Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang

21 No. 1 Tahun 2008 mendapat kedudukan penting, karena proses mediasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum pasal 2 ayat 3 Perma. Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

C. Dasar Hukum Mediasi dalam Litigasi

Yang menjadi dasar hukum diberlakunya mediasi dalam proses litigasi: 1. Pancasila. Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga dalam Undang-undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “ Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan beradasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat 1 menyatakan: ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara dilakukan diluar pengadilan Negara melalui perdamaian atau Arbitrase. 16 Kini telah jelas diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk 16 Susant i Adi Nugroho, Naskah Akademis: M EDIASI Jakart a: Peslit bang Hukum Dan Peradilan M A-RI, 2007, h.36. 22 menyelesaikan sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Pasal 130 HIR154 Rbg Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat 1 HIR berbunyi: Jika pada hari sidang yang di tentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka. 17 Selanjutnya ayat 2 menyatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menanti perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Heirzein Indonesis Reglement HIR maupun pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten Rbg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat di intensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. 3. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Pasal 82 berbunyi: 17 R. Soesilo, RIB HIR Dengan Penjelasan Bogor: Polit ea, 1985, h.88. 23 1 Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2 Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak ada yang mengahadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 3 Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka pengugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi. 4 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus pasal ini menyebutkan gugat cerai berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan mediasi tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara. 4. Penjelasan pasal 31 ayat 2 PP No,9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat 2 PP No.9 Tahun 1975 berbunyi: 2 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dimana penjelasan pasal tersebut adalah: “Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada siding pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang 24 perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. 18 5. PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara. 6. Al Qur’an: Al Nisa’ 4 ayat: 128 “ wal shulhu khair” Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut Syara’ adalah suatu akad dengan untuk maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa. 19 Dasar hukum dalam Al-qur’an, termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 128:                                 ءﺎﺴﻨﻠﻟ  ١٢٨ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang 18 Direkt orat Pembinaan Badan Peradilan Agam a Islam , Him punan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agam a Jakarta: Depag RI, 2001, h. 178. 19 As Sayyid Sabiq, fiqh As Sunnah, juz III Beirut : Dar AL Fikr, 1977, h.305.