Sistem Reproduksi Tikus Jantan

18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Durasi breeding : 12-16 bulan - Masa hidup : 2,5-3,5 tahun Selain itu, terdapat pula data biologis lain mengenai tikus menurut Smith dan Mangkoewidjojo 1988 sebagai berikut: - Lama masa kehamilan : 20-22 hari - Umur dewasa : 40-60 hari - Siklus kelamin : poliestrus - Lama estrus : 9-20 jam - Perkawinan : pada waktu estrus - Ovulasi : 8-11 jam sesudah timbul estrus - Fertilisasi : 7-10 jam sesudah kawin - Implantasi : 5-6 hari sesudah fertilisasi - Berat dewasa : 300-400 g jantan; 250-300 gr betina - Suhu rektal : 36-39 C rata-rata 37,5 C - Tekanan darah : 90-180 sistol, 60-145 diastol - Sel darah merah : 7,2 – 9,6 x 106mm 3 - Sel darah putih : 5,0 – 13,0 x 10 3 mm 3 - SGPT : 17,5 – 30,2 IUliter - SGOT : 45,7 – 80,8 IUliter

2.4.3 Sistem Reproduksi Tikus Jantan

A. Organ Reproduksi Tikus Jantan Sistem reproduksi pada tikus jantan terdiri atas sepasang testis yang terdapat dalam skrotum, sepasang kelenjar asesori, dan organ kopulasi. Akbar, 2010. Skrotum berada pada bagian kaudoventral dan dapat memanjang melebihi abdomen, tergantung pada posisi tubuh tikus. Ukuran skrotum meningkat setelah testis turun Suckow, 2006 1. Testis Testis tikus jantan terdapat pada dua kantung skortum yang dipisahkan oleh membran tipis yang terletak antara anus dan preputium. Testis tersebut kemudian turun pada hari ke 30 –40 masa hidupnya dari rongga perut ke kantung skrotum melalui kanalis 19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta inguinal terbuka. Jarak antara dubur dan alat kelamin pada tikus jantan lebih jauh daripada betina Suckow, 2006. Testis dibungkus oleh kapsula fibrosa tebal, yaitu tunika albugenia. Bagian posterior jaringan ikat ini mengalami penebalan yang disebut mediastinum testis. Mediastenum ini membentuk sekat-sekat septula testis yang membagi lobus secara radier menjadi lobuli testis. Di dalam lobuli testis ini terdapat banyak saluran yang berliku-liku, yaitu tubulus seminiferus, tempat berlangsungnya spermatogenesis. Saluran ini kemudian bergabung di bagian mediastinum testis tempat terdapatnya rete testis. Rete testis ini berhubungan langsung dengan duktus eferen yang akan membentuk bagian kaput epididimis Akbar, 2010. Testis merupakan kelenjar eksokrin yang juga sekaligus sebagai kelenjar endokrin. Testis sebagai kelenjar eksokrin berfungsi menghasilkan sel sperma, yang dilakukan oleh bagian tubulus seminiferus. Testis sebagai kelenjar endokrin memiliki sel leydig yang mampu memproduksi testosteron, yaitu hormon yang bertanggung jawab pada proses spermiogenesis Akbar, 2010. 2. Kelenjar Asesoris Akbar, 2010 Kelenjar asesoris pada hewan pengerat termasuk tikus pada umumnya terdiri dari epididimis, vas deferens, sepasang vesikula seminalis, prostat, dan sepasang glandula cowper bulbourethralis. Epididimis memiliki struktur memanjang yang bertaut rapat di bagian bawah testis sampai bagian atas testis dan di dalamnya terdapat duktus epididimis yang berliku-liku. Epididimis dapat dibagi menjadi bagian kepala badan, dan ekor. Saluran epididimis menghubungkan kelenjar testis dan vas deferens. Epididimis berfungsi untuk pematangan spermatozoa dan sekaligus tempat penyimpanan spermatozoa yang sudah matang dewasa. Vas deferens berfungsi untuk mengangkut sperma dari ekor epididimis ke uretra. Dindingnya mengandung oto-otot licin yang penting dalam mekanisme pengangkutan semen saat ejakulasi. Ujung 20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vas deferens dikelilingi oleh suatu pembesaran kelenjar-kelenjar yang disebut ampula. Sebelum masuk ke uretra, vas deferens bergabung terlebih dahulu dengan saluran pengeluaran vesikula seminalis dan membentuk duktus ejakulatoris. Duktus ejakulatoris kemudian berlanjut ke uretra yang merupakan saluran pengangkut sperma dari vas deferens ke penis. Kelenjar asesoris lain diantaranya terdapat kelenjar bulbouretral kelenjar Cowper, kelenjar prostat dan vesika seminalis. Kelenjar- kelenjar ini berfungsi membuat cairan semen yang dapat memungkinkan sperma ini berfungsi, membuat cairan semen yang dapat memungkinkan sperma bergerak aktif dan hidup untuk waktu tertentu. 3. Alat Kelamin Luar atau Organ Kopulatoris Akbar, 2010 Organ kopulatoris pada tikus jantan adalah penis yang memiliki tugas ganda yaitu sebagai alat pengeluaran urin dan peyaluran semen ke dalam saluran reproduksi tikus betina. Penis terdiri dari akar, badan, dan ujung bebas yang berakhir pada glans penis. Gambar 2.3 Sistem Urogenital Tikus Jantan Tampak Ventral Suckow, 2006 21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B. Spermatozoa Spermatozoa pada tikus lebih panjang dibanding dengan spesies mamalia lain, termasuk hewan yang lain maupun manusia Setchell, 1984, dan panjangnya kurang lebih 150-200 mm. Kepala sperma tikus berbentuk seperti kail Eddy dan O’Brien, 1994. Bagian kepala sperma berisi nukleus dan ujung kurang padat yang disebut sebagai akrosom. Bagian tengah sperma terdiri dari sentriol dan selubung spiral melingkar dari materi mitokondria. Ekor sperma mengandung filamen panjang aksial yang menjadi vibratil untuk jangka waktu singkat ketika spermatozoa ini matang. Pengamatan bagian tengah sperma tikus dengan pembesaran kadang sulit untuk dibedakan. Sehingga penilaian terhadap bagian tengah sperma dimasukkan sebagai bagian dari pengamatan ekor sperma. Inveresk Research, 2000. Gambar 2.4 Morfologi Sperma Tikus Sumber: The rat as a small mammal. HGQ Rowett. Third edition, 1974. Gambar 2.5 Spermatozoa Tikus yang Teramati pada Pembesaran 400x Sumber: Inveresk Research, 2000 22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.6 Pengamatan Photomicrograph Spermatozoa Normal Sumber: Inveresk Research, 2000 C. Spermatogenesis Proses produksi spermatozoa dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis dibagi menjadi 3 fase yaitu spermatositogenesis, meiosis dan spermiogenesis Krinke, 2000 ; Akbar, 2010 Gonosit pada tikus jantan tetap inaktif hingga masuk masa pubertas, yaitu sekitar 50 hari setelah kelahiran. Pada tingkatan ini gonosit mulai terbelah menjadi spermatogonium, dan akan terus membelah hingga tikus kehilangan kemampuannya untuk memproduksi spermatozoa. Spermatogonium secara umum terbagi menjadi tiga jenis, yaitu A, intermediet dan B. Spernatogonium tipe A dibagi lagi menjadi tipe A0 atau disebut juga sel induk dan tipe A1-A4. Spermatogonium tipe A0 tinggal pada membran dasar dari tubulus seminiferus dan memiliki kemampuan untuk membelah menjadi dua sel anak, satu diantaranya tumbuh menjadi spermatogonium A1, yang akan terus mengikuti proses spermatogenesis, sedangkan spermatogonium yang lain tetap sebagai stem cell. Pada tikus, spermatogonium A1 akan mengalami enam siklus mitosis yang kemudian akan menjadi spermatosit preleptoten. Spermatosit kemudian masuk ke fase meiosis, yang mana mereka berkembang melalui leptoten, zigot, dan pakiten untuk menjadi 23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta spermatosit sekunder dalam bagian adluminal pada sel sertoli pada tubulus seminiferus. Selama fase meiosis, masing-masing spermatosit sekunder selanjutnya akan melakukan pembelahan yang akan menghasilkan empat spermatid. Tahap selanjutnya adalah memasuki fase spermiogenesis. Pada fase spermiogenesis ini akan terjadi perubahan morfologi spermatid menjadi spermatozoa. Spermiogenesis dibagi menjadi empat fase yaitu fase golgi, fase cap fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan maturasi. Pada fase golgi, terbentuk butiran proakrosom dalam alat golgi spermatid. Butiran ini nantinya akan bersatu membentuk satu bentukan dengan akrosom disebut granula akrosom. Granula akrosom ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan spermatozoa. Pada fase cap, granula akrosom semakin membesar, bertambah pipih dan menuju bagian depan inti, sehingga akhirnya terbentuk semacam tutup cap sementara. Pada fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukeleuplasma berkondensasi dan sementara itu spermatid memanjang dengan batas kaudal menyempit dan membentuk sudut sehingga inti kelihatan lebih pipih dan tutup cap mengitari bagian ventral inti. Pemanjangan dan pemipihan ini berlangsung terus hingga bagian anterior spermatid menjadi sempit dan terjadi perubahan ujung kaudal spermatid dari bentuk bundar menjadi agak pipih. Pada fase pematangan, bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa. Terjadi perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Spermatid yang telah berubah menjadi spermatozoa berhubungan langsung dengan sel sertoli yang banyak mengandung glikogen, sehingga spermatozoa mendapat makanannya, akhirnya spermatozoa akan dilepaskan dari sel sertoli dan menuju lumen tubulus seminiferus. Proses pelepasan spermatozoa ini disebut spermeasi Krinke, 2000 ; Akbar, 2010. Tikus mengalami 14 siklus spermatogenik yang terjadi di tubulus seminiferus, Tubulus pada tikus dikarakterisasi oleh struktur yang memiliki pengaturan segmental, yang mana berbeda dengan manusia dan hewan lain yang memiliki pola mosaik. Tikus membutuhkan waktu 12 hari 24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melakukan satu siklus spermatogenesis yang terdiri dari 14 tahapan ini. Tiap spermatogonium pada tikus membuthkan empat siklus untuk menyelesaikan pembentukan spermatozoa, sehingga total waktu yang dibutuhkan untuk seluruh tahapan spermatogenesis pada tikus adalah 48 hari Krinke, 2000. Gambar 2.7 Tahapan Siklus Spermatogenesis Tikus, Tahapan siklus spermatogenesis tikus dimulai dari kiri bawah searah jarum jam. A, spermatogonium tipe A; In,spermatogonium tipe intermediet; B, spermatogonium tipe B; R, spermatosit primer resting, L, spermatosit leptoten; Z, spermatosit zigoten; PI, PVII, PXII, spermatosit pakiten awal, pertengahanm dan akhir. Angka romawi menunjukkan tahapan pada siklus; Di, diploten; II, spermatosit sekunder; 1-19, tahapan spermiogenesis. Tabel di tengah memberikan komposisi selular dari tahapan siklus pada epitelium seminiferus I-XIV. Superskrip m menunjukkan terjadinya mitosis. Sumber: Clermont, 1962 25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta D. Pengendalian Hormon Terhadap Spermatogenesis Proses spermatogenesis dikendalikan oleh sistem hormonal. Aksi hipotalamus-hipofisis berperan penting dalam sekersi gonadotropin yang mengatur aktivitas hormon dan sel spermatogenik di dalam testis Akbar, 2010. Pada hewan jantan, gonadotrophin releasing hormone GnRH disekresikan dari hipotalamus untuk menstimulasi pelepasan lutenizing hormone LH dan foliccle stimulating hormone FSH dari pituitari anterior. LH dan FSH mengatur aktivitas testis. LH berperan dalam merangsang sel-sel leydig untuk memproduksi testosteron. Sedangkan peran FSH adalah menstimulasi sel-sel sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. FSH dan testosteron dapat merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan berdiferensiasi menjadi sperma Surjono, 2001. Aksi FSH pada spermatogenesis mungkin dimediasi oleh sel sertoli, karena hormon peptide tidak dapat secara langsung mencapai spermatosit dan spermatid melintasi sawar darah testis, yang terbentuk 16- 19 hari setelah kelahiran. Sebaliknya, terstosteron dapat dengan mudah melewati sawar darah testis dengan difusi dan mungkin juga oleh beberapa sistem trasnportasi. Telah dilaporkan bahwa tingkat testosteron di dalam cairan interstisial lebih dari 50 ngmL pada tikus dewasa jauh lebih tinggi dibanding pada testis sekitar 30 ngmL atau cairan vena perifer 10 ngmL, menunjukkan aksi parakrin dan autokrin dari testosteron pada spermatogenesis di testis Krinke, 2000 FSH merangsang sel sertoli untuk mensekresikan ABP androgen binding protein dan inhibin. ABP berfungsi mengangkut testosteron ke dalam lumen tubulus seminiferus. Selain mengahasilka inhibin dan ABP, sel sertoli juga berfungsi sebagai penyedia makanan bagi sel-sel spermatogenik yang sedang tumbuh fagositosis sel-sel germinal yang abnormal dan melindungi sel-sel germinal yang sedang tumbuh. Feed back negative selain dilakukan oleh inhibin juga dapat dilakukan oleh testosteron. Testosteron dalam kadar tertentu dapat menghambat pengeluaran FSH dan LH oleh pituari anterior Surjono, 2001 26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.8 Pengaturan Hormon pada Sistem Reproduksi Hewan Jantan Sumber: Hernawati, 2007 E. Produksi Spermatozoa Spermatozoa yang diproduksi tiap hari per testis pada tikus adalah 35,4 x 10 6 mL, tidak berbeda signifikan dengan manusia yaitu sebesar 45,5 x 10 6 mL. Tubulus seminiferus tikus lebih tebal dari manusia, yaitu 347±5 µm vs 262±9 µm, tetapi pembatas pada tubulus pada tikus jauh lebih tipis jika dibandingkan dengan manusia 1,4±1 µm vs 15,9±3,4 µm. Epitel seminiferus tikus mengandung 40 lebih sel spermatogenik dari volume nya, dua kali lebih banyak dari epitel seminiferus manusia Ilyas, 2007 ; Krinke, 2000. 27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.1.1 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan April 2016.

3.1.2 Tempat Penelitian

Pembuatan ekstrak dilakukan di Laboratorium Penelitian I, penapisan fitokimia di Laboratorium Kimia Obat, pengujian parameter ekstrak di Laboratorium Kimia Obat dan Laboratorium Penelitian II, dan pemeliharaan dan perlakuan hewan uji di Laboratorium Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penggunaan freeze dryer dilakukan di PAIR BATAN Pasar Jumat, dan pembuatan preparat histologi testis dilakukan di laboratorium patologi klinik Universitas Indonesia. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: blender Philips, timbangan analitik AND GH-202 dan Wiggen Hausner, botol maserasi, vacuum rotary evaporator EYELA, erlenmeyer, beaker glass, batang pengaduk, spatula, kertas saring, kapas, corong gelas, tabung reaksi, pipet tetes, cawan penguap, kaca arloji, botol timbang, kurs silikat, oven Menmert, tanur Thermo Scientific, aluminium foil, freeze dryer, timbangan untuk tikus, kandang tikus, tempat makanan dan minum tikus, sonde oral tikus, syringe, gelas ukur, mortar, alu, wadah pembiusan, alat bedah minor, mikropipet Eppendorf Research Plus, object glass, kaca preparat, mikroskop cahaya Motic dan Epson, Hemositometer Improved Neubauer NESCO , waterbath, desikator.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley Secara In Vivo

1 16 121

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap Kaki Tikus Jantan yang Diinduksi λ-Karagenan

11 46 82

Uji Aktivitas Antiinfsi Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap Kaki Tikus Jantan yang Diinduksi λ-Karagenan

0 0 14

Uji Aktivitas Antiinfsi Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap Kaki Tikus Jantan yang Diinduksi λ-Karagenan

0 0 2

Aktivitas Anti Artritis Ekstrak Hidroalkohol dari Bunga Moringa oleifera Lam. pada tikus Wistar

1 3 44