Agroindustri   gula   aren   yang   telah   menjadi   warisan   turun-temurun   dari   nenek moyang   dan   telah   menjadi   budaya   masyarakat   Kecamatan   Rambah   dan   Kecamatan
Bangun Purba. Adapun latar belakang masyarakat ingin mengelola usaha agroindustri gula   aren   ini   karena   adanya   keyakinan   bahwa   agroindustri   gula   aren   ini   akan   terus
berjalan dan tidak akan punah serta keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada demi kesejahteraan hidup mereka.  Bahan   baku   yang   tersedia   sudah   semakin
berkurang karena penyadapan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga pohon aren tidak bisa lagi memproduksi air nira setelah berproduksi lebih kurang 8 - 10 tahun. Para
pengrajin pernah mendapatkan bantuan berupa bibit untuk dibudidayakan namun hanya 30 saja yang bertahan hidup, sehingga para pengrajin melakukan usaha apa     adanya
dengan memanfaatkan pohon aren yang tumbuh liar. Perluasan   budidaya   dan   rekayasa   teknologi   pembibitan   tanaman   aren   dapat
membantu   upaya   pelestarian   tanaman   ini   dari   kepenuhan   sebab   selama   ini   hanya mengandalkan   faktor   alam.   Aktivitas   pembibitan   tersebut   berpeluang   besar   sebagai
sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat Burhanuddin, 2005. Lahan yang bisa ditanami  untuk tanaman aren masih cukup tersedia, dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa
lahan yang belum diusahakan seluas 16.436 Ha dan tanah lainnya seluas 60.818 Ha.
4.5.1.1. Aspek Produksi
Ketersediaan   bahan   baku   yang   kontinu   merupakan   faktor   utama   didalam melakukan suatu kegiatan produksi, baik tersedia secara tepat waktu, kuantitas maupun
kualitas   sehingga   menjamin   penampilan   perusahaan   dalam   waktu   yang   relatif   lama Soekartawi, 2001.
Bahan baku utama didalam melakukan kegiatan produksi gula aren adalah nira. Nira adalah sari pati yang dikeluarkan dari bunga pohon aren. Pada umumnya pengrajin
gula aren tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku tersebut, artinya bahan baku selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Karena Rokan Hulu merupakan daerah
yang berpotensi sebagai penghasil bahan baku. Penyadapan pengambilan air nira pada tangan aren adalah sebanyak  1-2 lengan. Untuk satu lengan aren menghasilkan  lebih
kurang 8 liter nira, sedangkan untuk menghasilkan 1 kg gula aren membutuhkan 3-4 liter air nira. Jumlah pohon aren yang disadap   pengrajin rata-rata adalah 2 pohon. Adapun
rata-rata penggunaan bahan baku air nira untuk satu kali proses produksi adalah sebanyak 14,87 kg.
Pada mulanya para pengrajin memiliki kelompok usaha dalam agroindustri gula aren ini, namun sekarang sudah tidak aktif lagi disebabkan karena pada saat sekarang ini
pohon aren yang  menjadi  tempat  sadapan pada umumnya  sudah mulai  berkurang air niranya   karena   terus   menerus   disadap.   Pohon   aren   yang   sudah   tidak   bisa   lagi   untuk
disadap adalah yang berumur kurang lebih 8 tahun. Karena pohon aren memiliki umur produksi 8 tahun setelah itu pohon aren tidak bisa menghasilkan air nira yang digunakan
untuk bahan baku gula aren. Alih fungsi lahan ketanaman perkebunan kelapa sawit juga merupakan salah satu faktor mulai berkurangnya pengrajin gula aren. Selain itu juga yang
menjadi alasan mengapa mereka tidak melakukan usaha ini lagi adalah karena dalam pengolahan air nira menjadi gula memakan waktu yang cukup lama, sehingga mereka
lebih memilih menjual air niranya untuk dijadikan tuak. Selain tidak menyita waktu dan nilai jual yang lebih tinggi yaitu Rp 3.000 liter.
Faktor   lain   yang   mempengaruhi   proses   produksi   adalah   tenaga   kerja.   Namun dalam hal  ini tenaga kerja yang  digunakan adalah tenaga kerja dalam keluarga  yang
merupakan   aset   yang   berharga   untuk   dimanfaatkan   sebagai   tenaga   kerja   untuk pelaksanaan   proses   produksi   gula   aren.   Istri   selain   menjadi   ibu   rumah   tangga   pada
umumnya juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga yang sering membantu suami selama proses produksi gula aren, dimana ketika suami telah selesai menyadap pohon aren dan
memperoleh niranya, maka untuk proses pemasakan hingga menjadi gula diambil alih oleh   anggota   keluarga   dalam   hal   ini   adalah   istri,   sedangkan   suami   pergi   melakukan
kegiatan  lain seperti menyadap  kebun karet. Sesuai dengan pendapat Bank Indonesia 2008, tenaga kerja pada usaha gula aren umumnya berasal dari anggota keluarga dan
masyarakat   di   sekitar   lokasi   usaha.   Tenaga   kerja   keluarga   biasanya   dipraktekkan   di tingkat pengrajin, yaitu penyadap oleh anggota keluarga laki-laki dan dibantu anggota
keluarga perempuan sebagai pemasak nira aren. Upah tenaga kerja berbeda antara laki-laki dan perempuan. Upah untuk laki-laki 1
HOK adalah Rp 45.000, sedangkan untuk perempuan 1 HOK adalah Rp 30.000. Tenaga kerja laki-laki dalam hal ini pengrajin akan melakukan tahapan penyadapan, sedangkan
tenaga kerja perempuan dibutuhkan dalam tahapan pemasakan nira hingga menjadi gula yang siap untuk dicetak.
Tabel 8.  Distribusi  Penggunaan Tenaga  Kerja  Dalam Keluarga  Pada Agroindustri Gula Aren Per Proses Produksi September 2009
No Kegiatan
Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pria
HOK Nilai Rp
Wanita HOK
Nilai Rp 1
Penyadapan 0,07
96.428,57 -
-
2 Pemasakan
0,15
199.078,34 0,59
199.078,34
3 Pencetakan
0,14
192.857,15 -
-
Jumlah 0,46
488.364,06 0,59
199.078,34
Sumber: Wynda, Skripsi Agribisnis 2009
Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa tenaga kerja yang paling banyak digunakan pada tahapan pemasakan untuk tenaga kerja pria yaitu 0,15 HOK per proses produksi,
dan untuk tenaga kerja wanita yaitu 0,59 HOK. Ciri-ciri usaha skala kecil salah satunya adalah rendahnya modal yang dimiliki.
Namun dalam hal ini para mengrajin tidak begitu terkendala oleh minimnya modal, yang menjadi kendala mereka dalam usaha adalah sulitnya mendapatkan kayu bakar sebagai
bahan  bakar.  Hal  ini  dikarenakan  adanya  aturan   dari  Pemerintah   Daerah  untuk tidak menebang hutan. Selain sulitnya mendapatkan kayu bakar, yang menjadi masalah dari
aspek produksi gula aren ini adalah bahan baku yang dijadikan produk lain yaitu tuak. Akibatnya produksi gula aren menjadi berkurang.
Pada   umumnya   para   pengrajin   gula   aren   dalam   menjalankan   usahanya   sudah menerapkan   sistem   manajemen   yang   baik,   walaupun   mereka   tidak   memahami   benar
tentang   manajemen   akan   tetapi   didalam   melakukan   kegiatan   proses   produksi   mereka telah bisa mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya dengan baik, yaitu
pada sistem perencanaan kerja yang sudah tersusun, dan sistem pelaksanaan perencanaan juga   cukup   baik,   seperti   ketika   jumlah   nira   yang   diperoleh   sedikit   pada   waktu   pagi
mereka   memanaskannya   hingga   menjadi   manisan   dan   dicampurkan   ke   air   nira   yang diambil sore lalu memasaknya. Jika air nira yang diperoleh sedikit saat pengambilan pada
sore   hari,   maka   mereka   akan   membuat   manisannya   terlebih   dahulu   lalu mencampurkannya   dihari   berikutnya,   dan   proses   pengolahan   gula   aren   dimulai   pada
pukul 07.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Sebagian besar yang mengabil bahan baku atau yang memanjat pohon aren ini
adalah tenaga orang tua, padahal resiko yang dihadapi sangat besar. Hal ini merupakan
tantangan kedepan bagi tenaga-tenaga muda yang masih memiliki fisik yang kuat untuk menggantikan tenaga orang tua dalam memanjat pohon aren.
Pemasaran gula  aren  selama ini cenderung ke pedagang pengumpul toke dan harga jual gula aren telah ditentukan oleh pengrajin. Tanpa adanya keterkaitan pengrajin
terhadap toke membuat pengrajin merasa diuntungkan  karena faktor harga yang sudah ditentukan   pengrajin   berdasarkan   harga   pasaran.    Disamping   itu   konsumen   juga
membelinya langsung ke tempat usaha mereka.
4.5.1.2. Aspek Pengolahan