45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, dilakukan pengujian pengaruh ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera Lam terhadap parameter antifertilitas konsentrasi
spermatozoa, morfologi spermatozoa, dan diameter tubulus seminiferus pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley. Bahan tanaman uji yang digunakan dalam
penelitan ini berupa daun kelor Moringa oleifera Lam yang diperoleh dari Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Bogor dengan ketinggian 420 mdpl diatas permukaan
laut. Tanaman uji dikumpulkan pada bulan November 2016 pada waktu pagi hari. Sebelum tanaman uji dikumpulkan, terlebih dahulu dilakukan determinasi di
Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Bogor. Tujuan dari determinasi ini adalah untuk
memastikan bahwa tanaman uji yang akan digunakan adalah benar sesuai dengan tanaman uji yang dimaksud, yaitu daun kelor. Hasil determinasi tumbuhan
menunjukkan bahwa tumbuhan uji adalah benar daun kelor dengan spesies Moringa oleifera Lam yang merupakan famili Moringaceae.
Proses ekstraksi daun kelor dilakukan dengan cara maserasi. Metode maserasi dipilih karena proses pengerjaan dan alat yang dibutuhkan sederhana serta metode ini
juga baik untuk menarik senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Maserasi bertujuan agar zat aktif yang berada di dalam sel tumbuhan larut, sehingga
zat aktif akan terdesak keluar dari sel. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk daun kelor menggunakan pelarut etanol 90.
Pelarut etanol 90 digunakan dalam penelitian ini karena terdapat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Naht et al 1992 mengenai pengaruh ekstrak etanol
90 daun kelor terhadap sistem reproduksi tikus betina, sedangkan dalam penelitian ini hendak diuji pengaruh ekstrak daun kelor dengan pelarut yang sama terhadap
sistem reproduksi tikus jantan. Pelarut etanol juga dipilih karena etanol merupakan pelarut universal. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol dapat menarik senyawa polar
hingga non polar Sulastri, 2008. Hal ini dirasa tepat karena belum diketahui secara pasti senyawa kimia dalam daun kelor yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sistem reproduksi jantan, sehingga diharapkan etanol dapat menarik lebih banyak senyawa kimia.
Maserat daun kelor yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut etanol. Namun, hasil pemekatan
ekstrak daun kelor dengan vaccum rotary evaporator belum mampu menghasilkan ekstrak kental sehingga pemekatan dilanjutkan dengan proses freeze dry. Ekstrak
kental daun kelor yang diperoleh setelah proses freeze dry adalah sebanyak 104,20 gram yang dihasilkan dari simpilisia sebanyak 521 gram sehingga rendemen yang
dihasilkan adalah sebesar 20. Rendemen ekstrak etanol 90 daun kelor yang dihasilkan ini lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak etanol 70 daun
kelor pada penelitian Alegantina 2013 yang menghasilkan rendemen sebesar 15,59.
Pemeriksaan parameter standar ekstrak selanjutnya dilakukan terhadap ekstrak etanol 90 daun kelor yang mencakup pemeriksaan parameter standar spesifik dan
non spesifik. Parameter standar spesifik meliputi pemeriksaan identitas dan pengamatan organoleptis bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak. Pada penelitian ini
dilakukan pengujian rasa karena ekstrak yang digunakan sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat sehingga aman untuk dilakukan pemeriksaan rasa ekstrak. Pemeriksaan
standar non spesifik meliputi pemeriksaan kadar air dan kadar abu. Pemeriksaan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya
kandungan air di dalam bahan uji ekstrak, sedangkan pemeriksaan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral ekstrak Depkes RI,
2000. Setelah dilakukan pengujian, diperoleh hasil bahwa kadar air ekstrak etanol 90 daun kelor adalah sebesar 15,17 sedangkan kadar abu sebesar 3,26 . Kadar
air ekstrak daun kelor yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan ekstrak daun kelor yang diperoleh oleh Alegantina et al 2013 dengan kadar air sebesar 15,58. Syarat
kadar air pada persyaratan mutu obat tra disional adalah ≤10 BPOM, 2014,
sehingga kadar air ekstrak daun kelor yang diperoleh melebihi kadar yang dipersyaratkan. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan tumbuhnya jamur pada
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ekstrak sehigga dapat merusak kualitas ekstrak Alegantina, 2013. Namun, sejauh ini belum ditemukan hasil penelitian mengenai hubungan langsung antara kadar air10
dengan efektivitas antifertilitas ekstrak etanol 90 daun kelor. Adapun kadar abu ekstrak daun kelor yang diperoleh memenuhi kadar yang dipersyaratkan, yang mana
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 261MENKESSKIV2009 kadar abu ekstrak tidak boleh lebih dari 10,2 Depkes RI, 2009.
Penapisan fitokimia juga dilakukan terhadap ekstrak etanol 90 daun kelor. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui keberadaan metabolit sekunder
yang terkandung di dalam ekstrak etanol 90 daun kelor, terutama golongan yang memiliki potensi sebagai agen antifertilitas. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan
bahwa ektrak etanol 90 daun kelor positif mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin, terpenoid, dan glikosida. Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol
90 daun kelor yang dilakukan oleh Patel et al 2014 menunjukkan hasil yang sama dengan hasil ini, namun tidak menunjukkan hasil positif pada pengujian glikosida.
Hal ini dapat disebabkan perbedaan tempat tumbuh daun kelor yang digunakan, sehingga metabolit sekunder yang dimiliki oleh daun kelor tersebut juga dapat
berbeda. Daun kelor yang diuji oleh oleh Patel et al 2014 berasal dari Herbal Garden India.
Menurut Winarno 1997, golongan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antifertilitas pada jantan diantaranya adalah golongan alkaloid, flavonoid,
minyak atsiri, dan tanin. Mekanisme golongan metabolit sekunder tersebut dalam aktivitas nya sebagai antifertilitas adalah dengan menekan hormon reproduksi, yaitu
testosteron sehingga proses spermatogenesis terganggu alkaloid, menggumpalkan sperma tanin, minyak atsiri, serta menghambat enzim aromatase yang mengkatalis
konversi androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon testosteron flavonoid Winarno, 1997; Susetyarini, 2009. Beberapa golongan metabolit
sekunder yang berpotensi sebagai antifertilitas tersebut positif terdapat dalam ekstrak etanol 90 daun kelor, yaitu golongan alkaloid, flavonoid, dan tanin. Meskipun
demikian, hingga saat ini belum ada publikasi ilmiah mengenai senyawa yang
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bertanggung jawab dalam aktivitas antifertilitas daun kelor. Begitu pula dengan chemical marker daun kelor yang hingga saat ini belum ada publikasi ilmiahnya.
Kandungan kimia yang sudah diteliti terdapat dalam daun kelor diantaranya adalah vitamin vit.A, vit.B1, vit B2, vit B3, vit C, vit E, flavonoid myricetin,
quercetin, kaempferol, isorhamnetin, rutin, asam fenolat as.kaffeat, as.klorogenat, as.kumarat, as.ellagat, as.ferulat, as.gallat, alkaloid niazirin, vincosamid,
benzylkarbamat, marumoside A, marumoside B, glukosinolat benzil glukosinolat, isotiosianat benzil isotiosianat, tanin, saponin, oksalat dan phytat Leone et al,
2015. Pengujian kandungan kimia tersebut dilakukan pada daun kelor yang bersumber dari berbagai daerah, karena perbedaan tempat tumbuh dapat
mempengaruhi kandungan kimia nya. Penelitan kandungan kimia daun kelor yang dilakukan oleh Leone et al 2015 menunjukkan bahwa senyawa kimia yang hampir
selalu ada pada pengujian kandungan kimia daun kelor dari berbagai daerah adalah kaempferol dan quercetin.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang berusia 3,5-4 bulan dengan bobot 250-350 gram.
Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus. Hal ini merujuk pada Research for Evaluating The Safety and Efficacy of Herbal Medicines WHO, 2000 yang
menyatakan bahwa untuk pengujian hewan pengerat masing-masing kelompok terdiri dari setidaknya lima ekor. Pemilihan tikus galur Sprague-Dawley adalah karena
mayoritas penelitian yang berkaitan dengan reproduksi tikus menggunakan galur tikus ini. Galur ini memiliki sifat yang tenang dan mudah dikendalikan dibandingkan
galur lain Fauzi Mohd, 2009. Selain itu, tikus galur Srague-Dawley juga memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan galur lain Wilkinson et al, 1999.
Sebelum diberi perlakuan, seluruh hewan uji perlu penyesuaian fisiologi, perilaku, dan nutrisi melalui aklimatisasi Obernier dan Baldwin, 2006. Saat periode
aklimatisasi, hewan uji diharapkan dapat menyesuaikan diri secara bertahap dengan lingkungan baru nya, seperti perubahan suhu, kelembaban, dan lain-lain University
Policy Development, approval, and Publication, 2013. Periode aklimatisasi
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan selama 4 minggu, menyesuaikan dengan periode aklimatisasi yang dipersyaratkan oleh USDA dalam guideline StabilizationAcclimation Times for
Research Animals 2011, yaitu minimal selama 7 hari. Selama periode aklimatisasi, dilakukan pengamatan kesehatan terhadap hewan uji dengan cara menimbang bobot
badan dan mengamati tingkah laku nya. Seluruh hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan sehat dan lolos dalam periode aklimatisasi karena penurunan
bobot badan tidak melebihi 10 dan tidak menunjukkan kelainan tingkah laku. Hewan uji dikelompokkan sesuai dengan desain penelitian yang telah
ditentukan, yaitu satu kelompok kontrol hanya diberi pembawa Na CMC 0,5 dan tiga kelompok uji yang terdiri dari pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor dosis
rendah 200mgkg, dosis sedang 400 mgkg, dan dosis tinggi 600mgkg. Nilai LD50 ekstrak etanol daun kelor pada mencit menurut Bakre et al 2013 adalah
6400mgkgBB yang apabila dikonversi ke dalam nilai LD50 tikus menjadi 4480 mgkgBB. Penggunaan dosis dalam penelitian ini masih dibawah nilai LD50 ekstrak
etanol daun kelor pada tikus sehingga aman untuk diberikan kepada tikus. Alasan pemilihan Na CMC sebagai pembawa adalah karena ekstrak etanol 90 daun kelor
dapat terdispersi dengan baik dalam Na CMC. Selain itu, Na CMC bersifat non toksik dan tidak memberi pengaruh pada sistem reproduksi tikus. Uji toksisitas akut Na
CMC menunjukkan bahwa pemberian Na CMC secara oral sebanyak 3gkg kepada tikus, hamster, dan kelinci tidak memberikan efek toksik FDA, 1973. Pegujian lain
menunjukkan bahwa pemberian Na CMC pada dosis 100, 500, dan 1000mgkgBBhari selama 2 tahun tidak menunjukkan perbedaan tingkat fertilitas
dengan kelompok kontrol Shelanski Clarl, 1984. Penggunaan Na CMC untuk oral solution dalam HOPE 2009 adalah dengan konsentrasi 0,1-1. Hasil optimasi
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90 daun kelor terdispersi dengan baik pada Na CMC 0,5 sehingga digunakan Na CMC 0,5 sebagai pembawa ekstrak. Pemberian
ekstrak daun kelor dilakukan secara oral dengan alat bantu pencekok oral atau sonde. Perlakuan diberikan selama 15 hari, merujuk pada guideline WHO protocol MB-50
dalam jurnal Deghan et al 2005. Setiap hari sebelum pemberian perlakuan, tikus uji
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditimbang untuk menyesuaikan dosis ekstrak daun kelor yang perlu diberikan kepada tiap tikus dengan bobot badan yang berbeda-beda.
Hewan uji yang telah diberi perlakuan selama 15 hari selanjutnya diterminasi pada hari ke-16. Terminasi hewan uji dilakukan dengan cara inhalasi menggunakan
eter. Hewan uji selanjutnya dibedah kemudian diambil bagian kauda epididimis dan testis nya.
Kauda epididimis digunakan untuk memperoleh sperma yang akan digunakan untuk pengamatan parameter antifertilitas konsentrasi spermatozoa dan morfologi
spermatozoa. Kauda epididimis merupakan tempat pematangan spermatozoa sebelum siap diejakulasikan sehingga diperkirakan spermatozoa yang telah matang paling
banyak dibagian kauda epidimis Suckow, 2006. Kauda epididimis yang telah diambil dari hewan uji ditempatkan ke dalam cawan uap yang telah berisi NaCl
fisiologis. Larutan NaCl fisiologis sering digunakan untuk pengenceran semen. Larutan NaCl fisiologis dapat memberi sifat buffer, mempertahankan pH semen
dalam suhu kamar, bersifat isotonis dengan cairan sel, dan melindungi spermatozoa terhadap coldshock Rahardhianto, 2012.
Organ testis digunakan untuk pembuatan preparat histologi dan selanjutnya digunakan untuk pengamatan parameter antifertilitas diameter tubulus seminiferus.
Testis terdiri dari lobus lobus tubulus seminiferus, yaitu tempat spermatogenesis berlangsung sehingga pengukuran diameter tubulus seminiferus dapat dilakukan
dengan pembuatan preparat testis. Organ testis yang telah diambil dari hewan uji direndam dalam larutan formalin 10 untuk mengawetkan jaringan dan selanjutnya
dibuat preparat histologi. Senyawa antifertilitas dari tumbuhan obat dapat bekerja melalui dua cara,
yaitu melalui efek sitotoksik dan melalui efek hormonal yang menghambat laju metabolisme sel spermiogenesis dengan cara mengganggu keseimbangan sistem
hormon Herdiningrat, 2002. Menurut Sutasurya 1988, agen antifertilitas yang bersifat sitotoksik pengaruhnya langsung terhadap sel kelamin, sedangkan bila
bersifat hormonal maka bekerja pada organ yang responsif terhadap hormon yang
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berkaitan. Pada penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antifertilitas dari ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera Lam yang meliputi parameter perhitungan
konsentrasi spermatozoa, diameter tubulus seminiferus, dan abnormalitas morfologi spermatozoa.
a. Konsentrasi Spermatozoa Jumlah sperma adalah salah satu pengujian yang paling sensitif untuk
spermatogenesis dan sangat terkait dengan fertilitas El-Kashoury, 2009 sehingga dalam penelitian ini dilakukan perhitungan konsentrasi spermatozoa hewan uji
sebagai salah satu parameter antifertilitas. Hasil perhitungan konsentrasi spermatozoa menggunakan bilik hitung neubauer menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol
90 daun kelor pada dosis 200 mgkg, 400 mgkg, dan 600 mgkg dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa. Hasil perhitungan konsentrasi tikus kelompok kontrol
adalah 13,74 x 10
6
ml dan masih masuk ke dalam kategori fertil, yang mana menurut Guzick 2001 batas range subfertil konsentrasi spermatozoa adalah 13,5 x 10
6
ml sehingga konsentrasi spermatozoa kelompok kontrol dengan nilai 13,5 x 10
6
ml masih termasuk ke dalam range fertil.
Menurunnya konsentrasi spermatozoa pada kelompok uji ekstrak daun kelor dosis 200 mgkg, 400 mgkg, dan 600 mgkg terhadap kelompok kontrol
menggambarkan produksi spermatozoa dalam tubulus seminiferus yang juga menurun. Menurut Gupta 2005, penurunan jumlah spermatozoa yang dihasilkan
pada tikus jantan galur Sprague-Dawley tergantung pada besarnya gangguan yang terjadi selama spermatogenesis yang dipengaruhi faktor endogen dan eksogen. Faktor
endogen yang mempengaruhi gangguan spermatogenesis tersebut meliputi hormonal, psikologis, dan genetik; faktor eksogennya meliputi suhu, vitamin, dan gizi. Selain
itu, usia tikus juga dapat mempengaruhi konsentrasi spermatozoa. Menurut Lucio et al 2013, konsentrasi spermatozoa pada tikus dengan usia 3 bulan, 12 bulan, dan 24
bulan mengalami penurunan konsentrasi spermatozoa yang bermakna seiring dengan pertambahan usia tikus p≤0,05. Penurunan konsentrasi spermatozoa pada pemberian
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ekstrak etanol 90 daun kelor diduga disebabkan karena adanya kandungan benzil isotiosianat, alkaloid, dan flavonoid.
Tanaman kelor kaya akan kandungan kelompok glikosida yang unik, yaitu glukosinolat dan isotiosianat Bose, 2007. Isotiosianat yang terkandung dalam daun
kelor adalah benzil isotiosianat Leone, 2015. Benzil isotiosianat dilaporkan memiliki aktivitas antikanker pada kanker paru, payudara, kulit, esophagus, dan
pankreas. Aktivitas benzil isotiosianat pada tanaman kelor sebagai agen antikanker juga terbukti dari publikasi penelitian yang menyatakan bahwa benzil isotiosianat
BITC secara in vitro mampu menginduksi apoptosis terhadap sel kanker ovarium Bose, 2007. Berdasarkan teori, aktivitas antikanker dapat terjadi karena adanya
hambatan dalam proliferasi sel perkembangan sel atau mekanisme apoptosis kematian sel yang terprogram Su X et al, 2011. Adapun spermatogenesis
merupakan proses sitogenesis yang dalam tahapannya terdapat mekanisme proliferasi sel. Senyawa kimia yang bersifat antiproliferatif diduga dapat menyebabkan
penurunan spermatogenesis dan juga menyebabkan terjadinya kematian sel spermatogenik, sehingga jumlah sel-sel spermatogenik mengalami penurunan
Widiyani, 2006. Senyawa antiproliferatif yang terdapat dalam ekstrak etanol 90 daun kelor diantaranya adalah benzil isotiosianat, sehingga benzil isotiosianat diduga
berperan dalam penurunan konsentrasi spermatozoa hewan uji. Hubungan benzil isotiosianat dengan aktifitas antifertilitas juga didukung dengan dilaporkannya benzil
isotiosianat yang merupakan senyawa bioaktif pada biji Carica papaya sebagai agen yang bertanggung jawab terhadap aktifitas antifertilitas Adebiyi, 2013.
Selain benzil isotiosianat, terdapat metabolit sekunder lain pada daun kelor yang diduga dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa melalui mekanisme yang
berbeda, yaitu golongan alkaloid dan flavonoid. Menurut Kapsul 2007 dalam jurnal Susetyarini 2009, golongan alkaloid dapat menekan sekresi hormon reproduksi,
yaitu testosteron sehingga proses spermatogenesis terganggu dan dapat menyebabkan menurunnya produksi spermatozoa. Golongan lain yaitu flavonoid dapat menghambat
enzim aromatase, yaitu enzim yang mengkatalis konversi androgen menjadi estrogen
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang akan meningkatkan hormon testosteron Winarno, 1997; Susetyarini, 2009. Kadar testosteron yang meningkat dalam darah akan berakibat negative feed back
pada hipotalamus. Meningkatnya kadar testosteron akan menurunkan pelepasan GnRH gonadotropin releasing hormone dari hipotalamus sehingga secara tidak
langsung dapat menurunkan pelepasan LH luteinizing hormone dan FSH follicle stimulating hormone dari pituari anterior Sherwood, 2013. LH berperan dalam
merangsang sel leydig untuk menghasilkan testosteron, sedangkan FSH berperan untuk
merangsang spermatogenesis
dan pembentukan
protein pengikat
androgenABP Androgen Binding Protein oleh sel sertoli. Apabila produksi FSH terhenti atau berkurang oleh karena negative feed back tersebut, maka
spermatogenesis menjadi terhenti pula, dan akibatnya jumlah sel-sel spermatogenik menjadi berkurang Widiyani, 2006.
b. Diameter Tubulus Seminiferus Berkurangnya jumlah sel-sel spermatogenik dapat berdampak terhadap ukuran
diameter tubulus seminiferus. Penelitian yang dilakukan oleh Gulkesen et al 2002 menyatakan bahwa berkurangnya produksi spermatozoa di tubulus seminiferus
menyebabkan penurunan diameter tubulus seminiferus. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, yang mana terjadi penurunan diameter tubulus seminiferus yang
beriringan dengan penurunan konsentrasi spermatozoa. Menurunnya diameter tubulus seminiferus mencerminkan adanya hambatan spermatogenesis Kovacevic et al,
2006 dan kemungkinan disebabkan banyaknya sel germinal yang mengalami apoptosis. Menurut Costa dan Silvia 2006, apoptosis dalam epitel seminiferus dapat
terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap beberapa faktor seperti agen kemoterapi, suhu tinggi, dan hormonal.
Tubulus seminiferus normal memiliki ukuran 150-300 µm Shokri, 2012. Diameter tubulus seminiferus kelompok uji dengan pemberian ekstrak daun kelor
dosis 200 mgkg, 400 mgkg, dan 600 mgkg mengalami penurunan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol p≤0,05 meskipun masih masuk ke dalam
range diameter tubulus seminiferus normal. Diameter tubulus seminiferus menurun
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
seiring dengan kenaikan dosis ekstrak daun kelor, namun tingkat penurunan diameter tubulus seminiferus pada dosis 400 mgkgBB tidak berbeda bermakna secara statistik
dengan dosis 200 mgkgBB. Kelompok hewan uji dengan pemberian ekstrak daun kelor dosis 600 mgkg memiliki diameter tubulus seminiferus yang paling rendah
dibnadingkan dengan dosis 200mgkgBB dan 400mgkgBB. Oleh karena itu, diantara pemberian ketiga dosis tersebut ekstrak daun kelor dengan dosis 600 mgkg paling
efektif dalam menurunkan diameter tubulus seminiferus. Sama hal nya dengan penurunan konsentrasi spermatozoa, penurunan
diameter tubulus seminiferus ini diduga karena adanya hambatan proliferasi sel spermatozoa atau mekanisme apoptosis yang disebabkan oleh senyawa benzil
isotiosianat pada ekstrak etanol 90 daun kelor. Selain itu, penurunan diameter tubulus seminiferus diduga dapat juga dipengaruhi oleh adanya golongan alkaloid dan
flavonoid yang sebelumnya sudah dijelaskan bahwa alkaloid mampu menekan hormon reproduksi testosteron dan flavonoid bekerja melalui mekanisme negative
feed back yang menyebabkan penurunan pelepasan GnRH dan penurunan produksi LH dan FSH. Menurut Kachhawa 2012, penurunan produksi testosteron dan atau
penghambatan sekresi
gonadotropin dapat
menyebabkan terganggunya
spermatogenesis yang meliputi penurunan diameter tubulus seminiferus, diameter nuklear sel leydig, dan perubahan pada jumlah sel leydig sehingga terjadi penurunan
diameter tubulus seminiferus pada hewan uji setelah pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor.
c. Abnormalitas Morfologi Spermatozoa Selain perhitungan konsentrasi spermatozoa dan ukuran diameter tubulus
seminiferus, pengamatan parameter antifertilitas juga dilakukan terhadap abnormalitas morfologi spermatozoa hewan uji. Menurut Ermayanti et al 2010,
jumlah abnormalitas spermatozoa yang terlalu tinggi dapat menurunkan fertilitas. Morfologi spermatozoa yang diamati dikatakan abnormal apabila spermatozoa dalam
kondisi tanpa kepala, leher patah, kepala pipih, dan ekor patah Inversk, 2000. Agar dapat berfungsi dengan baik untuk membuahi sel telur, jumlah spermatozoa dengan
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
morfologi normal setidaknya 30 Turek, 2008. Sumber lain menyatakan bahwa abnormalias spermatozoa yang tidak lebih dari 20 masih dapat digunakan untuk
pembuahan Hafez,2010. Menurut Muslichah et al 2014, setiap spermatozoa yang mempunyai morfologi abnormal tidak dapat membuahi ovum.
Pengamatan abnormalitas morfologi spermatozoa pada penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah spermatozoa yang memiliki abnormalitas morfologi
pada pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor dosis 200mgkgBB, 400mgkgBB, dan 600 mgkgBB meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan
abnormalitas morfologi ini namun tidak terpengaruh oleh kenaikan dosis karena hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap abnormalitas
morfologi spermatozoa pada ketiga dosis uji 200 mgkgBB, 400 mgkgBB, maupun 600 mgkgBB. Meskipun terjadi peningkatan abnormalitas morfologi spermatozoa
pada tikus yang diberi ekstrak etanol 90 daun kelor, jumlah spermatozoa yang memiliki abnormalitas morfologi pada semua dosis masih masuk ke dalam kategori
normal. Peningkatan abnormalitas morfologi spermatozoa dapat disebabkan adanya
kerusakan di dalam tubulus seminiferus serta pada saat spermatozoa meninggalkan tubulus seminiferus dan selama perjalannanya melalui epididimis Saba, 2009;
Widiyani, 2006. Peningkatan abnormalitas morfologi pada pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor diduga disebabkan karena ada nya kandungan tannin. Tanin
dilaporkan mampu mengikat protein dan ion-ion yang terdapat dalam membran spermatozoa sehingga enzim tirosin dan proses fosforilasi dalam membran
spermatozoa terganggu dan akhirnya menyebabkan terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa Sari,2013. Hal ini didukung oleh Putranti et al 2010 yang
melaporkan terjadinya abnormalitas spermatozoa sebesar 10-20 pada spermatozoa kambing peranakan ettawa yang diberi crude tannin dengan kadar 10-20.
Hasil penelitian terhadap tiga parameter antifertilitas diatas menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90 dau kelor Moringa oleifera Lam dapat menurunkan
konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, dan diameter tubulus seminiferus.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera Lam berpotensi sebagai agen antifertilitas yang dapat
dikembangkan. Hal ini mendukung hasil penelitian Owalabi dan Ogunnaike 2014 yang juga menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun kelor berpotensi sebagai agen
antifertilitas yang terlihat dari adanya kerusakan pada jaringan terstis dan epididimis pada pengamatan histologi. Disrupsi sel epitel epididimis mengindikasikan fungsi
epididimis yang terganggu. Selain itu, epitel pada tubulus seminiferus testis juga mengalami kerusakan. Terjadinya disrupsi pada jaringan testis memotong berbagai
zonalapisan sel germinal yang menunjukkan berbagai tahap perkembangan spermatozoa sehingga proses spermatogenesis terganggu. Struktur interstitial tubulus
seminiferus juga mengalami kerusakan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, senyawa antifertilitas dari tumbuhan
obat dapat bekerja melalui dua cara, yaitu melalui efek sitotoksik dan melalui efek hormonal yang menghambat laju metabolisme sel spermiogenesis dengan cara
mengganggu keseimbangan sistem hormon Herdiningrat, 2002. Hingga saat ini belum ada publikasi ilmiah mengenai mekanisme antifertilitas ekstrak 90 daun
kelor, namun aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 90 diduga terkait dua mekanisme tersebut. Mekanisme antifertilitas melalui efek sitotoksik diduga tejadi karena adanya
kandungan benzil isotiosianat dan golongan tanin, serta mekanisme hormonal diduga terjadi karena adanya golongan alkaloid dan flavonoid. Namun, penelitian Cajuday
dan Pocsidio 2010 menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan kadar hormon FSH dan LH pada pemberian ekstrak daun kelor sehingga diduga mekanisme
antifertilitas daun kelor Moringa oleifera Lam lebih cenderung melalui jalur non hormonal atau disebut juga sitotoksik.
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa pada tikus jantan galur Sprague Dawley
secara bermakna p≤0,05
2. Pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera dapat meningkatkan abnormalitas morfologi spermatozoa pada tikus jantan galur
Sprague Dawley secara bermakna p≤0,05
3. Pemberian ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera dapat menurunkan diameter tubulus seminiferus pada tikus jantan galur Sprague
Dawley secara bermakna p≤0,05
4. Ekstrak etanol 90 daun kelor Moringa oleifera pada dosis 200mgkgBB, 400mgkgBB, dan 600mgkgBB memiliki potensi sebagai agen antifertilitas
pada pria.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan uji antifertilitas lanjutan dengan melakukan uji mating terhadap hewan uji jantan yang telah diberi ekstrak etanol 90 daun kelor
dengan dosis yang sama dan dikawinkan dengan hewan uji betina. 2. Perlu dilakukan uji antifertilitas lanjutan terhadap ekstrak etanol 90 dengan
melakukan pengujian antifertilitas molekular untuk mengetahui mekanisme antifertilitas yang sesuai.