Kultur Sekolah Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran PKn sebagai

c. siswa, untuk rajin belajar secara tertib, terarah dan teratur dengan penuh kesadaran yang berorientasi masa depan; d. orang tua dan masyarakat, agar mampu untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemitraan yang lebih baik agar partisipasi mereka terhadap usaha pengembangan sekolah makin meningkat dan dirasakan sebagai suatu kewajiban, bukan sesuatu yang membebani. Yang lebih penting lagi kepemimpinan kepala sekolah harus dapat memberikan kesejahteraan lahir batin, mengembangkan kekeluargaan yang lebih baik, meningkatkan rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan dan menumbuhkan budaya positif yang kuat dilingkungan sekolah.

2.5.6 Kultur Sekolah

Salah satu faktor penting dalam upaya pembangunan karakter bangsa pada proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah kultur sekolah. Hal ini terkait dengan tiga pular penting dalam peningkatan kualitas sekolah yaitu proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah Depdiknas, 1999:47. Keterkaitan antara proses pembelajaran dengan kultur sekolah memang tidaklah berupa hubungan langsung. Akan tetapi efektifitasnya dalam memberian corak proses pembelajaran di kelas sungguh terasakan. Hal ini jika disadari bahwa dalam proses pembelajaran akan terjadi dialog antara seluruh potensi yang ada pada diri peserta didik dengan berbabagai potensi di sekolah, yang salah satunya adalah tata nilai dan norma di sekolah. Dengan demikian akan terjad hambatan yang cukup berat, manakala tata nilai yang ditanamkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas memiliki antipodi ketidakselarasan dengan tata nilai yang berkembang dan berlaku di lingkungan sekolah. Menganalogikan pengertian kultur dari Antropolog Clifford Geertz, kultur sekolah dideskripsikan sebagai pola nilai, norma, sikap hidup, ritual, dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan sekolah, sekaligus cara memandang persoalan dan memecahkannya. Hal ini mengandung makna, bahwa secara alami kultur akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut, dan sekolah didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi. Program aksi untuk peningkatan kualitas sekolah secara konvensional senantiasa bertumpu pada peningkatan kualitas proses belajar mengajar PBM, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen dan kurang menyentuh aspek kultur sekolah. Karena alasan-alasan praktis dan jangka pendek pilihan tersebut memang tidak salah, karena aspek itulah yang berkait dengan prestasi siswa. Akan tetapi akibatnya cukup fatal, bahwa prestasi peserta didik kerapkali tidak berkorelasi dengan persoalan kebudayaan dan peradaban. Akar kepribadian seperti tercerabut dari lingkungan sekolah. Di Amerika Serikat, pengaruh kultur sekolah terhadap prestasi siswa telah dibuktikan melalui penelitian empiris. Kultur sekolah yang sehat berkorelasi tinggi dengan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi serta produktivitas dan kepuasan kerja guru. Ann Bradley dalam Hardly Working 1995:216, mengatakan hasil penelitian terhadap 1.000 siswa di New York City. Sekira 60 siswa menyatakan malas belajar karena guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi. Sebagian besar responden menyatakan, sekolah tidak disiplin melaksanakan PBM, sekira 80 mau belajar keras kalau semua proses belajar berjalan secara tepat, sesuai jadwal. Sebagian siswa mengeluh karena guru sering melecehkan dan tidak memperlakukannya sebagai anak dewasa. Temuan yang tidak kalah menarik, ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana saat ini saja mereka akan lulus mendapatkan ijazah. Dan ijazah merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak perlu diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai. Di negara kita belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah, kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi, mengingat sekolah sebagai suatu sistem di mana pun berada relatif sama, hasil penelitian di Amerika Serikat itu perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita. Meski begitu, kesahihan sebuah hasil penelitian tentu terpengaruh oleh pergerakan waktu, artinya kebenaran kemarin belum tentu benar untuk hari ini atau hari esok. Konsekuensinya, semua unsur harus meningkatkan kemampuan dan pengetahuan melalui kerja keras, antusiasme, dan disiplin tinggi. Kepala sekolah perlu berkolaborasi dengan semua komponen, termasuk orang tua. Di samping itu perlu evaluasi perkembangan, sebagai contoh adalah teaching evaluation form. “Typically, TEFs Teaching Evaluation Form serve as formative and summative evaluation that are used in an official capacity by administrators and faculty for one or more of the following purposes :a to facilitate curricular decisions i.e., improve teaching effectiveness;b to formulate personnel decisions related to tenure, promotion, merit pay, and the like; and c as an information source to be used by students as they select future courses and instructors”. Onwuegbuzie, Witcher, Collins, Filer, Weidmaier and Moore, 2007: 114. Akhirnya, kultur sekolah akan terwujud jika semua komponen di sekolah menyadari, sekolah sebuah sistem organik atau sistem manusiawi, di mana hubungan kekerabatan antar individu yang terlibat merupakan kunci berlangsungnya sistem. Sejatinya, kondisi yang tidak dapat dipegang intangible seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghargai dan menghormati tentu tak boleh diabaikan.

2.6 Temuan-temuan Penelitian terdahulu