nasional pada tingkat bunga yang tetap dapat direspon otoritas moneter dengan menambah jumlah uang beredar, sehingga sebanding dengan permintaan uang akibat
peningkatan pendapatan nasional yang bertambah kurva IS bergeser ke kanan dari IS2 ke IS1, sedangkan kurva LM bergeser ke kanan dari LM2 ke LM1 dengan tingkat
bunga sebesar r1, Gambar 2.2.
2.6. Penelitian Terdahulu
Turnovsky 2000, meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS. Penelitiannya
menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat
memberikan kenyataan bahwa kebijakan fiskal hanya berpengaruh pada jangka pendek pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah yang relatif besar
tidak terlalu berpengaruh besar terhadap output. Dalam penelitiannya memperlihatkan, kenaikan investasi pemerintah dari 0.08 ke 0.14 dari output akan menaikkan tingkat
pendapatan dalam jangka panjang sebesar 40 saja. Sedangkan kenaikan pajak atas pendapatan modal dari 0,28 ke 0,40 hanya akan menurunkan output dalam jangka panjang
sebesar 16. Hafer, Haslag dan Jones 2002, meneliti tentang hubungan antara kebijakan
moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode OLS, dengan menggunakan data tahun 1961-1982 dan
1961-2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output dengan mengestimasi persamaan output gap dimana
Universitas Sumatera Utara
tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrument kebijkan moneter. Yang kedua yaitu Congressional Budget Office CBO terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi
pengaruh jumlah uang beredar M0,M1,M2 dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat
pembiayaan bank sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982. Namun tercatat tidak signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan
hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang beredar riil dan output gap pada tahun 1961-1982. Namun juga tidak signifikan pada tahun 1982-2000.
Albatel 2003, meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dan output di Arab Saudi. Metodologi yang digunakan dalam
penelitiannya adalah metode Kointegrasi dan Error Correction Model dengan menggunakan data tahun 1964-1998. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat hubungan
kointegrasi antara kebijakan pemerintah kebijakan fiskal dan moneter, liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah ternyata memiliki peran penting
dalam pembangunan ekonomi di Arab Saudi. Variabel pengeluaran pemerintah kebijakan fiskal dan jumlah uang beredar kebijakan moneter memiliki pengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil statistik mendukung adanya pemikiran bahwa aktivitas pemerintah berupa investasi akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan
perkapita. Termasuk kebijakan fiskal dan moneter memiliki efek permanen terhadap output riil. Semenjak kenaikan harga minyak tahun 1973, Arab Saudi terus meningkatkan
pengeluarannya. Namun fluktuasi harga minyak menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit anggaran dan mengurangi pengeluaran untuk aktivitasnya.
Universitas Sumatera Utara
Hagen dan Mundshenk 2003, meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di EMU Economic and Monetary Union di Eropah. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa pada jangka panjang kebijakan moneter dapat mencapai kestabilan harga tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Bank Sentral dapat
menetapkan tingkat inflasi tanpa mempengaruhi output terhadap individu dan keseluruhan masyarakat. Namun pada jangka pendek, ada konflik potensial antara kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal. Bila Bank Sentral hendak mencapai kestabilan harga, maka kebijakan fiskal pemerintah harus bisa menekan permintaan aggregate, dan meningkatkan output.
Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut cenderung berbiaya tinggi, sehingga resiko inflasi tinggi sulit ditekan. Keseimbangan diperlukan dengan mempengaruhi permintaan
aggregate oleh Bank Sentral dan Pemerintah mempengaruhi melalui aggregate supply. Giavazzi 2003, meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter di Brazil. Hasil studinya memperlihatkan bahwa resiko kredit dapat menjadi pusat mekanisme dimana bank sentral yang menargetkan inflasi dapat kehilangan kendali atas
inflasi itu sendiri. Dengan kata lain terjadi perpindahan dominasi moneter ke dominasi fiskal. Ketidak teraturan kebijakan fiskal dapat menyebabkan efektivitas kebijakan moneter
menjadi berkurang. Misalnya kebijakan peningkatan tingkat bunga malah menyebabkan inflasi tidak menurun. Perekonomian Brazil jatuh pada tingkat keseimbangan yang buruk
ketika kebijakan fiskal mengurangi efektivitas kebijakan moneter terjadi crowding out. Namun dalam jangka panjang, kebijakan fiskal ini dapat mengembalikan kondisi kembali
normal, terjadi kestabilan EMBI spread, kestabilan nilai tukar, inflasi, dan hutang pemerintah , dan pertumbuhan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Arestis dan Sawyer 2002, melihat bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen utama kebijakan moneter mempengaruhi sektor riil. Penelitian ini menggunakan metode
VAR dan OLS dengan menggunakan data tahun 2001-2005, dengan studi kasus di Angeloni salah satu wilayah dalam zona Euro. Sektor riil disini diukur dengan GDP.
permintaan aggregate, nilai tukar, dan investasi. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sekto riil. Kenaikan 1 tingkat bunga akan
menurunkan 0,2-0,35 GDP dan menurunkan 0,2-0,4 tingkat inflasi. Nasir,Muhammad,dkk 2010, meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter di Pakistan. Penelitian ini menggunakan metode VAR, dengan variabel Pajak, Pengeluaran pemerintah, tingkat bunga. Inflasi dan jumlah uang beredar
dari thn 1975-2006 31 thn. Lemahnya koordinasi dalam kebijakan fiskal dan moneter menimbulkan “shock” gangguan pada kebijakan lainnya dalam jangka panjang, berupa
tingginya pengangguran akibat rendahnya permintaan output, dan tingginya angka inflasi akibat respon kebijakan moneter pada fiskal.
2.7. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian