PENDAHULUAN Asfriyati, S.K.M, M.Kes

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Tindak kekerasan violence adalah sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang. Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991 istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang berarti: 1 perihalsifat keras, 2 paksaan, dan 3 suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisikpsikis pada orang lain. Tindak kekerasan terutama terhadap perempuan, bagi masyarakat Indonesia bukanlah hal yang baru. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 11,4 dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga. Menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2 perempuan yang mengalami kekerasan menempuh jalur hukum, dan mayoritas 45,2 memutuskan pindah rumah dan 10,9 memilih diam. Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri KTI yang masuk di 1 Universita Sumatera Utara Rifka Annisa Women’s Crisis Center pada tahun 1998, dari 125 kasus KTI, 11 diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 mengambil jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau mengajak berkonseling, dan mayoritas korban 76 mengambil keputusan kembali kepada suami dan menjalani perkawinannya yang penuh dengan kekerasan Hayati, 2002. Studi yang dilakukan oleh London School of Hygiene dan Tropical Medicine serta beberapa organisasi di beberapa negara menemukan bahwa tindak kekerasan terhadap seorang wanita yang dilakukan oleh pasangannya dapat berakibat bagi kesehatan. Wanita yang menjadi korban kekerasan menderita masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan wanita yang tidak mengalami kekerasan. Hal ini termasuk keinginan dan perilaku bunuh diri, tekanan mental dan gangguan fisik seperti pusing, nyeri lemas dan gangguan fungsi vagina Dunia Wanita, 2007. Lembaga Departemen Kesehatan di ASEAN dan kerjasama dengan Inggris dibantu oleh EACH dan Pukaar 2009 meneliti mengenai perempuan ASEAN yang mengalami tindak kekerasan. Mereka meneliti 1100 wanita dan anak gadis ASEAN yang mengalami kekerasan dan berakibat pada kesehatan mental. Hasil penelitian mereka antara lain ; 1 Wanita Asia terjebak pada budaya yang menetapkan wanita sebagai golongan nomor dua dan wajib menjaga nama baik keluarga sehingga banyak tindak kekerasan tidak terungkap dan tidak berani mencari bantuan di luar, 2 Pernikahan menentukan reputasi sehingga wanita Asia tidak berani keluar rumah dan bercerai serta tidak berani menceritakan perlakuan yang dia alami. Konsekuensi dari Universita Sumatera Utara kekerasan yang dialami adalah kecemasan dalam bentuk : ketakutan akan bahaya, ancaman dan pelecehankekerasan ; diserang ketakutan ketika ia mengingat perlakuan yang ia terima ; kegairahan atau terlalu waspada ; rasa lemas berlebihan dan ketegangan ; nyeri tanpa alasan; cemas akan masa depan ; takut masyarakat luas. Tindak kekerasan banyak terjadi di Indonesia, namun hingga saat ini Indonesia belum mempunyai data nasional untuk tindak kekerasan sebab wanita yang jadi korban kekerasan tidak semua melaporkannya. Pencatatan data status tindak kekerasan dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait dengan perempuan. Pada tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre WCC mencatat bahwa pada tahun 2006 di Jakarta ada 336 82,75 perempuan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami atau mantan suami. Fakta juga menunjukkan bahwa ada sembilan dari sepuluh wanita mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang mencoba bunuh diri ; 13,12 dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dan dilayani oleh 258 lembaga di 32 Propinsi di Indonesia. Di Jakarta kasus kekerasan terbanyak di layani 74 7.020 kasus dan Jawa Tengah 4.878 kasus. Pada tahun 2008 sampai tahun 2010 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tercatat 8.326 kasus, Sumatera Utara pada tahun 2010 tercatat 80 kasus yang dilaporkan kepada pihak yang berwewenang. Tahun 2011 kasus mencuat di ranah domestik dan publik. Dari 113.878 kasus ranah domestik, lebih dari 97 110.468 adalah kekerasan terhadap istri dan ada 1405 Universita Sumatera Utara kasus kekerasan dalam pacaran. Kekerasan paling banyak adalah kekerasan psikis yaitu sebanyak 103.691 kasus, kekerasan ekonomi 3.222 kasus, kekerasan fisik 2.790 kasus serta kekerasan seksual 1.398 kasus. Sementara kasus pada Januari sampai April 2012 sudah mencapai 29 kasus kekerasan dalam rumah tangga Komnas Perempuan, 2012. Collinson 2009 menyatakan bahwa sebagai penyebab lain dari pada perempuan sering menjadi korban tindak kekerasan adalah oleh harga diri yang rendah. Semakin rendah harga diri seorang perempuan maka semakin rentan untuk menerima perlakuan tindak kekerasan oleh pasangannya. Mereka tidak berani untuk meninggalkan pasangannya yang bertindak kasar. Seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi dapat juga mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga namun mereka lebih memiliki citra diri yang kuat untuk berani meninggalkan pasangannya yang melakukan tindak kekerasan pada dirinya. Pelaku kekerasan yaitu pasangan mereka sendiri selalu memangsa wanita dengan menanamkan pada wanita tersebut bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa selaian bila ada suaminya walau mereka mendapat perlakuan yang kasar. Selain itu, wanita yang memiliki harga diri yang rendah lebih percaya pada perkataan pasangan mereka yang mengatakan bahwa mereka sangat dicintai dan akhirnya selalu di dominasi pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Hakimi dalam Huriyani 2008 tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah memperlihatkan data tentang perempuan yang ayahnya pernah memukul ibu mereka, atau mertuanya tega memukul istrinya, lebih mungkin dianiaya oleh suaminya. Ditemukan bahwa Universita Sumatera Utara perempuan yang tak terlindungi terhadap kekerasan semasa kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian yang normal, dan karenanya tak pernah memperhatikan tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya. Di sisi lain, jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri. Ini disebut sebagai “penularan kekerasan antar generasi intergenerational transmission of violence”. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Kemudian pandangan masyarakat terhadap janda juga membuat wanita korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya. Perempuan sering mengalami kekerasan, karena perempuan masih sering di tempatkan pada posisi yang terpinggirkan dan di rugikan, yang mengakibatkan status perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, termasuk dalam fungsi reproduksinya. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan hak reproduksi perempuan kurang dihargai, antara lain dalam menentukan kapan ia ingin hamil, menentukan jumlah anak yang diinginkan, pengambilan keputusan kesertaan dalam berkeluarga berencana KB dan menentukan jenis alat kontrasepsi yang dipilih, pemeriksaan ante natal care ANC dan Pemeriksaan Pasca PersalinanPPC Depkes RI, 2007. Tindak kekerasan dalam rumah tangga secara fisik dan seksual atau kekerasan secara psikologis pada perempuan yang sedang hamil akan menyebabkan kematian ibu dan bayi yang masih dalam kandungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam suatu survei yang dilakukan oleh The Center for Disease Control, Universita Sumatera Utara ditemukan bahwa wanita hamil lebih mendapat perlakuan kekerasan dari pasangan sebesar 60,6 dari pada wanita yang tidak hamil. Kekerasan akan membawa komplikasi yang lebih besar dari pada penyakit diabetes, darah tinggi atau penyakit serius lainnya. Sebagian besar alasan pada bertambahnya risiko kekerasan selama kehamilan adalah bahwa ayah atau laki-laki pasangan merasakan suatu ketegangan yang tinggi menanti kelahiran. Stress atau ketegangan tersebut dimanifestasikan sebagai frustrasi, yang mana ditujukan kepada istri dan anak yang belum lahir. Hampir 10 dari ibu-ibu muda mengalami kekerasan ketika mereka sedang mengandung WHO, 1999. Sepantasnya wanita yang hamil dilindungi oleh suami dan orang-orang terdekat dengan dirinya, namun studi Faiz 2007 menunjukkan antara 4-12 wanita hamil melaporkan, bahwa mereka mendapatkan perilaku kekerasan selama kehamilannya. Lebih dari 90 para wanita tersebut mendapat kekerasan dari pasangannya dan sering berupa kekerasan fisik berupa tendangan dan pukulan di bagian perut. Tindak kekerasan mengarah pada fisik, seksual atau kekerasan secara psikologis selalu dilakukan oleh pasangan atau bekas pasangan. Kekerasan selama kehamilan lebih sering terjadi daripada komplikasi masalah kebidanan, termasuk preeklamsia dan diabetes selama kehamilan Bacchus dkk, 2003. Tindak kekerasan selain menyebabkan akibat fisik maka dapat juga menyebabkan gangguan psikologis. Wanita hamil yang menerima perlakuan kekerasan dari pasangannya lebih tinggi untuk berisiko stress, depresi dan kecanduan rokok, alcohol dan obat terlarang. Wanita akan mengalami empat kali lebih menderita Universita Sumatera Utara penyiksaan sebagai akibat dari kehamilan yang tidak diharapkan atau yang tidak diinginkan. Data menunjukkan bahwa kehamilan tersebut ditolak sebagai akibat dari kekerasan seksual, perkosaan atau sengaja menolak untuk mengontrol kelahiran. Biasanya kekerasan pada ibu hamil tidak hanya pada satu daerah pemukulan tetapi pada banyak tempat yaitu daerah payudara, perut dan alat kelamin Heise, 1993 ; Bewley et al, 1994. Tindak kekerasan terhadap perempuan hamil memiliki efek yang langsung dan berkepanjangan dapat berakibat cedera langsung pada wanita, kehamilan dan bayinya. Mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga biasanya memiliki tanda-tanda, antara lain terlambat dalam mencari perawatan pre natal dan kurangnya pendidikan pra lahir. Sebagian besar perempuan khususnya di bidang kesehatan reproduksi dan ibu hamil yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga lebih berisiko mengalami kesehatan emosi yang negatif baik bagi si ibu maupun bagi calon bayi Weiss, 2009 ; Senanayake, 2011. Perubahan fisik yang terjadi akan mempengaruhi aspek psikologis ibu hamil dan sebaliknya. Hal tersebut akan membuat ibu hamil akan mengalami trauma yang juga akan mempengaruhi janin terutama pada trimester pertama. Trauma kehamilan dapat disebabkan oleh trauma mekanis, seperti akibat benda tumpul, tikaman, kekerasan dalam rumah tangga Adelaar, 2011. Berbagai bentuk tindak kekerasan yang terjadi tentu saja menimbulkan berbagai dampak negatif bagi diri korban dan anak-anaknya. Kekerasan fisik umumnya berakibat langsung dan dapat dilihat mata seperti cidera, luka, cacat pada Universita Sumatera Utara tubuh dan atau kematian. Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang diperhatikan tetapi membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding bentuk kekerasan yang lain. Akibat psikis ringan yang dialami antara lain ketakutan, perasaan malu, terhina dan terasing. Sedangkan akibat psikis yang lain yang dialami antara lain perasaan rendah diri, hilangnya konsep diri dan kehilangan rasa percaya diri. Akibat-akibat psikis tersebut tentu saja tidak baik bagi perkembangan mental para korban karena menghambat potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang. Kekerasan seksual dapat menimbulkan gangguan pada fungsi reproduksi, haid tidak teratur, sering mengalami keguguran, dan kesulitan menikmati hubungan seksual. Bacchus, et al 2003 menemukan dalam penelitiannya bahwa wanita hamil yang mengalami tindak kekerasan akan tidak peduli atau terlambat dalam melakukan pemeriksaan ANC. Akibat dari pengalaman mereka terhadap kekerasan adalah mereka sering depresi, mengabaikan diri. Ditemukan bahwa satu dari lima wanita akan mengalami gejala depresi. Hal tersebut membuat mereka kurang peduli pada dirinya sendiri dan janin yang dikandung namun mereka tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami terhadap pihak yang berwewenang. Salah satu Klinik Bersalin yang berada di wilayah Kecamatan Medan Selayang, ditemukan bahwa selama bulan Juli-Desember tahun 2012 ada sebanyak 48 empat puluh delapan orang perempuan hamil memeriksakan kehamilannya dan melahirkan, dengan perincian 42 empat puluh dua orang memiliki suami dan tiga orang ditinggalkan suaminya ketika hamil dua dari tiga perempuan hamil tersebut pernah datang sudah dengan bercak darah sedikit sebab mereka mau menggugurkan Universita Sumatera Utara sendiri dengan cara minum jenis jamu yang untuk menggugurkan namun kehamilannya tetap utuh dan tiga orang adalah remaja yang sedang sekolah tapi dihamili oleh temannya atau laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Ada juga beberapa orang perempuan hamil minta untuk menggugurkan bayinya namun ditolak oleh Bidan di Klinik Bersalin. Perempuan hamil yang mengalami pelecehan dari pasangannya tersebut tidak ada satupun yang berani melaporkan diri ke pihak yang berwenang, alasan mereka hal tersebut merupakan aib dan memalukan diri.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah : 1. Mengapa dan apa penyebab ibu hamil mengalami kekerasan dalam tangga ? 2. Bagaimanakah kondisi kehamilan pada ibu yang mengalami tindak kekerasan di daerah Kecamatan Medan Selayang Kota Medan tahun 2013 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi ibu hamil yang mengalami kekerasan dan efeknya terhadap kesehatan reproduksi serta janin yang ada dalam kandungan sehingga dapat memperoleh gambaran dan pemahaman bagaimana kondisi kehamilan ibu yang mengalami kekerasan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2013 Universita Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai akibat dari tindak kekerasan pada ibu hamil. 2. Manfaat Teoritis Sebagai bahan informasi dan pembelajaran tentang tindak kekerasan sehingga dapat memberikan arahan kepada masyarakat bila mengalaminya. Universita Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA