Tabel 5.8. Nilai IIT Intra-Industry Trade Beberapa Komoditi Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three
No Komoditi
2005 2006
2007 2008
2009 Rata-
rata 1
Produk kimia, karet dan plastik
92.07 98.72
95.48 83.69
84.06 90.80
2 Peralatan transportasi 76.02
51.81 82.73
64.70 60.19
67.09 3 Tekstil
62.31 60.70
66.93 72.36
70.92 66.64
4 Mesin dan peralatannya 69.11
85.61 77.16
48.33 50.23
66.09 5 Barang-barang dari logam
59.35 72.30
71.14 43.29
36.74 56.56
6 Peralatan elektronik 35.73
46.40 71.13
57.51 62.17
54.59 7
Kendaraan bermotor dan suku cadang
50.62 63.91
57.07 40.70
50.75 52.61
8 Kilang minyak dan produk
batu bara 42.63
49.83 43.24
34.57 41.58
42.37 9 Logam besi
33.21 54.84
44.14 32.24
32.69 39.42
10 Minyak mentah 40.09
43.55 33.19
27.08 44.14
37.61 11 Logam
20.39 21.80
23.07 40.43
34.06 27.95
12 Mineral 10.09
7.51 8.79
21.26 8.70
11.27 13 Minyak nabati dan hewani
5.28 4.44
4.19 4.39
5.83 4.83
14 Batu bara 0.58
0.49 0.25
0.32 0.37
0.40 15 Gas alam
0.00 0.00
0.00 0.03
0.05 0.02
5.3. Kemampuan Industri dalam Menghadapi Persaingan Global
Pemaparan akan gambaran aliran perdagangan antara Indonesia dengan ASEAN Plus Three disertai dengan penghitungan RCA dan Intra-Industry Trade
IIT dari masing-masing komoditi, dapat menjelaskan bagaimana kemampuan sektor-sektor tersebut di negara Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Secara umum, dari beberapa kelompok komoditi, dapat disimpulkan bahwa komoditi manufaktur telah terjadi integrasi yang tinggi antara ASEAN
dengan negara Cina, Jepang dan Rep. Korea. Komoditi pada sektor pertambangan dan penggalian terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one way
trade atau nilai IIT bernilai 0.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa secara umum, pola perdagangan diantara negara-negara anggota ASEAN menunjukkan keterkaitan yang lemah
satu dengan lainnya Oktaviani et al, 2006. Lemahnya keterkaitan ini bukan disebabkan oleh tingginya tingkat tarif diantara anggota ASEAN, namun oleh
79 karena tingkat tarif rata-rata barang dari luar ASEAN yang menikmati status MFN
most favoured nation. Pada kelompok industri lainnya, yaitu kelompok komoditi pertanian
primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang menunjukkan integrasi yang
tinggi antar kedua wilayah dan menunjukkan ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa sub sektor kemungkinan dapat
dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang cukup. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan diantara negara-negara di kawasan tersebut.
Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian, maka komoditi minyak nabati dan hewani terutama produk minyak nabati yang merupakan
turunan dari komoditi Crude Palm Oil CPO merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua di dunia
untuk ekspor CPO dan turunannya. Cina sebagai negara yang pesat perkembangannya merupakan salah satu tujuan ekspor CPO terbesar bagi kedua
negara tersebut. Untuk Indonesia, ekspor minyak nabati dan hewani Indonesia ke ASEAN Plus Three merupakan 5.94 persen dari total ekspor Indonesia ke
ASEAN Plus Three pada tahun 2009. Kemampuan industri ini dalam pasar ASEAN Plus Three dapat dikatakan memiliki potensi yang lebih baik lagi, terlihat
dari nilai IIT Indonesia untuk minyak nabati dan hewani yang selalu meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009.
Meski demikian, Indonesia masih mampu memanfaatkan peluang yang ada. Hasil penelitian Kurniawan 2007 menunjukkan bahwa Indonesia
sebenarnya memiliki keunggulan komparatif atau daya saing yang kuat pada kelompok-kelompok komoditi agribisnis, seperti: komoditi perikanan, kelompok
komoditi kopi, teh, dan rempah-rempah, kelompok komoditi minyak dan lemak hewani dan nabati, kelompok komoditi kimia, karet dan plastik, serta kelompok
komoditi kayu dan barang dari kayu. Kelima kelompok komoditi agribisnis Indonesia tersebut memiliki rataan nilai RCA Revealed Comparative Advantage
tertinggi diatas satu selama periode 2000-2005 dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan Cina.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA
TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu kawasan
perdagangan bebas. Persetujuan tersebut resmi ditandatangani pada bulan Oktober 2009 di Thailand. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di
seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang melibatkan jumlah konsumen yang sangat besar. Implikasi bagi Indonesia dan
negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN Plus Three dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. Karena
hambatan-hambatan perdagangan yang salah satu bentuknya adalah tarif akan dihapuskan. Dalam bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai dampak dari
diberlakukannya FTA ASEAN Plus Three Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Jepang dan Rep. Korea terhadap ekonomi makro dan
sektoral, khususnya bagi Indonesia.
6.1. Dampak ASEAN Plus Three Free Trade Area FTA terhadap
Ekonomi Makro Indonesia Pengaruh penghapusan tarif terhadap beberapa peubah ekonomi makro di
masing-masing negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea sesuai dengan kesepakatan kerjasama ASEAN Plus Three ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.
Korea pada komoditi yang diperdagangkan dapat dilihat pada Tabel 6.2. Penghapusan tarif berdampak pada peningkatan kesejahteraan semua negara
anggota ASEAN dan Cina, Jepang serta Rep. Korea yang terlihat dari adanya peningkatan nilai equivalent variation pada masing-masing negara ASEAN Plus
Three . Hal ini mengimplikasikan bahwa pembentukan kerjasama FTA ASEAN
Plus Three setidaknya memiliki pengaruh positif bagi negara yang terlibat.
Peningkatan kesejahteraan yang terjadi pada ASEAN Plus Three karena adanya trade creation effect
dimana kesejahteraan masyarakat meningkat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Trade creation adalah
penggantian produk domestik negara yang melakukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara