42 sebagai penghidupan mereka. Rumah dan sawah merupakan sekolah yang
sebenarnya bagi mereka. Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Samin
Dusun Blmtdk
sekolah Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Jumlah Kaliyoso
146 17
5 2
170
Larikrejo 52
15 67
Bombong 717
717
Ngawen 54
54
Tambak 105
2 107
Klopoduwur 23
41 36
20 120
Jepang 76
71 40
15 202
1173 146
81 37
1437
Sebagian masyarakat Samin sudah terbuka dengan pendidikan formal, seprti yang terjadi di Desa Koloduwur Blora dan Margomulyo Bojonegoro.
Sebagian besar generasi mudanya sudah sekolah formal Sekolah Dasar, bahkan sampai tamat SMA. Tetapi tidak jarang yang hanya sampai kelas 3 atau 4 SD,
sekedar untuk bisa baca tulis, misalnya pada anak-anak Samin di Sumber Blora. Setelah itu mereka tidak lagi bersekolah, dan membantu orangtua mereka
bekerja di Sawah.
Gambar 15 Persentase tingkat pendidikan penduduk Samin Jenis mata pencaharian mayoritas penduduk di lingkungan masyarakat
Samin bekerja sebagai petani, sebagai petani penggarap lahan sendiri atau petani buruh Gambar 16. Pekerjaan lain yang persentasenya cukup besar
adalah sebagai buruh industri 7, terutama pada penduduk Kaliyoso dan penduduk desa Sukolilo; serta sebagai buruh bangunan terutama penduduk
43 desa Sukolilo. Penduduk yang menekuni pekerjaan lain misalnya sebagai
peternak, pengrajin penjahit jumlah yang kurang dari 1. Pekerjaan berdagang dianggap sebagai pantangan bagi sebagian komunitas Samin, karena
mengambil untung dari barang yang diperjualikan merupakan suatu tindakan tidak jujur.
Gambar 16 Persentase mata pencaharian penduduk masyarakat Samin
5.3.2 Adat Kebiasaan Masyarakat Samin
Adat istiadat masyarakat Samin tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa non Samin. Kebiasanya yang menonjol adalah gotong-royong, hampir
seluruh aspek kehidupan sosial mereka diwarnai dengan kebersamaan, antara lain dalam membagun rumah, mengerjakan sawah, dan dalam kegiatan hajatan
khusus misalnya kelahiran bayi, pernikahan, kematian dan lain-lain. Gotong royong ini mereka lakukan bukan hanya pada kalangan masyarakat Samin
sendiri, namun juga terhadap masyarakat umum. Gotong-royong ini menjadi penciri yang kuat bagi masyarakat Samin yang umumnya masih tinggal di
pedesaan Tashadi et al. 1998. Dalam pelaksanaan tradisi berkaitan dengan proses kehidupan seperti
selamatan kelahiran, perkawinan, tujuh bulanan, kematian, dan lain-lain, prosesnya sudah lebih sederhana dibanding masyarakat Jawa pada umumnya.
Hajatan tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk kenduri brokohan, dengan hidangan berupa nasi dan lauk pauk. Berkumpul bersama dan didoakan oleh
orang yang dituakan. Tidak ada ritual khusus dan tidak ada sesaji yang harus disiapkan. Kebiasaan ini agak berbeda dengan masyarakat Jawa di pedesaan
yang umumnya masih punya banyak ritual dan sesaji untuk mengadakan suatu hajatan.
44 Masyarakat Samin juga mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan
masyarakat lain terutama dalam hal perkawinan dan kematian Soekanwo 1968; Djokosoewardi 1969
. P
erkawinan masyarakat Samin dilakukan dalam beberapa tahapan. Dua tahapan yang penting adalah pasuwitan dan paseksen.
Pasuwitan adalah proses dimana calon pengantin laki-laki diantarkan ke tempat calon mempelai perempuan untuk nyuwito membantu pekerjaan keluarga calon
mertua perempuan. Paseksen, adalah acara persaksian bahwa calon penganten sudah menjalani tatanan sikep rabi perkawinan. Pernikahan ijab qabul cukup
dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak, tanpa penghulu. Kemudian mereka mengadakan hajatan dengan mengundang sanak kerabat baik warga Samin
maupun bukan. Hajatan pernikahan ini dalam istilah masyarakat Samin di Blora dan
sekitarnya disebut disebut adang akeh
1
Kematian bagi orang Samin bukan sesuatu yang menyedihkan, mereka mennyebutkan sebagai salin sandangan
. Sedang bagi masyarakat Kudus, hajatan perkawinan ini hanya disebut brokohan atau slametan.
2
Dalam komunikasi sehari-hari diantara orang Samin, maupun dengan orang bukan Samin, mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko
. Pada awalnya tidak ada perlakuan khusus terhadap jenasah orang Samin. jenasah dimakamkan dengan pakaian
yang dikenakan ketika meninggal. Namun dalam perkembangannya sekarang sudah banyak mengikuti cara Islam, misalnya dengan memandikan dan
mengkafani jenasah. Tidak ada tempat pemakaman pemakaman khusus bagi orang Samin, biasanya dimakamkan di pemakaman umum.
5.3.3 Simbol dan Identitas Bahasa
3
Mereka tidak mengenal tingkatan , yakni bahasa
jawa yang sederhana dan bersahaja. Mereka tidak mau mempelajari dan menggunakan bahasa selain bahasa Jawa. Menurut mereka orang Jawa harus
berbahasa Jawa dan tidak pantas menggunakan bahasa asing. Hal demikian terbawa dari sikap mereka yang menentang pemerintah kolonial Belanda
Munfangati et al. 2004. bahasa Jawa, bagi mereka menghormati
orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tetapi dari sikap dan perbuatan yang ditunjukkannya. Manusia hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama.
1
Memasak nasi dalam jumlah besar, istilah untuk menggambarkan sedang punya hajatan besar, atau perkawinan
2
Orang meninggal ibaratnya seperti berganti pakaian
3
Tingkatan bahasa Jawa untuk rakyat biasa