Pengaruh model pembelajaran generatif terhadap hasil belajar fisika pada konsep kalor (quasi eksperiment di SMP Aulia Bogor)

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh : LISNA NAFIKAH

105016300601

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iii

Terhadap Hasil Belajar Fisika Pada Konsep Perpindahan Kalor.”Skripsi,

Program studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran generatif terhadap hasil belajar fisika pada konsep perpindahan kalor. Penelitian ini dilakukan di SMP Aulia Bogor tahun pelajaran 2010-2011, metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment desain nonrandomized pretest-posttest

control group design, dengan 80 orang siswa sebagai sampel yang terbagi menjadi

dua kelompok. Kelas VII-3 sebagai kelompok eksperimen dengan model pembelajaran generatif dan siswa kelas VII-2 sebagai kelompok kontrol dengan metode ceramah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes objektif tipe pilihan ganda dengan empat pilihan yang digunakan model pembelajaran generatif untuk mengukur pengaruh hasil belajar fisika siswa pada konsep perpindahan kalor. Dalam penelitian ini, diperoleh skor pretest untuk kelompok eksperimen adalah 40,3 dan skor rata-rata kelompok kontrol adalah 37,33. Sedangkan hasil posttest untuk kelompok eksperimen diperoleh skor rata-rata 67 dan skor rata-rata-rata-rata kelompok kontrol adalah 56,7. Berdasarkan perhitungan uji-t dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh harga t tabel = 2,00 t hitung=

1,11 dari hasil pengujian diperoleh t hitung < t tabel , dengan demikian Ho diterima

Ha ditolak pada taraf kepercayaan 95%. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 95%, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara rata-rata skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest kelompok kontrol, dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran generatif terhadap hasil belajar siswa signifikan.


(5)

iv

LEARNING MODEL toward the result of physics study about calor transfer”. Skripsi physics education study programme, major sains faculty Tarbiyah and education, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

The purpose of this research is to determine the influence of generatif learning model toward the result of physics study about calor transfer. This research has been conducted in SMP Aulia Bogor. The method of research, is used quasi experimental method, nonrandomized pretest-postest control group design with 80 students as the sample. This sample divided into two group which is student at class VII-3 as the experimental group with generatif learning model and student at VII-2 class as the control group with lecture method. According to the instrument in this research such as object test multiple choice with a four choice that influence the student result in study physic about moving callor concept. The pretest score of experimental group is 40,3 and the average score of control group is 37,33. The postest result of experiment group get average score 67 and the average score of control group is 56,7. By the t-test postest calculation, the level of certainty is 95%, value t table = 2,00 and t calculate = 1,11. Those test result show that the value of t calculate < t table. It means that Ho accept Ha reject to belief level 95% in this case show that significantly different betwen average postest score experimental group with average postest score control group. Can be concluded from these result that the learning generatif model give significant influence to the result of student learning.


(6)

v

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Salawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia kejalan yang terang benderang, beserta keluarga dan para sahabatnya. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan fisika.

Terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Sehingga penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M. A, selaku Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

3. Ibu Nengsih Juanengsih, M.Pd, selaku Seketaris Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

4. Bapak Iwan Permana, M.Pd, selaku Ketua Prodi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan..

5. Ibu Dr. Zulfiani, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, motivasi, serta nasehat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(7)

vi

7. Bapak/Ibu Dosen dan Staff di UIN Syarif Hidayatullah Khususnya di Jurusan IPA (Pendidikan fisika) yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. 8. Bapak Drs, Ahmad Sanusi selaku Kepala Sekolah SMP Aulia Bogor atas

izinnya kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di SMP Aulia Bogor. 9. Bapak Encep, S.Pd, selaku guru pembimbing mata pelajaran fisika yang telah

banyak memberikan ilmunya, arahan, dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian.

10.Seluruh dewan Guru dan Staff SMP Aulia Bogor yang selalu membantu penulis.

11.Teruntuk Ibunda Ikah, Ayahanda Said Ali, Suamiku tercinta Decki Faizal, dan anakku tersayang Alya Rizkia. Mama Dede Suhartati dan papa Dedi Sutardi yang selalu memberikan dorongan dan motivasi baik moril maupun materil serta doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Teruntuk saudara-saudaraku dan semua sahabat anak fisika 2005 yang telah memberikan motivasi, semangat, dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya dapat berdoa semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca.

Alhamdulillahirobbil’Alamin

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Jakarta, Februari 2011

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah………... 5

C. Pembatasan Masalah... 5

D. Rumusan Masalah... 5

E. Tujuan Penelitian... 5

F. Mamfaat Penelitian ... . 6

BAB II DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teoritis ... 7

1. Pandangan Konstruktivisme... 7

2. Model Pembelajaran Generatif... 13

3. Hakikat Proses Belajar Mengajar... 20

4. Fisika dan Hasil Belajar Fisika... 24

B.Hasil Penelitian Yang Relevan... 26

C.Kerangka Berpikir... 29


(9)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.Tempat dan Waktu Penelitian... 32

B. Metode Penelitian dan Desain Penelitian... 32

C.Populasi dan Sampel... 33

D.Teknik Pengambilan Sampel... 33

E. Prosedur Penelitian... 34

F. Instrumen Penelitian... 36

G.Teknik Pengumpulan Data... 37

H.Variabel Penelitian... 37

I. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 38

1) Uji Validitas ... 38

2) Uji Reliabilitas ... 39

3) Uji Tingkat Kesukaran ... 40

4) Daya Pembeda ... 41

J. Teknik Analisis Data Hasil Belajar ... 42

1. Uji Normalitas ... 42

2. Uji Homogenitas ... 44

3. Uji Hipotesis ... 45

4. Uji Normal Gain ... 47

K. Hipotesis Statistik ... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian... 49

1. Hasil Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol.. 49

2. Hasil Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol.. 50

3. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 52

B. Hasil Analisis... 52

1. Uji Prasyarat Analisis ... 52

a. Uji Normalitas Pretest-Posttest ... 53


(10)

2. Uji Hipotesis ... 54

a. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Pretest ... 54

b. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Posttest ... 55

c. Uji Normal Gain ... 57

C. InterPretasi Data ... 58

D. Pembahasan ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 61

B. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme ... 7

Tabel 2.2 Fase-fase Model Pembelajaran Generatif ... 17

Tabel 3.1 Desain Penelitian... 32

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Tes Hasil Belajar ... 36

Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r ... 39

Tabel 3.4 Interpretasi Reliabilitas ... 40

Tabel 3.5 Interpretasi Tingkat kesukaran ... 41

Tabel 3.6 Klasifikasi Daya Pembeda ... 42

Tabel 4.1 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretest Kelompok Eksperimen ... 50

Tabel 4.2 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol ... 51

Tabel 4.3 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Posttest Kelompok Eksperimen ... 52

Tabel 4.4 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Posttest Kelompok Kontrol ... 53

Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 54

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Pretest-Posttest Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 55

Tabel 4.7 Hasil Uji homogenitas Pretest-Posttest ... 56

Tabel 4.8 Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest ... 57

Tabel 4.10 Uji Kesamaan Dua Rata-rata Normal Gain... 58


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir ... 30

Gambar 3.2 Bagan Tahap-tahap Prosedur Penelitian ... 35

Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Pretest Kelompok Eksperimen ... 50

Gambar 4.2 Diagram Batang Hasil Pretest Kelompok Kontrol ... 51

Gambar 4.3 Diagram Batang Hasil Posttest Kelompok Eksperimen ... 52

Gambar 4.4 Diagram batang hasil Posttest Kelompok Kontrol ... 53


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Instrumen Tes Hasil Belajar ... 67 Lampiran 2 Soal Uji Coba Instrumen Penelitian Tes Hasil Belajar... 80 Lampiran 3 Kunci Jawaban Soal Uji Coba Instrumen Penelitian

Tes Hasil Belajar ... 86 Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Tes Hasil Belajar ... 87 Lampiran 5 Distribusi Tingkat Kesukaran Instrumen Penelitian

Tes Hasil Belajar ... 89 Lampiran 6 Distribusi Daya pembeda Instrumen Penelitian

Tes Hasil Belajar ... 90 Lampiran 7 Proporsi Peserta Kelompok Atas dan Kelompok

Bawah yang Menjawab Benar ... 91 Lampiran 8 Klasifikasi Kelompok Siswa ... 93 Lampiran 9 Soal Penelitian Tes Hasil Belajar ... 94 Lampiran 10 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Model Pembelajaran

Generatif ... 98 Lampiran 11 Lembar Kerja Siswa ... 104 Lampiran 12 Analisis Data ... 108


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sains dan teknologi secara keseluruhan telah memberikan dampak dalam berbagai segi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan yang merupakan salah satu bagian dari pembangunan bangsa. Melalui pendidikan, manusia dapat meningkatkan potensi dasar yang dimilikinya baik itu potensi fisik, intelektual, emosional, mental, sosial, dan etika sehingga pendidikan merupakan hal penting yang harus didapatkan setiap manusia menuju terbentuknya manusia yang berkualitas.

Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan pendidikan tertentu. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.1Secara formal, pendidikan diselenggarakan di sekolah, penyelenggaraan pendidikan di sekolah lebih di kenal dengan istilah pengajaran, yaitu proses belajar mengajar yang melibatkan banyak faktor, baik pengajar, pelajar, dan bahan atau materi, serta fasilitas maupun lingkungan.

Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan tempat berlangsungnya proses belajar haruslah diselenggarakan secara sistematis dan terarah dalam rangka mencapai fungsi dan tujuan pendidikan seperti tertera dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3 yang berbunyi:

”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yanng beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

1 Nana Syaodiah Sukmadinata, Landasan Psikologi Pendidikan. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003) hal, 3-4


(15)

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.2

Pendidik sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar memiliki tugas yang tidak mudah karena ia merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap pencapaian proses belajar mengajar. Oleh karena itu, pendidik dituntut untuk memiliki sejumlah kemampuan, keterampilan di dalam bidangnya, serta memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Banyak sekali jenis kemampuan, keterampilan dan keahlian yang harus dimiliki oleh pendidik yang profesional, karena pendidik merupakan fasilitator maupun motivator bagi peserta didik.

Pendidik sebagai fasilitator, harus menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan membimbing peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan perubahan dalam diri peserta didik, baik dalam pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor). Seperti di ungkapkan oleh W.S Winkel tentang belajar yaitu ”suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, sikap, pemahaman, serta keterampilan dan perubahan itu bersikap relatif konstan dan berbekas.3

Pembelajaran, harapan yang tidak pernah sirna dan selalu pendidik tuntut adalah, bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan pendidik dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh pendidik. Kesulitan itu dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan. Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan anak yang satu dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektual, psikologis, dan biologis. Ketiga aspek tersebut diakui sebagai akar permasalahan yang melahirkan bervariasinya sikap dan tingkah laku anak didik di sekolah. Hal ini pula yang menjadi tugas yang cukup berat bagi pendidik dalam mengelola kelas dengan baik.

2 UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: CV. Tamina Utama, 2004) hal 7


(16)

Dalam mengajar hendaknya pendidik berupaya menciptakan kondisi belajar dimana peserta didik terlibat secara aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk memahami konsep-konsep yang dipelajari dalam fisika. Kemampuan peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dapat terwujud jika peserta didik diberi kesempatan untuk aktif berperan dalam proses pembelajaran. Pendidik belum secara intensif menerapkan rancangan program pembelajaran yang mampu mengembangkan pengetahuan yang dibangun sendiri oleh peserta didik, pendidik selalu menggunakan metode ceramah yang dianggap paling mudah dalam menyampaikan bahan pelajaran.

Kebanyakan pendidik memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kedalam pikiran peserta didiknya, sehingga mungkin saja pendidik telah merasa mengajar dengan baik namun peserta didik tidak merasa belajar, dalam arti tidak terjadi penambahan pengetahuan atau perubahan pada diri peserta didik. Banyak pendidik yang hanya memikirkan bagaimana mengajar IPA dengan baik, tetapi jarang memikirkan agar peserta didik belajar dengan baik, akibatnya prestasi belajar peserta didik yang merupakan kategori hasil belajar peserta didik masih rendah.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fisika dianggap sebagai pelajaran yang paling sulit dan menjadi momok bagi peserta didik. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan fisika dalam kehidupan sehari-hari menjadi penyebab mereka cepat bosan dan tidak tertarik pada pelajaran fisika, disamping pengajar fisika yang mengajar secara monoton, metode pembelajaran yang kurang bervariasi, dan hanya berpegang teguh pada buku paket saja.

Tidak adanya praktikum pada pembelajaran fisika, mengakibatkan kesulitan peserta didik yang berakibat rendahnya pemahaman konsep-konsep fisika dan rendahnya hasil belajar fisika. Dalam kegiatan belajar mengajar pendidik memiliki posisi yang menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama pendidik adalah merancang , mengelola dan mengevaluasi pembelajaran. Dalam pembelajaran fisika di SMP/MTs, sebagian besar pendidik kurang inovatif dan kreatif dalam mencari dan menemukan metode pembelajaran


(17)

yang dapat merangsang motivasi belajar peserta didik. Disamping itu dalam pembelajaran fisika guru kurang menyajikan demonstrasi, sehingga tidak menantang siswa berhipotesis, akibatnya jika melihat dugaan maka timbul perasaan kacau yang membuat siswa tidak termotivasi. Guru kurang menantang kemampuan berpikir siswa dalam hal kegiatan berupa eksperimen/percobaan, sehingga siswa tidak aktif dalam proses belajar. Guru kurang memberikan soal-soal terbuka yang dikerjakan secara berkelompok. Kemudian sebagian besar pendidik dalam mengajar fisika lebih banyak mengajar konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum dalam bentuk yang sudah jadi kepada peserta didik, dan pembelajaran fisika banyak dilakukan dengan memberi konsep fisika tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada diri siswa maupun yang ada disekitarnya.

Siswa belajar menghafal konsep dan bukan menguasai konsep, sehingga belajar fisika kurang bermakna dengan tidak terbentuk konstruk konsep fisika yang benar. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ratna Willis Dahar bahwa salah satu keluhan dalam dunia pendidikan adalah bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan maka informasi baru dipelajari secara hafalan.4 Pembelajaran dengan cara ini menyebabkan peserta didik tidak berperan aktif, sehingga di dalam pikiran peserta didik tidak terjadi perkembangan struktur kognitif. Oleh karena itu, metode yang diterapkan pendidik sering membosankan dan kurang merangsang peserta didik untuk berpikir sehingga hasil belajar fisika siswa masih rendah.

Belajar generatif merupakan suatu penjelasan tentang bagaimana seseorang peserta didik membangun pengetahuan dalam pikirannya seperti membangun ide atau membangun arti suatu istilah dan juga membangun suatu strategi untuk sampai pada penjelasan tentang pertanyaan bagaimana, dan mengapa. Model belajar generatif pada pembelajaran sains akan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, dalam hal ini peserta didik mendapat kebebasan dalam mengejukan ide-ide dan masalah serta

4


(18)

mendiskusikan konsep fisika tanpa dibebani rasa takut, serta peserta didik dapat berargumentasi sampai pada penguasaan konsep.

Model pembelajaran generatif dirasa tepat menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan di atas dalam pembelajaran fisika, karena dalam model pembelajaran ini siswa tidak hanya dituntun untuk membangun pengetahuan sendiri, tetapi guru diharapkan dapat memberikan suasana emosional yang positif kepada siswa selama pembelajaran berlangsung sehingga tujuan akhir pembelajaran dapat tercapai yang ditunjukkan dengan adanya pengaruh hasil belajar siswa.

Penulis mengambil konsep perpindahan kalor, karena dalam konsep ini siswa dituntut untuk aktif berpartisipasi dalam proses belajar dalam kegiatan eksperimen/percobaan, menjawab soal-soal terbuka yang diberikan oleh guru, dan siswa dituntut untuk aktif membangun pengetahuannya sampai siswa bertanya bagaimana dan mengapa. Untuk itu, konsep ini dirasa tepat pada model pembelajaran generatif.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul ”PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA PADA KONSEP PERPINDAHAN KALOR”.

B. Identifikasi Masalah

Dengan melihat masalah yang telah diuraikan sebelumnya dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Ketidaktahuan siswa mengenai kegunaan fisika dalam kehidupan sehari-hari menjadi penyebab siswa cepat bosan dan tidak tertarik pada pelajaran fisika 2. Siswa kesulitan memahami konsep-konsep fisika yang di ajarkan oleh guru 3. Hasil belajar fisika siswa yang masih rendah

4. Metode belajar yang digunakan oleh guru didominasi ceramah 5. Tidak ada praktikum pada pembelajaran fisika


(19)

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil tes kognitif saja. Adapun ranah kognitif yang dinilai berdasarkan taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh Anderson dkk mengingat (C1), memahami (C2),

menerapkan (C3), dan menganalisis (C4).

2. Konsep dalam penelitian ini Perpindahan Kalor.

3. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran generatif

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka permasalahan ini adalah: ”Apakah model pembelajaran generatif berpengaruh terhadap hasil belajar fisika pada konsep Perpindahan Kalor”?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran generatif terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep Perpindahan Kalor.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Model pembelajaran generatif diharapkan dapat membangun pengetahuan siswa dalam proses belajar, dan dapat mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran konsep fisika, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Penggunaan model pembelajaran generatif dapat dijadikan model alternatif

yang dapat membantu siswa untuk memahami konsep fisika, dan proses belajar mengajar yang menyenangkan.


(20)

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis

1. Pandangan Konstruktivisme

Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses aktif seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya dengan cara membangun keterkaitan antara pengetahuan yang dimilikinya dan yang sedang dipelajarinya. Konstruktivisme menganggap bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, melainkan dikontruksi secara aktif oleh siswa.

Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu, dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dengan demikian, hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.5

Tugas guru adalah membantu siswa agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi yang konkret. Adapun langkah-langkah pembelajaran konstruktivisme menurut Driver dan Oldham dalam Matthews sebagai berikut, yaitu :6

Tabel 2.1 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme No. Langkah-langkah

Konstruktivisme

Keterangan

1. Orientasi Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam

5

Paulina Pannen, dkk. Konstruktivismedalam Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka (PAU-PPAI-UT), 2001)., h. 31

6

Didi Sutardi & Encep Sudirjo, Pembaharuan dalam PBM di SD (Bandung : UPI PRESS, 2008), hal 136


(21)

mempelajari suatu topik. Siswa diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari. 2. Elicitasi Siswa dibantu untuk mengungkapkan

idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster.

3. Restrukturisasi Ide Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseporang dapat terangsang untuk merekontruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasnnya cocok.

Membangun ide yang baru, yang dapat terjadi bila dalam diskusi idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman. Mengevaluasi ide barunya dengan

eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4. Penggunaan ide dalam banyak situasi

Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi, sehingga menjadi lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam


(22)

kondisinya 5. Review, bagaimana ide

berubah

Dapat terjadi bahwa dalam mengaplikasi pengetahuannya seseorang perlu merevisi gagasannya, dengan menambahkan suatu keterangan ataupun dengan mengubah menjadi lebih lengkap.

Menurut Widodo lingkungan pembelajaran yang konstruktivis pada dasarnya mencakup lima unsur penting, yaitu:7

1) Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa. Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2) Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna. Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran.

3) Adanya lingkungan sosial yang kondusif. Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. 4) Adanya dorongan agar pembelajar bisa mandiri. Siswa didorong untuk bisa

bertanggung jawab terhadap proses belajar. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.

5) Adanya unsur untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah. Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan

7

Ari Widodo, Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains, (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 064, Tahun ke-13, 2007), hal. 99-100


(23)

sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang kehidupan ilmuwan.

Prinsip konstruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik, yaitu dengan:

a) Menyediakan pengalaman belajar yang dapat memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.

b) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekpresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa.

c) Memotivator, mengevaluasi, dan menunjukkan hasil apakah pemikiran siswa dapat didorong secara aktif atau tidak.8

a. Konstruktivisme Jean Piaget

Dalam konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai macam pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia (Nurhadi, 2004). Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, menurut Piaget, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.

Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menggabungkan atau mengintegrasikan

8


(24)

pengetahuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan asimilasi. Kedua,

mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar yaitu, skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.

Piaget (1990) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya. Sebagai contoh, piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau

sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi

merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganissasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir

(schemas, berarti building blocks of thinking).9

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun system makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi baru dilahirkan sampai menginjak dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif yaitu, sensorimotor,

praoperasional, operasi kongkrit, dan operasi formal.

Menurut Piaget (dalam Slavin, 1994), perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.10

9

Udin S. Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h 6.8

10

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Preatasi Pustaka, 2007), hal.14-16


(25)

b. Konstruktivisme Vygotsky

Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik faktor biologis menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulus-respon. Faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.

Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of

proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah

perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut.

Ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistic dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut.11

11

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Preatasi Pustaka, 2007), hal. 26-27


(26)

2. Model Pembelajaran Generatif

Model pembelajaran generatif merupakan pendekatan pembelajaran sains yang intinya bahwa belajar mengkonstruksi pengetahuan sainsnya sendiri dalam lingkungan belajar konstruktivistis.12

Menurut Osborne dan wittrock bahwa esensi pembelajaran generatif adalah pikiran atau otak manusia bukanlah penerima informasi secara pasif tetapi aktif mengkonstruksi dan menafsirkan informasi dan selanjutnya menarik kesimpulan berdasarkan informasi itu. Pembelajaran generatif melibatkan aktivitas mental berpikir. Mental berpikir seseorang yang telah melakukan pembelajaran akan berkembang sejalan dengan proses belajarnya.

Aktivitas mental oleh Piaget menggunakan istilah ”skema” yang diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Hal ini merupakan struktur kognitif individu yang disesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Sejalan dengan hal ini Skemp (1982) menjelaskan bahwa skema merupakan struktur kognitif, yaitu rangkaian konsep-konsep yang saling berhubungan yang ada dalam pikiran pelajar.

Dalam rangka mengembangkan struktur kognitif, menurut Piaget terjadi dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru ke dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali pikiran karena adanya informasi baru sehingga informasi itu punya tempat.13 Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran khususnya pembelajaran fisika diperlukan adanya keaktifan pelajar untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan fisika dalam pikirannya agar skema yang dimilikinya menjadi berkembang.

Dalam melaksanakan pembelajaran generatif, guru perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi siswa. Setelah guru mengetahui intuisi yang dimiliki siswa, guru mempersiapkan demonstrasi

12

IB. Putu Mardana, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Fisika di SMUN 3 Singaraja Melalui Implementasi Model Pembelajaran Generatif. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, ISSN 0215-8250 No. 2 TH. XXXIV April 2001), hal. 50

13

Fahinu, Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar MatematikaPada Mahasiswa Melalui Pembelajaran Generatif, (Bandung: Tesis Pascasarjana, UPI, 2002), hal 40-41.


(27)

yang menghasilkan peristiwa yang dapat berbeda dari intuisi siswa. Dengan melihat peristiwa yang berbeda dari dugaan mereka maka di dalam pikiran mereka timbul perasaan kacau (dissonance) yang secara psikologis membangkitkan perasaan tidak tenteram sehingga dapat memotivasi mereka untuk mengurangi perasaan kacau itu dengan mencari alternatif penjelasan. b. Mengakomodasi keinginan siswa dalam mencari alternatif penjelasan dengan

menyajikan berbagai kemungkinan kegiatan siswa antara lain berupa eksperimen/percobaan, kegiatan kelompok menggunakan diagram, analogi atau simulasi, pelatihan menggunakan tampilan jamak (multiple representation) untuk mengaktifkan siswa dalam proses belajar. Variasi kegiatan ini dapat membantu siswa memperoleh penjelasan yang cukup memuaskan.

c. Untuk lebih memperkuat pemahaman mereka maka guru dapat memberikan soal-soal terbuka (open-ended questions), soal-soal kaya konteks (context-rich problems) dan pertanyaan terbalik (reverse questions) yang dapat dikerjakan secara kelompok.14

Teori belajar generatif merupakan suatu penjelasan tentang bagaimana seseorang siswa membangun pengetahuan dalam pikirannya, seperti membangun ide tentang suatu fenomena alam atau membangun arti suatu istilah dan juga membangun suatu strategi untuk sampai pada penjelasan tentang pertanyaan bagaimana dan mengapa.

Teori pembelajaran generatif dikemukakan oleh Wittrock (dalam Grabowski, 1996) dengan asumsi bahwa siswa bukan penerima informasi yang pasif, melainkan siswa aktif berpartisipasi dalam proses belajar dan dalam mengkonstruksikan makna dari informasi yang ada disekitarnya, adalah sangat penting bagi guru untuk meminta siswa to generate ’menghasilkan’ sendiri makna

dari informasi yang diperoleh, sebagaimana dikemukakan Wittrock (dalam Grabowski, 1996): ” although a student may not understand sentences spoken to

14

Model Pembelajaran Generatif (MPG), http://anwarholil.blogspot.com/2010/08/pembelajaran-generatif-mpg.html. 29 Agustus 2010, 13:24.


(28)

him by his teacher, it is highly likely that a student understands sentences that he

generates himself”.15

Model pembelajaran generatif memiliki empat komponen, yaitu proses motivasi (the motivational processes), proses belajar (the learning processes), proses penciptaan pengetahuan (the knowledge creation processes), dan proses generasi (the processes of generation).16

a) Proses Motivasi

Proses motivasi amat ditentukan oleh minat (interest) dan atribusi (attribution). Menurut Wittrock, persepsi siswa terhadap dirinya yang berhasil atau gagal sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa, sedangkan minat sangat bersifat pribadi dan berasal dari diri siswa sendiri.

b) Proses Belajar

Proses belajar seseorang dipengaruhi oleh rangsangan dan niat. Faktor penting dalam proses belajar adalah perhatian, karena tanpa perhatian, proses belajar tidak akan pernah terjadi. Perhatian dirangsang oleh stimulus eksternal, kemudian siswa secara aktif dan dinamik menyeleksi rangsangan tersebut.

c) Proses Penciptaan Pengetahuan

Proses penciptaan pengetahuan dilandasi pada beberapa komponen ingatan, yaitu hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya, kepercayaan atau sistem nilai, konsep, keterampilan strategi kognitif, dan pengalaman. Ingtan berfungsi untuk menerima, mengkode, dan menyimpan informasi. Sementara itu, diantara lima komponen ingatan tersebut, maka hubungan antar konsep diformulasikan, dan kebermaknan dapat terbentuk sebagai pengetahuan seseorang. Dalam hal ini, hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya oleh seseorang sangat berpengaruh terhadap proses belajarnya.

d) Proses Generasi

Pada dasarnya, pada saat proses konstruksi pengetahuan, siswa menggenerasikan hubungan antara berbagai bagian informasi yang mereka

15

Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, (Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka,2001), hal.79

16


(29)

peroleh dari pengalaman mereka. Siswa kemudian mereorganisasi, mengelaborasi, dan merekonseptualisasi informasi untuk membentuk pengetahuan.

Dalam model pembelajaran generatif, guru memiliki tanggung jawab sebagai berikut:

1. Mengajarkan kepada siswa bahwa belajar dengan pemahaman adalah ’generatif learning’.

2. Mengajarkan kepada siswa bahwa kesuksesan di sekolah bermula dari percaya diri pada kemampuan diri sendiri dan menghargai usaha.

3. Mengajarkan kepada siswa untuk mengikuti proses membangun pemahaman diri instruksi guru.

4. Mengajarkan kepada siswa untuk menggenerasi maksud mengapa mereka harus belajar.17

Dari penjelasan di atas seseorang guru dapat melakukan hal-hal di bawah ini sebagai bekal awal untuk lebih memahami tentang model pembelajaran generatif ini:

a) Pelajari apa itu model, prakonsepsi strategi pembelajaran, sikap, dan percaya bahwa kemampuan siswa relevan dengan apa yang diajarkan guru,

b) Mendesain struktur yang akan mengetahui, kemampuan siswa dalam menghubungkan antara konsep materi dengan model pengetahuan.

c) Menghubungkan self control strategi agar siswa dapat diketahui kemampuan kognitif dan efektif18

Ada beberapa hal yang mendapat perhatian khusus dalam model belajar generatif, yaitu motivasi, perhatian, konsepsi awal dan pengalaman belajar.

Menurut Osborne dan Wittrock dalam Maria (1999), motivasi serta perhatian siswa merupakan hal penting dalam menentukan keberhasilan belajarnya. Penelitian sebelumnya oleh Rasker (dalam Maria, 1999) menemukan beberapa hal yang menyebabkan beberapa hasil belajar IPA masih belum seperti yang

17

Nina Husna, Penerapan Pembelajaran Generatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa PadaLarutan Penyangga. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 23

18

Nina Husna, Penerapan Pembelajaran Generatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Larutan Penyangga. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 23-24


(30)

diharapkan. Diantaranya karena siswa sering menunjukkan minat dan perhatian yang rendah dalam pembelajaran serta menganggap pelajarannya sebagai sesuatu kejadian yang terisolisir dari pengalaman hidupnya.

Model pembelajaran generatif terdiri atas empat fase (langkah) pembelajaran yaitu:

Tabel 2.2 Fase-fase Model Pembelajaran Generatif

No. Fase Keterangan

1. Eksplorasi Pendahuluan Pada fase ini guru mengeksplorasi dan mengklasifikasi gagasan-gagasan siswa tentang konsep-konsep yang akan dipelajari. Prakonsepsi siswa yang tereksplorasi pada fase ini digunakan sebagai titik awal program pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa prakonsepsi siswa sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Prakonsepsi siswa yang pada umumnya bersifat miskonsepsi secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah (matematis).

2. Pemusatan Pada fase kedua guru melakukan pemusatan yang terarah pada konsep yang akan dipelajari siswa. Guru memberi motivasi kepada siswa dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada siswa. Respon dan gagasan siswa diinterpretasi dan diklarifikasi. Pada pihak lain, para siswa melakukan kegiatan-kegiatan untuk lebih mengenal material-material yang digunakan untuk mengeksplorasi konsep. Di samping itu, para siswa juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari, melakukan refleksi, dan mengklarifikasi konsepsinya. Lebih lanjut,


(31)

para siswa mempresentasikan atau mengkomunikasikan konsepsinya kepada teman sejawatnya melalui diskusi kelompok atau diskusi kelas

3. Tantangan (challenge) Pada fase ini guru berfungsi sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran untuk mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi matematis, guru mempertimbangkan dan menghargai semua gagasan siswa, serta tetap mempertahankan suasana diskusi. Pada pihak lain, para siswa mempertimbangkan serta menguji gagasan teman sejawatnya dengan jalan mencari bukri-bukti matematis.

4. Aplikasi Kegiatan guru dalam fase keempat adalah mulai dengan menyajikan soal-soal yang sederhana yang dapat dipecahkan siswa dengan menggunakan konsep-konsep matematis. Lebih lanjut, guru membimbing siswa untuk mengklarifikasi pandangan matematis, dan menunjukkan bahwa pandangan matematis itu dapat diaplikasikan dalam suatu rentang situasi. Pada akhirnya, guru membantu para siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang sulit.19

Dengan fase-fase pembelajaran diatas, siswa diharapkan memiliki pengetahuan, kemampuan serta keterampilan untuk mengkonstruksikan/ membangun pengetahuan secara mandiri. Dengan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki sebelumnya dan menghubungkannya dengan konsep yang dipelajari, akhirnya siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan baru.

19

Novi Faizaty, “Pengaruh Strategi Pembelajaran Generatif Terhadap Motivasi Belajar


(32)

3. Hakikat Proses Belajar Mengajar

Setiap manusia dalam kehidupannya pasti belajar, baik itu secara formal maupun belajar non formal. Belajar adalah proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu, terjadi dalam waktu tertentu. Perubahan yang terjadi harus secara relatif bersifat menetap (permanen) dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini nampak , tetapi perilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu, perubahan-perubahan terjadi karena pengalaman20. Menurut kaum kontruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkontruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikempangkan.21 Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukan dalam bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, kebiasaan, sikap dan tingkah laku, serta perubahan-perubahan aspek lain yang dialami individu dalam belajar.

Belajar juga merupakan proses pengumpulan atau penghafalan suatu fakta dalam bentuk informasi atau materi pelajaran, demikianlah sebagian orang menafsirkan arti belajar.22 Belajar sering dianggap sama dengan menghafal. Kalau orang tua menyuruh anaknya belajar, maka pada dasarnta ia menyuruh anaknya untuk menghafal, yaitu menghafal berbagai materi pelajaran yang akan diujikan

Dalam konteks ini belajar adalah mengingat sejumlah fakta atau konsep. Siswa hampir tidak pernah melihat hubungan antara materi pelajaran yang dihafalkannya dengan mamfaat atau kebutuhannya. Pandangan bahwa belajar sama dengan menghafal ada beberapa karakteristik yang melekat yaitu:

a. Belajar berarti menambah sejumlah pengetahuan

b. Belajar berarti mengembangkan kemampuan intelektual

20

Zikri Neni Iska, Psikologi Pengantar Pemahaman Diri dan Lingkungan, (Jakarta: Kizi Brother’s, 2006), hal. 76

21

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Penelitian, (Yogyakarta:Kanisius, 1997),h.61 22


(33)

c. Belajar adalah hasil bukan proses23

Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapainya.24

Kegiatan belajar mengajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a) Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.

b) Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode dan teknik yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c) Fokus materi jelas, terarah dan terencana dengan baik

d) Adanya aktifitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.

e) Aktor guru yang cermat dan tepat

f) Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan anak didik dalam proporsi masing-masing.

g) Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran

h) Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.25

Hilgrad dan Bower, dalam bukunya Theories of Learning (1975) mengemukakan. “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.26

23

Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2005), hal 87-88

24

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2002),h.38

25

Pupuh Fathurrahman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.11

26


(34)

Ciri-ciri perubahan dalam pengertian belajar menurut Lameto (1987) meliputi:

(1) Perubahan yang terjadi berlangsung secara sadar, sekurang-kurangnya sadar bahwa pengetahuannya bertambah, sikapnya berubah, kecakapannya berkembang, dan lain-lain.

(2) Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional. Belajar bukan proses yang statis karena terus berkembang secara grandual dan setiap hasil belajar memiliki makna dan guna yang praktis.

(3) Perubahan belajar bersifat positif dan aktif. Belajar senantiasa menuju perubahan yang lebih baik.

(4) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, bukan hasil belajar jika perubahan itu hanya sesaat, seperti berkeringat, bersin, dan lain-lain.

(5) Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. Sebelum belajar, seseorang hendaknya sudah menyadari apa yang akan berubah pada dirinya melalui belajar.

(6) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku, bukan bagian-bagian tertentu secara parsial.27

James O. Whittaker (dalam Djamarah), merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau di ubah melalui latihan atau pengalaman.28 Menurut Gagne yang dikutip Nurdin Ibrahim, memaparkan bahwa belajar sebagai suatu perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia. Perubahan dalam menunjukan kinerja (perilaku) berarti belajar itu menentukan semua keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai yang diperoleh siswa. Dalam belajar dihasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlainan, seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, informasi dan nilai.

Sementara Witting seperti dikutip oleh Muhibbin Syah mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil

27

Pupuh Fathurrahman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.10

28


(35)

pengalaman.29 Pada definisi yang dikemukakan oleh Witting menekankan pada perubahan yang menyangkut seluruh aspek psiko fisik organisme yang didasarkan pada kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriyah organisme itu sendiri bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak dapat diobservasi langsung.30

Sedangkan penilaian terhadap hasil belajar penguasaan materi bertujuan untuk mengukur penguasaan dan pemilihan konsep dasar keilmuan. ia menerima.31. Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dan seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Belajar juga dapat diartikan sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman, dan proses belajar telah terjadi di dalam diri anak setelah terjadi perubahan. Perubahan dalam diri anak yang dikatakan sebagai hasil proses belajar, jika perubahan tersebut diperoleh dari pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Jadi belajar ditandai oleh dua faktor yaitu adanya pengalaman dan perubahan. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang melalui proses latihan atau pengalaman sehingga terjadi perubahan yang lebih baik sebelumnya.

Perubahan itu meliputi pengetahuan, kebiasaan, sikap dan tingkah laku. Dari sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar menjadi tiga ranah yakni: Kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada penelitian ini, penulis hanya mengungkapkan hasil belajar pada ranah kognitif saja dalam pengaruh model pembelajaran generatif.

Ranah kognitif meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari, dan kemampuan-kemampuan intelektual, seperti mengaplikasikan prinsip atau konsep, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan-kemampuan yang termasuk domain kognitif

29

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h.89 30

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, loc. Cit., h. 89 31

Ahmad Sofyan, dkk. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta : UIN Press, 2006) cet ke-1, h.14


(36)

berdasarkan taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh Anderson dkk, dikategorikan lebih terinci secara hierarkis ke dalam enam jenjang kemampuan, yakni:

(a) Mengingat (C1), jenjang mengingat meliputi kemampuan menyatakan

kembali fakta, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajarinya.

(b) Memahami (C2), jenjang memahami meliputi kemampuan menangkap arti

dari informasi yang diterima, misalnya dapat menafsirkan bagan, diagram, atau grafik, menerjemahkan suatu pernyataan verbal ke dalam rumusan matematis atau sebaliknya, meramalkan berdasarkan kecenderungan tertentu (ekstrapolasi dan interpolasi), serta mengungkapkan suatu konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri.

(c) Menerapkan (C3), yang termasuk jenjang menerapkan ialah kemampuan

menggunakan prinsip, aturan, metode yang dipelajarinya pada situasi baru atau pada situasi konkrit.

(d) Menganalisis (C4), jenjang analisis meliputi kemampuan menguraikan suatu

informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponen informasi tersebut menjadi jelas. (e) Mensinresis (C5), yang termasuk jenjang sintesis ialah kemampuan untuk

mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah-pisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.

(f) Menghasilkan karya (C6), kemampuan pada jenjang evaluasi ialah

kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan.

4. Hasil Belajar Fisika

Pendidikan sains atau lebih dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), seperti pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan intelektual anak. Dengan berbagai upaya dilakukan, pendidikan sains senantiasa mengalami pengkajian ulang dan pembaruan untuk mencari bentuknya yang paling sesuai.


(37)

Menurut hardy dan Fleer pengertian sains dalam perspektif yang lebih luas adalah sebagai berikut:

a. Sains sebagai kumpulan pengetahuan, mengacu pada kumpulan berbagai konsep sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai penemuan pengetahuan yang sangat baru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori, dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam.

b. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigation), umumnya merupakan suatu pandangan yang menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya.

c. Sains sebagai kumpulan nilai, berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses.

d. Sains sebagai suatu cara untuk mengenal dunia, proses sains dipengaruhi oleh cara dimana orang memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya.

e. Sains sebagai institusi sosial, sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan profesional, di mana malalui sains para ilmuan dilatih dan diberi penghargaan akan hasil karya yang telah dihasilkan, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah bahkan dipengaruhi oleh politik.

f. Sains sebagai hasil konstruksi manusia, pandangan ini menunjuk pada pengartian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat semesta alam.

g. Sains sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, orang menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains.32

Secara sederhana pengertian fisika ialah ilmu pengetahuan atau sains tentang energi, transformasi energi, dan kaitannya dengan zat. Sebagaimana sains yang lain, fisika juga mengalami perkembangan yang pesat terutama sejak abad ke-19. Oleh karena itu orang membagi fisika dalam fisika klasik dan fisika modern. Fisika klasik merupakan akumulasi dari pengatahuan, teori-teori,

32


(38)

hukum tentang sifat zat dan energi yang sebelum tahun 1900 mengalami penyempurnaan. Fiska modern mempelajari struktur dasar suatu zat, yakni molekul, atom, inti serta partikel dasar.33

Fisika adalah ilmu tentang gejala dan perilaku alam sepanjang dapat diamati oleh manusia. Jadi, jelas bahwa teknik-teknik pengamatan (observasi) merupakan bagian yang amat penting dalam pengajaran fisika. Manusia memiliki lima indera, tetapi khususnya ilmu fisika yang terutama menggarap benda mati, penglihatan dan pendengaran merupakan dua indera yang paling banyak dipakai.34

Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. Fiska adalah ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian alam serta interaksi antara benda-benda, atau materi-materi di alam ini. Banyak faktor yang dapat membuat pembelajaran fisika menjadi lebih menarik dan menghasilkan prestasi siswa yang lebih tinggi. Namun, satu faktor terpenting untuk hal itu adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Siswa terlibat secara aktif dalam mengamati, mengoperasikan alat, atau berlatih menggunakan objek konkret sebagai bagian dari pelajaran.

Ilmu fisika tidak hanya menggarap gejala dan perilaku alam secara kualitatif, tetapi juga secara kuntitatif. Untuk itu, diperlukan juga unsur kecermatan dan ketelitian, yang menjadi salah satu andalan dari kemahiran pengamatan. Yang dimaksud dengan “pengamatan” di sini bukan hanya pengamatan secara langsung, tetapi juga pengamatan tidak langsung.35

33

Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h 31 34

Suprapto Brotosiswoyo, Hakikat Pembelajaran MIPA Di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Pekerti-MIPA, 2001), h.6

35

Suprapto Brotosiswoyo, Hakikat Pembelajaran MIPA Di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Pekerti-MIPA, 2001), h.7


(39)

5. Perpindakan Kalor a. Konduksi

Proses perpindahan kalor melalui suatu zat tanpa diikuti perpindahan bagian-bagian zat itu disebut konduksi atau hantaran. Misalnya, salah satu ujung batang besi kita panaskan. Akibatnya, ujung besi yang lain akan terasa panas, lihat pada gambar.

Gambar 2.1 Konduksi kalor pada logam

Pada batang besi yang dipanaskan, kalor berpindah dari bagian yang panas ke bagian yang dingin. Pada peristiwa konduksi kalor berpindah dari satu molekul ke molekul lain dalam batang besi. Molekul-molekul pada ujung besi yang dipanaskan akan bergetar lebih cepat karena menerima kalor. Getaran ini mengakibatkan molekul di sampingnya ikut bergetar.

Getaran ini juga mengakibatkan molekul disampingnya lagi ikut bergetar. Demikian seterusnya, sampai molekul-molekul pada ujung besi yang lain juga ikut bergetar. Akibatnya, ujung besi itu yang semula dingin berubah menjadi panas. Berdasarkan kemampuan manghantarkan kalor, zat dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu konduktor dan isolator. Benda-benda yang dapat dilewati kalor dengan baik disebut penghantar kalor atau konduktor. Sebaliknya, benda-benda yang sangat sulit dilewati kalor disebut penghambat kalor atau

isolator.

Tabel 2.3 Beberapa Zat yang Bersifat Konduktor dan Isolator

Konduktor Isolator

Tembaga

Aluminium Besi

Emas

Kayu Kapas Plastik Wol


(40)

Seng Raksa Silikon

Gabus Kertas Karet

Daya hantar kalor adalah kemampuan benda untuk menghantarkan kalor. Zat yang daya hantar kalornya besar sangat mudah dilewati kalor. Sebaliknya, zat yang daya hantar kalornya kecil sangat sulit dilewati kalor. Dengan demikian, perbedaan antara isolator dan konduktor sebenarnya terletak pada daya hantar kalornya. Pada umumnya logam merupakan konduktor yang baik.

Sifat udara sebagai isolator banyak dimanfaatkan pada pembuatan pakaian di negara-negara yang mengalami empat musim. Pada musim dingin orang memakai pakaian yang bahannya terbuat dari wol. Pada serat kain wol banyak terdapat celah yang berisi udara. Dengan demikian, ketika dikenakan pakaian wol tersebut terasa hangat karena udara dingin di luar tertahan oleh udara yang ada di bahan pakaian.

Baik konduktor maupun isolator sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

 Peralatan seperti panci, ceret, dan setrika biasanya terbuat dari bahan logam karena logam merupakan penghantar kalor yang baik

 Gagang panci, ceret, dan setrika biasanya terbuat dari bahan kayu atau plastik karena kedua bahan tersebut merupakan isolator yang baik.

b. Konveksi

Proses perpindahan kalor melalui suatu zat yang disertai dengan bagian perpindahan bagian-bagian yang dilaluinya disebut konveksi atau aliran. Konveksi dapat terjadi pada zat cair dan gas. Perpindahan kalor secara konveksi pada air

contohnya memasak air. Karena mendapatkan kalor, bagian-bagian air yang dipanaskan memuai sehingga massa jenisnya lebih kecil daripada massa jenis air yang masih dingin di atasnya. Oleh karena itu, air yang panas ini naik, sedangkan air yang dingin turun menggantikan tempat yang kosong di bawahnya. Sesampainya di bawah, air dingin ini akan mendapatkan pemanasan.


(41)

Air akan kembali naik ketika massa jenisnya telah menjadi lebih kecil. Demikian seterusnya, hingga terjadi perputaran air yang disebabkan oleh perbedaan massa jenis. Air yang berputar ini menyerap kalor saat mendapat pemanasan. Jadi, kalor berpindah dengan mengikuti aliran air. Konveksi pada gas,

misalnya udara. Beberapa peristiwa yang terjadi akibat adanya konveksi udara adalah sebagai berikut:

1) Adanya angin laut. Angin laut terjadi pada siang hari, pada siang hari daratan lebih cepat menjadi panas daripada lautan, sehingga udara di daratan naik dan digantikan oleh udara dari lautan.

2) Adanya angin darat. Angin darat terjadi pada malam hari, pada malam hari daratan lebih cepat menjadi dingin daripada lautan. Dengan demikian, udara di atas lautan naik dan digantikan oleh udara dari daratan.

3) Adanya sirkulasi udara pada ruang kamar di rumah 4) Adanya cerobong asap pabrik.

c. Radiasi

Pada siang hari kita merasakan panasnya sinar matahari, berarti, kita merasakan kalor yang dipancarkan matahari. Apakah kalor dari matahari berpindah secara konduksi ataukah secara konveksi? Telah dibuktikan secara ilmiah bahwa ruang hampa antara matahari dan bumi kebanyakan berupa ruang hampa udara. Hampir tidak ada zat yang mengisi ruang tersebut. Dengan demikian, perpindahan kalor dari matahari ke bumi tidak melalui zat atau dibawa oleh zat. Oleh karena itu, perpindahan kalor tersebut bukan merupakan konduksi atau konveksi. Perpindahan kalor yang tidak memerlukan zat perantara disebut

radiasi.

Kita merasakan panas saat terkena cahaya matahari atau terkena cahaya dari api unggun. Bila kita menghalangi cahaya matahari dengan memakai payung, maka kita tidak lagi merasakan panasnya cahaya matahari tersebut. Hal yang sama terjadi kalau kita menghalangi tubuh kita terhadap cahaya yang dipancarkan api unggun dengan menggunakan tabir. Makin panas suatu benda berarti makin banyak kalor yang dipancarkannya. Permukaan yang hitam dan kusam adalah


(42)

penyerap atau pemancar radiasi kalor yang baik. Permukaan yang putih dan mengkilap adalah penyerap atau pemancar radiasi yang buruk. Mengamati daya serap radiasi kalor, lihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.2 Mengamati Daya Serap Radiasi Kalor

Ketika mendapat radiasi, bohlam bercat hitam menyerap kalor lebih banyak. Akibatnya, suhu ruang di dalam bohlam bercat hitam naik lebih cepat daripada suhu ruang di dalam bohlam bercat putih. Karena suhunya naik maka tekanan menjadi lebih besar. Akibatnya, permukaan air di bawah bohlam hitam turun. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa permukaan benda hitam turun. Merupakan penyerap kalor yang baik. Sebaliknya, permukaan benda putih merupakan penyerap kalor yang buruk.

Selain menyerap kalor, benda juga memancarkan kalor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, jika suatu benda merupakan penyerap kalor yang baik, benda itu juga merupakan pemancar kalor yang baik. Sebaliknya, benda yang merupakan penyerap kalor yang buruk juga merupakan pemancar kalor yang buruk. Oleh karena itu, pada malam hari yang dingin kita akan merasa lebih dingin jika memakai pakaian hitam, karena kalor yang ada di tubuh kita diserap oleh pakaian dan kemudian dipancarkan keluar. Sebaliknya, jika memakai baju putih mengkilap, kita akan merasa nyaman karena baju tersebut hanya sedikit menyerap dan memancarkan kalor dari tubuh kita.

d. Mencegah Perpindahan Energi kalor

Energi kalor dapat dicegah untuk berpindah dengan mengisolasi ruang tersebut. Misalnya, pada penerapan beberapa peralatan rumah tangga, seperti termos dan setrika listrik.


(43)

Mengapa permukaan di dalam botol termos mengkilap? Dindingnya berlapis dua dan ruang di antara kedua dinding itu dihampakan. Dengan demikian, zat cair yang ada di dalamnya tetap panas untuk waktu yang relatif lama. Termos dapat mencegah perpindahan kalor, baik secara konduksi, konveksi, maupun radiasi.

2) Setrika Listrik

Mengapa pakaian yang disetrika menjadi halus dan tidak kusut? Didalam setrika listrik terdapat filamen dari bahan nikelin yang berbentuk kumparan. Kumparan nikelin ini ditempatkan pada dudukan besi. Ketika listrik mengalir, filamen setrika listrik menjadi panas. Panas ini dikonduksikan pada dudukan besi dan akhirnya dikonduksikan pada pakaian yang disetrika. Dengan demikian, setrika mengkonduksi kalor pada pakaian yang disetrika.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. I wayan Redhana dan I Dewa Ketut Sastrawidana (2001/2002). Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, IKIP Negeri Singaraja. Dengan judul ” Pembelajaran Generatif dengan Strategi Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia dasar II”. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan pada mata kuliah kimia dasar II mahasiswa TPB jurusan pendidikan kimia, terdiri dari 23 orang mahasiswa. Penelitian ini dirancang dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, serta refleksi tindakan. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa aktifitas dan hasil belajar mahasiswa tergolong baik.

2. Abdi Rinaldi (2006). Dengan judul ” Pengaruh Pembelajaran Konstruktivisme Dengan Strategi Generative Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Senyawa Hidrokarbon”. Studi kasus di SMA Setia Budi Sungailiat Bangka, mahasiswa jurusan IPA pendidikan kimia. Temuan penelitian ini menunukan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar pada kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol.


(44)

3. Nina Husna (2007/2008) dengan Judul ” Penerapan Pembelajaran Generatif Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Larutan Penyangga”. Sebuah penelitian tindakan kelas di Mas As-syafi’iyah 01 Tebet Jakarta Selatan, yang terdiri dari 30 orang siswa. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang pentingnya penerapan konstruktivisme berbasis generatif untuk meningkatkan pemahaman siswa pada konsep larutan penyangga demi tercapainya tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran kimia. Penelitian ini dirancang dalam dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, serta refleksi tindakan. Penelitian ini dapat menarik kesimpulan bahwa berdasarkan siklus-siklus dan metode-metode yang telah dilalui dapat terlihat meningkatnya pemahaman siswa melalui proses pembelajaran generatif.

4. IB. Putu Mardana. Program Studi Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja. Dengan judul “ Peningkatan Kualitas Pembelajaran Fisika Di SMUN 3 Singaraja Melalui Implementasi Model Pembelajaran Generatif.” Sebuah penelitian tindakan kelas di SMUN 3 Singaraja, yang terdiri dari 49 orang siswa. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang terdiri atas dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap observasi/evaluasi dan tahap refleksi. Berdasarkan temuan ini, disarankan agar guru dapat menerapkan Model Pembelajaran Generatif secara berkesinambungan dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa.

5. Suryani Lily (2004/2005). Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Generatif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Fisika Siswa” Kelas XI IA-2 SMAN 7 Malang. Sebuah penelitian tindakan kelas (PTK), penelitiannya terdiri dari dua siklus. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMAN 7 Malang kelas XI IA-2 dengan jumlah siswa 33 orang. Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa penerapan model pembelajaran generatif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa kelas XI IA-2 SMAN 7 Malang.


(45)

6. Sutarman dan Suwasono (2003), sebuah penelitian di SLTP Negeri 17 Malang menyimpulkan bahwa strstegi pembelajaran generatif dapat (1) meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar fisika pada pokok bahasan energi dan kemagnetan di SLTP Negeri 17 Malang, dan (2) penerapan model generatif dapat meningkatkan keterampilan proses fisika siswa.

7. Yuslina.(2008/2009). Jurusan Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “ Pengaruh Pembelajaran Generative Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya Yang Bernuansa Nilai”. Sebuah penelitian quasi eksperimen di MTs Negeri Rajeg Tangerang. Berdasarkan temuan ini, disarankan agar guru dapat menerapkan pembelajaran generative learning atau model-model pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme pada materi-materi yang dianggap sesuai untuk menggunakan model tersebut karena dapat meningkatkan aktivitas minat, dan hasil belajar siswa.

8. Made Sumadi (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengembangan Strategi Pembelajaran Generatif Untuk Meningkatkan Aktivitas Mengajukan Masalah, Kemampuan Berargumentasi, dan Hasil Belajar Siswa Kelas 1 SLTP Negeri I Singaraja. Menyimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran generative yang dilaksanakan dengan pengembangan LKS, dapat meningkatkan aktivitas siswa, khususnya aktivitas bertanya/mengajukan masalah, meningkatkan hasil belajar siswa dan tanggapan guru maupun siswa terlibat langsung dalam pembelajaran ini tergolong positif.

C. Kerangka Berpikir

Menjadi guru merupakan profesi yang mulia, karena itu adalah keniscayaan bagi seorang guru untuk memfungsikan dirinya pada tataran kemuliaan profesinya, yaitu dengan menjadikan guru sebagai washilah pembentukan karakter murid, dimana pondasi paradigmanya tidak sekedar mengajar tetapi belajar. Menjadi guru yang mampu mengajar dengan baik dikelas, selalu kaya dengan ide-ide, kaya dengan kreatifitas adalah dambaan setiap orang. Sedangkan kompetensi profesi seorang guru sangat ditentukan oleh kecakapan/keterampilannya sebagai guru.


(46)

Penguasaan fisika sejak dini sangat diperlukan, karena mempunyai banyak manfaat. Selain untuk pemakaian praktis dalam kehidupan sehari-hari, fisika berguna sebagai sarana pembentuk pola pikir, maupun sebagai landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam belajar fisika, siswa akan menjumpai ide-ide atau konsep-konsep yang tersusun secara hirarkis dan saling berhubungan. Namun demikian, konsep-konsep fisika tersebut bukanlah tidak ada dalam kehidupan sehari-hari. Artinya konsep-konsep fisika yang abstrak tersebut dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa kita temukan dalam model pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme telah dapat perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains pada masa akhir-akhir ini. Model ini memiliki masa depan yang menjanjikan dalam bidang pendidikan sains. Model ini merupakan pengembangan dari teori perkembangan kognitif piaget.

Beberapa alasan menggunakan Model Pembelajaran Generatif diantaranya: peserta didik cepat bosan dan tidak tertarik pada pelajaran fisika, karena ketidaktahuan mereka mengenai kegunaan fisika dalam kehidupan sehari-hari, tidak adanya praktikum dalam pembelajaran fisika, sehingga peserta didik sulit memahami konsep fisika dan mengakibatkan hasil belajar fisika yang masih rendah, guru kurang menantang kemampuan berpikir siswa dalam proses belajar, dan guru kurang memberikan soal-soal terbuka yang dikerjakan secara berkelompok. Model pembelajaran generatif memperlihatkan bahwa peserta didik bukan penerima informasi yang pasif, melainkan aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar, pembelajaran ini merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh atau sampai pada persamaan pemahaman dengan murid.

Model pembelajaran generatif pada pembelajaran sains akan memberi keuntungan, selain pembelajaran fisika menjadi lebih bermakna dan tuntas, juga dapat menciptakan suasana pembelajaran yang generatif dan menyenangkan, peserta didik mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan


(47)

masalah-masalah serta mendiskusikan perihal konsep yang terkait dengan pembelajaran fisika tanpa dibebani rasa takut serta berargumentasi menuju pada penguasaan konsep yang ilmiah. Singkatnya dengan menggunakan model pembelajaran generatif, hasil belajar peserta didik akan meningkat.

Bagan 2.3 Kerangka Berpikir

D. Pengajuan Hipotesis

Hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh model pembelajaran generatif terhadap hasil belajar fisika.

Hasil Belajar  Hasil belajar fisika yang masih

rendah

 Sulitnya siswa memahami konsep fisika

 Tidak adanya praktikum  Ketidaktahuan siswa mengenai

kegunaan fisika dalam kehidupan sehari-hari

 Guru kurang menantang

kemampuan berpikir siswa dalam proses belajar

 Guru kurang memberikan soal-soal terbuka yang dikerjakan secara berkelompok

Evaluasi Belajar Penerapan model pembelajaran generatif

Konsep Perpindahan Kalor


(1)

Jika x2hitungx2tabel,berarti homogen Dari perhitungan didapat:

0764 , 1

2 

hitung

x dan x2tabel3,841

Ternyata, x2hitungx2tabelatau 1,0764 3,841, maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok berawal dari populasi yang homogen.

C. UJI HIPOTESIS

1. Uji kesamaan dua rata – rata hasil pretest Hipotesis yang diajukan:

Ho : X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata – rata skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok control.

Ha : XY

Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata – rata skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika –t table ≤ t hitung ≤ t table maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan 0,95

Jika t hitung < - t table atau t table < t hitung maka Ha diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.

Uji – t

2 1

2 1

1 1

n n S

x x t

g

 

Dimana:

2

1 1

2 1

2 2 2 2 1 1

 

  

n n

S n S n Sg


(2)

31 , 12 48 , 151 78

44 , 11815 2

40 40

33 , 172 1 40 63 , 130 1 40

 

 

  

x x

Sg

Sehingga

11 , 1 6686 , 2

97 , 2 22 , 0 13 , 12

97 , 2

40 1 40

1 13 , 12

33 , 37 3 , 40

 

    

 

x t

tabel

t untuk

  

dkn11

 

n2 1

78dengan α = 0,05 didapat ttabel= 2,00 Dari hasil pengujian yang diperoleh menunjukan bahwa thitungsebesar 1,11 dan ttabel= 2,00. Ternyata thitungttabel, dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95, hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata- rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata – rata skor pretest kelompok kontrol.

2. Uji kesamaan dua rata – rata hasil posttest Hipotesis yang diajukan:

Ho : X = Y

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata – rata skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok control.

Ha : XY

Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata – rata skor pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika –t table ≤ t hitung ≤ t table maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan 0,95 Jika t hitung < - t table atau t table < t hitung maka Ha diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.

Uji – t

2 1

2 1

1 1

n n S

x x t

g

 


(3)

Dimana:

2

1 1

2 1

2 2 2 2 1 1

 

  

n n

S n S n Sg

35 , 11 75 , 128 78

5 , 10042 2

40 40

5 , 149 1 40 108 1 40

 

 

   

x x

Sg

84 , 4 497 , 2

1 , 12 22 , 0 35 , 11

1 , 12

40 1 40

1 35 , 11

7 , 56 8 ,

68

   

 

x t

tabel

t untuk

  

dkn11

 

n2 1

78dengan α = 0,05 didapat ttabel= 2,00 Dari hasil pengujian yang diperoleh menunjukan bahwa thitungsebesar 4,84 dan

tabel

t = 2,00. Ternyata memenuhi kriteria ttabel < thitungatau 2,00 < 4,84. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 0,95. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata – rata skor pretest kelompok dengan rata – rata skor posttest kelompok kontrol.

D.Uji Normal gain

Kelas Kontrol

Item Pretest Posttest N-Gain Item Pretest Posttest N-Gain

1 29,6 55,5 0,371 21 55,5 55,5 0

2 29,6 62,9 0,471 22 14,8 51,8 0,435

3 25,9 29,6 0,054 23 29,6 70,3 0,571

4 14,8 44,4 0,341 24 48,1 48,1 0

5 51,8 55,5 0,083 25 44,4 70,3 0,464

6 55,5 62,9 0,159 26 29,6 37 0,1

7 29,6 44,4 0,2 27 29,6 62,9 0,471

8 44,4 51,8 0,143 28 62,9 70,3 0,189

9 48,1 66,6 0,365 29 55,5 55,5 0

10 25,9 70,3 0,595 30 66,6 70,3 0,091

11 29,6 55,5 0,371 31 51,8 66,6 0,313

12 62,9 70,3 0,189 32 29,6 55,5 0,371

13 14,8 37 0,235 33 29,6 62,9 0,471


(4)

15 29,6 51,8 0,314 35 37 70,3 0,524

16 37 48,1 0,175 36 29,6 51,8 0,314

17 37 44,4 0,111 37 51,8 81,4 0,604

18 29,6 66,6 0,529 38 44,4 55,5 0,214

19 51,8 70,3 0,375 39 29,6 70,3 0,571

20 48,1 77,7 0,577 40 55,5 81,4 0,604

Skor terbesar = 0,604 Skor terkecil = 0

Rentang (R) = Skor terbesar – Skor terkecil = 0,604 - 0

= 0,604

Banyak Kelas (BK) = 1 + 3,3 log 40 = 1 + 3,3 (1,6) = 1 + 5,28 = 6,28

Panjang Kelas (i) = 0,101 6

604 ,

0

BK

R

Tabel frekuensi

No Kelas Interval

F Nilai tengah (xi)

xi2 f.xi f.xi2

1. 2. 3. 4. 5. 6.

0-0,10 0,11-0,21 0,22-0,32 0,33-0,43 0,44-0,54 0,55-0,65

8 7 5 6 8 6

0,05 0,16 0,27 0,38 0,49 0,60

0,0025 0,0256 0,0729 0,1444 0,2401 0,36

0,4 1,12 1,35 2,28 3,92 3,6

0,02 0,1792 0,3645 0,8664 1,9208 2,16

Jumlah 40 12,54 5,5109

Rata-rata (X)

317 , 0 40

67 , 12

 

n

fxi X

Simpangan Baku (Standar Deviasi)

1560

529 , 160 436 , 220 1

40 40

67 , 12 5109 , 5 40 1

2 2

2

 

  

 

x

n n

fxi fxi

n S


(5)

Kelas eksperimen

Item Pretest Posttest

N-Gain Item Pretest Posttest N-Gain

1 44,4 66,6 0,411 21 44,4 70,3 0,464

2 51,8 70,3 0,375 22 25,9 66,6 0,554

3 55,5 81,4 0,568 23 29,6 66,6 0,529

4 29,6 77,7 0,686 24 48,1 70,3 0,423

5 25,9 51,8 0,351 25 51,8 70,3 0,375

6 29,6 55,5 0,371 26 37 62,9 0,413

7 37 62,9 0,413 27 62,9 88,8 0,633

8 62,9 70,5 0,189 28 48,1 66,6 0,365

9 51,8 77,7 0,536 29 48,1 59,2 0,212

10 62,9 70,3 0,5 30 51,8 66,6 0,313

11 44,4 74 0,604 31 51,8 70,3 0,375

12 48,1 74 0,635 32 44,4 62,9 0,339

13 51,8 81,4 0,712 33 25,9 62,9 0,5

14 48,1 81,4 0,229 34 66,6 85,1 0,545

15 48,1 85,1 0,318 35 59,2 77,7 0,463

16 51,8 62,9 0,571 36 51,8 66,6 0,313

17 55,5 70,3 0,333 37 48,1 77,7 0,577

18 29,6 70,3 0,571 38 48,1 70,3 0,318

19 29,6 77,7 0,667 39 51,8 70,3 0,375

20 25,9 74 0,649 40 66,6 88,8 0,667

Skor terbesar = 0,667 Skor terkecil = 0,189

Rentang (R) = Skor terbesar – Skor terkecil = 0,667– 0,189

= 0,478

Banyak Kelas (BK) = 1 + 3,3 log 40 = 1 + 3,3 (1,6) = 1 + 5,28 = 6,28

Panjang Kelas (i) = 0,08 6

478 , 0

 

BK R

Tabel frekuensi

No Kelas Interval

F Nilai tengah (xi)


(6)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 0,18-0,26 0,270-0,35 0,36-0,44 0,45-0,53 0,54-0,62 0,63-0,71 4 6 10 5 8 7 0,22 0,31 0,40 0,49 0,58 0,67 0,0484 0,0961 0,16 0,2401 0,3364 0,4489 0,88 1,86 4 2,45 4,64 4,69 0,1936 0,5766 1,6 1,2005 2,6912 3,1423

Jumlah 40 18,52 9,4042

Rata-rata (X) 463 , 0 40 52 , 18   

n fxi X

Simpangan Baku (Standar Deviasi)

1560

9904 , 342 168 , 376 1 40 40 52 , 18 4042 , 9 40 1 2 2 2       

x

n n fxi fxi n S

= 0,021=0,15

Uji-t 2 1 2 1 1 1 n n S x x t g    Dimana:

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1       n n S n S n Sg

171 , 0 0293 , 0 78 8775 , 0 4079 , 1 2 40 40 15 , 0 1 40 19 , 0 1

40 2 2

 

  

x x

Sg Sehingga 88 , 3 03762 , 0 146 , 0 22 , 0 171 , 0 146 , 0 40 1 40 1 171 , 0 317 , 0 463 , 0            x t