VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi terjadi hampir setiap tahun. Perubahan lahan tersebut umumnya menjadi industri,
pemukiman, maupun sarana dan prasarana seperti jalan raya, sekolah, perkantoran, dll. Penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Bekasi
dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi 2012 diolah
Gambar 8. Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2011
Gambar tersebut menunjukan luas lahan sawah yang relatif menurun dari tahun 2002 sampai tahun 2011, sedangkan sebelum tahun 2002 luas lahan sawah
di Kabupaten Bekasi relatif meningkat. Penurunan lahan sawah pada tahun tersebut berfluktiatif dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 2007 dan 2011 luas
lahan sawah mengalami peningkatan. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi peningkatan tersebut disebabkan pencetakan lahan sawah baru dari lahan kering
seperti kebun, tanah kosong, rawa, dan hutan yang ada. Pembukaan lahan ini
51000 52000
53000 54000
55000 56000
57000 58000
Luas La
h an
S awah
H a
Tahun
Luas Lahan Sawah
55 dilakukan untuk mempertahankan kondisi wilayah Kabupaten Bekasi yang
berbasis pertanian. Tata guna lahan Kabupaten Bekasi sampai tahun 2013 dapat dilihat pada Lampiran 2.
Menurut Sumaryo dan Tahlim 2005, ada dua pola alih fungsi lahan pertanian. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik
lahan yang bersangkutan atau petani, seperti membuat rumah untuk keluarganya atau gudang untuk penyimpanan. Kedua, alih fungsi lahan pertanian yang diawali
dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan pertanian menjual lahan mereka kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian.
Pimilik lahan secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian tersebut. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Tambun Utara, umumnya
petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Sebagian besar masyarakat membatasi wilayah sawah yang berbatasan dengan pemukiman dengan
menggunakan parit atau pagar. Wilayah sawah tersebut tabu jika diubah menjadi rumah. Umumnya mereka menggunakan lahan kering seperti kebun jika ingin
membuat rumah. Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi menetapkan kebijakan bahwa
wilayah bagian barat dan selatan, yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor, akan dijadikan wilayah pemukiman dan
industri. Hal ini disebabkan nilai ekonomi lahan atau land rent dari industri dan pemukiman lebih besar dari pada pertanian, mengingat wilayah tersebut dekat
dengan pusat kota dan pusat eksport-import. Implikasi dari kebijakan ini adalah petani harus menjual lahan sawah mereka untuk untuk dialihfungsikan menjadi
pemukiman atau industri. Pada studi kasus yang dilakukan, Pemerintah Kabupaten
56 Bekasi bekejasama dengan perusahaan pemborong. Pemborong tersebut bertugas
membebaskan lahan dari hak bertani para petani. Petani menjual lahan pertanian atau sawah yang mereka miliki kepada pemborong, setelah itu pemborong
menjual lahan tersebut kepada pihak pengembang pemukiman atau investor industri. Lahan pertanian yang sudah dibeli oleh pemborong tidak langsung
dialihfungsikan menjadi bentuk lain, karena menunggu adanya pihak investor atau pengembang yang akan membeli lahan tersebut. Saat lahan tersebut kosong petani
masih dapat menggarap lahan sampai ada investor atau pengembang yang membeli dan membuat industri atau pemukiman di lahan tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa pola alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bekasi adalah pola yang kedua, dimana alih fungsi lahan diawali dengan adanya alih
penguasaan lahan dari petani kepada pengembang. Analisis mengenai tata cara jual beli pihak petani kepada pemborong akan dibahas lebih lanjut pada Bab
Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi.
6.2. Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi