Ethnobiology of Tengger Society in Bromo Tengger Semeru East Java

(1)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT TENGGER

DI BROMO TENGGER SEMERU

JAWA TIMUR

JATI BATORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Jati Batoro NRP. G363070081


(4)

(5)

ABSTRACT

JATI BATORO. Ethnobiology of Tengger Society in Bromo Tengger Semeru East Java. Under direction of DEDE SETIADI, TATIK CHIKMAWATI, and Y. PURWANTO.

This ethnobiological research focused on the ethnoecological, ethnobotanical, and ethnozoological study of the adaptation process (correlating to management concepts, impact on people’s activities, and technology usage) of the Tengger society in Bromo Tengger Semeru, East Java to environmental conditions where they were actively using and managing natural resources. The goals of this research were to study the beliefs, knowledge, and practice of Tengger society for the comprehensive understanding of landscape use and management, and to reveal the indigenous knowledge of Tengger society in managing their natural resources (plants and animals) which included species diversity, the index of ecological important value (INP), and the index of cultural significance (ICS). The research data consisted of ecological, ethnological, ethnobotanical and ethnozoological data. Ecological data was collected using vagetation analysis, while the rest of the data was collected using the participatory ethnobotanical appraisal, structured and open ended interviews, and direct observation. The Tengger society arranged their areas based on their function and usefulness including area of housing, agriculture, conservation, ecotourism, and sacral. Traditional ecological knowledge applied for environmental conservation consisted of an agricultural system that implement terasiring combined with plant borders, stall locations separated from houses, and planting Casuarina tree arranged by traditions. Tengger people depend on plant resources for their livelihood, and they have good knowledge on plant diversity surrounding them. The various plant utilization by Tengger society include food (75 species); medicines (121 species); construction, firewood and local technology (53 species); cosmetics, handycraft, cigarette, colors (40 species); forage (44 species); ornamental plants (140 species); fruit (49 species); and ritual (94 species). Calculations of the index of cultural significance showed that rice has a very high value and ten other plant species have high value in Tengger culture. For Tengger people, various animals have an economic value, and can be used for food, ritual, transportation, and objects for tourism.The indigenous knowledge on wild animals and their uses were very good. Tengger people distinguished 120 species consisting of 64 species of Aves, 32 species of Mammals, 9 species of Reptilia, 3 species of Diptera, 2 species of Decapoda, 1 species of Arachnidae, 1 species of Orthoptera, 1 species of Hypnoptera and 6 species of Pisces.

Keywords: Bromo Tengger Semeru, ethnobiology, indigenous knowledge, Tengger society.


(6)

(7)

RINGKASAN

JATI BATORO. Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, TATIK CHIKMAWATI, dan Y. PURWANTO.

Masyarakat suku Tengger merupakan penduduk asli Jawa yang menempati wilayah lereng deretan pegunungan Bromo Tengger Semeru, sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, mengisolir diri, dan lebih senang hidup pada lingkungannya sendiri. Mereka mempunyai tatanan yang disepakati bersama (pranata) serta adat sosial budaya khas dan unik, agama, kepercayaan, kesenian, bahasa serta organisasi sosial atau sistem kelembagaan sendiri. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup di sektor pertanian dan sebagian kecil mengelola wisata, perdagangan maupun peternakan.

Penelitian etnobiologi dimaksudkan untuk mengetahui proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Tengger terhadap kondisi lingkungan tempat mereka beraktivitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati serta lingkungannya terkait dengan konsep pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkannya serta teknologi adaptasi yang dikembangkannya. Keanekaragaman hayati perlu dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan baik sebagai sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis maupun genetik serta ekosistemnya agar tetap lestari sumberdaya alamnya.

Tujuan penelitian secara khusus adalah 1. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang sistem pengelolaan sumber daya hayati (jenis tumbuhan dan hewan) meliputi keanekaragaman jenis tingkat kepentingan ekologis (INP), kegunaan dan cara pemanfaatannya (ICS), pengaruh dan cara pengembangannya. 2. Mengungkap pengetahuan masyarakat Tengger tentang lingkungan di sekitarnya meliputi persepsi dan konsepsi, pembagian tata ruang pada satuan lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkan serta strategi pengembangannya.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan etnoekologi, etnobotani, etnozoologi dan strategi konservasi sumberdaya hayati yang menggunakan kombinasi ICS dan INP. Metode antropologi digunakan untuk mengungkap dan mengetahui pola pikir (corpus) masyarakat Tengger yaitu dengan melakukan pengamatan langsung, wawancara bebas (open ended) serta ikut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dan semi struktural dan struktural. Mendeskripsikan berbagai bentuk aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, teknologi adaptasi yang dihasilkan serta menganalisis sesuai pandangan mereka. Melakukan pengamatan, analisis, penilaian secara ekologis dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap setiap satuan lingkungan.

Pembagian satuan lingkungan berdasarkan fungsi dan kegunaan oleh masyarakat Tengger meliputi a. Kawasan pemukiman, b. Kawasan pertanian, c. Kawasan konservasi, d. Kawasan pariwisata, dan d. Kawasan sakral. Kawasan pemukiman meliputi rumah individu, pertokoan, warung, homestay, hotel, rumah digunakan fasilitas umum seperti Balai Desa dan Pendopo Agung, Kantor, Langgar, Mesjid, Gereja, Pure, pekarangan, tegalan, ranu (danau), sumber air, sungai, jalan, kuburan, Danyangan dan Sanggar Pamujan. Tata ruang perumahan


(8)

dibangun secara semi permanen, permanen, bergerombol tidak berbeda jauh dari perkotaan, bahkan berlantai dua atau tiga berkeramik, yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat Tengger. Sistem tata ruang perumahan meliputi ruang tamu (petamon), kamar tidur (pedaringan), ruang pawon dengan tumang sangat disakralkan sebagai bagian mengadaptasikan kehidupan wilayah yang dingin serta pembelajaran antar generasi, dan kamar mandi (pakiwan). Kawasan ritual dan pariwisata seperti gunung Bromo, Semeru, gunung Pananjakan, lautan pasir milik TNBTS sangat mendukung pengembangan wisata dan ritual adat masyarakat Tengger.

Pengetahuan masyarakat Tengger terhadap sistem pertanian terutama budidaya sayuran pada lahan perbukitan perlu mendapat perhatian dan pengamatan khusus karena berkaitan dengan terjalnya wilayah, sehingga sistem pertanian terasiring dapat dipertahankan serta dampak kemungkinan longsor dapat diminimalkan demi kelangsungan hidup serta pembangunan berkelanjutan di masyarakat Tengger. Sistem pola gubuk-kandang sangat cocok dalam membantu pengolahan budidaya pertanian, dan peternakan berkelanjutan di wilayah Tengger yang dingin, memudahkan distribusi pupuk, transaksi ekonomi serta pengembangan peternakan. Peternakan sapi, babi, kambing, ayam kampung sangat mendukung ekonomi keluarga maupun mendukung berlangsungnya ritual adat. Sistem sewa (komplangan) dari Perhutani juga menarik, dukungan dari berbagai pihak baik TNBTS seperti jalur hijau, pemanfaatan pakan ternak, pemanfaatan lokasi ritual Kasada serta pentasbihan Dukun Pandhita sangat membantu keberlanjutan serta berjalannya ritual adat serta agama di Tengger.

Pengetahuan ekologi tradisional yang dipergunakan untuk berbagai keperluan menunjukkan apresiasi yang baik terhadap usaha pelestarian lingkungan. Penanaman cemara gunung dengan diatur hukum adat tebang 1pohon tanam 10 pohon, karena begitu pentingnya pohon cemara sebagai bahan bangunan, kayu bakar, batas lahan, pencegah longsor, selain itu tidak mengganggu tanaman pertanian. Sistem pengelolaan lahan pertanian terasiring telah diatur dalam bentuk petak arah air serta ditanam rumput astruli sebagai penahan erosi.

Kawasan konservasi TNBTS, kawasan hutan lindung Perhutani, tempat sakral sangat berguna sebagai sumber air baik untuk kawasan Tengger sendiri maupun daerah bawah, yang berfungsi sebagai sumber oksigen, sumber genetik, pelindung dan penahan rawan longsor, dan berkembangbiaknya berbagai satwa maupun flora. Kawasan konservasi seperti Danyangan, makam, Sanggar Pamujan, hutan larangan yang diperkuat oleh adanya hukum adat, aspek ritual peladangan memberikan dampak positif terhadap tertatanya pemanfaatan tanah, kehidupan hewan serta lingkungan yang harmoni.

Sistem pengetahuan masyarakat Tengger tentang keanekaragaman jenis tumbuhan cukup baik hal ini dapat di tunjukkan dari cara pengenalan, pencirian, pemanfaatan tumbuhan liar dan tanaman budidaya. Hasil inventarisasi jenis tumbuhan yang dikenal masyarakat Tengger tercatat 326 jenis. Pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan adalah sebagai bahan obat, racun, ritual, pangan, pewarna, bumbu, buah, kayu bakar, pakan ternak, konservasi, bangunan, tali-temali, pembungkus, teknologi lokal dan lain-lainnya. Pengetahuan terhadap morfologi yaitu pencirian didapat dari leluhur mereka. Tata nama tumbuhan yang digunakan kebanyakan tunggal, sederhana yang utama digunakan untuk kebutuhan secara praktis dan mudah diingat, terutama tumbuhan yang bermanfaat


(9)

dalam kehidupannya seperti putihan (Buddleja asiatica), adas (Foeniculum vulgare) dan cemara (Casuarina junghuhniana). Upacara ritual adat berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan sangat menarik dan unik di masyarakat Tengger yang merupakan modal sosial (capital social) dan dasar dalam pengembangan wisata, serta lingkungan yang sangat mendukung.

Sistem pengetahuan tradisional terhadap keanekaragaman hewan sangat baik terutama jenis yang berada di lingkungannya. Hasil inventarisasi jenis hewan yang tercatat meliputi 120 jenis baik hewan liar di lingkungan, hewan peliharaan maupun yang dibudidayakan. Pemanfaatan keanekaragaman hewan dipergunakan sebagai bahan pangan, penunjang ritual adat, penunjang ekonomi rumah tangga, peliharaan serta keindahan lingkungan.

Keberlanjutan keanekaragaman hayati di wilayah Tengger sebagai wilayah penyangga harus dipertahankan, diperlukan dukungan dari pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Dinas terkait, Kantor Balai TNBTS, Perhutani, serta strategi pengembangan disegala bidang sesuai proposional wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, pelestarian, penyuluhan, pengawasan dalam kerangka dukungan terhadap daerah penyangga. Wilayah lahan desa masyarakat Tengger sangat cocok untuk budidaya sayuran seperti kentang, bawang prei, kobis, ercis, wortel, terong belanda, lombok terong, kopi, apel (Desa Gubuklakah, Kayukebek), kaya akan adat budaya unik sangat perlu dilestarikan, pengobatan tradisional, ritual adat, udara yang sejuk dan dingin di wilayah Tengger dengan obyek wisatanya masyarakat lokal maupun mancanegara perlu dikembangkan, digalakkan sebagai aset pariwisata Jawa Timur. Keberlanjutan ke depan desa Tengger dan sekitarnya tidak terlepas dari kesejahteraan masyarakat, sistem ekologi pegunungan Bromo Tengger Semeru saling ketergantungan dalam sebuah ekosistem, manusia serta adat sosial, keanekaragaman hayati dan lingkungannya. Kata kunci: Bromo Tengger Semeru, etnobiologi, pengetahuan tradisional,


(10)

(11)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(12)

(13)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT TENGGER

DI BROMO TENGGER SEMERU

JAWA TIMUR

JATI BATORO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo

Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc.


(15)

Judul Disertasi : Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur

Nama : Jati Batoro NRP : G363070081 Program Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS. Ketua

Dr.Ir. Tatik Chikmawati, M.Si. Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Dekan

Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan Judul Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Tatik

Chikmawati M.Si dan Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto DEA masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, saran dan kritikan untuk menyelesaikan tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud banyak memberikan inspirasi.

3. Dr. Ir. Kgs. Dahlan Wakil Dekan FMIPA IPB, Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono DEA mewakili Pogram Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pasca Sarjana IPB di ujian tertutup dan terbuka.

4. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan SPs-IPB, Dr. Ir. Miftahudin MSi.

5. Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito MS Rektor Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Marjono M.Phil Dekan FMIPA UB, Dr. Widodo M.Sc, Ketua Jurusan Biologi FMIPA dan Proyek I-MHERE UB, yang telah memberikan beasiswa program Doktor.

6. Dr. Rodiyati S.Si, M.Sc sebagai Ketua Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UB dan kolega Brian Rahardi M.Sc, Dra.Gustini Ekowati M.P, Dr. Serafinah Indriyani M.Si, Dr. Luqman Hakim M.Sc, Arifin dan Apriyono S.Si.

7. Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS), Kepala Perhutani Jawa Timur, Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang, Pasuruan, Lumajang dan Probolinggo.

8. Teman-teman dari Puslitbang Biologi LIPI Kebun Raya Pasuruan, Perhutani dan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS).

9. Petinggi Desa Ngadisari bapak Supoyo SH. MM, bapak Kartono Petinggi Desa Ngadas Kidul, bapak Sumartono Petinggi Desa Ngadas Wetan, para Petinggi Desa seluruh masyarakat Tengger serta staf. Koordinator Dukun Pandhita masyarakat Tengger bapak Mudjono, Dukun Pandhita bapak Sutomo, bapak


(18)

Supayadi, bapak Natrulin dan para Dukun Pandhita seluruh Tengger, Sesepuh Tengger, masyarakat Tengger di Malang, Pasuruan, Lumajang dan Probolinggo.

10. Kepada semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu secara materi dan non materi dalam penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.

11. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih secara tulus kepada istri tercinta Dra. Sri Suwanti atas dorongan, pengorbanan, kesabaran, pengertiannya, anak-anak tercinta Tectona Ekaningtyas S.KG. di FKG UNEJ Jember, Dian Apriliyani di UB dan Agnes Arimbi A. SMAN 9 Malang. Tidak lupa doa orang tua Sumardi WS (alm) dan Ibu Suyati serta mertua Hadi Sukarto (alm) dan Ibu Surtijah (alm), yang semasa hidup mendorong agar penulis dapat mecapai gelar akademik tertinggi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 25 April 1957, sebagai anak pertama pasangan Sumardi Widyo Sumarto Almarhum (KRT. Widyo Padmo Dipuro) dan Ibu RR. Suyati. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Pertama SMPN 1 Wates diselesaikan di Kulon Progo Yogyakarta dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan di Yogyakarta. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Biologi UGM, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Biologi FMIPA, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor diperoleh pada tahun 2007 pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan bantuan beasiswa proyek I-MHERE Universitas Brawijaya(UNIBRAW). Penulis bekerja sebagai staf pengajar bidang Taksonomi Tumbuhan dan ,Etnobotani pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahun Alam Universitas Brawijaya sejak tahun 1986, hingga sekarang.

Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian disertasi telah dipublikasikan, diantaranya sebuah artikel dengan judul Pengetahuan Fauna (Etnozoologi) Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur

diterbitkan pada Jurnal Biota (SSSN 0853-8670) Vol.17 (1) : 46-56, Februari 2012. Artikel lain yang berjudul: Pengetahuan Botani Masyarakat Tengger Di Bromo Tengger Semeru telah di terima untuk diterbitkan di Jurnal Wacana Vol 14 No (4) Oktober 2011; Ritual Entas-Entas Di Desa Tengger Ngadas Kidul Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang telah terbit di Jurnal Natural B, Vol 1.No (2) Oktober 2011. Karya Ilmiah lain yang berjudul Pemanfaatan Tumbuhan dan Hewan dalam Ritual Adat di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur telah disampaikan pada Seminar, Simposium dan Kongres PTTI (11-13 Oktober) di Bedugul Bali tahun 2011.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

1. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian ……… 4

1.5 Kebaharuan (Novelty)……… 5

1.6 Kerangka Pemikiran ………. 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

2.1 Etnobiologi ………... 9

2.2 Masyarakat Tengger ………. 11

2.3 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)………. 13

3. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN METODE PENELITIAN... 17

3.1 Lingkungan Fisik ……….. 17

3.1.1 Letak Geografi ……… 17

3.1.2 Geologi, Tanah dan Hidrologi ……… 17

3.1.3 Iklim ……… 18

3.2 Lingkungan Biologi ……….. 20

3.3 Lingkungan Sosial Budaya ………... 22

3.3.1 Aspek Sosial Budaya ……….. 22

3.3.2 Agama dan Kepercayaan ……… 25

3.3.3 Kepemimpinan Tradisional dan Lembaga Adat ………. 26

3.3.4 Bahasa Lokal Tengger ……… 27

3.3.5 Sistem Penguasaan Lahan (Tenurial System) ………. 28

3.4 Pendekatan Penelitian ………... 29

3.4.1 Etnoekologi ………. 29

3.4.2 Etnobotani ………... 28

3.4.3 Etnozoologi ………. 28

3.5 Konservasi Sumberdaya Tumbuhan……….. 30

4. ETNOEKOLOGI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO TENGGER SEMERU JAWA TIMUR………... 31 Abstrak ……… 31

4.1 Pendahuluan ………. 32

4.1.1 Latar Belakang………. 32

4.1.2 Tujuan Penelitian ………. 35

4.2 Bahan dan Metoda ……… 35

4.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 35

4.2.2 Alat dan Bahan ……… 36

4.2.3 Metode Penelitian ……… 36

4.2.3.1 Pendekatan Emik (pengetahuan) ……… 36


(22)

4.2.3.3 Analisis Vegetasi ………... 37 4.3 Hasil ……….. 38 4.3.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan ………... 38 4.3.2 Pengenalan Satuan-satuan Lingkungan menurut Konsep Tata

Ruang Masyarakat Tengger ……… 40 4.3.2.1 Kawasan Pemukiman ……… 41 4.3.2.2 Kawasan Pertanian ……… 49 4.3.2.3 Kawasan Sakral atau Keramat ……….. 63 4.3.2.4 Kawasan Hutan TNBTS ………. 67 5.1 Pembahasan ……….. 70 6.1 Simpulan ……….. 77

5. ETNOBOTANI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO TENGGER SEMERU JAWA TIMUR………...

81 Abstrak ……… 81 5.1 Pendahuluan ………. 82

5.1.1 Latar Belakang ……… 82 5.1.2 Tujuan Penelitian ………. 85 5.2 Bahan dan Metode ……… 85 5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 85 5.2.2 Alat dan Bahan ……… 86 5.2.3 Metode Penelitian ……… 86 5.2.3.1 Metoda Pengumpulan Data Sosial Budaya Masyarakat

Tengger ……… 86 5.2.3.2 Pengumpulan Data Etnobtani ……….. 86 5.2.3.3 Data Kualitatif ……….. 87 5.2.3.4 Pemilihan Narasumber ………. 87 5.2.3.5 Perhitungan Nilai Guna Jenis Tumbuhan Berguna …….. 88 5.3 Hasil ………. 93 5.3.1 Sosial Budaya Masyarakat Tengger ……… 93 5.3.1.1 Aspek Sosial Budaya ………... 93 5.3.1.2 Sistem Kepemimpinan Tradisional ……….. 94 5.3.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Keanekaragaman Jenis

Tumbuhan ………. 94 5.3.2.1 Pengetahuan botani lokal masyarakat Tengger... 95 5.3.2.2 Pengetahuan masyarakat Tengger tentang pemanfaatan

jenis tumbuhan ……… 99 5.3.3 Indek Kepentingan Budaya (ICS) ………...

5.4 Pembahasan ……….………. 171 5.5 Simpulan ………... 178

6. ETNOZOOLOGI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO

TENGGER SEMERU JAWA TIMUR ……….. 181 Abstrak ……… 181 6.1 Pendahuluan ………. 182

6.1.1 Latar Belakang ……… 182 6.1.2 Tujuan Penelitian ………. 184 6.2 Bahan dan Metode ………... 184


(23)

6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 184 6.2.2 Alat dan Bahan ………... 184 6.2.3 Metode Penelitian ………... 185 6.3 Hasil ……….. 185 6.3.1 Pemanfaatan Jenis dan Kategori Pengelompokannya…... 185 6.3.1 Keanekaragaman Hewan Sebagai Bahan Pangan …………... 187 6.3.3 Keanekaragaman Hewan Buruan ……… 188 6.3.4 Keanekaragaman Hewan Mempunyai Makna ……… 189 6.3.5 Keanekaragaman Hewan Sebagai Bahan Ritual Adat ……… 189 6.3.6 Keanekaragaman Hewan Ternak ………. 192 6.3.7 Keanekaragaman Hewan Peliharaan dan Pariwisata ………... 193 6.3.8 Keanekaragaman Hewan Liar di Lingkungan ………. 194 6.4 Pembahasan ……….. 201 6.5 Simpulan ……….. 204

7. PEMBAHASAN UMUM ……….. 205 7.1 Sosial Budaya, Adaptasi dan Pengelolaan Lingkungan

Masyarakat Tengger ……… 205 7.2 Keanekaragaman Hayati, Pengembangan Pertanian, Peternakan

dan Pariwisata di Wilayah Tengger ……… 211 7.3 Pembangunan Masyarakat Tengger Berkelanjutan di Wilayah

Tengger ………... 215 7.4 Strategi Konservasi wilayah Tengger ……….. 217

8. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 221 DAFTAR PUSTAKA ………. 227 LAMPIRAN ………... 235


(24)

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jumlah Penduduk di sembilan Desa masyarakat Tengger ………….... 24 2 Keanekaragaman jenis tanaman pekarangan sebagai bahan pangan … 45 3 Jenis-jenis tumbuhan sebagai indikator kesuburan tanah dan jenis

mengganggu tanaman budidaya di lingkungan ……… 62 4 Sistem kategorisasi lahan pada masyarakat Tengger………. 73 5 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani (Quality of use categories in ethnobotany)……….. 89 6 Kategorisasi intensitas penggunaan (Intensity of use) jenis tumbuhan

berguna ………. 92 7 Kategorisasi yang menggambarkan tingkat eklusivitas atau tingkat

kesukaan ……… 92 8 Terminologi untuk pengenalan dan karakterisasi tumbuhan pada

masyarakat Tengger ………. 98 9 Kategori pemanfaatan tumbuhan, jumlah jenis dan distribusi di

masyarakat Tengger ……….. 99 10 Keanekaragaman jenis tumbuhan bahan pangan (tanaman budidaya

dan non budidaya) di masyarakat Tengger ... 102 11 Kategori jenis penyakit di masyarakat Tengger, jumlah jenis

tumbuhan dan organ tumbuhan yang digunakan sebagai obat ……… 118 12 Keanekaragaman jenis tumbuhan obat di masyarakat Tengger………. 128 13 Keanekaragaman jenis tanaman hias di perumahan dan gubuk di

masyarakat Tengger ………... 134 14 Keanekaragaman jenis tumbuhan digunakan dalam ritual adat di

tempat sakral ………. 141 15 Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan ternak di masyarakat

Tengger ………. 159 16 Sebelas jenis tanaman dengan Nilai Indek Kepentingan Budaya (ICS)

tertinggi dan tinggi masyarakat Tengger ……….. 168 17 Kategori nilai ICS jenis tumbuhan bermanfaat masyarakat Tengger ... 169 18 Jenis tumbuhan liar yang berpotensi menurut masyarakat Tengger ... 171 19 Jumlah jenis hewan dimanfaatkan dan liar di masyarakat Tengger …. 187 20 Keanekaragaman jenis hewan ritual masyarakat Tengger ……… 191 21 Pengetahuan keanekaragaman jenis hewan: ternak, kegunaan dan

jenis hewan liar di lingkungan desa Tengger ……… 195


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka fikir studi Etnobiologi dalam kehidupan masyarakat

Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur ………... 7 2 Peta lokasi penelitian dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

(TNBTS)………... 19 3 (a) Pakaian adat SDN Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten

Probolinggo dan (b) Pure di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabuparen Lumajang ………... 25 4 Struktur organisasi Pemerintahan Desa dan Lembaga Adat masyarakat

Tengger ... 39 5 Sikap dan Pandangan Hidup masyarakat Tengger... 39 6 Rumah Tengger: (a) Dapur (Pawon) dengan tumang dan (b) Homestay

di Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan ……… 43 7 Pekarangan: (a) Tanaman hias, mawar (Rosa hybrida, tlotok

(Curculigo capitulata) dan (b) Jenis bahan ritual (Fuchia hybrida)… 44 8 Perkampungan Tengger: (a) Sistem perkampungan bergerombol Desa

Ngadiwono Kecamatan Tosari Pasuruan dan (b) Perkampungan Desa Ranupani Kecamatan Senduro Lumajan……….. 47 9 Sarana Desa: (a) Jalan Desa Ngadas Kidul dan (b) Padmasari di tepi

jalan Desa Ngadirejo Kabupaten Pasuruan... 48 10 Pertanian terasiring: (a) Batas Tegalan Desa Ranupani dan Zona Hutan

Rimba (TNBTS) dan (b) Lahan pertanian di Ngadas Kidul Kecamatan Poncokusumo ..……… 49 11 (a) Lokasi kerja sama antara pihak Perhutani dan Desa Gubuklakah

seluas 10 Ha dengan tanaman kopi, suren, jabon dan (b) Tanaman industri poo…………... 55 12 Peristiwa alam: (a) Jenis tumbuhan cemara mengalami kerusakan

akibat uap belerang dari gunung Bromo dan (b) Longsor lahan pertanian Desa Ngadiwono ………... 58 13 (a) Suasana meletusnya gunung Bromo dan (b) Suasana sekolah SDN

desa Putus (Ngadirejo)………. 58 14 Pola pertanian Gubuk-kandang di masyarakat Tengger ……… 60 15 (a) Gubuk serta kandang dan (b) Ternak sapi jantan di Desa Ngadas

Kidul Kecamatan Poncokusumo……….. 60 16 Tata guna lahan tradisional masyarakat Tengger Desa Ngadas Kidul

Kecamatan Poncokusumo: (a) Pedanyangan, (b) Wihara Paramita, (c) Pure,(d) Masjid, (e)Sanggar Pamujan, (f) Makam dan (g) Gubuk-kandang ………..

61 17 Padmasari di tepi jalan Desa Ngadirejo Kabupaten Pasuruan. 63


(28)

18 Tempat sakral: (a) Lahan makam di Desa Wonokitri dan (b) Sanggar Agung di Desa Ngadas Wetan………... 67 19 Sarana Desa: (a) Danau Ranupai (TNBTS) mengalami pendangkalan

dan (b) Lahan tegalan subur dengan latar belakang gunung Semeru... 70 20 Aktivitas pertanian: (a) Sigiran jagung dan (b) Menyiwil tanaman

tropong atau bawang prei di Desa Wonokitri …………... 112 21 Aktivitas pertanian: (a) Budidaya lombok kriting dan (b) Tanaman

budidaya lombok terong ………... 116 22 Sarana transportasi: (a) Konstruksi jembatan Desa Keduwung dari

kayu cemara dan (b) Transportasi kuda ..……… 118 23 Seni tradisional dan olah raga: Kesenian jaranan (a) dan (b) Olah raga

balap sepeda motor ………... 120 24 Seni tradisional: (a) Kesenian reyok Desa Wonotoro dan (b) Tayup di

Desa Ngadas Kidul……… 121 25 Peralatan rumah tangga: (a) Ibu di Desa Wonokitri menumbuk jagung

untuk bahan aron dan (b) Peralatan pertanian di gubuk…...……… 122 26 Tumbuhan obat: (a) Dringu dan (b) Jamur impes, (c) Aseman dan (d)

Kentang………... 131 27 Tanaman bumbu: (a) Ketumbar dan (b) Tanaman jarak………. 131 28 Upacara Yadnya Kasada: (a) Pure Poten di Lautan Pasir gunung

Bromo dan (b) Masyarakat menunggu sesaji tandur tuwuh (marit) di tebing kawah gunung Bromo………... 153 29 Upacara Yadnya Kasada: (a) Tempat Mulun (ujian Dukun Pandhita) di

Pura Poten pada acara Kasada dan (b) Tetamping di kaki gunung Bromo ……….. 153 30 Ritual Unan-unan: (a) Korban kerbau dengan seperangkat sesaji (foto

Purnomo) dan (b) Sanggar Pamujan Desa Poncokusumo Kabupaten Malang ………. 154 31 Acara ritual Karo: (a) Kesenian tari sakral Sodoran di Desa Jetak dan

(b) Nyadran Karo di makam Desa Ngadas Kidul………. 155 32 Acara ritual Entas-entas: (a) Ongkek serta macam sesaji dan (b)

pembacaan mantra di depan Petra oleh Dukun Pandhita………. 157 33 Acara ritual Entas-entas: (a) Iber-iber dalam ritual Entas-entas dan (b)

Wong Sepuh membakar Petra di Pedanyangan……… 158 34 Acara ritual Leliwet: (a) Mendirikan rumah oleh Dukun Pandhita dan

(b) Jumat Legi di Desa Wonokitri Kecamatan Tosari ………. 159 35 Dukun Pandhita Zaman Kolonial Belanda ……….. 167 36 Acara ritual: (a) Wisuda Sesepuh Tengger oleh Dukun Pandhita

Mudjono dan bapak Sutomo dan (b) Sendra tari Roro Anteng-Joko Seger di Bale Agung Desa Ngadisari ……….. 167


(29)

37 Peristiwa kebakaran: (a) Padang rumput Jomplangan TNBTS tahun 2011 dan (b) Bekas kebakaran hutan TNBTS tahun 2009………... 169 38 (a) Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan ternak di masyarakat

Tengger dan (b) Status jumlah jenis pakan ternak ……….. 170 39 Katagori nilai ICS tumbuhan berguna pada masyarakat

Tengger………. 177 40 Keanekaragaman jenis hewan pada saat Yadnya Kasada di kawah

gunung Bromo ………. 191 41 Pemanfaatan jenis hewan: (a) Pariwisata kuda dan (b) Hewan

peliharaan anjing ………. 191 42 Pengetahuan jenis hewan di lingkungan masyarakat Tengger…………. 201 43 Jumlah jenis hewan bermanfaat, pengganggu dan liar……….… 201 44 Interaksi sistem sosial dan ekosistem dari Rambo (1983)………….….. 209 45 Konsep peran, potensi, kegunaan dan konservasi keanekaragaman


(30)

(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Keanekaragaman jenis tumbuhan tegalan di lingkungan

masyarakat Tengger ... 237 2 Indek Nilai Penting (INP) jenis perdu di lahan tegalan masyarakat

Tengger………... 243 3 Nilai Indek Penting (INP) jenis herba di lahan tegalan masyarakat

Tengger ……….. 244 4 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di lahan Sanggar Pamujan

Desa Poncokusumo Kabupaten Malang ………... 246 5 Indek Nilai Penting (INP) keanekaragaman jenis perdu di Sanggar

Pamujan Desa Poncokusumo Kabupaten Malang ………. 249 6 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di lahan Komplangan

Perhutani Kabupaten Malang ………. 250 7 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di tegalan masyarakat

Tengger ……….. 251 8 Keanekaragaman jenis buah-buahan di masyarakat Tengger………. 252 9 Keanekaragaman jenis tumbuhan bumbu, pewarna, rokok dan

kecantikan ……….. 255 10 Keanekaragaman jenis tumbuhan bahan bangunan, teknologi lokal,

tali-temali, seni, pembungkus dan kayu bakar……… 257 11 Index of Cultural Significance (ICS) dan keanekaragaman jenis


(32)

(33)

1

 

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat suku Tengger merupakan penduduk asli Jawa yang menempati wilayah lereng deretan pegunungan Bromo Tengger Semeru sejak runtuhnya kerajaan Majapahit. Mereka mengisolir diri dan lebih senang hidup pada lingkungannya sendiri (Stibbe & Uhlenbeck 1921; DKDJPH & PABKSD IV 1984; Suyitno 2001). Masyarakat Tengger mempunyai tatanan yang disepakati bersama (pranata) serta adat sosial budaya khas dan unik, agama, kepercayaan, kesenian, bahasa serta organisasi sosial atau sistem kelembagaan sendiri. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup pada sektor pertanian, terutama pertanian tanaman kentang, bawang prei, kobis, jagung, wortel, dan sebagian kecil mengelola wisata, perdagangan maupun peternakan.

Masyarakat Tengger menghuni sebagian desa penyangga Taman Nasinal Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang meliputi empat Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Mereka sudah hidup turun temurun mulai dari nenek moyangnya yang dahulu menggantungkan kehidupannya berupa sumber daya hayati dari hutan dalam memenuhi kebutuhannya dengan pedoman bahwa hutan beserta isinya merupakan anugerah Sang Hyang Widhi untuk dimanfaatkan manusia agar kehidupannya sejahtera (DKDJPH & PABKSD IV 1984; DKDJPH & PABTNBTS 1999; Nurudin et al. 2004). Sebagian masyarakat Tengger menempati wilayah di dalam Zona Pemanfaatan Tradisional (enclave) meliputi Desa Ngadas dan Desa Ranupani, jauh sebelum TNBTS berdiri. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem Zonasi, mempunyai tujuan konservasi, penelitian, pendidikan dan kepariwisataan. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan Taman Nasional pada umumnya disebabkan keterbatasan anggaran dana pemerintah, sumber daya pengelola, kelemahan infrastruktur, serta belum harmonisnya hubungan antara pihak pengelola dengan masyarakat sekitar (Primack et al.1998; DKDJPH & PABTNBTN 1999; DKDJPH & PABTNBTS 2008).


(34)

2

 

Sebagaimana halnya masyarakat lainnya, masyarakat Tengger sebagian besar hidup pada sektor pertanian yang telah lama melakukan strategi, teknik adaptasi, teknik pengelolaan, teknik budidaya, teknik produksi, serta teknik pengobatan tradisional terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan (etnobiologi) sesuai dengan keadaan alam lingkungannya. Pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan lahan dari sumber daya hayati tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah dan adat-istiadat, tetapi juga kondisi sumber daya alam yang tersedia, kesuburan tanah, teknik peladangan dan etos kerja. Ketergantungan manusia terhadap keanekaragaman hayati serta tata cara kehidupan, sangat berkaitan dengan keanekaragaman budaya dari suatu masyarakat (Taylor 1990; Ellen 1993; Sandbukt & Wiriadinata 1994). Oleh sebab itu perlu ditelaah bagaimana konsep dan pemahaman serta penguasaan pengetahuan dari masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya hayati serta lingkungannya.

Dewasa ini telah banyak pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan dan hewan serta variasi jenis tumbuhan dan hewan telah hilang keberadaannya dari suatu masyarakat. Hal ini berarti hilangnya kearifan tradisional atau berbagai jenis tumbuhan dan variasinya yang belum sempat diketahui atau dikaji informasinya karena kondisi lingkungan berubah dengan cepat (Sastrapradja & Rifai 1989; Rifai 1994). Sistem pengetahuan yang berasal dari adanya akumulasi pengetahuan dalam berinteraksi dengan alam lingkungan yang berjalan lama, umumnya memiliki pranata, norma adat, yang merupakan bukti fundamental dari kondisi sosial budaya suatu kelompok masyarakat (Cotton 1996; Purwanto 2006 ).

Pengetahuan masyarakat lokal telah banyak memberikan kesempatan berharga bagi kita untuk memahami aspek ekologi lanskap lahan pegunungan, termasuk lanskap hutan di sekitar mereka. Apakah sistem pertanian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang mereka lakukan menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak, informasi ini juga akan membantu kita dalam memahami sejarah lansekap, perubahan lansekap dan pola-pola vegetasi masa lalu, sekarang dan mendatang. Ekosistem pegunungan merupakan fakta penting bagi fungsi ekologis dan konservasi keragaman hayati sumberdaya genetik baik


(35)

3

 

tumbuhan maupun hewan, namun rentan terhadap erosi tanah dan longsor yang mengakibatkan hilangnya keragaman hayati dan sumberdaya genetik maupun habitat (Odum 1971; Keating 1994, Primack et al. 1998). Berdasarkan latar belakang di atas, serta belum adanya penelitian yang mendasar pada bidang etnobiologi masyarakat Tengger terhadap pemanfaatan, pengelolaan keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan serta lingkungannya, sehingga mendorong kami penelitian terhadap kehidupan dan etnobiologi masyarakat Tengger dilakukan untuk penelitian disertasi ini.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi lingkungan biofisik dipengaruhi oleh proses adaptasi masyarakat Tengger. Oleh sebab itu kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati dapat menyebabkan ancaman bagi kelangsungan kehidupan mereka. Mereka memiliki ketergantungan pada lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti bahan pangan, bahan obat-obatan tradisional, bahan ritual, sumber ekonomi rumah tangga dan berbagai kebutuhan lainnya. Latar belakang sosial budaya dan ekonomi masyarakat Tengger dapat mempengaruhi perilaku dalam mengelola sumber daya alam hayati dan lingkungan sekitarnya. Hal ini yang mendasari dilakukannya penelitian etnobiologi pada masyarakat Tengger. Salah satu aspek yang dibahas dalam penelitian ini adalah sistem pengetahuan masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya alam hayati untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat Tengger tentang pengelolaan sumber daya hayati ini belum tergali dan sangat sedikit informasinya. Oleh karena itu pengetahuan masyarakat Tengger tersebut perlu untuk didokumentasi sebelum terdegradasi oleh pengaruh lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi serta intervensi budaya dari luar. Masalah lainnya adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Tengger dan keterbatasan sarana dan prasarana sehingga menyebabkan terjadinya keterbelakangan teknologi dan kemampuan beradaptasi serta kemampuan daya saing dengan masyarakat di sekitarnya. Keterbelakangan tingkat pendidikan masyarakat tersebut berkaitan erat dengan pandangan


(36)

4

 

masyarakat Tengger yang beranggapan bahwa “bersekolah yang tinggipun masyarakat Tengger akan kembali ke ladang”. Dari uraian permasalahan tersebut maka perlu dilakukan studi etnobiologi masyarakat Tengger untuk mengetahui strategi masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya hayati dan selanjutnya dapat dijadikan pijakan dalam pengembangan dengan pengelolaan sumber daya hayati yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi dan pengembangan secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dari teknologi adaptasi yang dilakukan masyarakat Tengger terhadap kondisi lingkungan tempat mereka beraktivitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati serta lingkungannya serta pengaruh yang ditimbulkannya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang sistem pengelolaan sumber daya hayati (tumbuhan dan hewan) yang meliputi keanekaragaman jenis, kegunaan dan cara pemanfaatannya, pengaruh dan cara pengembangannya.

2. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang lingkungan di sekitarnya meliputi persepsi dan konsepsi, pembagian tata ruang satuan lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkan serta strategi pengembangannya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran baru tentang pengembangan interdisiplin bidang etnologi dan biologi untuk menganalisis dan mengevaluasi hubungan saling ketergantungan antara masyarakat Tengger sebagai produsen (informan) dalam mengelola pola fikir (corpus) dan memanfaatkan (praxis) sumberdaya di lingkungan tempat mereka bermukim. Dengan demikian antara informan, corpus dan praxis menjadi bagian yang penting untuk menjelaskan


(37)

5

 

proses adaptasi yang terjadi sebagai akibat hubungan keterkaitan antara masyarakat Tengger dengan lingkungannya.

2. Melengkapi khasanah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat Tengger berkaitan dengan suku-suku di Indonesia. Memberikan sumbangan pemikiran ilmiah secara komprehensif tentang hubungan masyarakat Tengger dengan sumber daya alam hayati dan lingkungannya.

3. Memberikan sumbangan data ilmiah aspek etnobiologi masyarakat Tengger yang dapat dijadikan dasar pertimbangan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dari masyarakat Tengger.

1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty)

1. Pengetahuan Masyarakat Tengger tentang keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan dan hewan, kegunaan dan potensinya.

2. Pengetahuan Masyarakat Tengger tentang pengelolaan lingkungan dan pembagian tata ruang di kawasan Pegunungan Bromo Tengger Semeru.

3. Pengetahuan tentang teknologi adaptasi masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya hayati dan lingkungannya

1.6 Kerangka Pemikiran

Perbedaan aspek historis, sosial, ekonomi dan budaya dapat mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Tengger dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hayati dan lingkungannya. Kehidupan masyarakat yang sebagian besar bersumber dari sektor pertanian tersebut sangat bergantung dari sumber daya alam hayati dan lingkungannya. Hubungan masyarakat Tengger dengan alam lingkungannya terlukis dari konsep pengelolaan sumber daya hayati dan lingkungannya, cara pengelolaan dan pemanfaatannya, satuan lansekap yang terbentuk, keanekaragaman jenis hayati yang terdapat di setiap satuan lingkungan dan bentukan karakteristik setiap satuan lingkungan yang ada. Studi ini memaparkan dan menganalisis bagaimana masyarakat Tengger mengelola dan memanfaatkan keanekaragaman sumber daya hayati dan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kepentingan subsisten maupun kepentingan ekonomi rumah tangganya.


(38)

6

 

Kondisi biofisik alam pegunungan Tengger yang memiliki topografi berbukit dan bergunung dengan kemiringan hingga mencapai 70o, suhu yang dingin (kondisi ekstrem bisa mencapai 0oC), berkabut dan kelembaban yang tinggi memiliki pengaruh terhadap strategi adaptasi masyarakat Tengger. Kemampuan masyarakat Tengger dalam mengembangkan strategi adaptasi tersebut adalah dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam hayati yang ada secara optimal guna mencukupi kebutuhannya. Strategi masyarakat Tengger dalam mengeksploitasi sumber daya hayati dan lingkungannya telah memunculkan bentuk-bentuk satuan lingkungan yang masing-masing memiliki karakteristik spesifik sesuai dengan pemanfaatan dan nilai gunanya.

Masyarakat Tengger memiliki pengetahuan dalam mengelola keanekaragaman jenis sumber daya hayati dan lingkungan serta mengembangkan sistem produksi di Pegunungan Bromo, Tengger dan Semeru dengan kondisi tipe ekosistem yang spesifik. Pengetahuan tersebut telah mampu digunakan untuk mempertahankan eksistensi diri masyarakat Tengger dari tekanan baik dari luar maupun tekanan dari alam. Pengetahuan pengelolaan sumber daya hayati, sistem produksi dan teknologi adaptasi yang dikembangkan masyarakat Tengger tersebut merupakan sumber pengetahuan yang harus digali dan dianalisis untuk mengetahui kesahihannya, sehingga pengetahuan yang dikembangkan masyarakat Tengger tersebut dapat bermanfaat bagi pengembangan kawasan tersebut secara berkelanjutan. Alur pikir studi ini disajikan dalam Gambar 1.

Batasan penelitian etnobiologi pada disertasi ini hanya meliputi etnoekologi, etnobotani dan etnozoologi masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur.


(39)

7

 

Gambar 1 Kerangka fikir studi Etnobiologi dalam kehidupan masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur.

 

Historis, sosial budaya-ekonomi mempengaruhi

perilaku kehidupan masyarakat terhadap sumber daya hayati, lingk.

Sumber daya alam hayati dalam kehidupan masyarakat Tengger

Lingkungan alam (ekosistem) pada masyarakat Tengger

Pengetahuan sumber daya hayati, keanekaragaman jenis, pemanfaatan dan pengelolaan

Tata ruang, bentuk satuan lingkungan, pandangan (corpus)

dan praktek pemanfaatan, pengelolaan (praxis)

Adaptasi terhadap kondisi lingkungan biofisik

STRATEGI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT

TENGGER BERKELANJUTAN Pengetahuan sumber daya hayati

Tumbuhan (Etnobotani ) dan hewan (Etnozoologi)

Pengetahuan lingkungan (Etnoekologi)


(40)

(41)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobiologi

Sumber daya alam pada dasarnya menyediakan penghuninya untuk dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelangsungan kehidupannya. Manusia sebagai bagian dari unsur penghuni bumi paling mudah untuk menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungan dimana mereka bermukim. Melalui daya cipta, rasa dan karsa manusia melakukan adaptasi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang diperoleh dari lingkungannya, sehingga setiap kelompok masyarakat atau etnik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dalam mengelola sumber daya alam hayati di lingkungannya. Indonesia yang mempunyai banyak pulau besar maupun kecil dihuni oleh berbagai suku dengan sistem adat maupun budaya yang bermacam-macam. Masing-masing suku tersebut memiiki kemampuan adaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Etnobiologi adalah bidang ilmu yang menelaah tentang hubungan menyeluruh antara budaya manusia dengan keanekaragaman hayati meliputi pola pikir, persepsi, konsepsi, pemanfaatan dan pengelolaannya. Menurut Berlin (1992), Sukarman dan Riswan (1992) etnobiologi merupakan ilmu interdisipliner yang mempelajari manusia atau suku dengan lingkungan sumberdaya hayati tumbuhan dan hewan serta mikroorganisme, yang berkaitan dengan pengetahuan, pengelolaan dan penggunaannya. Di Indonesia etnobiologi belum banyak dikenal, namun dalam praktek terutama ahli biologi dan antropologi bidang ini menjadi perhatian karena kegunaan dan status keberadaannya. Etnobiologi berkembang dengan adanya fakta bahwa budaya suku bangsa dalam memanfaatkan sumber daya alam hayati berbeda-beda bergantung pada sumber daya alam dan lingkungannya.

Friedberg (1990) dan Ellen (1993) mempelajari etnobiologi suku Bunaq di pulau Timor, suku Nuaulu di Pulau Seram Tengah yang mengkaitkan dunia tetumbuhan dan hewan dari cara pengenalan, penggolongan (klasifikasi) dan pemanfaatannya. Cara pendekatan dalam pengetahuan tradisional adalah dengan pendekatan ekonomi atau kajian cara pemanfaatan jenis tumbuhan, pendekatan


(42)

10

kognitif dan analisis sosial budaya dalam mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap dunia tumbuhan dan lingkungannya serta pendekatan ekologis dan ekologi kebudayaan bagaimana mengelola sumber daya alam dan lingkungannya (Purwanto 2006). Dengan demikian ruang lingkup etnobiologi merupakan ilmu yang komplek meliputi berbagai disiplin ilmu antropologi, botani, zoologi, arkeologi, paleobotani, fitokimia, ekologi, ekonomi, pertanian, kehutanan, ekowisata dan biologi konservasi, selain itu kajiannya dapat memberikan gambaran, peran serta dorongan terhadap pembangunan berkelanjutan (Berlin 1992; Toledo 1992; Keating 1994; Fandeli 2002; Dede 2007).

Bukti-bukti paleobotani menunjukkan bahwa ketergantungan manusia terhadap keanekaragaman hayati sudah diketahui semenjak prasejarah, sehingga peran manusia atau kelompok suku, etnis dengan segala cara kehidupannya sangat menentukan nasib lingkungannya. Sumber daya nabati, pengetahuan tradisional, adaptasi teknologi serta lingkungan alam akan mengalami kepunahan apabila masyarakat, warga negara, pemerintah tidak proaktif, arif terhadap suku atau masyarakat tradisional (tradisional people).

Etnobotani menurut Cotton (1996); Purwanto (2006) dan Waluyo (2008) merupakan ilmu interdisipliner dengan pendekatan holistik hubungan manusia dengan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hubungan kultural, keanekaragaman hayati, dan lingkungan dapat bersifat menguntungkan tetapi juga merugikan. Aspek interdisipliner ini meliputi etnofarmakologi, etnomedisional, etnogynaekologi, etnopediatrik, etnoortopedik, etnooptalmologi, etnoagrikultur, etnotoksikologi, etnomusikologi, etnoekologi, etnofitokimia, etnolinguistik, etnokosmetika dan lain-lain. Martin (1988) dan Cotton (1996) menjelaskan etnobotani adalah ilmu yang mempelajari keseluruhan hubungan langsung antara manusia dan tumbuhan untuk apa saja kegunaannya. Sedangkan Rifai dan Waluyo (1992), berpendapat etnobotani sebagai cabang ilmu yang mendalami hubungan budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya, dalam hal ini lebih diutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam sistem pengetahuan anggotanya terhadap tumbuhan dalam lingkungan hidupnya.


(43)

11 

Etnoekologi muncul karena adanya pandangan baru ilmu ekologi yaitu keberlanjutan (sustainability). Titik awal studi etnoekologi adalah pemahaman terhadap alam, kebudayaan dan aspek produksi. Sehingga studi etnoekologi selain memperhatikan aspek alamiah juga mempertimbangkan aspek kebudayaan masyarakat atau etnik dalam melakukan proses produksi. Jadi etnoekologi merupakan disiplin ilmu menyeluruh menggabungkan aspek intelektual dan praktis, meletakkan pusat analisisnya pada proses kongkrit secara menyeluruh dari suatu kelompok budaya suatu etnik dalam proses produksi dan mereproduksi material alam. Masyarakat tradisional diketahui memiliki banyak pengetahuan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam secara lestari, sesuai dengan kondisi wilayahnya. Etnoekologi merupakan dasar hubungan manusia dengan lingkungannya yaitu pemahaman tentang kebudayaan, alam dan faktor produksi (Toledo 1992; Sukarman 1992).

2.2 Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu Dharma, sejak lama telah menghuni lereng-lereng pegunungan Bromo Tengger Semeru pada ketinggian antara 800–2200 m di atas permukaan laut. Persebaran wilayahnya terletak di kabupaten tingkat II Malang, Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang. Sebagian masyarakat Tengger mendiami daerah penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Stibbe & Ulenbeck 1921; DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim 2004; DKDJPH & PABTNBTS 2008).

Masyarakat Tengger dengan pengalaman yang telah teruji terhadap alam lingkungan pegunungan, sehingga mempunyai seperangkat pengetahuan, sistem pertanian, sistem nilai budaya, sistem kemasyarakatan, sistem kelembagaan, sistem kepercayaan dan keagamaan. Tatanan kepemimpinan, tata ruang, kesenian, hak tanah, adat budaya, teknologi tradisional, pengobatan, adat perkawinan, pantangan, perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan dan pasaran, sehingga mempunyai tatanan sosial (social order) mantap. Sistem pengetahuan tradisional sangat berhubungan dengan adat istiadat budaya, tradisi serta persepsi yang merupakan ungkapan pola fikir didalamnya terkandung tata nilai, norma, kaidah dan sumber daya hayati serta alam lingkungannya (DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).


(44)

12

Berdasarkan prasasti Walandit (Desa Walandit) berangka tahun 851 Saka (929 M), masyarakat Tengger berasal dari kerajaan Majapahit, dikenal sebagai wong Majapahit yang dibebaskan dari pajak (tetileman) dan dipersembahkan pada gunung Bromo (Bataviaasch Geootschap Voor Kunsten en Wetenschappen Notulen tahun 1899 dalam DKDJPH & PABKSD IV (1984), dimana para penghuni dianggap sebagai Hulun Spiritual Sang Hyang Widhi Wasa, mereka menempati tempat suci (hila-hila). Berdasarkan prasasti Kumbolo, kitab Pararaton dan menurut kepercayaan mereka masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng putri Majapahit dan Joko Seger, putra seorang pertapa. Masyarakat Tengger mempunyai sifat gotong royong yang kuat, jujur, memegang teguh sistem nilai adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu yang mengedepankan musyawarah berlandaskan kasih sayang (Welas Asih Pepitu) yaitu Welas Asih marang Bapa Kuasa, Syang Hyang Widhi, Welas Asih Ibu Pertiwi serta tanah dan lingkungannya, Welas Asih Bapa Biyung, Welas Asih Rasa Jiwa, Welas Asih Sepadane Urip, Welas Asih Sato Kewan dan Welas Asih Tandur Tinuwuh. Kesemuanya merupakan ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan turun temurun secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang mereka, roh ada pada setiap benda, manusia, hewan maupun tumbuhan (DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).

Menurut Stibbe dan Ulenbeck (1921) suku Tengger menempati wilayah Distrik Kandangan, Distrik Pakis (vroeger Toempang), Distrik Pasuruan dan Distrik Probolinggo. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sekarang ditemukan lebih dari 33 Desa Tengger, yang sebagian besar dari desa tersebut merupakan daerah penyangga TNBTS (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Nurudin

et al. 2004). Hasil sensus penduduk tahun 1930 jumlah masyarakat Tengger adalah 10.000 jiwa, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 30.000 jiwa dan sekarang jumlah masyarakat Tengger diperkirakan 50.000 jiwa yang tersebar di empat Kabupaten (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim, 2004). Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan deretan pegunungan Tengger dan Jambangan (Semeru) dengan Taman Nasional (TNBTS), Perhutani serta kekhasan tradisi yang berasal dari kerajaan Majapahit merupakan modal utama untuk dikembangkan sebagai obyek wisata budaya. Masyarakat Tengger telah


(45)

13 

mempratekkan sistem pertanian pada kondisi tanah lereng pegunungan terjal dan bersuhu dingin, dengan membuat teras (Strip Croping), menggunakan pembatas pepohonan terutama cemara gunung (Casuarina junghuhniana).

Masyarakat Tengger sangat paham tentang bagaimana cara mengatur dan memanfaatkan tata ruang (lanskap) dalam membangun tempat tinggal maupun praktek tradisi pertaniannya. Tempat tinggal saling berdekatan dengan yang lain, tanpa pagar. Rumah adat belum diketahui secara pasti, akan tetapi rumah adat diperkirakan terbuat dari kayu atau bambu dengan atap berupa klakah (bambu dibelah) atau alang-alang. Bentuk bangunan selalu dilengkapi perapian (tumang), lincak dan tempat duduk (dingklik) yang berfungsi untuk tempat berkumpulnya semua anggota keluarga untuk berdiskusi atau menerima tamu (Suyitno 2001; Sukari et al. 2004).

Pertambahan penduduk, rendahnya pendidikan dan keterbatasan luas lahan serta keterbukaan dengan masyarakat lain sedikit demi sedikit akan mempengaruhi pola serta nilai kehidupan masyarakat Tengger yang sebagian besar menempati Desa penyangga. Oleh sebab itu diperlukan pengumpulan data yang akurat sebelum terjadi erosi atau degradasi pengetahuan lokal, keanekaragaman hayati, kemungkinan juga kerusakan hutan sekitar mereka. Pengetahuan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan maupun hewan dan lingkungan oleh masyarakat tradisional sudah banyak hilang sebelum ditulis oleh peneliti, namun disisi lain kita ingin menggunakan sumber nabati alami, seperti obat tradisional, kosmetika, model perumahan (back to nature).

2.3 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Kawasan Bromo Tengger Semeru dijadikan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Pertanian No: 736/MentanIX/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 58.000 Ha. Pada tahun 1997 dilakukan penunjukan kawasan TNBTS dengan SK Menhut No. 278/KPTS-IV/1997, tanggal 23 Mei 1997 dengan luas 50.267,20 Ha. Pada tahun 2005 berdasarkan Menteri Kehutanan SK No: 178/Menhut. II/2005 tentang Penetapan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 50.276,20 Ha yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Wilayah TNBTS sebelumnya merupakan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan lindung dan


(46)

14

Hutan produksi. TNBTS dikelola berdasarkan Zonasi meliputi Zona Inti 22.006 Ha, Zona Rimba 23.485,20 Ha, Zona Pemanfaatan Intensif 425 Ha, dan Zona Rehabilitasi 2.000 Ha, yang terletak di pegunungan Bromo, Tengger Semeru pada ketinggian berkisar 750–3.676 m dpl serta dikelilingi area hutan Perhutani. Berdasarkan perbedaan tinggi tempat dan suhu, formasi hutan TN.BTS dibagi menjadi tiga Zona yaitu Sub Montane (750-1.500 m dpl); Zona Montane (1.500– 2.400 m dpl) dan Zona Sub Alpin (2.400 m dpl keatas) (Van Steenis 1972; DKDJPH & PABTNBTS 1999; Sardiwina et al. 2002 ).

Gunung Bromo (2.392 m dpl masih aktif), gunung Widodaren (2.600 m dpl) serta Pure Poten di lokasi lautan pasir merupakan tempat untuk upacara Yadnya Kasada bagi masyarakat Tengger. Letak kawasan TNBTS meliputi sebelah utara deretan pegunungan Tengger, dan sebelah selatan komplek pegunungan Jambangan (gunung Semeru). Di komplek gunung Jambangan (Semeru 3.676 m dpl masih aktif), sering dipergunakan untuk pendakian dan merupakan obyek wisata alam menarik serta sering diadakan upacara oleh para pendaki pada setiap tanggal 17 Agustus. Suhu udara di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berkisar 3°C –20°C, suhu terendah pada musim kemarau dapat mencapai dibawah 0°C. Jenis tanah adalah regusol dan litosol, warna mulai dari kelabu, coklat, coklat kekuningan sampai putih, tekstur pasir lepas sampai lempung berdebu. Di TNBTS terdapat empat buah danau (ranu) yaitu Ranu Regulo (0.75 Ha), Ranu Pani (1 Ha), Ranu Kumbolo (14 Ha) dan Ranu Darungan (0.5 Ha), 25 sungai, 28 sumber mata air dan dua air terjun (BKDJPH & PABTNBTS 2008).

Tugas-tugas Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan satwa serta pemanfaatan secara lestari potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk kepentingan budidaya, pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, sosial budaya, rekreasi dan wisata alam. Sejak tahun 1992 TNBTS dikelola oleh Kantor TNBTS sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan dan berdasarkan SK No: 185/kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 menjadi Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTNBTS). Melalui Peraturan Menteri


(47)

15 

Kehutanan No: P.02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 manjadi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Kelas IB (DKDJPH & PABTNBTS 2008). Pada dasarnya daerah penyangga berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai macam kegiatan yang dapat merusak potensi sumber daya alam Taman Nasional.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang BTNBTS, sebagai pengelola dan pemangku kawasan tidak terlepas dari gangguan dan ancaman yang salah satunya ditimbulkan oleh masyarakat desa penyangga di sekitar kawasan hutan. Secara administratif kawasan TNBTS dikelilingi 63 desa penyangga 23 desa diantaranya adalah desa Tengger, tersebar di 17 kecamatan dan 4 Pemda TK II Kabupaten yaitu Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Sebagian dari masyarakat penyangga mempunyai ketergantungan terhadap potensi sumber daya alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pada wilayah hutan lindung tidak boleh digunakan untuk pemukiman maupun dimanfaatkan, sedangkan hutan lindung dan wilayah Taman Nasional dengan pembagian Zonasi merupakan wilayah hukum de facto wilayah tersebut (Barber 1999).

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki lebih kurang 1.025 jenis tumbuhan termasuk di dalamnya 226 jenis anggrek, 138 tanaman hias, dan 187 tanaman obat-obatan, dan fauna yang telah teridentifikasi sebanyak 158 jenis satwa liar yang terdiri dari 130 jenis burung, 22 jenis mamalia, 6 jenis reptil dan jenis-jenis hewan yang dilindungi yaitu kijang (Muntiacus muncak), trenggiling (Manis javanica) dan macan tutul (Panthera pardus), kera abu-abu (Macaca fascicularis), burung rangkong (Buceros rhinoceros) (DKDJPH & PABTNBTS 1997).


(48)

(49)

17

3. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PENDEKATAN PENELITIAN

3.1Lingkungan Fisik 3.1.1 Letak Geografi

Kawasan Bromo Tengger Semeru merupakan rangkaian pegunungan yang, meliputi komplek pegunungan Tengger dan Jambangan terletak pada ketinggian 750 – 3.676 m dpl, membentang 40 km dari Utara ke Selatan dan 20 – 30 km dari Timur ke Barat dengan topografi kawasan di dominasi gunung, bukit serta lekuan atau lembah yang diakibatkan erosi masa lalu (DKDJPH & PABTNBTS 1999; DKDJPH & PABTNBTS 2008).

Masyarakat Tengger sebagian menempati daerah penyangga dan berbatasan dengan kawasan konservasi TNBTS dan Perhutani berupa hutan produksi dan hutan lindung. Desa Ranupani Kabupaten Lumajang dan Desa Ngadas Kabupaten Malang merupakan daerah penyangga yang berada di dalam wilayah konservasi TNBTS. Beberapa desa Tengger yang berada di luar kawasan Taman Nasional merupakan desa penyangga yang berbatasan atau tidak berbatasan dengan kawasan konservasi (Gambar 2).

3.1.2 Geologi, Tanah dan Hidrologi

Berdasarkan peta Geologi Jawa dan Madura dengan skala 1:500.000 dari direktorat Geologi Indonesia tahun 1963, kawasan Bromo Tengger Semeru terbentuk dari gunung api kuarter muda sampai tua, sedangkan jenis tanah adalah regosol dan litosol, yang merupakan abu dan pasir vulkanik bersifat permiabilitas sangat tinggi, lapisan teratas mudah terkena erosi, warna tanah mulai dari abu-abu, coklat sampai coklat kekuningan, putih dan struktur tanah pasir sampai lempung berdebu (DKDJPH & PTNBTS 2009). Tanah kawasan Tengger yang terdiri dari debu, pasir dan liat merupakan faktor penting dalam penyebaran vegetasi. Kawasan Bromo Tengger Semeru mempunyai tata air radikal (Radical Drainase Pattern), artinya pada saat musim kemarau air permukaan sulit didapatkan. Hal tersebut disebabkan air hujan jatuh dipermukaan tanah selanjutnya merembes melalui sebaran tanah serta batuan gunung. Pada musim penghujan, sungai mengalir di beberapa sungai, tidak meluap, namun air sebagian


(50)

18

tertampung di danau (ranu) atau merembes masuk ke dalam tanah. Wilayah Bromo Tengger Semeru (TNBTS dan Perhutani) mempunyai peranan sangat penting dalam pengaturan tata guna air, baik terhadap masyarakat Tengger maupun masyarakat sekitar meliputi wilayah Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, dimana sumber air mengalir melalui 50 anak sungai. Selain itu juga terdapat 4 danau terdiri Ranu Darungan, Ranu Pani, Ranu Kumbolo dan Ranu Regulo (DKDJPH & PABTNBTS 1999).

3.1.3 Iklim

Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Berdasarkan peta wilayah hujan, dataran rendah bagian utara dan selatan mempunyai tipe iklim kering dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.000-2.000 mm/tahun, sedangkan bagian tengah merupakan dataran tinggi, daerah perbukitan dan pegunungan mempunyai iklim basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000-3.000 mm/tahun. Dibandingkan dengan wilayah pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan yang lebih sedikit dengan curah hujan rata-rata 1.900 mm/tahun, dan musim hujan berlangsung selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar antara 21-34°C, suhu di daerah pegunungan lebih rendah, bahkan di daerah Ranupani (lereng gunung Semeru), suhu bisa mencapai minus 4°C yang menyebabkan turunnya salju yang lembut. Suhu udara kawasan Bromo Tengger Semeru berkisar antara 3-20°C, suhu udara mencapai puncaknya pada musim kemarau 3-5°C, suhu maksimum berkisar antara 20–22°C. Berdasarkan klasifikasi tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson (1951) kawasan Bromo Tengger Semeru termasuk iklim B dengan nilai Q sebesar 14.36% dan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun (DKDJPH & PABTNBTS 1999). Bagian laut pasir dan sekitarnya termasuk iklim C dengan nilai Q sebesar 43.86% dengan curah hujan rata 166 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 9.28 hari/bulan. Kelembaban udara kawasan Bromo Tengger Semeru antara 42%-97% dengan tekanan udara 1.007-1.015 mm Hg.


(51)

19

Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Gubugklakah

Ngadas

Ranu Pani

Argosari Pandansari Ngadisari

Ngadas Keduwung

Wonokitri Mororejo 

Ngadirejo

Lumajang Probolinggo Pasuruan


(52)

20

3.2 Lingkungan Biologi

Secara umum masyarakat Tengger menempati wilayah pegunungan Bromo Tengger Semeru yang mempunyai tipe ekosistem didasarkan pada ketinggian tempat dari permukaan laut, suhu dan formasi hutan yaitu ekosistem hutan pegunungan bawah atau Sub Montane, ekosistem hutan hujan pegunungan atas atau Zona vegetasi Montane. Desa-desa Tengger terletak pada ketinggian 800 -2.100 m dpl, suhu rata-rata 10-20°C, dengan lingkungan bekas hutan telah berubah menjadi lahan tegalan yang ditanami tanaman budidaya sayur mayur. Jenis budidaya sayur meliputi kentang (Solanum tuberosum), bawang prei (Allium fistulosum), kobis (Brassica oleracea), ucet (Vigna sinensis), wortel (Daucus carota), sawi (Brassica juncea). Untuk konservasi masyarakat Tengger mengandalkan tanaman lokal cemara gunung (Casuarina junghuhniana), putihan (Buddleja indica), trabasan (Artemisia vulgaris), cubung (Brugmansia suaneolens), paitan (Tithonia diversifolia), mentigi (Vaccinum varingiefolium), klandingan (Albizia lophanta), akasia (Acasia decurrens) suren (Toona sinensis),

jabon (Ardina cordifolia) dan keningar (Cinnamomum burmanii)

Wilayah Bromo Tengger Semeru juga mempunyai ekosistem khas yaitu Lautan Pasir (Kaldera), danau, ekosistem kawah dan padang rumput. Zona Sub Montana ditandai kekayaan jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis paling tinggi dan termasuk hutan hujan tropis dataran rendah pegunungan. Jenis tumbuhan berupa tegakan hutan pohon tinggi sehingga membentuk lapisan tajuk, tumbuhan epifit liana, terna dan semak. Zona vegetasi Sub Montana memiliki struktur yang kompleks dibanding dengan Zona vegetasi lainnya. Jenis-jenis pepohonan yang paling dominan meliputi jenis dari anggota suku Moraceae, Anacardiaceae, Lauraceae, Fagaceae, Sterculiaceae, Anacardiaceae, Rubiaceae dan Euphorbiaceae.

Selain beranekaragam jenis pohon di Zona Sub Montana juga terdapat tumbuhan epifit, dari suku Polypodiaceae, Hymenophyllaceae, Lycopodiaceae, Marattiaceae, Orchidaceae, Marchantiacae dan Bryophyta. Berbagai jenis tumbuhan bawah dari suku Arecaceae seperti Pinanga coronata, suku Pandanaceae yang meliputi Pandanus tectorius, Freycentia insignis, suku Begoniaceae, Poaceae, Polypodiaceae, Zingiberaceae dan suku Asteraceae seperti


(53)

21

paitan, kerinyu, tehan, trabasan, tanaman anting-anting (Fuchsia hybrida), anggrek dan jenis paku pohon (Cyathea tenggeriensis).

Pada vegetasi Zona Montana jenisnya mulai berkurang meliputi jenis cemara gunung, paku pohon, mentigi, kemlandingan gunung, akasia, edelweiss (Anaphalis longifolia) dan senduro (Anaphalis javanica). Tumbuhan bawah meliputi tumbuhan paku-pakuan, anggota suku Poaceae meliputi alang-alang (Imperata cylindrica), bambu jajang (Gigantochlea apus), bambu betung (Dendrocalamus asper) dan rumput merak (Themeda sp), Cypeaceae dan Asteraceae. Lautan pasir ditumbuhi adas (Foeniculum vulgare), alang-alang, paku-pakuan dan pusek (Eupatorium sp).

Jenis-jenis eksotik yang ditanam sekitar masyarakat Tengger seperti damar (Agathis lorantifolia) dari Maluku, Pinus merkusii, Eupatorium palescens, Bidens pilosa, poo (Melaleuca leucadendron), Acasia iliciformis, apel (Pyrus malus), keningar, jabon, suren dan mindi (Melia azedarach) (DKDJPH & PABTNBTS 1995; DKDJPH & PABTNBTS 1997).

Hewan liar yang menghuni daerah Tengger dan kawasan Bromo Tengger Semeru berdasarkan catatan tahun 1996-1997 diketahui ada 113 jenis fauna terdiri dari 22 jenis mamalia, 85 jenis burung, dan 6 jenis reptilia. Jenis yang terdapat di hutan dan sekitar perumahan penduduk meliputi Kijang, macan tutul (Panthera pardus), kucing hutan (Felis bengalensis), ajak (Cuon alpinus) landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanicus), kera abu-abu (Macaca fascicularis), budeng (Presbytis cristata), kancil (Tragulus javanicus), lutung (Trachypitecus auratus). Jenis burung meliputi alap-alap (Accipiter sp), burung bido (Spilormis chella), rangkong (Buceros rhinoceros), elang bondol (Haliatur indus), srigunting (Dicrurus macrocercus), raja udang (Halcion capensis), tulung tumpuk (Megalaima sp) dan belibis ada di sekitar danau (DKDJPH & PABTNBTS 1997). Hewan peliharaan di wilayah masyarakat Tengger meliputi babi (Sus srofa), sapi (Bos taurus), kambing (Capra aegragrus), kucing (Felis silvestris), anjing (Canis lupus), burung dara (Columba livia) dan ayam kampung (Gallus gallus).


(54)

22

3.3Lingkungan Sosial Budaya

3.3.1 Aspek Sosial Budaya

Sistem sosial masyarakat berkembang bersamaan dengan struktur sosial yang berpengaruh terhadap perubahan sistem sosial masyarakat. Fenomena tersebut juga terjadi di desa-desa di lingkungan masyarakat Tengger. Mereka dikenal sebagai suku Tengger, wong Tengger atau wong Majapahit, dimana masyarakatnya lugu, sederhana, jujur serta menyukai kehidupan dalam harmoni dan kedamaian. Perubahan dan perkembangan sosial tersebut menyebabkan terbentuknya unit-unit sosial yang berkembang dari sistem lama dan akan mengalami perubahan.

Masyarakat sederhana ditandai adanya kelembagaan yang terintegrasi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara aturan-aturan dan tuntutan. Mereka mempunyai sistem pertanian, kelembagaan, kemasyarakatan, kepercayaan dan upacara keagamaan, kepemimpinan, dan adat budaya yang unik. Upacara adat, kesenian tradisional, teknologi tradisional, hak tanah, pengobatan, pantangan, perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan dan pasaran merupakan bentuk adaptasi kehidupan mereka. Sistem pengetahuan tradisional sangat berhubungan dengan adat istiadat budaya, tradisi serta persepsi yang merupakan ungkapan pola pikir yang didalamnya terkandung tata nilai, norma, kaidah dan sumber daya hayati serta alam lingkungan sekitar (DKDJPH & PABKSD 1984; Widyoprakosa 1994; Suyitno 2001). Masyarakat Tengger mempunyai sifat gotong royong yang kuat, jujur, memegang teguh adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu yang mengutamakan musyawarah berlandaskan Welas Asih Pepitu yang merupakan ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan secara turun temurun secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang mereka adanya roh pada setiap benda, sampai pada manusia, hewan maupun tumbuhan (Suyitno 2001; Widyoprakosa 2004).

Gunung Bromo sebagai tempat upacara Yadnya Kasada dipercaya sebagai tempat suci. Puncak upacara Yadnya Kasada bertempat di Pure Poten dan diadakan pada tengah malam hingga pagi hari, pada setiap bulan purnama bulan Kasada atau bulan kesepuluh berdasar penanggalan Tengger. Salah satu hasil


(55)

23

karya kesenian tradisional mereka adalah tari sodoran dan ujung-ujungan yang dimainkan pada perayaan hari besar Karo. Gamelan serta tari sodoran merupakan cerminan zaman kebesaran kerajaan Majapahit. Struktur komposisi para penari dan pemain mirip dengan struktur kerajaan masa lalu. Desa Tengger mempunyai berbagai macam kesenian seperti jaran kepang, lodrok, ketoprak, bantengan, kerawitan, tayuban, wayang kulit, tari topeng, sodoran, ujung-ujungan, tayup dan reog. Cara berpakaian masyarakat Tengger sangat unik yaitu selalu memakai sarung dislempang (disilangkan) baik laki-laki maupun perempuan, yang sudah dilakukan turun temurun dan digunakan baik sehari-hari maupun sebagai pakaian adat. Budaya api-api sebagai adat dalam kehidupan menyebabkan konsumsi kayu bakar tinggi karena tidak hanya berfungsi seagai penghangat badan dan ruangan, namun juga untuk memasak. Pertambahan penduduk Tengger relatif rendah, karena keberhasilan Program Keluarga Berencana (KB) dan kesadaran akan keterbatasan luas lahan. Keadaan tersebut mempengaruhi pola serta nilai kehidupan masyarakat Tengger yang harmoni.

Suatu ciri khas masyarakat Tengger, dimana desa mempunyai tempat sakral seperti Danyangan dan Sanggar Pamujan. Tempat tersebut berkaitan dengan Dukun Pandhita, adat Tengger, tradisi Karo, Kasada dan Unan-unan. Pakaian adat Tengger selalu terdiri dari sarung, ikat kepala dengan udeng atau blangkon untuk laki-laki, ketu untuk perempuan, secara antropologi seperti orang Jawa, namun bagian pipi sedikit memerah dan terutama kelihatan pada anak-anak Tengger.

Masyarakat Tengger sebagian besar berpendidikan sekolah dasar (SD), seperti yang dijumpai pada warga Desa Keduwung yang warganya sebagian besar berpendidikan SD hal ini dapat dimaklumi, karena letak sekolah untuk tingkat SLTP jauh dari desa serta jalannya sulit dijangkau. Selain itu adanya pepatah orang Tengger yang berpendapat bahwa “pergi ke sekolah tinggipun akhirnya akan pulang mengolah ladang kembali”. Oleh karena itu mereka lebih baik membantu orang tua mengolah lahan pertanian. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat Tengger lebih menyukai tempat tinggal di lingkungannya sendiri. Namun sekarang pendapat sebagian masyarakat mulai berubah, dimotori oleh Petinggi Desa Ngadisari bapak Supoyo SH, MM, yang menerapkan secara adat


(56)

24

bagi yang mau menikah minimal harus lulus SLTA. Hal ini disadari Petinggi Desa Ngadisari yang mempunyai wawasan atas keberlanjutan pembangunan wilayah Tengger serta pemberdayaan antar generasi ke depan. Mungkin dengan pendekatan adat masyarakat akan tergerak terutama dalam bidang pendidikan berbasis lokal. Menurut Anwar dalam Nurudin et al. 2004 masyarakat Tengger meliputi 33 desa, sedang menurut bapak Dukun Pandhita Mudjono sekarang ada sejumlah 41 desa Tengger. Jumlah penduduk di sembilan desa masyarakat Tengger pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Penduduk di Sebelas Desa masyarakat Tengger

No Nama Desa Jumlah KK Jumlah Jiwa

1 Pandansari 1.050 3.263

2 Ngadas Wetan 184 517

3 Ngadisari 343 1.493

4 Argosari 477 1.539

5 Ranupani 400 1.289

6 Gubuklakah 839 2.919

7 Ngadas Kidul 422 1.297

8 Ngadirejo 484 1.032

9 Mororejo 337 1.395

10 Keduwung 391 1.557

11 Wonokitri 624 2.400

Jumlah 5.460 18.701

Desa-desa Tengger telah mempunyai SDN, SLTP, sedang SLTA ada di masing-masing Kecamatan. Desa Ngadisari tersusun atas 440 KK dengan jumlah penduduk 1553 orang terdiri dari tingkat pendidikan TK 12 orang, SD 863 orang (Gambar 3a), SLTP 424 orang, SLTA 80 orang, Akademi 3 orang, sarjana (S1-S3) 42 orang (Anonim 2009). Masyarakat Tengger pada masa lalu rata-rata berpendidikan SD, namun dengan kesadaran penduduk terutama generasi mudanya nampaknya mulai melanjutkan ke tingkat SMP. Peralatan di Balai Desa sudah mempunyai komputer dan beberapa perangkat Desa telah dapat mengoperasikan secara baik, sedangkan dalam bidang olah raga masyarakat tidak ketinggalan seperti halnya masyarakat lain meliputi sepak bola dan bola voli.


(57)

25

3.3.2 Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Tengger pada awalnya mempunyai agama tersendiri yang termasuk agama Hindu-Budha dengan corak lokal. Sesuai dengan surat keputusan dari Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Timur tanggal 6 Maret 1973 No.00/PHB Jatim/Kept/III/73 agama yang dianutnya adalah Budha Mahayana. Adat kepercayaan masyarakat Tengger terpengaruh paham animisme serta cerita mitos dan legenda, dimana menurut kepercayaan mereka gunung Bromo-Semeru merupakan tempat suci dan keramat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat Tengger sangat taat kepada adat budaya mereka yang telah diwariskan leluhur dan memiliki ikatan pergaulan budi pekerti serta menjadi ikatan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta seperti Hindu Bali, tetapi mereka mempunyai orientasi kepada Panca Srada yaitu kepercayaan kepada Sang Hyang Widi, Tuhan Pencipta Alam, Kepercayaan kepada Atma roh leluhur, kepercayaan kepada Karma Pala (hukum sebab akibat), kepercayaan kepada Punar Bawa (reinkarnasi), kepercayaan kepada Moksha (Sirna). Namun masyarakat Tengger juga menganut filsafat hidup atau Kawruh Budha (pengetahuan Watak) yaitu Prasojo, Prayogo, Pranoto, Prasetyo dan Prayitno.

Gambar 3 (a) Murid SD SDN Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dengan menggunakan pakaian adat; (b) Pure Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.

Dalam perjalanannya masyarakat Tengger ada mempertahankan Budha Mahayana, Hindu Dharma, Islam dan Kristen. Pure dipergunakan untuk upacara agama Hindu (Gambar 3b) meliputi Galungan, Nyepi, Saraswati, Pagar Wesi,

b a


(1)

137 Kenikir Tagetes erecta L. 8 138 Keningar Cinnamomum burmanii Bl. 24 139 Kenongo Cananga odorata Hook.f.& Th. 25 140 Kentang Solanum tuberosum L. 72 141 Kersen Muntingia calabura L. 16 142 Kerut Maranta arundinacea L. 12 143 Kerinyu Eupatorium inulifolium H.B.K. 144 Kesek Dodonaon viscose Jaeq. 6 145 Kesemek Diospyros kaki L. 8

146 Ketanan Paspalum sp 6

147 Ketirem Ipomoea sp 24

148 Ketiu/menjari Sonchus javanicus L. 12 149 Ketumbar Coriandrum sativum L. 16 150 Kidangan/kayu

kidang

Photinia notoniana W. et A. 16 151 Kipres Casuarina rumphiana Miq. 24 152 Klandingan Albizia lophanta (Wild.) Bth. 32 153 Klembak Rheum officinale Baill. 6 154 Klopo Cocos nucifera L. 78 155 Kobis Brassica oleracea L. 61 156 Koleus Coleus acutellaroides L. Benth. 6 157 Kolonjono Hierochloe horsfieldii 6 158 Kopi Coffea arabica L. 60 159 Krangean Abrus rosaefolius L. 9

160 krokot Portulaca oleracea L. 6

161 Kucei Zephyranthes grandiflora 12 162 Kunci Scheffera aromatic L. 12 163 Kuningan/trebah Widelia montana(Bl.) Boerl. 9 164 Kunyit/kunir Curcuma domestica Val. 21 165 Kuping gajah Athurium clarinervum 6 166 Kupu-kupu Sesbania grandiflora (L.) Pers. 6 167 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lam.)

de Wit.

31 168 Laos Alpinia galanga (L.) Wild. 18 169 Lempuyang Zingiber serumbet (L.) Sm. 9 170 Lengkeng Lechi sinensis Sonn. 16 171 Lerak Sapindus rarak L. 9 172 Lidah buaya Aloe vera Mill. 18 173 Lidah mertua Sansevieria trivfasciata Prain. 12 174 Lili Crinum asiaticum L. 12  


(2)

175 Litus Brassicaceae 12 176 Lo gondang Ficus glomerata Roxb. 9 177 Lobak daikong Raphanus sativus L. 21 178 Lobak liar Raphanus sativus L. 18 179 Locari Michelia champaca L. 12 180 Lombok besar Capsicum anuum L. 21

181 Lombok kriting Capsicum anuum L. 21 182 Lombok rawit Capsicum frutescens L. 18

183 Lombok terong Capsicum sp 25

184 Lombok udel Solanum capiscastrum L. 12 185 Lulangan Eleusine indica Gaertn. 9

186 Magdalea/ria n Rosa sp 6

187 Mahoni Swietenia mahagoni Jacq. 42 188 Mangga Mangifera indica L. 12

189 Manggis Garcinia mangostana L. 11 190 Mangkoan Nathopanax scutellarium

(Burm.f.) Merr.

9 191 Maribang Hibiscus rosa-sinensis L. 6 192 Mawar Rosa hybrida Hort. 16 193 Melati Jasmicum sambac (L.) W. Ait 16 194 Mendong Fimbristylis globulosa (Retz.)

Kunth.

12 195 Mentigi Vaccinum varingiaefolium (Bl.)

Miq.

20 196 Menuran Eriogrostis amabilis 6 197 Merakan Themeda gigantea (Cav.) Hack. 9

198 Meranti Shorea acuminata Dyer. 16 199 Mindi Melia acedarach L. 16

200 Mladean Scurulla montana 6 201 Mrico Piper nigrum L. 16

202 Nanas Ananas comusus Merr. 17

203 Nyampuh Litzea volutina Boerl. 26 204 Pacar Lawsonia inermis L. 12 205 Paku jangan Diplazium esculentum Swartz. 8 206 Paku menjangan Platicerium bifurcatum C.Chr. 6 207 Paku pohon Cyathea contaminans (wall.ex

Hook.) Copel.

24 208 Paku sarang Drynaria quercifolia J.Sm. 6 209 Paku sepat Neprolepis biserrata Schott. 6 210 Paku tangkur Sellequa heterocarpa Bl. 2


(3)

211 Paku tengger Cyathea tenggeriensis 24 212 Palem cina/jari Raphis exelta Henry ex Render 6 213 Palem kuning Chrysalidocarpus lutescens 6 214 Palem raja Roystonea regia O.F.Cook. 6 215 Pampung Unanthe javanica 24 216 Pandan mendong Fimbristylis globulosa (Retz.)

Kuntz.

20 217 Pandan rambat Freycinetia insignis 6 218 Pandan ri Pandanus tectorius Soland. Ex.

Park.

8 219 Pandan suji Pleumele angustifolia (Roxb.)

N.E.Brown

15 220 Pandan wangi Pandanus amaryllifolius Roxb. 40

221 Pari Oryza sativa L. 90

222 Pari apo Leersia hexandra 6 223 Patah tulang Euphorbia tirucalli L. 6 224 Pelawo Tristania obovata Benn. 20 225 Penitian Glericidae sepium (Jacq.) Walp. 8 226 Pepaya Carica papaya L. 33

227 Permenan Mentha piperita L. 3

228 Pepagan Centela asiatica Urb. 9 229 Petungan/greges

otot

Equisetum debile Roxb. 13 230 Piji Pinanga coronata Blume 20 231 Pinjalan Capillipedium parviflorus

(R.Br.) Stapf.

9 232 Pinus Pinus merkusii Jung& De.Vr. 32

233 Pisang agung Musa paradisiaca L. 28 234 Pisang ambon Musa paradisiaca L.cv. Ambon 63

235 Pisang candi Musa paradisiaca L. cv. Candi 28 236 Pisang cici Musa paradisiaca L. 36 237 Pisang gajih Musa paradisiaca L. cv. Gajih 30 238 Pisang hutan Musa acuminata 43 239 Pisang nongko Musa paradisiaca L. cv.

Nongko

30 240 Pisang raja Musa paradisiaca L. cv. Rojo 64

241 Pisang rajomolo Musa paradisiaca L. 24 242 Pisang salaloso Musa paradisiaca L. 34 243 Pisang salek Musa paradisiaca L. cv.Salik 73

244 Pisang-pisangan Heliconia rostrata 6  


(4)

245 Pohong Monihot esculenta Crantz. 40 246 Pokak Solanum torvum Sw. 6

247 Poo lanang Melaleuca leucadendron L. 24 248 Poroan Polygonum chinense L. 6

249 Poo wadon Melaleuca leucadendron L. 24 250 Prenjalin Calamus javensis Bl. 30 251 Pronojiwo Euchresta horsfieldii (Lesch.)

Benn.

6 252 Pukul empat Mirabilis jalapa L. 6 253 Pulosari Alyxia reinwardtii L. 9 254 Pulutan Triumfetta bartrania Lour. 9 255 Puring Codiaeum variegatum (L.) Bl. 10 256 Purwoceng Pimpinella pruacan Molkenb. 9 257 Pusek Gynura procumbens (Lour.)

Merr.

6 258 Putihan Buddleja asiatica Lour. 32 259 Ranti Solanum nigrum L. 21 260 Resep Tylophora villosa 9 261 Ri Mimosa invisa Mart. 6 262 Riwilkop Mimosa pudica L. 6 263 Rukem Flacourtiaceae rukam Zoll.&

Mor.

9 264 Salak Salacca edulis Reinw. 16 265 Salam Eugenia polyantha Wight. 17 266 Samboja Plumeria acuminata Ait. 12 267 Sawi ireng Brassica rapa L. 44 268 Sawi putih Brassica juncea Cosson 44

269 Sawian Nostorticum sp 17

270 Sempretan Eupatorium sp. 24

271 Sempur Dillenia ovata Wall. 26

272 Sendei Brassicaceae 10

273 Senduro Sindora javanica (K.& V.) Beck.

25 274 Senggani Melastoma polyanthum Bl. 5 275 Sengketan Achyranthes bidentata Bl. 6 276 Sengon/johar Albizzia procera (Roxb.) Benth. 12

277 Sengon laut Albizia falcata Back. 20 278 Senikir Tagetes erecta L. 38

279 Sereh Adropogon citrates DC. 12 280 Sesuruhan Piperomia pellucid (L.) Kunth. 12


(5)

281 Sintok Cinnamomum sintoc Bl. 9

282 Sirih Piper betle L. 29

283 Siyem Sechium edule (Jacq.)Swart. 21 284 Sledri Apium graviolens L. 22 285 Soka Ixora paludosa Kurz. 16 286 Spinak Spinacia oleracea L. 10

287 Srigotong Arundinella setosa Trin. 9 288 Srikoyo Carica pubescens 26

289 Srikoyo Annona squamosa L. 16 290 Srunen Widelia biflora D.C. 6 291 Stroberi Fragraria vesta L. 24

292 Sundel Polianthes tuberosa L. 20 293 Suplir Adiantum tenerum Sw. 6

294 Suren Toona sureni M.Roem. 22 295 Suripandak Plantago mayor L.S.L. 9 296 Sidoguri Sida rhombifolia L. 6 297 Susuh angin Usnea dasypoga (Acharius)

Nylander

12 298 Tales/mbote Calocasia esculenta (L.) Schott. 40 299 Tali putri Cassytha filiformis L. 4 300 Tanalayu Anaphalis longifolia 29 301 Tapak doro Catharanthus roseus (L.) G.

Don.

13 302 Tasbih Canna hybrida Hort. 10

303 Tebu Sacharum officinarum L. 12 304 Tebu ireng Sacharum officinarum L. 30

305 Tehan/tegelan Eupatorium riparium Reg. 6 306 Teki Cyperus brevivolius L. 6

307 Teki Cyperus rotundus L. 6

308 Teki Cyperus monocephalus L. 6 309 Teki hias Cyperus papyrus L. 4 310 Telanan Convolvulaceae 2 311 Telekan/waung Lantana camara L. 22 312 Telo rambat Ipomoea batatas (L.) Lamk. 26 313 Tembakau/mbako Nicotiana tabacum L. 37 314 Temu Curcuma xanthorhiza Roxb. 12 315 Temu ireng Curcuma aeroginosa Roxb. 6 316 Temu lawak Curcuma xanthorhiza Roxb. 21

317 Tespong Opuntea sp. 6


(6)

318 Tepung otot/greges otot

Stellaria saxatilis Ham. 6 319 Tereside Glirecidae sepium (Jacq.) Walp. 4 320 Terong londo Cyphomandra betacea Sendtn. 26 321 Tewel Artocarpus heterophylla Lamk. 39

322 Teh Thea sinensis L. 24

323 Telasih Eupatorium inulifolium H.B.K. 24 324 Timun Cucumis sativus L. 18

325 Tiris Iris tectorium 5

326 Tlotok Curculigo capitulata O.K. 29 327 Tomat Lycopersicum esculentum Mill. 20

328 Trabasan/saung Atemisia vulgaris L. 12 329 Trembesi Samaea saman Merr. 2

330 Triwulan/telasih Eupatorium rotundifolium 18 331 Turi Sesbania grandiflora Pers. 2

332 Ucet Vigna sinensis (L.) Hassk. 16 333 Ulan-ulan Tinospora coriacea (Bl.)

Beumee.

6 335 Waron Abelmonchus moschatus Medik.. 6 336 Waru Hibiscus tiliaceus L. 20 337 Wlingi/teki rawa Cyperus kyllingia Endl. 2 338 Wortel Daucus carota L. 56 339 Yodium/racun Jatropha multifida L. 12 Jml 326 jenis