Status Sosial Pargonsi Bergantinya musik pengiring dalam Gondang Naposo sebagai fenomena perubahanan

4.2.1. Status Sosial Pargonsi

Dengan berubahnya ensambel pengiring dari Gondang Sabangunan menjadi Sulkibta, maka secara otomatis status sosial para pemain musiknya juga mengalami perubahan. Dimana dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba, para pemusik dalam ensambel Gondang Sabangunan pargonsi mendapat perlakuan khusus dari masyarakat. Hal ini didukung dengan adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat pangkat dan jabatan, seperti yang diungkapkan oleh Payung Bangun dalam Panggabean 1996:92 sebagai berikut: .....sistem pelapisan sosial yang berdasarkan pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan bangsawan, keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah. Dulu, lapisan ini disebut lapisan biak raja. Lapisan dibawahnya adalah lapisan ginengem. Diantara mereka ada jabatan yang dianggap lebih terhormat dari yang lainnya, sehingga orangnya juga dipandang menduduki lapisan dari rayat ialah dukun, tukang yang mempunyai keahlian pandai besi,pandai emas, tukang kayu dan sebagainya, pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi panarune dalam bahasa Karo; pargonsi dalam bahasa Batak Toba. Hal tersebut terjadi karena untuk menjadi seorang pemain Gondang Sabangunan memerlukan banyak persyaratan. Persyaratan tersebut menyangkut keterampilan dalam memainkan alat musik dan pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat aturan-aturan pelaksanaan adat. Pargonsi mendapat sebutan khusus yaitu Batara Guru Humundul untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Oleh sebab itu mereka berdua dianggap sejajar dengan dewa sehingga mendapat perlakuan yang istimewa dari pihak yang mengundang pargonsi tersebut. Pargonsi dianggap dapat Universitas Sumatera Utara menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta melalui perantaraan suara Gondang Bangun dalam Panggabean 1996:92. Namun sikap hormat yang diberikan masyarakat yang menganggap bahwa pargonsi sejajar dengan dewa hanyalah berkaitan dengan suatu upacara adat, diluar konteks acara yang melibatkan Gondang Sabangunan kedudukan mereka sama seperti layaknya masyarakat biasa. Sementara dalam acara Gondang Naposo periode yang kedua status sosial dari pargonsi pemusik tidak sama dengan status sosial pargonsi pada periode yang pertama, dimana anggapan bahwa pargonsi sejajar dengan dewa tidak lagi diberlakukan bagi mereka. Hal ini juga dikarenakan untuk menjadi seorang pemain dalam ensambel Sulkibta tidaklah harus memenuhi syarat-syarat seperti apabila ingin menjadi seorang pargonsi dalam konteks Gondang Sabangunan. Sebagai contoh pada acara Gondang Naposo di Desa Desagajah dimana pemain taganing dalam ensambel Sulkibta adalah seorang anak berumur lima belas tahun. Perbedaan status sosial yang terjadi antara pargonsi pada acara Gondang Naposo periode pertama dan kedua adalah merupakan salah satu bentuk perubahan dari acara Gondang Naposo pada kedua periode tersebut.

4.2.2. Repertoar