28
digariskan pemerintah; dan b pemanfaatan yang lebih terkonsentrasi pada pemanfaatan hasil hutan kayu. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan
lebih menitikberatkan pada pemanfaatan kayu dibanding pemanfaatan lainnya sumber obat-obatan dan jasa lingkungan untuk ekowisata. Orientasi dan
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hu tan selama ini sering dinilai sebagai ”hanya berorientasi kayu” timber oriented. Banyak manfaat lain
dari sumberdaya hutan yang belum diperhitungkan secara maksimal termasuk dalam menentukan nilai akhir dari satu meter kubik kayu saat dipasarkan. Pasar
kayu Indonesia telah gagal didalam menetapkan harga kayu. Harga kayu yang berlaku dipasaran tidak mencerminkan nilai kayu yang sesungguhnya. Keadaan
ini menujukkan fakta empiris, bahwa telah terjadi kegagalan pasar untuk kayu Indonesia market failure yang menyebabkan komoditi kayu itu sendiri dihargai
sedemikian rendah undervalued .
2.3.2. Kronologis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Alasan yang mendorong pemerintah berorientasi hanya pada eskploitasi kayu dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan antara lain karena strategi
pembangunan yang lebih didasarkan pada kebutuhan ekspor. Hal ini ditandai, antara lain dengan upaya diversifikasi ekspor dari minyak bumi dan gas
merambah ke sumberdaya alam lain, yaitu hutan melalui kegiatan pembalakan dalam skala besar dan komersial dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan
HPH. Strategi ini menurut World Bank 2000 telah mengakibatkan tingginya tingkat ekspansi ekonomi selama hampir tiga dekade terakhir. Kegiatan
pembalakan sekala besar dan komersial melalui sistem HPH diduga telah menjadi salah satu penyebab utama kerusakan serta penurunan kualitas
ekosistem hutan dan lingkungan. Sementara itu, turut memperparah keadaan adalah fakta bahwa berbagai kegiatan ekspolitasi hutan dan industri perkayuan
telah menimbulkan satu konglomerasi negatif, karena berbagai industri tersebut didominasi oleh segelintir konglomerat. Bahkan dalam banyak hal, HPH telah
dimanfaatkan sebagai bagian dari kronisme politik. Dalam konstelasi seperti ini, kartel pemasaran kayu lapis, dinilai telah memberikan pengaruh sangat besar
dalam proses penentuan arah kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan pembangunan sektor kehutanan. Uraian berikut merupakan ilustrasi yang
menggambarkan secara ringkas kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan .
29
Pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dimulai secara intensif sejak tahun 1967, sebagai tidak lanjut dari
kerjasama dengan IMF pada tahun 1966. Dari kerjasama tersebut, Indonesia mulai menerima pinjaman dana internasional, me mbuka diri bagi investasi asing,
dan mulai mengembangkan kebijakan ekonomi pasar yang bertumpu pada pertumbuhan. Selanjutnya, kebijakan ekonomi pasar ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya paket kebijakan pengelolaan hutan yang tediri dari Undang- Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, PP No. 33 tahun 1970 tentang
Perencanaan Hutan, dan PP No. 21 tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan. Paket kebijakan tersebut menciptakan iklim kondusif bagi perusahaan-
perusahaan termasuk perusahaan asing untuk memulai kegiatan eksploitasi hutan skala besar secara komersial. Hasilnya, pada era ’70-an Indonesia
mengalami ”timber booming ”, dan mulai masuk pada jajaran negara pengekspor kayu bulat terbesar di dunia. Pada tahun 1982, kayu menjadi sumber devisa
negara terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi Departemen Kehutanan, 1993.
Selama tahun 1980 - 1985 pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan yang mengharuskan adanya peningkatan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan
peningkatan industri perkayuan dalam negeri, dengan alasan untuk meningkatkan nilai tambah yang kemudian dilanjutkan dengan penghentian
ekspor kayu bulat. Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang industri kehutanan terpadu yang berbasiskan pada kayu lapis. Kondisi ini
melahirkan dominasi industri kayu lapis yang kemudian menghantarkan negara Indonesia sebagai pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Pada tahun 1987
Indonesia tercatat menguasai 58 persen dari total ekspor kayu lapis dunia. Sejak akhir tahun 80-an indsutri kayu lapis terus mengalami perkembangan antara lain
karena adanya kebijakan pajak ekspor yang akhirnya hanya menguntungkan perkembangan industri tersebut dibanding terhadap industri perkayuan lainnya
Departemen Kehutanan, 1993. Pada akhir tahun 1980 -an beberapa wilayah utama pemasok bahan baku
kayu antara lain Sumatera Utara dan Kalimantan Timur mulai mengalami kelangkaan kayu akibat eksploitasi berlebihan. Beberapa wilayah lain pun pada
periode yang sama, mulai memperlihatkan kecenderungan serupa. Sebagai tindak lanjut untuk mengatasi permasalahan kelangkaan kayu pemerintah
mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan Hutan Tanaman Industri HTI
30
yang diiringi dengan pengembangan industri pulp dan kertas. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai pengembangan Perkebunan
Besar Kelapa Sawit. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya sampai tahun
1980-an, produk hasil hutan didominasi oleh kayu bulat. Kemudian, industri perkayuan bergeser dominasinya ke industri kayu lapis sejalan dengan kebijakan
peningkatan industri hilir di dalam negeri melalui pengurangan ekspor kayu bulat, sampai akhirnya pelarangan secara penuh ekspor kayu bulat pada tahun 1985.
Kondisi ini telah memberikan implikasi meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang dicerminkan oleh tingkat kerusakan dan degradasi hutan
yang begitu tinggi bervariasi antara 1,3 – 2,4 juta ha per tahun. Untuk mengatasi tingkat kerusakan dan degradasi hutan yang semakin
meningkat, pemerintah mengkaji penerapan pengelolaan hutan tradisional oleh masyarakat lokal, khusunya masyarakat adat yang pada saat munculnya sistem
HPH berbagai sistem pengelolaan hutan tradisonal ini tidak terakomodasi dengan baik, dan bahkan termarjinalisasi. Sesungguhnya, ada beberapa
kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan pemberdayaan masyarakat, seperti program pengembangan hutan rakyat, hutan
kemasyarakatan, bina desa hutan, pembangunan masyarakat desa hutan, aneka usaha kehutanan, dan hutan cadangan pangan, namun implementasi dari
kebijakan-kebijakan ini di lapangan dinilai tidak optimal dan tidak mencapai sasaran yang digariskan. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tidak berhasil menjawab persoaln riil yang menjadi akar dari berbagai gejala yang justru muncul dan berkembang di tengah
masyarakat, yakni persolan ketidakjelasan sistem kepemilikan tenurial system dan hak-hak kepemilikan property rights Khans, 1996.
Ada pula kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan aspek rehabilitasi dan konservasi hutan dan lingkungan, antara lain kegiatan reboisasi dan
penghijauan, pembangunan Hutan Tanaman Industri, dan ratifikasi berbagai perjanjian internasional berkaitan dengan tujuan konservasi seperti CITES.
Beberapa kebijakan ini dalam pelaksanaannya justru tidak sejalan dengan tujuan rehabilitasi dan konservasi itu sendiri. Hutan Tanaman Industri HTI bahkan
menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan alam World Bank, 1993. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya dukungan pemerintah dalam bentuk
dana reboisasi DR. Insentif dana reboisasi pada program HTI ternyata
31
menyebabkan peningkatan permintaan akan areal-areal hutan alam untuk alasan pemenuhan bahan baku, karena dalam waktu yang bersamaan telah dilakukan
investasi besar-besaran dalam rangka memperbesar kapasitas industri pulp dan kertas. Menurut World Bank 2000 akibat ketidaktepatan insentif ini, hutan -hutan
alam menjadi rusak, sementara areal-areal yang benar-benar ditanami jauh lebih rendah dari yang ditargetkan.
Sejalan dengan laju perkembangan HTI, perkebunan besar juga memperlihatkan kecepatan serupa pada waktu yang bersamaan. Hal ini
dicerminkan oleh meningkatnya pembukaan perkebunan besar kelapa sawit dan karet. Kondisi ini dipacu oleh kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung
pembangunan perkebunan skala besar. Hal ini tertuang antara lain dalam peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa perkebunan dapat diusahakan di
kawasan hutan konservasi. Akibatnya, permintaan lahan perkebunan besar juga turut meningkat dan turut mendorong meningkatnya laju deforestasi dan
degradasi hutan. Kronologis kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan
pemerintah memberikan gambaran bahwa paradigma pebangunan kehutanan yang dianut tidak akan kondusif untuk pencapaian pengelolaan sumberdaya
hutan secara berkelanjutan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh laju deforestasi dan degradasi hutan yang semakin besar, semakin meningkatnya bermacam konflik
baik konflik vertikal maupun horizontal yang terkait dengan pemanfaatan dan kepemilikan lahan, kapasitas indu stri perkayuan nasional yang melebihi
kemampuan pasokan kayu bulat dari hutan alam secara lestari, ketimpangan redistribusi manfaat hasil hutan, dan peningkatan konversi hutan alam untuk
perkebunan besar Proyek Agenda 21 Sektoral, 2000. 2.3.3. Kebijakan Sektor Kehutanan
Selama tiga dekade, sejak tahun 1967 kebijakan sektor kehutanan sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional cenderung berorientasi pada
aspek pengaturan pengelolaan dengan titik berat pada produksi hasil hutan atau pengusahaan hutan alam. Orientasi seperti ini, menempatkan sumberdaya
hutan sebagai sumber pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang menyebabkan penurunan potensi sumberdaya hutan mencapai lebih dari 50
persen Kartodihardjo, 1999. Sedangkan bila dilihat dari isi kebijakan, kebijakan sektor kehutanan umumnya lebih bersifat teknis, perizinan, dan prosedur
operasional. Misalnya hanya seputar pengaturan urut-urutan suatu kegiatan yang
32
perlu dilakukan. Dengan corak isi kebijakan seperti itu maka ukuran keberhasilan lebih ditentukan oleh proses administratif pencapaian aturan dimaksud yang
dalam banyak kasus bahkan lepas dari esensi dan semangat pengaturan itu sendiri. Dalam proses penyusunan Rencana Kerja Tahunan RKT, misalnya,
tidak ada kaitan antara lulusnya RKT dengan tingkat manfaat dokumen RKT sebagai fungsi perencanaan.
Masih dari segi isi, ada banyak indikasi yang menunjukkan ketidakharmonisan antara isi atau substansi kebijakan dengan semangat dan
esensi kebijakan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, melalui Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan PMDH, pemerintah menginginkan
peran dan kontribusi langsung keberadaan HPH kepada masyarakat di dalam dan di sekitar areal konsesinya. Namun dalam pelaksanaannya, isi kebijakan
PMDH ini menyebabkan beban biaya operasional PMDH semakin membengkak dan ironinya pembengkakan ini sama sekali tidak berkaitan dengan kemungkinan
peningkatan produktivitas ataupun efisiensi perusahaan Khans, 1996. Bahkan menurut Katrodihardjo 1999 PMDH tidak mampu mendistribusikan manfaat
hutan kepada pihak yang tepat intended beneficiaries secara adil dan proporsional.
Berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan, kebijakan sektor kehutanan cenderung tidak transparan dan bahkan terkesan tertutup. Hal ini
dapat dipahami mengingat sistem pemeritahan yang selama ini bersifat sentralistik dengan orientasi kepentingan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
state based oriented. Dalam proses seperti ini keberpihakan menjadi tidak jelas dan dapat bergeser pada pihak-pihak yang memegang kendali kekuasaan atau
pihak-pihak didekatnya, terutama pihak-pihak yang menguasai faktor-faktor produksi yang notabene menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan kata lain,
proses pembuatan kebijakan selama ini tidak secara serius menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan lainnya Kartodihardjo, 2000. Dengan
pemberlakuan sistem desentralisasi melalui Undang -Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka kebijakan sektor kehutanan seharusnya
lebih transparan, demokratis, dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal yang diyakini dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap
sumberdaya hutan.
33
2.4. Kawasan Perbatasan