178 Gowa, Kabupaten Takalar hingga Kota Makassar. Padahal fasilitas yang ada masih sangat
terbatas.
2. Peran Aktor Utama Pembangunan
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarkat pesisir merupakan suatu keadaan yang normal baik dalam segi sosial, ekonomi maupun dalam segi psikologi, sejahtera fisik
maupun non fisik. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, demikian pula yang terjadi pada masyarakat pesisir pada umumnya di
Kecamatan Galesong dan Kecamatan Galesong Utara. Potensi kegiatan perikanan laut yang merupakan sumber daya ekonomi lokal yang potensial dikembangkan membutuhkan peran dari
berbagai aktor pembangunan, bukan hanya pemerintah tetapi juga kelompok masyarakat, dan lembaga keuangan, bahkan termasuk perguruan tinggi.
Upaya menciptakan wirausahawan muda khususnya di wilayah pesisir yang memiliki kekayaan sumber daya laut yang melimpah menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu,
kepahaman akan adanya potensi yang bisa dioptimalkan harus diikuti oleh kemauan untuk secara bersama mendorong bangkitnya motivasi masyarakat pesisir untuk mau tahu dan mampu
melakukan kegiatan menambah nilai tambah value added dari produk-produk kegiatan perikanan laut yang ada di sekitarnya. Bidang-bidang usaha potensial yang dapat dilakukan
tidak hanya berfokus pada hasil perikanan tangkap semata tetapi juga bisa dikembangkan pada aspek lain yang memiliki kaitan langsung dengan produk perikanan baik yang bersifat ke depan
maupun yang memiliki efek ke belakang. Dalam arti bahwa banyak sekali kegiatan usaha yang bisa dilakukan yang dapat saling mendukung di sektor perikanan laut.
Aktor utama dalam upaya menciptakan wirausahawan muda yang dimaksudkan dalam penelitian ini diidentifikasi adalah pemerintah daerah, pemerintah desa, tokoh masyarakat,
tokoh pemuda, lembaga keuangan, pelaku industri, dan perguruan tinggi. Ketujuh aktor dimaksud idealnya dapat mengambil peran untuk berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir, lebih khusus melalui pengembagnan wirausahwan muda. Mengapa wirausahawan muda?, karena berdasarkan data-data awal yang telah dipaparkan bahwa anak-
anak nelayan di desa-desa pesisir Kecamatan Galesong dan Kecamatan Galesong Utara tidak banyak yang dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi karena faktor
ekonomi, dan karena itu mereka umumnya ikut terlibat “secara terpaksa” dalam kegiatan melaut yang dilakukan orang tuanya. Ketidakmampuan menangkap peluang untuk memanfaatkan
potensi sumber daya perikanan laut yang tergolong relatif melimpah tersebut disebabkan oleh
Yogyakarta, 30 November 2016
179 karena tidak adanya sistem yang secara komprehensif, sistematis dan massif untuk mendorong
kelompok penduduk usia muda tersebut untuk masuk dalam kegiatan produktif bernilai tambah. Pemberian kebijakan pembangunan yang menyentuh langsung kepada masyarakat
bukanlah hal yang untuk mudah dilakukan. Chandra Kusnadi, 2007 menjelaskan bahwa inisiatif untuk menggugah partisipasi masyarakat dalam pembangunan lokal sering merupakan
intervensi pihak luar ke dalam masyarakat atau komuniti setempat dan harus memperhatikan karakter, cara dan kapasitas kaum miskin. Pada dasarnya setiap golongan masyarakat termasuk
masyarakat miskin, masih memiliki potensi sumber daya social yang bisa didayagunakan untuk mengatasi kemiskinan. Sumber daya social yang berupa system nilai, norma-norma perilaku,
dan kepercayaan local telah terbukti mampu menjaga integrasi masyarakat pesisir Kusnadi, 2007. Fukuyama Pelling and High, 2009 menjelaskan modal social sebagai kemampuan
efektif dan lentur dalam menghadapi perubahan yang berlangsung cepat karena intervensi kapitalisme pada berbagai sector kehidupan masyarakat. Modal social yang memiliki unsur
kepercayaan trust, norma norm, jaringan network, dan resiprosity hubungan timbal balik adalah sumber daya sosial yang terdapat dalam kelompok kerja atau relasi social patron client
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pesisir antara juragan atau pemilik modal dengan para nelayan buruhnya. Arah kebijakan pembangunan dalam masyarakat pesisir yang memutus
rantai relasi social antara Juragan dan para nelayan buruhnya sehingga menciptakan nelayan buruh menjadi masyarakat mandiri, menurut saya adalah hal yang salah. Karena tingkat
kepercayaan yang tinggi nelayan buruh terhadap juragannya telah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat pesisir yang sangat susah untuk diubah.
Dalam konteks pembangunan masyarakat masyarakat di kawasan pesisir Kabupaten Takalar, idealnya merupakan bauran kebijakan antara kebijakan ekonomi, kebijakan sumber
daya alam dan kebijakan kelembagaan yang bersinergis dan terintergrasi satu sama lainnya. Arah kebijakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan
pemerintah seharusnya melibatkan semua aspek yang terdapat dalam masyarakat pesisir. Kebijakan pemanfaatan kelembagaan yang telah ada dalam masyarakat pesisir dalam hal ini
yang dibentuk akibat dari relasi social patron klien antara juragannya dan nelayan buruhnya seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik.
Menurut hasil pengamatan di lapangan, keberadaan aktor tokoh masyarakat dalam hal ini orang-orang yang memiliki pengaruh kuat terhadap komunitas masyarakat nelayan yaitu
jurangan, diperoleh fakta bahwa sesungguhnya terdapat relasi sosial Juragan dan nelayan buruhnya sesungguhnya memiliki akar modal sosial yang kuat, sehingga kebijakan
pembangunan masyarakat di kawasan pesisir dapat melalui peran dari Juragan atau pemilik
180 Modal. Tingkat kepercayaan yang tinggi nelayan buruh terhadap Juragannya dan norma yang
telah tersedia dalam relasi sosial tersebut, merupakan modal yang baik dalam memasukkan kebijakan-kebijakan pembangunan kepada nelayan buruh untuk lebih meningkatkan taraf
hidupnya dengan kata lain, Juragan bisa menjadi jembatan antara para stekholder penentu arah kebijakan dan nelayan buruh sebagai objek arah kebijakan pembangunan. Juragan dalam
masyarakat pesisir bisa berperan sebagai lembaga perbankan yang dapat memberikan jaminan baik dalam modal maupun sosial kepada para nelayan buruhnya sehingga dapat menciptakan
investasi modal yang dapat dimanfaatkan kelak oleh para nelayan buruhnya dan secara tidak langsung pola pikir masyarakat pesisir yang bersifat konsumtif akan bergeser secara perlahan
berganti menjadi pola pikir untuk menabung. Kenyataan bahwa potensi daerah pesisir yang sangat besar tidak didukung infrastruktur
yang baik, kesempatan kerja yang luas, dan tentunya jiwa wirausaha pada individu masyarakatnya. Padahal, secara sosial budaya, masyarakat yang mayoritas nelayan tangkap
tersebut, merupakan orang-orang yang ramah dan sangat terbuka. Namun terdapat sedikit masalah yakni sulitnya untuk menggerakkan, apalagi mengubah kebiasaan menangkap menjadi
budidaya. Sebenarnya pemerintah telah menggulirkan berbagai program, proyek dan kegiatan untuk
mengentaskan nelayan dari kemiskinan, termasuk mendorong agar semakin banyak kelompok- kelompok usaha di masyarakat pesisir, tetapi hasilnya belum memperlihatkan hasil yang
menggembirakan. Hasil pendalaman di lapangan, memunculkan dugaan bahwa banyak faktor yang menyebabkan mengapa masyarakat pesisir tidak mampu memanfaatkan peluang dari
potensi sumber daya ekonomi di lingkungan sekitarnya. Salah satu di antaranya adalah karena pandangan yang keliru terhadap setiap proyek, program ataupun kegiatan yang diprakarsai
pemerintah. Masyarakat masih menganggap bahwa inisiasi yang dilakukan pemerintah hanya bertujuan jangka pendek semata ataupun mereka hanya untuk menunjukkan niat baik
pemerintah semata. Ada pemahaman yang kurang tepat tentang tujuan proyek ataupun kegiatan
pemberdayaan yang diinisiasi pemerintah di wilayah pesisir. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya “salah paham” kelompok sasaran kegiatan pemberdayaan, umumnya mereka
menganggap bahwa proyek yang dilakukan adalah “budi baik” pemerintah semata, sehingga
semangat untuk mengembangkannya dalam skala yang lebih luas dan berkelanjutan sama sekali tidak terjadi.
Dalam pemberdayaan masyarakat nelayan di Takalar, pemerintah yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat nelayan tersebut mempunyai peran berbeda-beda, semua berperan