Skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan dan non kemitraan sebagaimana disajikan pada tabel 12, menurut Yusdja dan Pasandaran 1998
skala usaha ayam ras pedaging peternak pola kemitraan di daerah penelitian termasuk skala menengah karena rataan skala usaha ayam ras pedaging yang
dibudidayakan termasuk pada kisaran 5.000 sd 10.000 ekor, sedangkan usaha ayam ras pedaging peternak non kemitraan termasuk skala kecil karena rataan
skala usaha ayam yang dibudidayakan kurang dari 5.000 ekor.
4.3.4. Mortalitas
Mortalitas atau tingkat kematian ayam merupakan kendala dalam usaha ayam ras pedaging. Serangan penyakit dapat mengakibatkan naiknya angka
mortalitas, hal ini berdampak pada menurunnya bobot panen secara agregat, sehingga produksi menurun. Hasil penelitian menunjukkan tingkat mortalitas
usaha ayam ras pedaging pola kemitraan mencapai 4,8 ,sementara itu, mortalitas usaha ayam ras pedaging non kemitraan mencapai 4,1 . Namun
menurut Rasyaf 1992, tingkat kematian tersebut masih dibawah batas normal karena kurang dari 5 . Perbedaan tingkat mortalitas disinyalir karena adanya
bibit ayam ras pedaging yang berbeda, bibit ayam ras pedaging dengan pola kemitraan berasal dari mitra inti tanpa adanya kesempatan bagi peternak untuk
memilih bibit yang dikehendaki. Hal ini didukung dari hasil evaluasi assosiasi peternak usaha ayam ras pedaging pola kemitraan pada tahun 2009, bahwa mutu
bibit dari inti tidak memenuhi standar. Sedangkan bibit yang diperoleh peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri berasal dari pasar bebas, merupakan bibit
pilihan sehingga kualitas bibit lebih terjamin.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
Tingkat mortalitas dari hasil penelitian pada usaha ayam ras pedaging dengan pola kemitraan dan non kemitraan di kabupaten Gresik mencapaii 4 - 5 .
Tingkat mortalitas sebesar 4,8 tersebut tergolong rendah karena dibawah ambang batas mortalitas normal maksimum yaitu 5.
4.3.5. Masa Pemeliharaan
Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi berkisar antara 35 sd 42 hari, dengan
rataan pemeliharaan 39 hari. Sebaran masa pemeliharaan ayam ras pedaging dalam satu periode produksi pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 13
Tabel 13. Masa pemeliharaan ayam ras pedaging
No. Pola Usaha Ayam ras
pedaging Masa Pemeliharaan
hari Rataan masa
pemeliharaan hari 1
Kemitraan 35 - 37
36 + 0,59 2
Non Kemitraan 36 - 42
42 + 1,58 Sumber : Data Primer diolah, 2009
Tabel 13 menunjukkan bahwa masa pemeliharaan usaha ayam ras pedaging pola mandiri lebih lama dibandingkan masa pemeliharaan usaha ayam ras
pedaging pola kemitraan, hal ini berkaitan dengan harga jual ayam dan kepastian pasar. Pada saat penelitian harga per kilogram ayam hidup merupakan harga yang
sangat menguntungkan bagi peternak, sehingga peternak usaha ayam ras pedaging pola mandiri cenderung untuk memperpanjang masa pemeliharaan walaupun
dengan konsekuensi meningkatnya biaya produksi khususnya pakan. Sedangkan usaha ayam ras pedaging pola kemitraan, waktu panen ditentukan sepihak oleh
inti, harga yang menguntungkan ini menjadikan inti cenderung mempercepat
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
masa pemeliharaan. Perilaku inti tersebut diindikasikan sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, didasarkan pada dua hal yang
dijadikan pertimbangan. i umur panen lebih dari 36 mengakibatkan bobot ayam akan lebih meningkat, sehingga pengeluaran biaya pembelian ayam kepada
peternak akan semakin besar, walaupun ada tambahan penerimaan hasil penjualan sapronak, namun dalam hal ini dipandang secara ekonomis tidak efisien karena
pengeluaran biaya pembelian ayam tidak sebanding dengan penerimaan hasil penjualan sapronak kepada peternak plasma dan ii semakin cepat panen akan
semakin cepat pengembalian biaya sapronak yang disalurkan pada peternak dan semakin cepat pula sapronak yang disalurkan pada peternak pada periode
pemeliharaan berikutnya, sehingga mempercepat perputaran modal yang diinvestasikan.
4.3.6. Bobot Hidup