III. Adaptasi Maternal
Wanita dari remaja sampai wanita usia sekitar 40-an, menggunakan masa hamil sembilan bulan untuk beradaptasi terhadap peran sebagai ibu. Adaptasi ini
merupakan proses social dan kognitif kompleks yang bukan didasarkan pada naluri tetapi dipelajari Rubin dalam Bobak, dkk, 2005. Kehamilan adalah suatu krisis
maturitas yang dapat menimbulkan stress, tetapi berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk member perawatan dan mengemban tanggung jawab yang
lebih besar. Seiring dengan persiapannya untuk menghadapi peran baru, wanita tersebut mengubah konsep dirinya supaya ia siap menjadi orangtua. Secara bertahap
ia berubah dari seorang yang bebas dan berfokus pada diri sendiri menjadi orang yang seumur hidup berkomitmen untuk merawat individu lain.
Pertumbuhan ini membutuhkan penguasaan tugas-tugas perkembangan tertentu : menerima kehamilan, mengidentifikasi peran ibu, mengatur kembali
hubungan ibu dan anak perempuan serta antara dirinya dan pasangannya, membangun hubungan antara dirinya dan pasangannya, membangun hubungan dengan anak yang
belum lahir dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pengalaman melahirkan Rubin dalam Bobak, dkk, 2005.
2.6.5 Partisipasi Suami Dalam Asuhan Kehamilan
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kebutuhan ibu hamil tidak hanya secara fisik tetapi juga kebuhan psikologis harus terpenuhi, terutama dukungan dari orang-
orang terdekat, antara lain suami. Partisipasi suami dalam kesehatan reproduksi adalah bentuk nyata dari kepedulian dan keikutsertaan suami dalam pelaksanaan
Universita Sumatera Utara
upaya-upaya kesehatan reproduksi. Asuhan kehamilan merupakan salah satu bentuk dari upaya pemeliharaan reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan suatu
kesehatan dalam keadaan sempurna baik fisik, mental, social dan lingkungan serta bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya BKKBN, dalam Yusad 2006.
Partisipasi suami dalam asuhan kehamilan sangat mendukung istrinya secara psikologis sehingga istri dapat lebih kuat dan tenang jiwanya dalam memelihara
kehamilannya dan hasil buah cinta mereka berdua. Dari sini dapat dilihat keharmonisan keluarga tersebut. BKKBN dalam Yusad, 2006, partisipasi suami
dalam asuhan kehamilan dapat ditunjukkan dengan cara : a.
Memberikan perhatikan dan kasih sayang kepada istri. b.
Mendorong dan mengantar istri untuk memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan minimal empat kali selama kehamilan.
c. Memenuhi kebutuhan gizi bagi istrinya agar tidak terjadi anemi.
d. Menentukan tempat persalinan fasilitas kesehatan bersama istri sesuai
dengan kemampuan dan kondisi masing-masing daerah. e.
Melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan sedini mungkin bila terjadi hal-hal yang menyangkut kesehatan selama kehamilan perdarahan, eklamsi dan lain-
lain. f.
Menyiapkan biaya persalinan.
Universita Sumatera Utara
Kesemuanya tersebut di atas menjadi kekuatan bagi istri untuk dan membuat suami semakin bertanggung jawab pada keluarga dan tidak hanya membuat istrinya
hamil. Kemudian menurut Cholil, et all dalam Yusad, 2006 ada beberapa faktor yang mempengaruhi suami dalam memerhatikan kesehatan reproduksi istrinya, antara
lain : a.
Budaya : terutama di daerah yang masih tradsional patrilineal istri dianggap hanya sebagai seorang yang melayani kebutuhan dan keinginan suami saja.
Hal tersebut dapat mempengaruhi perlakuan suami terhadap istri dan terhadap kesehatan reproduksi istrinya. Kadang asupan gizi untuk istri tidak
dipedulikan, suami kurang berempati saat istri hamil. b.
Pendapatan ; pada masyarakat kebanyakan penghasilannya 75-100 lebih banyak digunakan untuk membiayai keperluan hidupnya sehingga terkadang
istri kurang diperhatikan, kurang dibawa untuk control kehamilannya. Sebaiknya suami meningkatkan taraf hidup keluarganya dan dapat
memperhatikan kesehatan istri dan keluarganya. c.
Tingkat pendidikan ; akan mempengaruhi wawasan dan pengetahuan suami untuk mengetahui akses terhadap kesehatan istrinya dan kesulitan untuk
mengambil tindakan secara efektif. Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa partisipasi suami sangat besar
perannya untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dan terutama untuk kesehatan reproduksi istrinya.
Universita Sumatera Utara
BKKBN dalam Yusad, 2006 menyatakan bahwa perlunya partisipasi suami dalam asuhan kehamilan adalah karena :
1. Suami merupakan pasangan atau partner dalam proses reproduksi sehingga
beralasan apabila suami istri mempunyai tanggung jawab yang seimbang dalam keluarga dan mencapai kesehatan reproduksi yang baik.
2. Suami bertanggung jawab secara social, moral dan ekonomi dalam
membangun keluarga. 3.
Suami secara nyata terlibat dalam fertilitas dan mereka mempunyai peran yang penting dalam mengambil keputusan.
4. Partisipasi dan tanggung jawab suami baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam asuhan kehamilan saat ini masih rendah. Jadi kehamilan adalah hasil buah cinta atau hasil kerjasama daripada suami dan istri
sehingga mau tidak mau tanggung jawab harus dilakukan oleh kedua belah pihak sehingga tercipta keluarga yang harmonis dan bahagia, sementara bila tidak tercapai
maka kemungkinan besar akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. 2.7 Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Gender
Fakih dalam menjelaskan konsep gender dan kekerasan menyatakan bahwa
kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh bias gender yang
disebut sebagai gender-related violence. Dimana pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dia
mengkategorikan beberapa kekerasan gender yaitu kekerasan terhadap perempuan
Universita Sumatera Utara
termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, pemukulan dan serangan fisik seperti penyiksaan terhadap anak-anak, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat
kelamin, kekerasan dalam bentuk pelacuran, kekerasan dalam bentuk ponografi, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana dan
kekerasan terselubung.
Muniarti 2004 mengatakan bahwa apabila ditelusuri lebih mendalam,
kekerasan dimulai karena adanya relasi kasta dalam hubungan antar manusia. Dalam konsep jenis kelaminpun terdapat relasi kasta, relasi vertikal. Selama bentuk relasi ini
dipercaya sebagi kodrat dan dikukuhkan oleh budaya dan agama maka segala ketidakadilan gender tetap akan lestari keberadaannya. Dalam hal ini begitu banyak
pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki menjadi dominan, sehingga situasi tersebut menjadi legal dan dilestarikan melalui ajaran agama. Lebih jauh Murniati
melihat fenomena kekerasan dalam keluarga sebagai akibat dari proses kebudayaan patriarkhi yang telah membuat keluarga menjadi pribadi yang tertutup. Budaya ini
menyakini bahwa laki-laki adalah superior yang diberi kekuasaan yang tidak terbatas,
dan perempuan inferior, sehingga terjadi pembenaran terhadap laki-laki dapat
menguasai dan mengontrol perempuan. Ideologi gender hasil konstruksi masyarakat menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga karena tidak ada kesetaraan dalam
relasi antar manusia. Pemahaman bahwa setelah menikah istri adalah milik suami membuat perilaku suami untuk menguasai istri. Demikian juga dengan konstruksi
yang mengharuskan suami sebagai kepala keluarga, laki-laki harus bekerja keras menghidupi keluarga.
Universita Sumatera Utara
Meski demikian sistem kapitalis yang penuh persaingan telah menciptakan
tekanan-tekanan pada laki-laki di dalam mencari kebutuhan hidup. Tekanan dibawa
ke rumah dan semakin lama semakin menumpuk. Jika seseorang dalam situasi tidak nyaman, tidak mampuputus asa akan berubah menjadi stres atau depresi. Di sinilah
peluang kekerasan dalam keluarga muncul. Seperti apa yang diungkapkan oleh
liputan salah satu harian Republika pada tanggal 25 Oktober 2001 yang menceritakan betapa seorang suami bahkan tega membunuh istrinya karena alasan
ekonomi.
2.7.1 Akibat Tindak Kekerasan terhadap Ibu Hamil dan Janin