Masa Kolonial Belanda Sejarah Singkat dan Legalitas Mediasi
19
keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan nonlitigasi.
Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim,
dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupatenkota. Penumpukan perkara tidak
hanya terjadi pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya
hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan kesulitan
mengakses acces to justice guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di
Indonesia. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa perkara dalam kehidupan masyarakat Indonesia. ketentuan mediasi baru di temukan
dalam pasal ini yaitu tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang juga di atur oleh Peraturan Agung No. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
pengadilan. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayangkan adalah pengadilan. Pandangan ini tidak salah, karena
pengadilan memang memberi otoritas oleh Negara untuk menyelesaikan sengketa. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa
menghadapi persoalan waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.
20
Dalam kontek ini, masyarakat berada dalam kondisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya selesai, namun pada sisi lain mereka tidak bersedia
berhadapan dengan pengadilan. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian
secara cepat telah menjadi pilihan dan memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang
diputuskan diluar pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan, berbeda dengan
penyelesaian sengketa di pengadilan di mana prinsip yang dianut adalah menang atau
kalah.
Peraturan Mahkamah Agung RI NO. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun
2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.
Kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses
mendamaika para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Dalam Perma
21
No. 1 Tahun 2008 mendapat kedudukan penting, karena proses mediasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi
hukum pasal 2 ayat 3 Perma. Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan
perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.