2. Metafora modalitas Metafora ini direalisasikan oleh unsur leksikal seperti kata pasti, mungkin,
sering, biasa atau harus untuk menyatakan sikap, opini dan komentar. Biasanya modalitas ini erat kaitannya dengan klausa. Jika metafora itu direalisasikan oleh
klausa sendiri sehingga terbentuk klausa kompleks, maka pengodean ini disebut metafora.
Contohnya:
a Saya pasti hadir dipesta anda. b saya yakin saya akan hadir dipesta anda.
3. Metafora vokatif Metafora vokatif adalah perealisasian makna yang mencakup nama atau
cara memanggil nama mitra tutur atau lawan bicara. Cara tersebut menunjukkan derajat pada konteks sosial makna interpersonal seperti status sama atau tidak
sama, sikap afektif suka atau tidak suka dan hubungan sering, akrab atau biasa saja.
Contoh :
a. Ada kamu melihat Amir? Hal ini adalah pengodean yang lazim. Tetapi jika
disebutkan demikian:
b. Ada kamu melihat si Amir sohib karibku? Hal ini disebut metafora vokatif. C. Metafora Tekstual
Metafora jenis yang terakhir adalah metafora tekstual. Metafora ini lazimnya terealsasi oleh unsur tata bahasa seperti tema, rema dan kohesi. Metafora
ini terjadi pada relokasi makna kata menjadi frase atau konjungsi ke sirkumtans. Salah satu contoh dari keduanya adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Mira membeli mobil. Dia sudah bertahun-tahun menabung untuk
membelinya. Sekarang dia punya mobil baru, bagus dan mewah seperti yang diidam- idamkannya. Ini adalah contoh teks yang lazim.
b. Mira membeli mobil. Dia sudah bertahun- tahun menabung. Sekarang
wanita dermawan itu sudah memiliki mobil baru, bagus dan mewah seperti
yang diidam- idamkannya. Sedangkan teks kedua ini adalah metafora
rujukkan dimana ‘dia’ sebagai kata direlokasikan ke dalam grup yaitu wanita dermawan.
2.2.2.2 Keterkaitan Metafora Dalam Penerjemahan
Metafora sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari untuk memperkenalkan konsep baru dalam penawaran makna yang lebih tepat. Namun
ungkapan ini lebih sering digunakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi. Selain untuk memperkenalkan sebuah fenomena baru dalam berkomunikasi,
metafora digunakan untuk mengungkap makna secara singkat dan padat serta sekaligus menghadirkan efek puitis dalam sebuah karya sastra.
Walaupun demikian, ternyata metafora tidak hanya berperan sebagai media komunikasi didalam karya sastra yang didominasi oleh metafora leksikal
saja. Metafora juga mempunyai peran penting dalam menentukan fungsi sebuah kelas kata yang teridentifikasi melalui perubahan-perubahan susunan struktur
gramatikal sebuah kalimat atau klausa didalam teks sebuah wacana. Metafora ini sering disebut dengan metafora gramatikal. Terkait hubungan antara metafora
gramatikal dengan penerjemahan, diketahui bahwa perubahan-perubahan fungsi kelas kata tersebut sangat berpengaruh pada kualitas terjemahan khususnya
keakuratan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Newmark 1998: 104, masalah utama dalam penerjemahan secara umum adalah pemilihan metode penerjemahan bagi sebuah teks, sedangkan
masalah penerjemahan yang paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora. Sebagai akibat dari kesulitan itu, terdapat dua pandangan yang berbeda
mengenai hal tersebut. Beberapa pakar penerjemahan berpendapat bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan, tetapi disisi lain juga tidak sedikit para ahli
penerjemahan yang menganggap bahwa metafora adalah bagian dari bahasa dan dapat diterjemahkan.
Newmark adalah salah satu pakar penerjemahan yang mempercayai bahwa metafora dapat diterjemahkan menggunakan strategi penerjemahan. Menurut
Newmark 1981: 88-91, secara garis besar, penerjemahan metafora dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama adalah dengan cara mengidentifikasi tipe
metafora yang akan diterjemahkan terlebih dahulu dan langkah kedua adalah menentukan prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora
tersebut ke dalam BSu. Selanjutnya menurut Dagut 1987: 24, ada tiga hal yang menyebabkan
metafora itu sulit untuk diterjemahkan. Ketiga hal tersebut adalah 1 metafora dalam BSu adalah merupakan unsur semantik yang baru sehingga BSa tidak
memiliki persediaan padanan untuk metafora tersebut, 2 metafora merupakan bagian dari sebuah bahasa dan semua bahasa pada dasarnya tidak dapat
terpisahkan dari budaya, akibatnya hampir semua metafora sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya. Kesimpulannya adalah bahwa metafora hanya dapat
dipahami jika nilai-nilai budaya yang terkait dengannnya sudah dipahami terlebih dahulu. 3 metafora merupakan media untuk mengungkap makna secara kreatif,
Universitas Sumatera Utara
singkat, dan padat. Oleh karenanya, agar seorang penerjemah mampu menerjemahkan metafora dengan mudah maka penerjemah tersebut harus mampu
menulis dengan penuh kreatifitas. Sementara itu, Larson 1998: 275-276 mempunyai pendapat yang berbeda
dengan Dagut. Menurut Larson didalam karya ilmiah Parlindungan Pardede, ada enam hal yang menyebabkan metafora sulit untuk dipahami dan diterjemahkan.
Keenam hal tersebut adalah 1 citra yang digunakan dalam metafora mungkin saja tidak lazim dalam BSa. 2 topik metafora tidak selalu dinyatakan dengan jelas. 3
titik kesamaan kadang-kadang implisit sehingga sulit diidentifikasi atau mengakibatkan pemahaman yang berbeda bagi penutur bahasa lain. 4 perbedaan
antara budaya BSu dan BSa dapat membuat penafsiran yang berbeda terhadap titik kesamaan. 5 BSa mungkin tidak membuat perbandingan seperti yang
terdapat pada metafora TSu, 6 setiap bahasa memiliki perbedaan dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.
Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa metafora memiliki keunikan dalam penerjemahan sehingga keunikannya tersebut membuat pandangan para
ahli terhadap penerjemahan majas ini cukup beragam. Keunikan metafora ini bermakna bahwa metafora tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa secara
langsung, penerjemah harus menemukan padanan kata yang tepat untuk mengalihkannya ke dalam Bsa sesuai dengan pemahaman dan kebudayaan
penuturnya. Berdasarkan prosedur dan strategi yang ada, terlihat bahwa keunikannya membuat penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan
pemilahan elemen-elemen yang ada dan analisis terhadap unsur-unsur itu untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun internal lainnya.
2.2.3 Teori Penerjemahan
Pengertian terjemahan itu sendiri adalah suatu kegiatan yang mengkaitkan hubungan dua bahasa atau lebih, yang kemudian didalam prosesnya terjadilah
pergantian makna dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan memunculkan keakuratan dalam pesan, keterbacaan dan keberterimaan. Hasil
terjemahan yang baik adalah terjemahan tersebut tidak menyimpang, tidak menghilangkan ataupun menambahkan makna yang tidak perlu berdasarkan teks
sumbernya. Penerjemahan adalah ilmu interdisipliner, yakni ilmu yang membutuhkan
ilmu pengetahuan lain untuk dapat mendukungnya dalam proses menerjemahkan suatu teks. Kemampuan penerjemah dalam menentukan padanan yang tepat
kedalam dua bahasa, baik dalam bahasa sumber maupun kedalam bahasa sasaran adalah salah satu hal yang harus di miliki setiap penerjemah.
Penerjemah juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yang relevan dengan teks yang akan diterjemahkan. Hal ini menjadi suatu ketentuan supaya
mereka tidak hanya sekedar mengalihkan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara akurat dan sesuai kaidah bahasa sasaran saja, tetapi juga berusaha
menemukan padanan makna kata yang berterima dan benar- benar memiliki makna yang relasional.
Penerjemahan juga merupakan suatu proses pengambilan keputusan dalam peristiwa komunikasi interlingual dipahami sebagai proses pemecahan masalah
padanan, baik pada tataran mikro dan makro, yang dilandasi dan sangat
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi sistem nilai dan sudut pandang penerjemah. Dengan kata lain, pemilihan metode penerjemahan dan teknik penerjemahan tidak bisa dilepaskan
dari ideologi yang dianut penerjemah. Ketiga hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kualitas terjemahan.
Untuk memperoleh hasil terjemahan yang ideal, menurut Larson 1984:6 maka terjemahan tersebut harus 1 menggunakan bahasa sasaran yang wajar, 2
menyampaikan makna yang sama dari penutur bahasa sumber sehingga mudah dimengerti oleh penutur bahasa sasaran, 3 berusaha mempertahankan dinamika
bahasa sumber sehingga makna tersampaikan dan direspon dengan baik oleh penutur bahasa sasaran.
Seorang penerjemah juga harus berkualitas dalam segala hal yang berkaitan dengan penerjemahan, agar hasil terjemahannya juga berkualitas. Hal ini berkaitan
dengan ketepatan translasi dan tingkat kewajaran dari sebuah teks. Tujuannya agar produk terjemahan itu akurat dan berterima oleh pembaca.
Selanjutnya, Larson di dalam choliluddin 2005:22 mengklasifikasikan terjemahan menjadi dua tipe, yaitu terjemahan yang berdasarkan bentuk dan
tejemahan berdasarkan makna. Terjemahanyang berdasarkan bentuk lebih mengikuti bentuk dasar dari bahasa sumber, sedangkan yang berdasarkan makna
lebih membicarakan tentang makna teks bahasa sumber kedalam bahasa sasaran secara alamiah.
2.2.4 Keakuratan Pada Terjemahan
Kualitas terjemahan diibaratkan seperti tiga sisi yang saling berhubungan. Sisi pertama adalah sisi keakuratan dalam pengalihan pesan. Sisi yang kedua
adalah sisi tingkat keberterimaan terjemahan dan sisi yang ketiga adalah sisi
Universitas Sumatera Utara
tingkat keterbacaan dari terjemahan. Keutuhan dari suatu kualitas terjemahan dapat dilihat dari ketiga sisi tersebut.
Terkadang kita menemukan terjemahan yang isi atau pesan yang terkandung pada T2 sesuai dengan isi atau pesan yang terkandung pada T1, tetapi
cara mengungkapkan isi atau pesan tersebut tidak sesuai dengan kaidah atau norma budaya yang berlaku pada Bsa. Dan terkadang ada juga suatu terjemahan
yang dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Bsa, tetapi tingkat keakuratan pesannya rendah. Hal tersebut mengakibatkan hasil terjemahan dapat berupa
terjemahan akurat, terjemahan kurang akurat dan terjemahan tidak akurat. Suatu terjemahan dapat dikatakan akurat jika terjemahan tersebut tidak
mengalami distorsi makna. Maksudnya adalah makna kata, frasa, klausa dan kalimat yang ada di bahasa sumber dalihkan secara akurat ke dalam bahasa
sasaran. Kesimpulannya adalah jika suatu terjemahan diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran tanpa ada penambahan ataupun penghilangan
informasi yang tidak sesuai dengan teks sumbernya, maka terjemahan yang dihasilkan adalah terjemahan yang akurat.
Sedangkan jika di dalam suatu terjemahan ditemukan makna kata, istilah teknis, frasa, klausa dan kalimat pada Bsunya mengalami distorsi makna
terjemahan ganda ataupun ada makna yang dihilangkan dan menggangu keutuhan pesan, maka terjemahan tersebut dikatakan terjemahan kurang akurat.
Sementara itu, suatu terjemahan dikatakan terjemahan tidak akurat adalah jika makna kata, istilah teknis, frasa, klausa ataupun kalimat pada Bsu dialihkan
secara tidak akurat kedalam Bsa atau dihilangkan sehingga keutuhan pesan yang ada Bsu tidak diterjemahkan ke dalam Bsa. Hal tersebut dapat terjadi bila
Universitas Sumatera Utara
penerjemah; 1 tidak menemukan pemadanan kata yang tepat, 2 melakukan penghilangan yang tidak perlu, 3 melakukan penambahan yang tidak perlu dan 4
adanya pergeseran yang dapat menyebabkan distorsi makna.
2.3 Penelitian Yang Relevan
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengkajian metafora yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Beberapa diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh: 1
Rahmah 2002 dalam penelitiannya yang berjudul Metafora dalam Surat Keputusan. Rahmah mengkaji metafora gramatikal pada surat keputusan
berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Tujuan untuk mengkaji metafora gramatikal dalam surat keputusan Pemerintah dan non-
Pemerintah adalah untuk mendeskripsikan jenis metafora yang terdapat di dalam surat-surat tersebut agar diketahui apa yang ingin disampaikan
pembuat surat keputusan melalui realisasi metafora. Sumber datanya adalah lima belas 15 surat keputusan institusi Pemerintah dan lima belas
15 surat keputusan non- Pemerintah. Metode pengumpulan data dan analisis data menggunakan teknik simak dan catat, teknik bagi, teknik
pilah dan teknik ganti dan dilanjutkan dengn teknik analisis ekspresi metafora yang dikemukakan oleh Sudaryanto. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa metafora dalam surat keputusan Pemerintah dan non- Pemerintah meliputi metafora pemaparan pengalaman, metafora
pertukaran pengalaman dan metafora pengorganisasian pengalaman. Secara teoritis, penelitian Rahmah dan penelitian ini menggunakan
teori LSF dalam menganalisis data. Perbedaan antara keduanya terdapat
Universitas Sumatera Utara
pada tataran teoritis, penelitian ini menggunakan dua teori yaitu LSF dan teori penerjemahan sedangkan Rahmah hanya menggunakan teori LSF
saja. Dari sudut hasil penelitian masih relevan karena keduanya sama- sama menggunakan metafora gramatikal sehingga metode analisis yang
dipakai berkonstribusi sekali dalam memberikan gambaran pendeskripsian tentang metafora gramatikal dari tinjauan kajian teks tulis
mode of discourse. 2
Melati dan Hustarna 2010 dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Deskriptif Penggunaan Grammatical Metaphor Dalam Tulisan
Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris Universitas Jambi. Dalam penelitiannya yang bertujuan untk mendeskripsikan kemampuan
mahasiswa program studi bahasa Inggris dalam menggunakan strategi metafora gramatikal dalam penulisan ilmiah. Secara umum, penggunaan
metafora gramatikal dalam menulis ilmiah dapat membuat kalimat menjadi lebih padat secara tata bahasa dan kosa kata, serta membuat
kalimat menjadi lebih sinopsis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung masih tidak menggunakan strategi ini meskipun
dalam mata kuliah menulis Writing semester 1 sampai 4 telah diperkenalkan pada strategi ini. Dapat disimpulkan bahwa hasil tulisan
mahasiswa masih menggunakan fitur-fitur yang sama dengan mata kuliah Speaking. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
mata kuliah Writing karena memberikan gambaran terhadap kemampuan mahasiswa dalam menulis ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
Isi jurnal di atas juga sangat berkonstribusi terhadap penelitian ini karena keduanya sama-sama mendeskripsikan metafora gramatikal dalam
penulisan ilmiah dengan tujuan untuk membuat kalimat menjadi lebih padat secara struktural dan kosa kata sehingga menjadi lebih sinopsis.
3 E.Romero dan B. Soria dalam karya ilmiah yang berjudul “the notion of
grammatical metaphor in Halliday” diakses tanggal 18 maret 2014. Dalam karya ilmiah tersebut, mereka mengklaim bahwa penggunaan
metafora gramatikal di dalam penggunaaan ekspresi adalah metaforik dan memiliki makna metafora. Mereka juga berargumentasi bahwa metafora
gramatikal menciPptakan beberapa harapan dipihak pembaca mengenai jenis-jenis metafora. Ada beberapa metafora yang bergantung pada
struktur gramatikal dari sebuah ekspresi. Namun tanggapan tentang metafora gramatikal yang mengacu kepada variasi gramatikal yang non
alamiah dari sudut struktur gramatikal yang alamiah tidak terpenuhi. Terakhir mereka mengevaluasikan bahwa pendeskripsian metafora adalah
point utama dalam menanggapi produksi metafora. Di sisi lain, didalam metafora antara realita dan bentuk gramatikal harus transparan.
Karya ilmiah tersebut dianggap memberikan konstribusi dan berelevansi juga dalam penelitian ini, karena kajiannya masih seputar
metafora gramatikal, walaupun isinya lebih fokus terhadap penggunaan gramatikal metafora didalam ekspresi.
4 Rini Ramadhani Nasution 2014 dalam penelitiannya yang berjudul
Interpersonal Metaphor In “Indonesia Now” English New Program On Metro TV. Nasution dalam peneltiannya mengkaji tentang metafora
Universitas Sumatera Utara
gramatikal khususnya metafora interpersonal dengan menggunakan TLSF. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis
metafora interpersonal apa saja yang digunakan pada program acara berita “Indonesia Now”, untuk menggambarkan dan menjelaskan alasan dari
penggunaan metafora tersebut dan untuk menjelaskan dalam konteks apa saja metafora itu digunakan. Penelitian Nasution dan penelitian ini sama-
sama menggunakan metode deskriptif kualitatif. Namun sumber data Nasution adalah tayangan berita pada bulan November 2013, Desember
2013 dan Januari 2014, sehingga teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan merekam dan mentranskrip berita tersebut kedalam teks tertulis.
Setelah itu diklasifikasikan dan terakhir menarik kesimpulan. Sedangkan penelitian ini menggunakan teks tulis dari buku teks Biologi tanpa adanya
rekaman. Dari hasil penelitian Nasution ditemukan bahwa ada enam jenis metafora interpersonal yang digunakan dalan acara berita tersebut, yaitu:
epithet, euphemism, makna konotasi, vokatif, metafora mood dan metafora modality, sedangkan penelitian ini menemukan tiga jenis metafora yaitu
metafora eksperiensial, metafora interpersonal dan metafora tekstual. Penelitian Nasution dan penelitian ini juga sama-sama
menggunakan TLSF dalam menganalisis data. Namun ada satu hal yang menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian Nasution, yaitu
penggunakan teori penerjemahan yang tidak digunakan dalam penelitian Nasution. Dari sudut hasil, penelitian Nasution ini masih berelevansi
dengan penelitian ini dan dapat dijadikan rujukan serta berkonstribusi dalam mengkaji metafora.
Universitas Sumatera Utara
5 Deddy Kristian Aritonang 2014 dalam penelitiannya yang berjudul
Impacts of Interpersonal Metaphor on Grammatical Intricacy and Lexical Density in The Text of Presidential Debate between Barrack Obama and
Mitt Romney. Penelitian ini bertujuan untuk 1 mengidentifikasi jenis metafora interpersonal dalam teks debat presiden antara Barrack Obama
dengan Mitt Romney, 2 mendeskripsikan pengaruh metafora interpersonal terhadap kerumitan gramatikal dan kepadatan leksikal dalam
teks debat tersebut berdasarkan bentuk kongruen dan 3 menjelaskan cara- cara metafora interpersonal memiliki pengaruh terhadap kerumitan
gramatikal dan kepadatan leksikal dalam teks debat tersebut. Penelitian Aritonang menggunakan metode deskriptif kualitatif yang sama dengan
penelitian ini. Namun sumber data Aritonang adalah teks debat presiden yang dalam teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan mengunduh
video yang bersumber dari www.youtube.com
, menonton, mendengarkan kemudian mentranskrip ujaran-ujaran yang dihasilkan di dalam debat dan
terakhir menrangkai dan mencetak transkripsi ujaran tersebut menjadi data yang berupa paragraf. Sedangkan penelitian ini hanya menggunakan teks
tulis dari buku Biologi bilingual tanpa ada mengunduh video, menonton dan mendengarkan. Dari hasil penelitian Aritonang ditemukan bahwa
kedua jenis metafora interpersonal yakni metafora modalitas dan metafora modus dan penelitian ini menemukan tiga jenis metafora gramatikal yaitu
metafora eksperiensial, metafora interpersonal dan metafora tekstual. Kedua penelitian ini sama-sama mengkaji metafora gramatikal,
namun penelitian ini juga mengkaji kualitas terjemahan dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan teori penerjemahan yang tidak digunakan dalam penelitian Aritonang. Dari sudut hasil, penelitian Aritonang masih berelevansi
terhadap penelitian ini dan berkonstribusi dalam mengenali metafora. 6
Parlindungan Pardede 2013 dalam karya ilmiahnya yang berjudul Penerjemahan Metafora. Makalah yang ditulis oleh Parlindungan ini
menyoroti konsep-konsep yang berkaitan dengan penerjemahan metafora. Pembahasan diawali dengan kontroversi tranlasibilitas metafora, yang
kemudian dilanjutkan dengan strategi penerjemahan yang dapat digunakan dalam pekerjaan menerjemahkan metafora. Pada bagian akhir, secara
singkat diulas aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan strategi penerjemahan metafora.
Karya ilmiah tersebut dianggap berkonstribusi dan berelevansi terhadap penelitian ini karena membahas penerjemahan baik dari segi
strategi penerjemahan dan translasibilitas penerjemahan khususnya metafora yang juga dikaji dalam penelitian ini.
2.4 Model Penelitian Atau Konstruk Analisis