sering menangis dan tidak terlalu banyak berbicara. Hal tersebut dapat mengganggu kesehatan janin yang di rahim.
Dari keseluruhan hasil penelitian diperoleh bahwa dampak kekerasan akan mempengaruhi kesehatan perempuan terutama kesehatan reproduksi, cara berpikir
dan emosi yang kurang stabil. Hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidupnya.
5.1.3. Tema III : Latar Belakang Keluarga Korban adalah sebagai Pelaku Kekerasan
Biasanya pelaku kekerasan dalam rumah tangga didasari oleh orangtuanya
juga yang melakukan kekerasan juga. Antara lain perilaku orangtua mereka yang pemabuk, pemukul istri dan selingkuh dengan perempuan atau laki-laki lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Hakimi dalam Huriyani 2008 tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah memperlihatkan
data tentang perempuan yang ayahnya pernah memukul ibu mereka, atau mertuanya tega memukul istrinya, lebih mungkin dianiaya oleh suaminya. Ditemukan bahwa
perempuan yang tak terlindungi terhadap kekerasan semasa kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian yang normal, dan karenanya tak pernah
memperhatikan tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya. Di sisi lain, jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar
bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri. Ini disebut sebagai
“penularan kekerasan antar generasi intergenerational transmission of violence”. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan
Universita Sumatera Utara
teman. Kemudian pandangan masyarakat terhadap janda juga membuat wanita korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya.
5.1.4. Tema IV : Tindakan Istri Perempuan terhadap Kekerasan
Mengenai sikap yang dilakukan oleh suami informan setelah terjadinya
tindakan kekerasan secara emosional pada umumnya diam bahkan ada yang sampai meninggalkan pasangannya. Sebaliknya, sikap informan terhadap kekerasan ini masih
sama dengan apa yang dilakukan pada kekerasan secara fisik yaitu cenderung diampasrah saja. Marah dan membalas dengan tindakan yang sama seperti saling
menghina dan membentak juga lebih cenderung dilakukan oleh informan. Hal ini berhubungan dengan kebanyakan sifat perempuan yang lebih suka jika bertengkar
melampiaskan kata-kata, karena membalas secara fisik relatif tidak memungkinkan bagi mereka ibu hamil. Hampir keseluruhan informan di sini menyatakan bahwa
kekerasan emosional adalah suatu perbuatan yang tidak wajar dilakukan terhadap perempuan khususnya istri yang sedang hamil oleh suaminya maupun laki-laki yang
telah membuatnya hamil, karena tindakan tersebut bukanlah wujud dari sikap saling menghormati antara suami istri atau antara dua orang yang saling mengasihi.
Pihak istri sendiri, tindakan yang dilakukan ketika terjadi perlakuan kekerasan terhadap dirinya lebih cenderung mengambil tindakan diampasrah saja sebab takut
terjadi pertengkaran. Kekerasan secara fisik terhadap perempuan yang diwujudkan dalam tindakan memukul dan menampar, menjambak, menendang dan sebagainya
merupakan suatu tindakan yang tidak wajar. Tindakan yang demikian termasuk kekerasan yang merupakan tindakan di luar batas yang tidak seharusnya dilakukan
Universita Sumatera Utara
oleh seorang suami terhadap istrinya yang sedang hamil dan menginjak harga diri sebagai seorang istri yang layaknya dilindungi serta juga dapat hal ini dapat
menimbulkan trauma Murray, et all dalam Keumalahayati, 2010. Menurut pembahasan Tim Psikologi LBHK dalam kelompok Rifka Annisa,
RWCC 2010, menyatakan bahwa dalam banyak kasus seorang perempuan istri yang sedang hamil membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengusik hak dan
harga dirinya agar bangkit untuk memerangi kekerasan tersebut, karena pada umumnya orang yang melakukan kekerasan pada kaum perempuan adalah orang
terdekat bahkan orang yang dikasihi suami dan pihak istri sebagai korban tindakan kekerasan biasanya tidak langsung menyadarinya. Hal yang menjadi kendala bagi
para perempuan menurut Tim ini adalah kesabaran yang luar biasa dari istri, yang mana dalam diri mereka selalu muncul keinginan untuk memberikan kesempatan
sekali lagi dan sekali lagi. Tanpa disadari, pemberian kesempatan inilah yang menjadi bumerang bagi para perempuan. Di satu sisi perempuan berharap dengan
diberikannya kesempatan tersebut membuat suami akan berubah dan kembali menjadi baik, namun sebaliknya pihak pria akan menilai pemberian kesempatan tersebut
sebagai ketidakmampuan perempuan untuk mandiri atau takut terhadap status janda atau kesendirian mereka. Oleh karena itu sikap ketergantungan kepada suamilah yang
membuat istri tidak berdaya, tidak berani menunjukkan bahwa seorang istri mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik dan terhormat. Dengan sikap diam
seolah-olah seorang istri rela diperlakukan kasar dan dengan mudah memaafkan suami.
Universita Sumatera Utara
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan mengenai sikap informan ketika mengalami berbagai bentuk kekerasan dan sikap yang paling banyak diambil
adalah sikap diam atau pasrah saja.
5.1.5. Tema V : Melakukan Hubungan Sebelum Menikah dan Berasal dari Keluarga yang Tidak Agamais