90
BUMN dan PT.
114
Sosialisasi mengenai privatisasi BUMN oleh negara c.q pemerintah juga menjadi peran negara. Penolakan terhadap privatisasi yang terjadi baru-baru ini
lebih banyak disebabkan kurangnya pemahaman dari pihak-pihak yang terkait dengan BUMN yang akan diprivatisasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
proses privatisasi BUMN. Untuk memperkecil resiko penolakan di masa yang akan datang, seyogyanya dilakukan sosialisasi yang memadai tentang maksud dan
tujuan, sasaran, serta strategi yang diambil oleh pemerintah dalam rangka melakukan privatisasi untuk BUMN tertentu. Selain itu, sosialisasi terhadap
sistem dan prosedur privatisasi harus dilaksanakan, terutama kepada pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan privatisasi BUMN.
115
Hal-hal tersebut diatas merupakan peran dan wewenang yang dimiliki oleh negara sebelum adanya privatisasi. Tentunya apabila privatisasi BUMN telah terealisasi,
maka akan terjadi pergeseran dari status kepemilikan dan juga mengurangi peran dan wewenang negara di dalam BUMN yang telah di privatisasi. Namun hal itu harus dilihat
dari seberapa besar negara kehilangan sahamnya dalam suatu perusahaan.
B. Kendala Hukum dalam Privatisasi BUMN
Salah satu agenda “program penyesuaian struktural” yang paling banyak mengundang kontroversi dalam lima tahun belakangan ini adalah pelaksanaan
privatisasi BUMN. Agenda yang semula diharapkan dapat turut mempercepat proses pemulihan ekonomi Indonesia itu ternyata tidak hanya cenderung
114
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
115
Purwoko,
Op.Cit
., hlm 21.
Universitas Sumatera Utara
91
mengundang keresahan, tetapi juga cenderung menyeret bangsa Indonesia ke proses yang rumit. Salah satu faktor yang turut memicu mencuatnya perlawanan
terhadap agenda yang diperintahkan oleh Dana Moneter Internasional IMF itu adalah adanya keinginan yang sangat kuat pada sejumlah kalangan untuk
memaksakan pelaksanaannya. Dengan atau tanpa alasan yang jelas, privatisasi seolah-olah telah ditetapkan terlebih dulu sebagai satu-satunya cara yang tepat
untuk mereformasi BUMN.
116
Kebijakan privatisasi BUMN pada dasarnya menyangkut kehidupan orang banyak dan keberlangsungan hidup masyarakat. Sehubungan dengan itu sangat
wajar apabila kebijakan privatisasi BUMN menjadi perhatian bagi berbagai kalangan, lebih-lebih bagi sasaran kebijakan privatisasi BUMN yang
bersangkutan. Untuk itu suatu kebijakan privatisasi perlu dirumuskan secara tepat agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan atau kontroversi. Dengan kata
lain, kebijakan privatisasi yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang baru, bahkan sering kali menimbulkan kontroversi dikalangan
masyarakat, terutama yang terkena imbas dari kebijakan privatisasi tersebut. Privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak
mendatangkan manfaat karena terus merugi. Misalnya kasus penjualan saham PT. Semen Gresik Group kepada Cemex. Kebijakan ini ditolak oleh serikat pekerja
Semen Gresik SPSG dengan melakukan mogok kerja. Sementara itu, ada
116
http:ekonomikerakyatan.ugm.ac.idMy20Webrevrisond.htm diakses pada tanggal 17 Juli 2015
Universitas Sumatera Utara
92
sebagian masyarakat berpikir secara realistis. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN
tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
117
Pelaksanaan privatisasi yang terjadi sampai saat ini masih terkesan ruwet, berlarut-larut, dan tidak transparan. Dikatakan ruwet karena tidak adanya aturan
yang jelas tentang tata-cara dan prosedur privatisasi. Proses privatisasi dari setiap BUMN dilakukan dengan prosedur dan perlakuan yang berbeda. Pelaksanaan
privatisasi juga terkesan berlarut-larut. Keputusan yang sudah diambil pemerintah tidak bisa dengan segera dilaksanakan, karena berbagai alasan. Keputusan untuk
menentukan pemenang tender privatisasi juga tidak ada aturan atau formula yang jelas, sehingga terkesan pemerintah kurang transparan dalam proses privatisasi.
118
Selanjutnya Barclay dan Birkland mengemukakan bahwa “sebuah hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat maka akan
menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu
sendiri.” Pendapat ini mengindikasikan bahwa agar tidak terjadi pelanggaran danatau gugatan di kemudian hari, suatu kebijakan privatisasi harus dirumuskan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitan itu, semakin tinggi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum maka
117
Purwoko,
Op.Cit
., hlm. 3.
118
Ibid.,
hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
93
kebijakan privatisasi yang ditetapkan dapat memiliki legalitas yang semakin kuat, sehingga kemungkinan terjadi gugatan atau penolakan dapat diminimalkan.
119
Kegagalan pelaksanaan privatisasi juga disebabkan adanya penolakan terhadap privatisasi BUMN. Penolakan terhadap privatisasi BUMN dapat dilihat
dari maraknya demo-demo untuk menentang privatisasi BUMN, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun karyawan BUMN. Penolakan terhadap
privatisasi juga datang dari pihak-pihak tertentu seperti Direksi BUMN, Pemerintah Daerah, DPR, dll. Berbagai alasan dikemukakan oleh pihak-pihak
tertentu untuk menolak privatisasi BUMN, antara lain:
120
1.
privatisasi dianggap merugikan negara;
2.
privatisasi kepada pihak asing dianggap tidak nasionalis;
3.
belum adanya bukti tentang manfaat yang diperoleh dari privatisasi;
Tujuan dari diadakannya privatisasi BUMN adalah untuk meningkatkan kinerja BUMN dan juga meningkatkan keuntungan dari BUMN itu sendiri. Tetapi pada
kenyataannya, banyak kendala-kendala yang terjadi di dalam pelaksanaan privatisasi BUMN dan kendala-kendala tersebut lebih banyak berasal dari aspek hukum ketimbang
berasal dari aspek ekonomis ataupun politis. Setidak-tidaknya, terdapat tiga kelompok permasalahan yang berkenaan dengan privatisasi:
121
1. Masalah politik, dimana suksesnya pelaksanaan privatisasi sangat bergantung pada
kualitas politik pengambilan keputusan. Sangat sulit untuk menjelaskan kepada masyarakat awam tentang keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan swasta. Hal
119
Naihasy, Syahrin,
Kebijakan Publik Public Policy: Menggapai Masyarakat Madani
Yogyakarta: Mida Pustaka, 2006, hlm. 95.
120
Ibid.
121
Maria Sevia L. Perangin-angin,
Op.Cit
., hlm. 63.
Universitas Sumatera Utara
94
yang penting dilakukan adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa tindakan itu adalah tepat untuk dilakukan. Perencanaan, persyaratan dan keterbukaan diperlukan
untuk membentuk kembali sikap masyarakat berkenaan dengan maslah kepemilikan sehingga tetap aman. Sikap negatif sering terjadi berkenaan dengan
pemasukan modal asing. 2.
Masalah hukum dan ekonomi yang berada dibawah kekuasaan negara. Mekanisme ekonomi pasar merupakan hal yang menetukan kebijakan privatisasi.
Hukum harus merupakan dasar dilakukannya privatisasi agar dapat menjamin dalam merumuskan proses privatisasi, dan penjualan saham perusahaan kepada
karyawannya dengan potongan harga. Pemilihan perusahaan untuk di privatisasi merupakan masalah lain yang lebih sulit. Secara umum sebaiknya privatisasi
dilakukan kepada perusahaan yang secara profesional masih visible. 3.
Masalah teknis, masalah utama yang menjadi perhatian adalah penilaianpenafsiran aset yang ditawarkan untuk dijual. Untuk itu, harus ada suatu badan sebagai komisi
independen yang antara lain bertugas mengatur saham, manaksir nilai aset yang akan diprivatisasi.
Profitisasi yang mengarah kepada privatisasi BUMN, baik berupa divestasi total maupun yang partial, dimata publik selalu memiliki dimensi ganda, pro dan kontra.
Dimensi ganda itu tergantung pada perspektif dan mazhab perekonomian yang dianut oleh suatu bangsa. Penganut mazhab sosialisme pasti tidak setuju dengan privatisasi.
Argumentasinya berkisar pada kepentingan tenaga kerja dan kepentingan negara. Dalam suatu pemerintahan, dimana partai sosialis menjadi mayoritas, agenda penjualan
perusahaan negara, pasti tidak ada. Lain halnya dengan negara yang bermazhab
Universitas Sumatera Utara
95
liberalisme, pasti setuju dengan privatisasi. Argumennya berkisar pada pasar bebas, efisiensi dan minimalis intervensi pemerintah. Penganut paham liberal, menganggap di
tangan swasta produktivitas lebih efisien dan menguntungkan. Swastalah sebagai pemegang kendali produksi, pemerintah hanya cukup sebagai regulator.
122
Pihak yang tidak setuju dengan privatisasi selalu berpandangan bahwa BUMN bukan hanya mesin uang, tetapi sebagai agent of development dan agent of sosial
change. Kenyataannya, banyak investor tidak tertarik pada usaha-usaha yang return of
investment- nya rendah atau memakan waktu lama untuk pengembalian modalnya,
walaupun keberadaannya dinilai penting di suatu daerah. Demikian juga terhadap usaha- usaha yang tingkat investasinya tidak terjangka, tetapi peranannya sangat strategis.
Pendapat tidak setuju privatisasi dalam kerangka tersebut tidak salah, oleh karena itu perlu pemilahan antara esensi manfaat dan esensi efisien dari suatu manajemen unit
usaha. Dengan demikian amanat yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 terpenuhi secara bulat.
123
Kendala-kendala program privatisasi dimulai dari landasan filosofis BUMN Pasal 33 UUD 1945 sampai dengan peraturan-peraturan pelaksanannya. Pasal 33 adalah
pasal yang kabur yang mungkin disebut meta-meta norma yang sangat abstrak dan sulit diterjemahkan. Kekaburan utama terkait privatisasi dapat dilihat pada ayat 2 dan 4
aturan ini yaitu pada kata-kata cabang produksi yang penting bagi negara; menguasai hajat hidup orang banyak; dikuasasi oleh negara; dan demokrasi ekonomi.
124
122
Safri Nugraha,
Privatisasi Perusahaan Milik Negara Ditinjau dari UUD 1945
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2011, hlm. 99-100.
123
I
bid.
124
Wuri Adriyani,
Op.Cit
., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
96
Kata “dikuasai negara” sering disalah artikan sebagai “negara menguasai”, yang lebih condong berarti
negara sebagai “penyelenggara,” “pelaku ekonomi” ondernemer enterpreuner
sehingga negara dianggap sebagai pemilik. Kata dikuasai negara seharusnya lebih di tekankan pada arti negara sebagai pengatur regulator atau
pengontrol. Sedangkan menurut Jimly Ashiddiqie, konsep Pasal 33 adalah konsep negara pengurus welfare state yang merupakan masukan dari Muhammad Hatta.
Dalam konsep negara pengurus, negara memang diharapkan turut bertanggung jawab untuk mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara orang
miskin. Hal inilah yang menjadi dasar pencantuman Pasal 33 dan 34 dalam UUD 1945, dalan Bab XIV dengan judul Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan
Sosial. Dengan demikian pencapaian kesejahteraan sosial, tidak semata-mata menjadi tanggung jawab rakyat, tetapi juga tanggung jawab pemerintah karena
rakyat dalam segi keuangan bergantung pada pemerintah sebagai penguasa.
125
Demikian halnya dengan kekaburan makna “cabang produksi yang penting
bagi negara” dan “hajat hidup orang banyak,” sampai sekarang sulit diterjemahk
an. Privatisasi terkait dengan “cabang produksi yang penting bagi neg
ara” atau “hajat hidup orang banyak,” yang harus dikuasai negara, merupakan sebuah peluang dan dilemma , t
ergantung pada pengartian kata “dikuasai” di atas. Pada dasarnya privatisasi adalah upaya untuk menghilangkan konsentrasi
kepemilikan, baik oleh pemerintah ataupun swasta. Dengan demikian sangatlah sulit melaksanakan program privatisasi dengan sistem ekonomi suatu negara yang
belum jelas ditetapkan. Dalam situasi semacam ini maka dilema penguasaan
125
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
97
negara akan terus bergeser sesuai dengan kondisi keuangan negara dan trend privatisasi sebagai pemecah masalah k
euangan negara. Kata “dikuasasi” pada Pasal 33 dan empat macam larangan privatisasi bagi Persero, dalam Pasal 77 UU
BUMN sebenarnya dapat dipakai sebagai negative list yang cukup. Tetapi karena sifat pengaturannya abstrak dan terlalu umum, maka selain menjadi peluang juga
dapat menjadi kendala pelaksanaan program privatisasi. Seharusnya Undang- Undang BUMN sebagai peraturan di bawah konstitusi, menterjemahkan isi Pasal
33 dengan ketentuan yang tidak bersifat abstrak atau umum, sebab Undang- Undang BUMN adalah undang-undang yang mengatur sektor ekonomi.
Sedangkan Pasal 33 adalah landasan seluruh peraturan perekonomian negara.
126
Pengertian kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ketentuan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menurut Muhammad Hatta adalah negara tidak harus secara
langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah
membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak adanya
keharusan bagi negara untuk menyelengarakan cabang-cabang produksi tersebut menurut Muhammad Hatta memberikan peluang kepada swasta untuk
menyelengarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
127
126
Ibid.,
hlm. 16.
127
Aminuddin Ilmar,
Op.Cit
., hlm. 55.
Universitas Sumatera Utara
98
Ketentuan-ketentuan yang masih bersifat abstrak dan tidak tegas pada pengaturan tentang privatisasi dalam UU BUMN antara lain dapat dilihat pada
penggunaan kata-kata berikut: 1.
Pasal 74 : menciptakan struktur dan manajemen keuangan yang baikkuat; Perseroberdaya saing; meningkatkan peran serta masyarakat dalam Persero.
2. Pasal 75 : memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. 3.
Pasal 77 : kegiatan kepentingan masyarakat. 4.
Pasal 80 : mengundang pihak yang dipandang perlu. 5.
Pasal 84 : benturan kepentingan. 6.
Pasal 85 : wajib menjaga kerahasiaan informasi sepanjang informasi itu belum terbuka.
Kelemahan pada penggunaan kata, berakibat juga kepada peluang dan kendala program privatisasi, dengan jumlah hanya 13 pasal untuk sebuah
kebijakan pemerintah terkait aset negara yang jumlahnya sangat besar, tentunya pengaturan
ini tidak
cukup, apalagi
bila dikaitkan
dengan sistem
pertanggungjawaban publik pada rakyat melalui wakilnya. Tidak ada satu peraturanpun yang mengatur mengenai hal itu. Apabila hal ini dibandingkan
dengan privatisasi Telstra Australia, untuk satu perusahaan harus ada satu Bill tersendiri yang mendapat persetujuan parlemen.
128
Terkait dengan hal ini, Bismar Nasution mengatakan bahwa Indonesia memerlukan landasan hukum untuk pembangunan ekonominya. Landasan hukum
128
Wuri Adriyani,
Op.Cit
., hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
99
dibutuhkan sebagai salah satu cara memberikan kontribusi sistem. Sistem hukum yang buruk dapat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi, disamping penurunan
ma rketdiscipline atau moral hazard di berbagai sektor ekonomi dan politik.
129
Secara keseluruhan melihat pada susunan atau kerangka pengaturan privatisasi yang ada dalam UU BUMN yang ada saat ini dapat dikatakan sebagai
undang undangdalam undang-undang. Penempatan pengaturan ini tidak tepat. Sebab privatisasi bukan bagian dari kepengurusan perusahaan, tetapi sebuah
kebijakan terkait aset negara. Berbeda hal ini dengan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pembubaran BUMN yang murni urusan beheren atau kepengurusan perusahaan, sehingga pelaksanaannya cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran, adalah masih dalam batas kewenangan pemerintah. Sedangkan privatisasi tidak murni lagi urusan
pemerintah, tetapi lebih bersifat kenegaraan, sebab menyangkut jual beli aset negara yang seharusnya memerlukan persetujuan DPR, seperti yang dipraktikan
Australia dalam privatisasi Telstra atau Inggris dalam privatisasi British Telecom. Privatisasi sama sekali tidak terkait dengan hak dan kewajiban perusahaan, tetapi
merupakan penyerahan kontrol negara pada swasta yang kemungkinan besar tidak bisa dijustifikasi melalui Pasal 33 UUD 1945.
129
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
100
C. Akibat Hukum Privatisasi BUMN Terhadap Kewenangan Negara