Konsep Pusat Pengembangan Wilayah

keterkaitan atau ketergantungan antara suatu aktivitas ekonomi disuatu wilayah dengan aktivitas ekonomi lainnya dan wilayah diluar wilayah tersebut. Ketiga macam hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hubungan langsung yaitu; pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan. 2. Hubungan tidak langsung yaitu; pengaruh terhadap suatu sektor yang outputnya tidak digunakan sebagai input bagi output sektor yang bersangkutan. 3. Hubungan sampingan yaitu; pengaruh tidak langsung yang jangkauannya lebih panjang daripada pengaruh langsung tersebut diatas. Menurut Chen dan Mattoo 2004, mengatakan perkembangan perdagangan yang sangat cepat dan lebih bervariasi memberikan dampaknya bagi pengembangan pembangunan perwilayahan. Pembangunan perwilayahan sudah tidak dibatasi lagi antara wilayah perbatasan atau wilayah pinggiran periphery dengan wilayah pusat pengembangangrowth center. Hal inilah yang menurut Chen dampak dari adanya perdagangan antarwilayah baik dari dan ke pusat wilayah maupun wilayah pinggiran secara signifikan memberikan dampak yang positif bagi perdagangan yang dilakukan oleh satu wilayah dengan wilayah lain bahkan lebih dari beberapa wilayah disekitarnya. Untuk itu apa yang menjadi harapan Sun dan Cheol 2006, dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah dapat saling memperkuat daya saing antar daerah. Selanjutnya untuk menciptakan daya saing antar daerah diperlukan peran pemerintah dalam melakukan intervensi dengan membuat reformasi kebijakan untuk meningkatkan efisiensi setidaknya untuk menciptakan iklim investasi di daerah tersebut. Hubungan pemerintah pusat dan daerah berhubungan seperti “saudara kembar” yakni kebijakan yang dibuat akan dilakukan dengan satu tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, sementara koordinasi antar lembaga pemerintah semuanya harus berjalan dalam satu koordinasi dan setiap lembaga memiliki tujuan yang sama sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ego diantara lembaga pemerintah itu sendiri. Alonso 1964, Mills 1972, Muth 1969, dan McCann 2001, melihat adanya peran wilayah penyangga sub wilayah dengan pusat wilayah wilayah utamakota dimana dengan adanya wilayah penyangga maka dapat merangsang atau mempengaruhi perdagangan antarwilayah interregional disekitarnya. Atas dasar kemampuan atau kapasitas yang sesuai dengan ruang wilayahnya semua aktivitas perdagangan dapat dikelola atau dipusatkan pada suatu wilayah spesifik seperti yang dikenal dengan pengembangan Kawasan Industri Makassar KIM di Makassar, Bekasi, Tangerang. Alonso 1966, menyebutnya dengan Central Business District CBD yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan terpusat pada suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah seperti ini semua unsur diasumsi homogen kecuali jarak. Konsep seperti ini oleh Thunen hanya terfokus pada satu dimensi saja yakni pada CBD dimana CBD berperan sebagai pengganti kota yaitu sebagai pusat pasar atau pusat perdagangan sebab suatu wilayah akan terbatas pada lahan yang tersedia karena akan digunakan untuk berbagai aktivitas lain selain aktivitas produksi atau perdagangan. Pemahaman pusat pengembangan wilayah seperti diatas sudah sangat sulit diterima, karena perencanaan pembangunan wilayah atas dasar Growth pole tidak dibatasi lagi oleh ruang wilayah pusat wilayah tersebut. Oleh sebab itu menurut Stamer-Meyer 2003, dikatakan pemahaman tentang pengembangan pusat wilayah atas dasar ekonomi lokal dengan pembangunan wilayah itu sendiri regional memiliki perbedaan yang sulit ditentukan. Perbedaan pembangunan ekonomi wilayah lokal dengan pembangunan wilayah regional cenderung dipahami oleh beberapa orang dengan pembangunan ekonomi regional. Pengembangan pusat wilayah tidak saja pada aspek ekonomi wilayah lokal namun didasarkan juga pada aspek pemberdayaan wilayah regional. Sehingga konsep pemahaman ekonomi lokal atau regional tidak dibatasi lagi oleh tempat dan ruang wilayah. Pemahaman lokal maupun regional diarahkan pada setiap wilayah yang mengembangkan keunggulan sektoralnya sebagai potensi lokal wilayah dan didukung kelengkapan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong atau memacu perkembangan wilayahnya yang lebih baik. Adisasmita, R. 1997, 2008, Rondinelli 1985, Hadjisarosa 1976, Boudenville 1966, dan Tarigan 2004, mengemukakan beberapa kebijakan pengembangan wilayah yang pernah diterapkan di beberapa negara berdasarkan asumsi karakteristik wilayah daratan dimana rona wilayahnya dianggap sama homogen seperti: 1. India dengan sistem perencanaan pembangunan wilayah yang di dasarkan pada perencanaan tingkat blok. Perencanaan ini memperlihatkan bahwa suatu wilayah yang dipusatkan pada suatu area akan meningkatkan aktivitas pada wilayah tersebut. Dengan demikian akan menciptakan pusat pengembangan wilayah terhadap wilayah pendukung lainnya sistem zoning. Biasanya kebijakan seperti ini di dasarkan pada keingginan meningkatkan ekonomi perkotaan konsep pembangunan ekonomi wilayah daratan. 2. Peru, Equador, Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya lebih menitik beratkan sistem pengembangan wilayah melalui penciptaan pusat-pusat pasar di setiap wilayahnya yang saling berdekatan. Kebijakan di negara-negara ini juga memperlihatkan penerapan pembangunan yang di dasarkan pada sistem zoning. Dengan sistem ini maka aspek jarak dan ongkos transporatsi dianggap sama membuktikan bahwa sistem ini menganut sistem kebijakan pembangunan ekonomi wilayah daratan. 3. Malawi dan Thailand pada sistem jenjang penciptaan pusat pertumbuhan melalui kapasitas atau potensi lokal di wilayahnya. Kebijakan pengembangan wilayah di negara-negara ini lebih ditujukan pada penentuan sektor unggulan wilayah berbasis potensi lokal wilayah. Bila di lihat dari konsep kebijakan seperti yang di lakukan oleh ke dua negara ini maka keterhubungan dan ketergantungan wilayah menetapkan balancing growth seperti pada teori lokasi model Von Thunen. Dengan demikian konsep ini merupakan sistem zoning yang berlaku pada kebijakan pembangunan wilayah daratan. 4. Bolivia, Philipina dan Malaysia lebih menekankan pentingnya sistem pengembangan wilayah melalui peningkatan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan dengan daerah perdesaan. Negara-negara ini jelas menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi perkotaan dengan asumsi setiap wilayah akan berkembang bila fungsi pelayanan ditingkatkan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan wilayah daratan dan kepulauan. Hal ini berhubungan dengan asumsi semua rona wilayah adalah sama homogen tetapi di sisi lain setiap wilayah membutuhkan peningkatan fasilitas pelayanan termasuk pada wilayah kepulauan. 5. Indonesia sebagi negara kepulauan terbesar dalam menunjang pengembangan ekonomi wilayah lebih menekankan pentingnya sistem permukiman. Sistem pengembangan wilayah seperti ini lebih mengutamakan pada usaha untuk menyebar luaskan jumlah penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya. Aspek atau kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini masih berorientasi pada konsep wilayah daratan dengan sistem zoning yaitu menyebar luaskan penduduk ke wilayah lain maka secara otomatis wilayah tersebut akan terpacu pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sistem ini akhirnya belum memperlihatkan kemajuan dalam menciptakan keunggulan wilayah yang ditempatinya. Aspek ini cenderung mengabaikan ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sehingga sering menimbulkan kecemburuan antara pendatang dengan penduduk setempat. Kebijakan ini menganut asumsi semua wilayah dianggap sama homogen. Dengan demikian konsep pembangunan seperti ini tidak didasarkan pada usaha untuk mencarimenemukan mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan berbasis pada keunggulan local spesific spasial sebagai wilayah kepulauan yang heterogen.

2.1.4. WilayahNegara Daratan ContinentalLandlock State versus

WilayahNegara Kepulauan ArchipelagoArchipelagic State Pemahaman wilayahnegara daratan continentallandlock state dengan wilayahnegara kepulauan archipelagoarchipelagic state mulai diperbedatkan sejak tahun 1824. Indonesia mulai diakui sebagai salah satu negara kepulauan archipelagic state pada saat dilakukannya konvensi hukum laut PBB UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea ke tiga pada tanggal 30 April 1982 di New York Arsana, 2007. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim atau bahari karena wilayah laut Indonesia mencakup 75 persen dari luas wilayahnya dan 25 persen wilayah daratan. Syaeful 2008, menyatakan sebutan negara kepulauan archipelgic state kepada suatu negara bila negara tersebut memiliki zona ekonomi ekslusif ZEE sehingga negara tersebut memiliki wewenang sebagai hak kedaulatan untuk mengelola, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam baik di laut maupun di bawah dasar laut baik hayati maupun non hayati. Menurut Yakub 2004, dan Syaeful 2008, menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik wilayahnegara kepulauan archipelagoarchipelagic state adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bentuk yang tidak kompak atau rona wilayah yang tidak seragam non-contigous shape 2. Terdiri dari bentuk fragmental kepulauan 3. Terpecah broken shape 4. Tersebar scattered shape 5. Dikelilingi laut atau lingkar laut sircum marine Berdasarkan ciri atau karakteristik diatas dan hasil konsesus konvensi UNCLOS di New York, Indonesia disebut sebagai negara kepulauan archipelagic state karena bentuk wilayahnya rona wilayah tidak kompak non- contigous shape dipisahkan oleh laut atau perairan. Dengan demikian ciri wilayahnegara daratan continentallandlock state merupakan kebalikan dari ciri negara kepulauan. Hasil konvensi UNCLOS di New York lebih dipertegas bahwa suatu wilayahnegara yang tidak memiliki ZEE maka negara tersebut merupakan wilayahnegara daratan continentallandlock state. Hal ini berkaitan dengan negara daratan tidak memiliki batas laut teritorial, batas landas kontinen, ZEE dan bentuk wilayahnya yang kompak atau seragam contigous shape. Sebagai gambaran adanya perbedaan karakteristik antara wilayahnegara daratan continentallandlock state dengan wilayahnegara kepulauan archipelagoarchipelagic state dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Perbedaan Karakteristik WilayahNegara Daratan dengan Wilayah Negara Kepulauan Wilayah Daratan Wilayah Kepulauan Kepustakaan Karakteristik Geografis  Rona wilayah sama bentuk kompak homogencontigous shape  Berbentuk wilayah daratan yang luas pulau besarbenua  Rona wilayah tidak sama bentuk tidak kompak heterogennon contigous shape  Berbentuk kepulauan fragmentalpulau kecil  Terpecah broken shape  Tersebar scattered shape  Lingkar laut sircum marine 1. Hadi, B.S 2008 2. Adisasmita, R. 2005 3. Yakub, R. 2004 4. Monk, Dkk 2000 5. Sitaniapessy. 2002 Karakteristik Geologi  Jenis sedimen, metamorfik  Memiliki keseragaman geologi  Jenis sedimen, metamorfik dan beku berkarang  Tidak semua wilayah memiliki keragaman geologi.  Iklim tropik basah Indonesia 1. Dirjen Cipta Karya Dep PU. 1992 2. Unpatti 2000 3. Hadi, B. S 2008 Karakteristik Sumberdaya Alam Flora dan Fauna  Tidak dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker  Hampir semua wilayah memiliki keseragaman flora dan fauna  Dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker  Garis Weber wilayah bagian barat Indonesia  Garis Wallace wilayah bagian timur Indonesia  Garis Lydeker bagian Maluku dan Halmahera fauna Asiatis dan Australia  Sumberdaya alampotensi lokal beragam dan besar 1. Hadi, B. S 2008 2. Unpatti 2000 3. Parlindungan , A. P. 1993 4. Sitanipessy. 2002 Karakteristik Sosial Budaya dan Kependudukan  Penduduk tersebar merata  Memiliki keterkaitan budaya yang sangat dekat  Laju urbanisasi dari wilayah pinggiran ke pusat pertumbuhan mengecilrendah  Penduduk tersebar tidak merata  Penduduk terpusat pada pusat aktivitas pelayanan masyarakat  Memiliki budaya yang tidak seragam  Laju urbanisasi meningkat seiring terpusatnya aktivitas di pusat 1. World Bank 2009 2. Hadi, B. S 2008 3. Adisasmita, R. 2008 pertumbuhan. Karakteristik Aktivitas Ekonomi  Terdapat banyak pusat pertumbuhan dan sistem zone industri  Konsentrasi aktivitas ekonomi meningkat di setiap pusat pertumbuhan dan wilayah pinggiran  Investasi dan industri berada dihampir setiap wilayah pengembangan  Disparitas kesejahteraan antara pusat pertumbuhan dengan zone wilayah pinggiran semakin kecil  Pasar dekat  Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran dekat  Terdapat satu atau beberapa pusat pertumbuhan  Investasi dan industri terpusat di pusat pertumbuhan  Konsentrasi aktivitas ekonomi hanya pada pusat pertumbuhan  Terjadi disparitas kesejahteraan  Pasar jauh  Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran jauh  Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang rendah di pusat pengembangan 1. Adisasmita, R. 1997, 2005, 2008. 2. Tarigan, R. 2004 3. Reksohadiprodjo , S. dan Karseno, A. R. 2001 4. Budiharsono, S. 2001 Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti Adapun perbedaan pengembangan wilayahnegara daratan dengan wilayah negara kepulauan berdasarkan konsep pengembangan spasial yang di dasarkan pada konsep pengembangan wilayah dari pusat pertumbuhan, desentralisasi dan integrasi memperlihatkan adanya perbedaan konsep pengembangan wilayah daratan dengan kepulauan. Perbedaan pengembangan wilayah antara wilayah daratan dengan kepulauan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel. 2. Perbedaan Pengembangan WilayahNegara Daratan dengan WilayahNegara Kepulauan Berdasarkan Konsep Pengembangan Spasial Growth Pole, Desentralisasi Teritorial dan Integrasi Konsep Pengembangan Spasial Pengembangan Wilayah Kepustakaan Daratan Continental Kepulauan Archipelago 1 2 3 4

I. Konsep Kutub

Pertum- buhan Growth Pole  Investasi dan industri aktivitas ekonomi terpusat di pusat pertumbuhan  Otomatis terjadi spread effect ke wilayah ping-girannya periphery  Wilayah pinggiran periphery cepat berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga terhadap pusat pertumbuhan utama  Prasarana dan sarana infrastruktur tersedia dengan baik  Pusat pertumbuhan kota memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota generatif  Jarak dan infrastruktur dianggap sama untuk seluruh wilayah  Investasi dan industri aktivitas ekonomi seharusnya tidak terpusat di pusat pertumbuhan tetapi di beberapa pusat pertumbuhan.  Belum tentu terjadi spread effect tetapi sebaliknya cenderung terjadi backwash effect  Wilayah pinggiran periphery sulit berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan  Prasarana dan sarana infrastruktur belum baik bahkan cenderung sulit di- peroleh  Pusat pertumbuhan kota memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada 1. Adisasmita, R. 2005 2. Tarigan, R. 2004 3. Richardson, H.W. 1978 4. Rondinelli. D. A. 1985 5. World Bank 2009 6. Daryanto, A. 2003 7. Porter, M. E. 1990 8. Okali, D. Okpana, E. dan Olawoye, J. 2001