Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi semua harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika PPDGJ-III, 1995.
2.1.2. Penyebab Skizofrenia
Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada
kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui
secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk kontribusinya. Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan
skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini Durand, 2007.
2.1.3. Tipe-Tipe Skizofrenia A. Skizofrenia Paranoid
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, pedoman diagnosis skizofrenia paranoid dipenuhi oleh diagnosis umum
skizofrenia, sebagai tambahannya adalah : a. Halusinasi danatau waham harus menonjol; suara-suara halusinasi yang
megancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit atau bunyi tawa; halusinasi pembauan atau
Universitas Sumatera Utara
pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada, tetapi jarang menonjol; waham dapat berupa
hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.
b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relative tidak nyata atau tidak menonjol.
Selain itu, ada diagnosis banding seperti epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan, keadaan paranoid involusional dan paranoia.
B. Skizofrenia Hebefrenik
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, pedoman diagnosis skizofrenia hebefrenik dipenuhi oleh diagnosis umum
skizofrenia. Diagnosis hebefrenia untuk pertama sekali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda onset biasanya mulai umur 15-25 tahun. Kepribadian
premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri, namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosa. Untuk menentukan diagnosa hebefrenia yang
meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan: a. Perilaku yang tidak bertanggung jwab dan tidak dapat diramalkan, serta
mannerisme, ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan.
Universitas Sumatera Utara
b. Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap tinggi hati, tertawa
menyeringai, mannerisme, mengibuli serta bersenda gurau, keluhan hipokondriakal dan ungkapan kata yang diulang-ulang.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan
tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema absrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
C. Skizofrenia Katatonik
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, pedoman diagnosis sizofrenia katatonik memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini mendominasi gambaran klinisnya, yaitu :
a. Stupor atau mutisme tidak berbicara b. Gaduh gelisah
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar d. Negativisme
e. Rigiditas f. Fleksibilitas cerea
Universitas Sumatera Utara
g. Gejala-gejala lain seoerti “command automatism”. Pada pasien yang tidak komunikastif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa
gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnosis untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alcohol atau obat-
obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
D. Skizofrenia Tak Terinci Undifferentiatedi
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, pedoman diagnosis skizofrenia ini memenuhi kriteria umum untuk diagnosis
skizofrenia. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau
depresi pasca-skizofrenia.
E. Depresi Pasca-Skizofrenia
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, diagnosis yang harus ditegakkan hanya:
a. Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 tahun terakhir ini b. Beberapa gejala skizofrenia masih ada
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
Universitas Sumatera Utara
d. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif, bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap salah satu dari subtype skizofrenia yang sesuai.
F. Skizofrenia Residual
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua: a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
c. Setidaknya sudah melampaui kurun waktu satu tahun, dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang dan telah timbul sindrom negative dari skizofrenia d. Tidak terdapat dementia atau penyakitgangguan otak lainnya.
G. Skizofrenia Simpleks
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III 1995, diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
Universitas Sumatera Utara
b. Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mecolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial. c. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtype
skizofrenia lainnya. Selain skizofrenia-skizofrenia tersebut di atas, ada skizofrenia lain, yaitu
skizofrenia YTT dan skizofrenia lainnya.
2.1.4. Pencegahan Kekambuhan Skizofrenia
Empat faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger 1988 :
1. Pasien : Sudah umum diketahui bahwa pasien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan 25 sampai 50 pasien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
2. Dokter pemberi resep : Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping
Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3. Penanggung jawab pasien: Setelah pasien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi pasien di rumah.
4. Keluarga : Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak
Universitas Sumatera Utara
menekan dan menyalahkan, hasilnya 57 kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17 kembali dirawat dari keluarga dengan
ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu pasien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan naik pangkat, menikah maupun yang
menyedihkan kematiankecelakaan. Dengan terapi keluarga pasien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terapi bisanya:
Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah
ilmu dan wawasan baru kepda pasien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh pasien dan keluarganya yaitu :
1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut nervous 2. Tidak nafsu makan
3. Sukar konsentrasi 4. Sulit tidur
5. Depresi 6. Tidak ada minat
7. Menarik diri Setelah pasien pulang ke rumah, sebaiknya pasien melakukan perawatan
lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani pasien dapat menganggap rumah pasien sebagai
Universitas Sumatera Utara
“ruangan perawatan”. Perawat, pasien dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi pasien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat
kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan “perawat utama” bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan
yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan pasien harus dirawat
kembali kambuh. Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat pasien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam pasien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai
hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan,
sikap dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua
ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi
pada salah satu anggota merupakan dapat memengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah
sakit maka akan memengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu
Universitas Sumatera Utara
cara menangani perilaku pasien di rumah Northouse, 1998. Pasien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50 pada tahun pertama, 70 pada tahun
kedua dan 100 pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.
2.2. Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup berperilaku karena mereka semua mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar Notoatmodjo, 1993.
2.2.1. Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme orang, namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
Universitas Sumatera Utara