serasah. Serasah umumnya diestimasi biomassanya dengan metode pemanenan/pengumpulan. Serasah bisa saja dipilahkan lagi menjadi lapisan atas dan bawah. Lapisan atas disebut serasah yang merupakan lapisan di lantai hutan yang terdiri dari guguran daun segar, ranting, serpihan kulit


(33)

kayu, lumut dan lumut kerak mati, dan bagian-bagian buah dan bunga. Lapisan dibawah serasah disebut dengan humus yang terdiri dari serasah yang sudah terdekomposisi dengan baik (Sutaryo 2009).

Menurut Sunarto (2003) dekomposisi dapat didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika yang dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik menjadi berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati.

Menurut Nybakken (1993) terdapat tiga tahap proses dekomposisi serasah yaitu (1) proses leaching merupakan mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air, (2) penghawaan (wathering) merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air dan (3) aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan proses dekomposisi. Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, dan komposisi bahan kimia, baik pada serasah maupun lingkungan.

Kecepatan dekomposisi serasah daun hingga dapat menyatu ke dalam tanah juga tergantung pada faktor fisik dan jenis tumbuhan itu sendiri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, produksi serasah akan tinggi sedangkan kecepatan pelapukan serasah akan berlangsung lambat. Dalam hal ini, serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa centimeter (Dix and Webster 1995).

Kualitas serasah ditentukan dengan melihat morfologinya terutama yang berasal dari daun yang gugur untuk mengasumsikan kecepatan dekomposisinya. Kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna, sifatnya ketika diremas dan kelenturannya. Warna daun kering coklat, daun tetap lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap lentur berarti daun tersebut cepat lapuk. Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan sisi-sisi yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk. Kualitas serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh serasah. Kualitas


(34)

serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah (dekomposisi). Semakin lambat proses pelapukan maka keberadaan serasah di permukaan tanah menjadi lebih lama.

Setiadi (1989) menyatakan bahwa proses dekomposisi organik di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Adanya variasi produksi serasah antara lain dipengaruhi oleh kerapatan tajuk dan persaingan dalam mendapatkan cahaya. Peningkatan suhu tanah dapat merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat laju proses mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2).

Perbandingan potensi karbon tersimpan pada bahan organik mati (nekromasa dan serasah) dengan penelitian lain pada tipe hutan dan lokasi berbeda yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan potensi karbon bahan organik mati pada berbagai tipe hutan

No Tipe Hutan Potensi Karbon (tonC/ha) Peneliti

Nekromasa Serasah 1 Hutan Kerangas Lahan Gambut,

Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat

- 2.77

Onrizal (2004) 2 Hutan Rakyat Agroforestri, Ciamis

Jawa Barat (pada umur rata-rata tegakan 1 - 12 tahun)

1.15 4.84

Yudhistira (2006)

3 Hutan Alam, Papua

Maulana (2009) a. Hutan Pegunungan Rapat 19.29 1.65

b. Hutan Pegunungan Sedang 12.87 2.11 c. Hutan Perbukitan Rapat 15.01 1.98 d. Hutan Perbukitan Sedang 14.68 2.45 e. Hutan Dataran Rendah Rapat 14.81 3.02 f. Hutan Dataran Rendah Sedang 9.2 1.87

g. Hutan Rawa Rapat 17.43 1.86

h. Hutan Rawa Sedang 14.52 1.8

i. Non-Hutan (Kelapa Sawit) 0 1.41

4 Hutan Gambut Merang Bekas

Terbakar, Sumatra Selatan 12.90 1.80

Widyasari (2010) 5 Hutan Tanaman Kayu Serat Lahan

Gambut, PT RAPP Riau

Yuniawati (2011)

a. KU 0 14.68 0.32

b. KU 5 - 2.72


(35)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di hutan primer (primary forest) blok RKT 2018, hutan bekas tebangan (logged over area) blok RKT bulan Januari 2011, hutan sekunder (secondary forest) tahun 1984, dan hutan terdegradasi (degraded forest) tahun 2010 pada areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber, Provinsi Riau. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-September 2011.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di hutan gambut PT.Diamond Raya Timber.

3.2 Batasan Penelitian

1) Definisi primary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest.

a) Primary forest (hutan primer) yang menjadi plot penelitian ini merupakan suatu kondisi hutan gambut yang memiliki tingkat kerapatan tajuk pohon tinggi, pohon-pohon berdiameter besar, pohon mati dalam jumlah sedikit,


(36)

lantai hutan dalam kondisi lembab sampai tergenang air, serta belum dilakukannya kegiatan penebangan (belum dieksploitasi).

Gambar 2 Kondisi hutan primer (primary forest).

b) Logged over area (hutan bekas tebangan) merupakan suatu kondisi hutan yang telah/baru mengalami kegiatan pemanenan kayu yang menyebabkan keterbukaan areal yang besar. Terdapat bekas jalan ongkak, tunggak pohon bekas penebangan, kerusakan tegakan tinggal, serta pohon-pohon mati berdiameter besar (≤65 cm) yang ditinggalkan karena terdapat gerowong pada kayunya.

(a) (b) (c)

Gambar 3 Kondisi hutan bekas tebangan/LOA : (a) bekas jalan ongkak, (b) pohon tebangan, dan (c) tunggak bekas penebangan

c) Secondary forest (hutan sekunder) merupakan suatu kondisi hutan yang telah menampakan bekas penebangan (sudah dieksploitasi belasan tahun lalu) sehingga keterbukaan arealnya relative lebih kecil dibandingkan hutan


(37)

bekas tebangan. Terdapat alur pembalakan kayu yaitu dengan adanya balok-balok dan papan kayu untuk dijadikan bantalan rel dan pondok pekerja, serta terdapat bekas jalan kecil yang dibuat pekerja untuk masuk dan keluar hutan.

(a) (b) (c) Gambar 4 Hutan sekunder : (a) Kondisi hutan sekunder, (b) papan-papan kayu,

dan (b) balok-balok kayu.

d) Degraded forest (hutan terdegradasi) merupakan suatu kondisi hutan yang mengalami penurunan kapasitas produksi kayu, dimana telah terjadi penebangan secara besar-besaran yang menyebabkan keterbukaan areal tinggi. Banyak terdapat pohon-pohon mati dengan diameter yang relatif kecil (<40 cm), serta ditumbuhi semak belukar yang rapat.

Gambar 5 Kondisi hutan terdegradasi (degraded forest).

Berdasarkan definisi keempat kondisi hutan diatas yaitu primary forest/PF, logged over area/LOA, secondary forest/SF, dan degraded forest/DF terdapat beberapa perbedaan yang dapat dilihat pada Tabel 4.


(38)

Tabel 5 Perbedaan kondisi hutan pada pimary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest

Kondisi Hutan

Potensi hutan (pohon/ha)

Tunggak Pohon Pionir

Pohon Komersil

Kebakaran hutan

Intensitas Tebang

PF Tinggi - - Banyak - 0

LOA Sedang Ada - Banyak - < 10

SF Jarang Ada Ada Sedikit Ada/tidak

ada

> 10

DF Tidak ada - Ada - Ada -

Sumber : Lisan Suwarna 2010

Kondisi primary forest akan mengalami kegiatan penebangan secara terencana sesuai dengan rencana kerja tahunan yang telah ditentukan. Hutan primer yang telah mengalami kegiatan penebangan/pemanenan kayu akan menjadi kondisi hutan bekas tebangan (logged over area), dimana telah terjadi pengurangan tegakan yang menyebabkan besarnya keterbukaan areal. Hutan bekas tebangan yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan (tanpa adanya penebangan/pembalakan) dapat berkembang menjadi hutan sekunder (secondary forest). Hutan sekunder umumnya secara perlahan-lahan dapat pulih kembali menjadi hutan primer, tergantung pada kondisi lingkungannya, dan akan memakan waktu beberapa ratus hingga beberapa ribu tahun lamanya. Hutan sekunder yang mengalami pembalakan (penebangan kayu secara besar-besaran) akan menjadi hutan terdegradasi (degraded forest) karena berkurangnya tegakan pohon dalam jumlah besar.

2) Nekromasa dan tingkat dekomposisi.

Nekromasa merupakan batang pohon yang sudah mati baik yang masih tegak/pohon mati berdiri, pohon tumbang, maupun tunggak pohon.

a) Pohon mati berdiri yaitu memiliki kriteria kelas diameter ≥10 cm dan tinggi ≥5 m baik yang masih memiliki cabang dan ranting maupun pohon mati yang hanya batang utama.

b) Pohon mati tumbang/roboh yaitu memiliki kriteria kelas diameter •10 cm dengan panjang minimal •50 cm.

c) Tunggak pohon yaitu memiliki kriteria kelas diameter •10 cm dengan tinggi tunggak maksimal yaitu <5 m dari permukaan tanah.


(39)

(a) (b) (c)

Gambar 6 Nekromasa/pohon mati : (a) pohon mati berdiri, (b) pohon tumbang, dan (c) tunggak pohon.

Tingkat dekomposisi nekromasa dibedakan menjadi tiga kelas dekomposisi yang dimodifikasi dari Woodall & Monleon (2008) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kelas dekomposisi nekromasa dan ciri-ciri pengenalnya di lapangan

Kelas Struktur Tekstur

Bagian yang Membusuk Warna kayu Akar yang menginva si Cabang dan ranting 1 Tidak lapuk

Utuh atau nyaris utuh,tidak membusuk atau hampir

membusuk

Warna asli

Tidak ada Cabang ada, ranting masih menyatu atau beberapa ada yang terlepas, mempunyai kulit yang kencang dan terlepas 2 Setengah lapuk

Keras hingga lunak, potongan kecil hingga besar,bagian luar kayu dapat dilepas dengan tangan, paku logam dapat di tekan dengan tangan hingga bagian tengah kayu Coklat kemerahan, coklat muda atau warna asli Pada kayu bagian luar maupun pada ke-seluruhan kayu Cabang yang ada tidak bisa/ bisa dilepas dengan tangan

3 Lapuk Lunak, berupa serbuk ketika kering Merah coklat sampai coklat tua Hampir keseluruh an Cabang yang masih ada umumnya sudah membusuk t > 5

Dbh ≥ 10 cm

p ≥ 50 cm

Ø≥ 10 cm

t < 5 m


(40)

3) Kematian alami dan buatan

Kematian pada pohon-pohon di hutan disebabkan oleh kematian alami dan kematian buatan.

a) Kematian alami terjadi akibat factor-faktor alami dari lingkungan seperti angin besar, dan serangan hama. serta faktor dari dalam pohon itu sendiri seperti pohon yang sudah berumur tua, dan terdapatnya kelainan pada kayu (penyakit pohon).

b) Kematian buatan disebabkan oleh kegiatan pemanenan/penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia.

4) Serasah dan tingkat dekomposisi

Serasah merupakan sisa-sisa tanaman yang telah mati berupa daun, cabang dan ranting yang berada pada lantai hutan. Kayu mati yang memiliki diameter >2 mm dan <10 cm dengan panjang <50 cm termasuk kedalam serasah. Serasah dibagi menjadi dua dekomposisi yaitu serasah kasar dan halus. a) Serasah kasar merupakan sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna (dalam kondisi segar) yang masih dapat mempertahankan bentuk aslinya yang terdapat di lapisan lantai hutan paling atas.

b) Serasah halus merupakan sisa-sisa tanaman serta akar-akar tanaman yang sudah melapuk sempurna sehingga tidak dapat lagi mempertahankan bentuknya (mudah hancur). Serasah halus umumnya berwarna kehitaman yang terdapat di bawah lapisan serasah kasar.

(a) (b) Serasah halus


(41)

Gambar 7 Serasah berdasarkan dekomposisi : (a) serasah kasar dan halus di lantai hutan, dan (b) serasah kasar dan halus di dalam plastik.

3.3 Alat dan Bahan

Alat-alat yang diperlukan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu alat yang digunakan di lapangan dan alat yang digunakan di laboratorium. Alat yang digunakan di lapangan antara lain meteran, pita diameter, tali tambang/rafia, golok/parang, talley sheet, kantong plastik, label, kalkulator, alat tulis, timbangan, karung, GPS, dan kamera. Sedangkan untuk pengujian di laboratorium alat yang digunakan adalah cawan porselen, oven tanur listrik, timbangan elektronik, alat penggiling, alat saring (mesh screen) ukuran 40-60 mesh.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan organik mati pada lahan gambut yaitu nekromassa/pohon mati dan serasah berdasarkan dekomposisi. Nekromasa memiliki ukuran diameter ≥10 cm dengan panjang ≥50 cm dan hanya kayu mati yang berdiameter <10 cm dengan panjang <50 cm termasuk ke dalam serasah. Diambil 3 contoh uji dari masing-masing tingkat dekomposisi pada nekromasa dan serasah.

3.4 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan berupa :

a. Volume nekromasa dan berat basah serasah pada empat kondisi hutan gambut b. Berat jenis sampel nekromassa berdasarkan tingkat dekomposisi tidak lapuk,

setengah lapuk dan lapuk.

c. Berat kering tanur (gr), kadar air (%), kadar zat terbang (%), dan kadar abu (%) dari nekromassa dan serasah yang diperoleh dengan analisis sampel di laboratorium.

Data sekunder yaitu berupa data kondisi umum lokasi penelitian, antara lain : a. Peta lokasi penelitian

b. Letak, luas dan keadaan umum lokasi penelitian

c. Kondisi hutan yang meliputi tipe hutan dan potensi hutan 3.5 Metode Penelitian

Penelitian dimulai dengan pengukuran data bahan organik mati di lapangan serta analisis vegetasi nekromasa pohon, kemudian pengambilan contoh bahan


(42)

organik mati. Contoh bahan organik mati (nekromasa pohon dan serasah) pada lahan gambut yang diambil berdasarkan tingkat dekomposisi. Nekromasa terdiri dari dekomposisi tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk. Sedangkan serasah terdiri dari dekomposisi serasah kasar dan halus dari 4 kondisi hutan gambut yang memiliki kondisi hutan berbeda (primary forest, logged over area, secondary forest, dan degraded forest) yang diambil secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterwakilan dan aksesibilitas ke lokasi petak ukur di areal hutan gambut. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran kadar air, berat kering, kadar zat terbang, kadar abu, dan analisis kadar karbon (%) nekromassa dan serasah di laboratorium.

3.5.1 Metode Pengukuran Data di Lapangan

Data dimensi nekromassa pohon diperoleh dari inventarisasi hutan menggunakan sistem jalur berpetak pada tingkat vegetasi pohon mati/nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisinya (tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk). Sedangkan data berat basah serasah berdasarkan tingkat dekomposisi kasar dan halus di 4 lokasi hutan yang berbeda pada lahan hutan gambut. Petak ukur pada masing-masing lokasi berukuran 100 m x 100 m. Pengukuran dan pengambilan sampel bahan organik mati yang mewakili dari masing-masing tingkat vegetasi pohon pada petak ukur 1 Ha dan serasah dilakukan di dalam 3 sub-petak ukuran 1 m x 1 m yang dilakukan dengan 3 kali ulangan.

Gambar 8 Titik pengukuran nekromasa (1 Ha ) dan serasah (1 m x 1 m). 20 m

U

100 m

10 m

Keterangan :

: Sumbu jalur inventarisasi : Batas sub petak dan anak petak : Batas jalur inventarisasi : Sub-plot serasah (1 m x 1m)


(43)

3.5.1.1 Metode Pengukuran Nekromasa

Plot bujur sangkar atau persegi panjang merupakan bentuk plot yang relatif sering digunakan di dalam analisa vegetasi hutan di Indonesia berdasarkan Soeryanegara dan Indrawan (1998) yang telah dimodifikasi karena kemudahannya di dalam memastikan pohon-pohon mati/nekromasa yang masuk dibandingkan dengan plot lingkaran.

a. Dibuat petak ukur berukuran 100 m x 100 m (1 Ha) untuk mengukur pohon mati yang masih berdiri tegak, pohon mati tumbang/roboh dan tunggak/tunggul pohon yang memiliki kriteria kelas diameter yang sama dengan pohon hidup yaitu ≥10 cm dan panjangnya ≥50 cm.

b. Pengukuran contoh pohon mati dilakukan dengan metode non-destruktif, parameter yang diukur yaitu diameter ujung dan pangkal untuk pohon mati tumbang dan tunggak pohon, serta diameter setinggi dada (dbh) untuk pohon mati berdiri/tegak serta tingginya dari permukaan tanah.

c. Identifikasi jenis serta tingkat dekomposisinya. Pengukuran tunggak pohon, pohon tumbang, dan pohon mati berdiri dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Pengukuran nekromasa/pohon mati : (a) tunggak pohon, (b) pohon mati tumbang, dan (c) pohon mati berdiri.

Dp

Tinggi Du

a

Panjang Dp

Du

b

Tinggi

Dbh


(44)

3.5.1.2 Metode Pengukuran Serasah

Pengukuran serasah dilakukan pada serasah kasar dan serasah halus. Tahapan pengukuran serasah di lapangan adalah sebagai berikut :

a. Dibuat petak ukur berukuran 1 m x 1 m untuk serasah dan hanya kayu mati yang ukuran diameternya <10 cm. Sampel yang masuk ke plot serasah dipotong dengan gunting atau parang, lalu dikumpulkan dalam kantong plastik/karung dan ditimbang untuk diketahui berat basahnya.

b. Bagian dari tumbuhan yang dikumpulkan berupa serasah, cabang atau ranting berdiameter <10 cm dengan panjang <50 cm, bunga dan buah. Sampel ini kemudian di ayak dengan ayakan untuk memisahkan bagian tanah yang mungkin ada.

c. Berat serasah yang diperoleh dalam plot ukur 1 m x 1 m ditimbang untuk mendapatkan berat basah total.

3.5.2 Analisis Vegetasi Nekromasa

Data vegetasi nekromasa yang dikumpulkan dari hasil pengukuran di lapangan dianalisis untuk mendapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis nekromassa, nilai INP terdiri dari KR dan FR, karena nilai DR hanya untuk tingkat pohon dan tiang. Analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui komposisi nekromasa yang sering ditemukan di hutan gambut sehingga dapat ditentukan jenis nekromasa dominan.

3.5.2.1 Kerapatan a. Kerapatan Jenis (KJ)

Kerapatan jenis adalah jumlah individu suatu jenis pada suatu lokasi tertentu, yang dirumuskan :

KJ Jumlah individu suatu jenisLuas petak contoh

b. Kerapatan Relatif (KR)

Kerapatan relatif adalah persentase kerapatan jenis terhadap kerapatan dari seluruh jenis, dirumuskan :


(45)

3.5.2.2 Frekuensi

a. Frekuensi suatu jenis (F)

Frekuensi adalah perbandingan banyaknya petak contoh yang ditemui suatu jenis terhadap petak contoh yang dibuat, dirumuskan :

F Jumlah sub petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh sub petak contoh

b. Frekuensi Relatif suatu jenis (FR)

Frekuensi relatif adalah persentase frekuensi suatu jenis terhadap jumlah frekuensi seluruh jenis, dirumuskan :

FR F seluruh jenis x F suatu jenis

3.5.2.3 Indeks Nilai Penting (INP)

Nilai ini menunjukkan dominansi suatu jenis dalam suatu areal tertentu. Untuk mengetahui jenis yang dominan maka dihitung Indeks Nilai Penting (INP) dengan rumus :

INP (%) = KR (%) + FR (%)

3.5.3 Pengambilan Contoh Bahan Organik Mati 3.5.3.1 Pengambilan Contoh Nekromasa

Pengambilan contoh nekromasa dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dari setiap dekomposisi yaitu tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk dari semua kondisi hutan gambut dengan berat contoh berkisar antara 100-300 gram untuk diuji di laboratorium. Sampel yang diambil berdasarkan jenis-jenis dominan dari semua kondisi hutan yang ditentukan secara purposive sampling. Tingkat dekomposisi dari nekromasa berkayu yaitu pohon mati berdiri/tegak, pohon mati tumbang, dan tunggak pohon adalah sebagai berikut :

a. Pohon Mati Berdiri

Pohon mati berdiri/tegak bisa dilihat dari cabang dan ranting yang masih tersisa. Terdapat tiga kondisi pada pohon mati berdiri antara lain :

1. Pohon mati berdiri/tegak dengan cabang dan ranting.

2. Pohon mati dengan cabang besar dan kecil tetapi tanpa ranting. 3. Pohon mati hanya batang utama.


(46)

b. Pohon mati tumbang atau rebah

Pohon mati tumbang diindentifikasi jenis dan tingkat dekomposisinya. Tingkat dekomposisi akan mempengaruhi kepadatan kayu, sehingga untuk kayu dengan volume sama akan memiliki berat yang berbeda apabila tingkat dekomposisinya berbeda.

c. Tunggak atau tunggul pohon

Plot untuk tunggak/tunggul pohon umumnya disamakan dengan plot untuk pohon. Artinya, dalam plot yang digunakan untuk mengukur biomassa tegakan sekaligus dipakai untuk mengukur biomassa tunggak pohon. Untuk tunggak yang bertunas kembali dianggap sama dengan tunggak yang benar-benar mati, hanya dibedakan tingkat pembusukannya. Tunggak yang bertunas lagi tidak otomatis dianggap sama dengan tunggak yang masih segar karena terdapat kemungkinan ada sebagian yang mengalami pembusukan.

3.5.3.2 Pengambilan Contoh Serasah

Pengumpulan serasah dilakukan pada lapisan di bawah serasah (humus) yang terdiri dari serasah yang sudah terdekomposisi dengan baik dan pada daun-daun serta ranting yang baru berguguran sehingga kondisinya masih bagus atau belum hancur/rusak. Pengambilan serasah dilakukan secara destruktif dan ditimbang berat basahnya. Sebelum dilakukan penimbangan berat basah di lapangan terlebih dahulu dibedakan antara serasah kasar dan serasah halus.

a. Serasah kasar merupakan material tanaman yang tidak terdekomposisi atau sisa tumbuhan, semua daun dan cabang yang tidak terbakar. Pengumpulan serasah kasar dilakukan setelah pengukuran dan pengumpulan tumbuhan bawah.

b. Serasah halus diperoleh dengan cara mengumpulkan akar kering dan bagian yang terdekomposisi, termasuk serasah hitam di bawah lapisan serasah kasar. c. Diambil contoh serasah kasar dan serasah halus dari empat kondisi hutan

gambut sekitar 100-300 gram sebanyak 3 kali ulangan. Bila contoh serasah yang didapat hanya sedikit (<100 gr) maka timbang semuanya dan dijadikan sebagai sampel.


(1)

No Jenis Sampel

Berat awal sample

(gr)

Volume sample (cm3)

BKT

sampel BJ

Rata-rata BJ per dekomposisi

Rata-rata BJ per

jenis

1 Meranti

TL1 5.62 5.16 3.64 0.71

0.59

0.43

TL2 7.94 6.46 3.25 0.50

TL3 7.23 7.06 3.88 0.55

SL1 5.13 4.86 2.17 0.45

0.54

SL2 6.40 6.56 4.19 0.64

SL3 11.26 9.56 5.00 0.52

L1 6.00 6.86 1.28 0.19

0.17

L2 5.07 18.66 2.81 0.15

L3 5.28 7.66 1.33 0.17

2 Medang

TL1 5.31 7.16 2.79 0.39

0.44

0.34

TL2 7.65 8.86 3.57 0.40

TL3 3.91 5.96 3.07 0.51

SL1 9.01 8.56 2.39 0.28

0.31

SL2 4.18 3.86 1.18 0.31

SL3 7.62 8.36 2.84 0.34

L1 4.76 9.76 2.89 0.30

0.29

L2 3.16 2.96 0.64 0.22

L3 1.46 3.26 1.17 0.36

3 Milas

TL1 7.15 6.26 5.86 0.94

0.91

0.57

TL2 7.39 6.26 5.39 0.86

TL3 8.45 7.46 6.96 0.93

SL1 9.47 8.86 2.75 0.31

0.46

SL2 9.27 8.86 4.48 0.51

SL3 4.87 6.56 3.67 0.56

L1 2.37 2.16 0.88 0.41

0.33

L2 6.26 6.16 1.56 0.25

L3 4.31 3.76 1.28 0.34

4 Balam

TL1 11.08 8.66 6.71 0.77

0.59

0.43

TL2 8.55 7.46 3.49 0.47

TL3 5.36 7.66 4.00 0.52

SL1 8.51 9.06 3.12 0.34

0.36

SL2 5.30 8.66 2.65 0.31

SL3 8.30 8.16 3.61 0.44

L1 2.81 2.56 0.81 0.32

0.32

L2 4.15 3.96 0.89 0.23


(2)

No Jenis Sampel

Berat awal sample

(gr)

Volume sample (cm3)

BKT

sampel BJ

Rata-rata BJ per dekomposisi

Rata-rata BJ per

jenis

5 Kelat

TL1 4.79 4.86 2.63 0.54

0.64

0.45

TL2 7.17 7.86 4.50 0.57

TL3 11.95 9.36 7.51 0.80

SL1 4.46 8.26 2.51 0.30

0.36

SL2 8.16 7.86 3.26 0.41

SL3 4.22 8.16 2.94 0.36

L1 4.49 4.26 1.42 0.33

0.35

L2 2.14 4.26 1.31 0.31

L3 4.73 4.16 1.64 0.40

6 Timah2

TL1 11.16 8.56 7.40 0.86

0.88

0.68

TL2 6.64 4.96 4.45 0.90

TL3 8.56 6.46 5.75 0.89

SL1 7.76 7.46 6.14 0.82

0.80

SL2 5.97 6.66 4.61 0.69

SL3 8.17 7.26 6.31 0.87

L1 6.34 8.06 2.43 0.30

0.37

L2 4.25 5.96 2.16 0.36

L3 2.07 1.76 0.79 0.45

7 Suntai

TL1 7.44 5.66 3.89 0.69

0.57

0.42

TL2 10.15 8.56 3.70 0.43

TL3 5.49 7.66 4.54 0.59

SL1 2.95 6.16 2.28 0.37

0.37

SL2 7.48 7.46 2.83 0.38

SL3 7.49 7.36 2.54 0.35

L1 4.25 9.46 3.63 0.38

0.33

L2 2.58 4.36 1.33 0.30

L3 4.81 6.36 1.93 0.30


(3)

No Jenis Sampel BKT Cawan

(gr)

BKU Sampel

(gr)

BKT sampel

(gr)

KA %

Berat ZT (gr)

% ZT

Rata-rata %ZT per dekompo

sisi jenis

Berat ZA (gr)

% ZA

Rata-rata %ZA per dekompo

sisi jenis

Fixed carbon

(%)

Rata-rata %C per dekompo sisi jenis

1 Meranti

TL1 19,017 2,010 20,824 11.234 19,789 57.277

56.006

19,037 1.107

1.506

41.616

42.488

TL2 20,990 2,028 22,767 14.125 21,822 53.180 21,022 1.801 45.020

TL3 21,040 2,003 22,779 15.181 21,778 57.562 21,068 1.610 40.828

SL1 39,995 2,017 41,795 12.056 40,692 61.278

60.072

40,005 0.556

0.881

38.167

39.048

SL2 17,377 2,041 19,204 11.713 18,108 59.989 17,389 0.657 39.354

SL3 18,063 2,004 19,812 14.580 18,781 58.948 18,088 1.429 39.623

L1 17,326 2,108 19,288 7.441 18,214 54.740

56.430

17,362 1.835

1.419

43.425

42.152

L2 16,878 2,024 18,721 9.821 17,762 52.035 16,892 0.760 47.206

L3 19,410 2,001 21,216 10.797 20,087 62.514 19,440 1.661 35.825

2 Medang

TL1 20,999 2,021 22,791 12.779 21,727 59.375

56.681

21,013 0.781

0.780

39.844

42.538

TL2 27,775 2,022 29,580 12.022 28,604 54.072 27,791 0.886 45.042

TL3 18,565 2,036 20,346 14.318 19,338 56.597 18,577 0.674 42.729

SL1 28,354 2,019 30,129 13.746 29,050 60.789

60.163

28,378 1.352

1.419

37.859

38.417

SL2 23,352 2,015 25,101 15.209 24,072 58.834 23,376 1.372 39.794

SL3 24,726 2,103 26,617 11.211 25,466 60.867 24,755 1.534 37.599

L1 21,039 2,007 22,805 13.647 21,759 59.230

59.988

21,051 0.680

1.083

40.091

38.929

L2 26,233 2,004 28,008 12.901 26,944 59.944 26,259 1.465 38.592


(4)

No Jenis Sampel BKT Cawan

(gr)

BKU Sampel

(gr)

BKT sampel

(gr)

KA %

Berat ZT (gr)

% ZT

Rata-rata %ZT per dekompo

sisi jenis

Berat ZA (gr)

% ZA

Rata-rata %ZA per dekompo

sisi jenis

Fixed carbon

(%)

Rata-rata %C per dekompo sisi jenis

3 Milas

TL1 16,265 2,136 18,172 12.008 17,332 44.048

42.503

16,286 1.101

0.794

54.851

56.703

TL2 16,975 2,110 18,847 12.714 18,045 42.842 16,986 0.588 56.571

TL3 17,114 2,117 18,990 12.846 18,228 40.618 17,127 0.693 58.689

SL1 17,694 2,349 19,686 17.922 18,844 42.269

41.634

17,706 0.602

1.034

57.129

57.332

SL2 18,277 2,082 20,070 16.118 19,333 41.104 18,304 1.506 57.390

SL3 18,408 2,150 20,320 12.448 19,526 41.527 18,427 0.994 57.479

L1 19,288 2,161 21,165 15.131 20,382 41.716

38.740

19,307 1.012

1.228

57.272

60.031

L2 19,344 2,140 21,176 16.812 20,508 36.463 19,369 1.365 62.172

L3 19,377 2,238 21,288 17.111 20,561 38.043 19,402 1.308 60.649

4 Balam

TL1 19,473 2,185 21,437 11.253 20,621 41.548

42.749

19,496 1.171

1.174

57.281

56.077

TL2 19,555 2,068 21,403 11.905 20,585 44.264 19,574 1.028 54.708

TL3 20,552 2,107 22,442 11.481 21,640 42.434 20,577 1.323 56.243

SL1 23,759 2,074 25,628 10.968 24,849 41.680

42.989

23,800 2.194

1.872

56.126

55.138

SL2 24,631 2,122 26,536 11.391 25,805 38.373 24,670 2.047 59.580

SL3 24,897 2,104 26,786 11.382 25,862 48.915 24,923 1.376 49.709

L1 26,568 1,860 28,244 10.979 27,508 43.914

45.429

26,585 1.014

1.474

55.072

53.097

L2 27,297 1,875 28,951 13.362 28,161 47.763 27,323 1.572 50.665

L3 27,581 1,882 29,269 11.493 28,516 44.609 27,612 1.836 53.555

5 Kelat

TL1 40,005 1,962 41,702 15.616 40,723 57.690

56.661

40,022 1.002

1.091

41.308

42.248

TL2 25,975 2,008 27,744 13.510 26,855 50.254 25,987 0.678 49.067

TL3 17,361 2,033 19,118 15.709 18,028 62.038 17,389 1.594 36.369

SL1 21,112 2,017 22,903 12.619 21,839 59.408

55.773

21,156 2.457

1.500

38.135

42.727

SL2 18,176 2,035 19,895 18.383 18,985 52.938 18,199 1.338 45.724

SL3 20,089 1,991 21,788 17.187 20,854 54.974 20,101 0.706 44.320

L1 26,362 2,009 28,104 15.327 27,072 59.242

57.307

26,385 1.320

1.283

39.437

41.411

L2 19,317 2,014 21,111 12.263 20,115 55.518 19,330 0.725 43.757

L3 19,323 2,006 21,097 13.078 20,083 57.159 19,355 1.804 41.037


(5)

No Jenis Sampel BKT Cawan

(gr)

BKU Sampel

(gr)

BKT sampel

(gr)

KA %

Berat ZT (gr)

% ZT

Rata-rata %ZT per dekompo

sisi jenis

Berat ZA (gr)

% ZA

Rata-rata %ZA per dekompo

sisi jenis

Fixed carbon

(%)

Rata-rata %C per dekompo sisi jenis

6

Timah-timah

TL1 27,808 2,202 29,730 14.568 28,836 46.514

43.298

27,832 1.249

1.007

52.237

55.695

TL2 28,510 2,134 30,336 16.867 29,601 40.252 28,528 0.986 58.762

TL3 30,440 2,166 32,346 13.641 31,524 43.127 30,455 0.787 56.086

SL1 40,006 2,076 41,816 14.696 40,979 46.243

48.743

40,023 0.939

1.004

52.818

50.253

SL2 27,760 1,993 29,479 15.939 28,583 52.123 27,785 1.454 46.422

SL3 19,017 2,008 20,795 12.936 19,944 47.863 19,028 0.619 51.519

L1 28,345 2,011 30,113 13.744 29,231 49.887

48.876

28,364 1.075

1.055

49.038

50.069

L2 28,461 2,013 30,168 17.926 29,375 46.456 28,483 1.289 52.255

L3 25,980 2,070 27,726 18.557 26,848 50.286 25,994 0.802 48.912

7 Suntai

TL1 27,313 2,003 29,082 13.228 28,037 59.073

56.679

27,338 1.413

1.169

39.514

42.152

TL2 18,952 2,057 20,707 17.208 19,752 54.416 18,971 1.083 44.501

TL3 21,026 2,018 22,805 13.435 21,799 56.549 21,044 1.012 42.440

SL1 27,449 2,003 29,199 14.457 28,103 62.629

60.426

27,463 0.800

0.966

36.571

38.607

SL2 28,345 1,998 30,114 12.945 29,094 57.660 28,365 1.131 41.210

SL3 30,375 2,004 32,131 14.123 31,060 60.991 30,392 0.968 38.041

L1 40,005 2,005 41,755 14.571 40,737 58.171

59.392

40,022 0.971

1.412

40.857

39.196

L2 16,288 2,012 18,002 17.386 17,002 58.343 16,321 1.925 39.732

L3 24,603 2,005 26,395 11.886 25,290 61.663 24,627 1.339 36.998


(6)

Lampiran 4. Perhitungan zat terbang (%ZT), zat abu (%ZA), dan fixed carbon (%C) serasah

No Kondisi

Hutan Sampel

BKT Cawan

(gr)

BKU Sampel

(gr)

BKT sampel

(gr)

KA % Berat

ZT (gr) % ZT

Rata-rata %ZT

Berat

ZA (gr) % ZA

Rata-rata %ZA

Fixed Carbon (%)

Rata-rata %C

1 Primary

Forest

SK1 19,298 2,164 21,128 18.251 19,956 64.044

66.256

19,348 2.732

3.117

33.224

30.6270

SK2 18,865 2,143 20,727 15.091 19,453 68.421 18,919 2.900 28.679

SK3 19,387 2,120 21,215 15.974 20,003 66.302 19,455 3.720 29.978

SH1 18,446 2,054 20,202 16.970 19,098 62.870

65.348

18,479 1.879

2.608

35.251

32.0436

SH2 18,081 2,112 19,902 15.980 18,676 67.326 18,128 2.581 30.093

SH3 18,578 2,038 20,332 16.192 19,177 65.849 18,637 3.364 30.787

2 LOA

SK1 20,449 2,014 22,199 15.086 21,048 65.771

63.313

20,484 2.000

3.360

32.229

33.3261

SK2 23,691 2,198 25,625 13.650 24,363 65.253 23,750 3.051 31.696

SK3 17,410 2,072 19,199 15.819 18,145 58.916 17,500 5.031 36.054

SH1 19,208 2,046 21,096 8.369 19,971 59.587

61.341

19,367 8.422

5.076

31.992

33.5825

SH2 24,749 2,065 26,579 12.842 25,474 60.383 24,833 4.590 35.027

SH3 22,679 2,151 24,618 10.933 23,376 64.054 22,722 2.218 33.729

3 Secondary Forest

SK1 18,176 2,072 19,945 17.128 18,837 62.634

59.739

18,249 4.127

4.834

33.239

35.4263

SK2 21,103 2,084 22,913 15.138 21,838 59.392 21,175 3.978 36.630

SK3 20,075 2,035 21,841 15.232 20,831 57.191 20,188 6.399 36.410

SH1 21,026 2,082 22,856 13.770 21,838 55.628

58.090

21,114 4.809

4.675

39.563

37.2355

SH2 20,074 2,034 21,859 13.950 20,786 60.112 20,161 4.874 35.014

SH3 24,357 2,180 26,315 11.338 25,169 58.529 24,442 4.341 37.130

4 Degraded

Forest

SK1 17,351 2,105 19,148 17.140 18,011 63.272

58.034

17,429 4.341

5.865

32.387

36.1007

SK2 18,153 2,020 19,909 15.034 19,005 51.481 18,312 9.055 39.465

SK3 18,075 2,025 19,861 13.382 18,801 59.351 18,150 4.199 36.450

SH1 17,393 2,125 19,290 12.019 18,172 58.935

60.826

17,517 6.537

5.704

34.528

33.4699

SH2 18,580 2,055 20,413 12.111 19,329 59.138 18,671 4.965 35.897