menuntut adanya persetujuan dan monitoring dari Dinas Pendidikan yang didampingi para ahli pendidikan dan kurikulum di setiap daerah.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah penelitian yang menjadi dasar bagi reformasi kurikulum sekolah untuk pengambilan keputusan. Hal itu akan
dijadikan bahan masukan dan konsolidasi pemikiran untuk mengambil keputusan rancangan kurikulum baru. Rancangan kurikulum yang akan
diputuskan berasal dari pengalaman pembelajaran, baik pembe1ajaran efektif, mengajar efektif dan implikasinya yang berhubungan dengan karakteristik
masyarakat dalam hal persamaan dan akses kurikulum berdasarkan suku, gender, agama, latar belakang sosial dan fisik.
Lawton 1990 yang dikutip Law dan Glover 2000 berpendapat bahwa ada lima tingkatan pengambilan keputusan kurikulum, yaitu nasional, daerah,
institusional, bagian unit dan individu. Keputusan secara berjenjang tersebut menyarankan bahwa keputusan pada setiap tingkatan berhubungan satu sama
lain. Jika pengawasan kurikulum dilakukan dari atas ke bawah top-down maka inovasi kurikulum dalam institusi dapat dikembangkan dari bawah ke atas
bottom-up, bahkan pengembangan kurikulum dan keputusannya perlu diberikan kewenangan kepada institusi yang paling bawah dalam pengawasan
level atas. Persoalan utamanya adalah masalah sentralisasi dan desentralisasi
pengambilan keputusan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum sekolah. Ada dua pendekatan pada perencanaan kurikulum yang berhubungan
dengan pencapaian tujuan rasional dan behavioralkultural dan hubungannya dengan proses pembelajaran. Menurut Law dan Glover 2000, model
pengembangan kurikulum yang berhubungan dengan tujuan adalah sebagai berikut.
1. Model Rasional
Model ini secara esensial bersifat linier dan gerakan pendekatannya melalui empat langkah, yaitu mengkhususkan tujuan, perencanaan isi,
129
susunan metode dan model pembelajaran, serta pengukuran dan evaluasi keberhasilan. Penilaian hasil ini akan memberikan umpan balik bagi
pengembangan dinamika sekolah karena terkait dengan mutu lulusan.
23. Model Perilaku dan Model Budaya
Berkaitan dengan tujuan perilaku tentang perilaku pelajar dijelaskan dalam istilah yang terukur. Rasionalitas berdasarkan atas prestasi yang
penting dari keterampilan pembelajaran. Biasanya hal itu dilihat dari domain kognitif, afektif dan psikomotorik dari pembelajaran siswa dimana
akan diketahui hasil perubahan perilaku. Gagasan dari kurikulum berdasarkan lingkungan budaya umum telah
ditingkatkan. Tujuannya adalah untuk pembelajaran budaya. Dalam hal ini nilai-nilai budaya dipertahankan dalam perencanaan model kurikulum
sesuai konteks masyarakat dan analisis situasional yang akan dipelajari dalam sekolah sebagai institusi sosial.
Model budaya dalam keputusan rancangan kurikulum biasanya menawarkan urutan perencanaan sebagai berikut:
a. Analisis situasi berdasarkan atas pengaruh internal dan
eksternal harapan masyarakat, orang tua, mata pelajaran yang diajarkan, sistem dukungan guru, aliran sumber daya dan
pengaruh internal murid, guru, sumber daya material dan masalah atas lembagasekolah;
b. Formulasi tujuan bagi lembaga di dalam masyarakat;
c. Pengembangan program;
d. Interpretasi dan implementasi berdasarkan pada kebutuhan
murid; e.
Pemantauan, umpan balik, penilaian dan rekonstruksi.
130
Untuk mengembangkan model budaya ini, hal yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan kurikulum berdasarkan institusional;
b. Peranan guru dan pertimbangan profesional ahli dalam
menafsirkan kurikulum; c.
Kebutuhan pada fokus atas kebulatan kurikulum daripada fragmentasi pendekatan mata pelajaran;
d. Negosiasi kurikulum dengan mengakomodasi berbagai
perspektif berbeda di antara kelompok guru dan pendekatan demokratis kepada manajemen kurikulum.
Pandangan ini menempatkan pelajar sebagai partner yang aktif dan proses pembelajaran lebih bersifat pertemanan. Oleh karena itu, hal ini
lebih bersifat pendekatan demokratis pada manajemen kurikulum.
FF.Pengambilan Keputusan Partisipatif di Sekolah
Salah peranan kepemimpinan kepala sekolah adalah peranan decisional pengambil keputusan. Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan
suatu bentuk reformasi utama di sekolah pada tahun 1990-an. Di Amerika, cara ini sudah banyak diterapkan oleh Asosiasi Administrator Pendidikan Amerika di
sekolah-sekolah kabupaten dan negara bagian. Oleh karena itu, yang perlu dipahami oleh kepala sekolah adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan
pengambilan keputusan partisipatif itu? Dalam konteks otonomi pendidikan di Indonesia maka para kepala sekolah dengan otonomi baru sudah saatnya
mendalami bagaimana konsep dan teknik dalam pengambilan keputusan partisipatif.
Pada kenyataannya, melibatkan staf kepala sekolah, guru dan pegawai dalam pengambilan keputusan merupakan hal yang penting bagi keberhasilan
131
pelaksanan keputusan. Adair 1985: 157 menjelaskan bahwa “For a decision will be effective only if is fully implemented. People are more likely to put their
hearts into it if they have shared either explicity or implicitly in the making of decision.” Di sini lah bagi kepala sekolah selaku manajer pada setiap sekolah
penting memahami konsep dasar dan implikasi “membagi” pengambilan keputusan shared decision making atau – dalam tulisan ini selanjutnya disebut
– pengambilan keputusan partisipatif.
1. Premis dan Tujuan Pengambilan Keputusan Partisipatif