35
63,61 -196,23
-234,96 -156,60
-151,89 -131,88
72,84 51,49
-6,35
-300 -250
-200 -150
-100 -50
50 100
3 4
5 6
7 8
9 10
11
pH k
em am
pu an
in hi
bis i
1 2
3 4
5 6
sub set
Gambar 21. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada pH yang berbeda
4. Pengaruh suhu
Penentuan pengaruh perubahan suhu terhadap aktivitas invertase dilakukan pada suhu inkubasi mulai dari 0° C hingga 90°C selama 5 menit.
Konsentrasi enzim dan sukrosa yang digunakan sama seperti pada penentuan pengaruh perubahan pH. Analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa perubahan suhu tersebut berpengaruh nyata terhadap konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil uji statistik tersebut dapat dilihat
pada Lampiran 3 bagian E. Pengaruh perubahan suhu pada kondisi normal kontrol menghasilkan konsentrasi gula pereduksi tertinggi pada suhu
50°C, sedangkan perlakuan dengan penambahan kawao tercapai pada suhu 60
o
C. Kurva pengaruh perubahan suhu terhadap aktivitas invertase dapat dilihat pada Gambar 22.
36
500 1000
1500 2000
2500 3000
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
suhu
o
C Konsentr
asi
gl ukosa+f
ruktosa u
M
Perlakuan suhu tanpa kawao Perlakuan suhu dengan penambahan kawao
Gambar 22. Kurva pengaruh perubahan suhu terhadap konsentrasi gula
pereduksi yang dihasilkan
Aktivitas invertase berdasarkan gambar di atas terlihat semakin meningkat seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai titik
maksimum. Peningkatan suhu lebih lanjut setelah titik maksimum menyebabkan penurunan aktivitas invertase dalam menghidrolisis sukrosa.
Kedua perlakuan terhadap invertase, baik kontrol maupun dengan penambahan kawao menunjukkan pola yang serupa. Webb 1963
menyatakan bahwa suhu pada saat aktivitas enzim maksimum disebut dengan suhu optimum.
Meningkatnya aktivitas invertase pada awal peningkatan suhu terjadi karena peningkatan suhu menyebabkan peningkatan energi kinetik
pada molekul enzim dan substrat. Peningkatan energi kinetik memungkinkan terjadinya tumbukan antara molekul tersebut semakin
besar, sehingga berpeluang membentuk kompleks enzim-substrat secara optimal. Lehninger 1988 menyatakan bahwa kenaikan suhu akan
mempercepat gerak termal molekul, dan laju reaksi akan mengalami peningkatan hingga kira-kira 2 kali setiap kenaikan suhu 10
o
C. Demikian pula Rodwell 1981 menambahkan, suhu merupakan faktor yang
mempengaruhi reaksi kimia, termasuk reaksi katalisis enzim. Rahman et al 2004 menyatakan suhu optimum invertase pada
tanaman tebu adalah 60° C, sedangkan Rahman et al 2001 menemukan suhu optimum invertase pada buah mangga adalah 75°C, sama seperti
37 pada buah anggur Nakanishi et al., 1991, sedangkan menurut Wang
2002 aktivitas invertase maksimum dicapai pada saat suhu sekitar 55
o
C. Rodwell 1981 menjelaskan bahwa suhu optimum kebanyakan
enzim adalah suhu sel atau di atas suhu sel tempat enzim-enzim berada. Kenaikan kecepatan aktivitas enzim di bawah suhu optimum disebabkan
oleh kenaikan energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi. Akan tetapi apabila suhu tetap dinaikkan, energi kinetik molekul-molekul enzim
menjadi demikian besar sehingga melampaui penghalang energi untuk memecahkan ikatan sekunder. Ikatan sekunder tersebut berfungsi untuk
mempertahankan enzim dalam keadaan katalitik enzim aktif. Jika ikatan sekunder enzim tersebut pecah, struktur sekunder dan tersier hilang
disertai hilangnya aktivitas biologis. Aktivitas invertase pada penelitian ini mengalami penurunan secara siginifikan setelah suhu optimum dan
kemudian mengalami inaktivasi pada suhu yang lebih tinggi.
12,44 3,64
8,00 11,92
25,20 40,96
43,96
-3,52 -6,16
-12,72
-20 -10
10 20
30 40
50
10 20
30 40
50 60
70 80
90
suhu
o
C k
em am
puan in
h ib
isi
1 2
3 4
5 6
s ub
s et
Gambar 23. Inhibisi aktivitas invertase oleh kawao pada suhu yang berbeda
Kawao menunjukkan inhibisi terhadap aktivitas invertase pada hampir di setiap selang suhu, kecuali di atas suhu 65
o
C, seperti terlihat pada Gambar 23. Pada suhu tersebut, stabilitas kawao menurun sehingga
kemungkinan kandungan kawao telah rusak, hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya kandungan gula pereduksi yang dihasilkan.
Peningkatan inhibisi secara signifikan terjadi pada rentang suhu 20 – 40
o
C,
38 pada rentang suhu 40 – 50
o
C secara statistik tidak berbeda nyata, kemudian di atas suhu 50
o
C terjadi penurunan inhibisi secara signifikan dan melandai pada suhu di atas 70
o
C. Webb 1963 menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi perubahan konfigurasi dari sisi aktif enzim. Jika
sisi aktif enzim mudah mengalami perubahan struktur, fleksibilitas enzim akan berubah sehingga menyebabkan inhibitor lebih mudah atau lebih sulit
untuk mengikat enzim. Perlakuan perubahan suhu menunjukkan inhibisi meningkat seiring
dengan kenaikan suhu hingga mencapai optimum di suhu 50
o
C. Terlihat pula bahwa suhu optimum aktivitas enzim bergeser, yang semula di suhu
50
o
C menjadi 60
o
C. Pergeseran nilai tersebut terkait dengan struktur enzim yang dipengaruhi oleh nilai parameter termodinamika yaitu entropi S,
yang menunjukkan derajat ketidakaturan suatu molekul, entalpi H dan
energi bebas G. Nilai -nilai parameter ini berubah seiring dengan
berubahnya suhu dan terkait erat dengan stabilitas enzim Eijsink, et al., 2004. Penambahan kawao diduga memberikan pengaruh terhadap
perubahan parameter termodinamika tersebut, yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai suhu optimum.
Inhibisi menurun setelah suhu optimum masing-masing perlakuan terlampaui karena stabilitas invertase baik kontrol maupun dengan
penambahan kawao telah mengalami denaturasi akibat pengaruh suhu thermodenaturation. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kawao efektif
dalam menghambat aktivitas invertase pada suhu di bawah 60
o
C, terutama pada suhu optimal enzim 50
o
C. Hasil uji statistik persentase inhibisi dapat dilihat pada Lampiran 3 bagian J.
Bailey dan Ollis 1988, menyatakan bahwa untuk kebanyakan denaturasi protein, mulai terjadi pada temperatur 45-50
o
C dan lebih menghebat pada temperatur 55
o
C. Denaturasi termal dari enzim bisa merupakan proses dapat balik maupun tidak dapat balik.
5. Pengaruh lama pemanasan