Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas Zubaidi, 2007, melintasi sawar
darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila meningens meradang. Penetrasi streptomisin ke dalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada basil tuberkel
ekstrasel Chambers, 2010. Resistensi terjadi akibat mutasi titik pada gen rpsL yang mengode gen
protein ribosomal S12 atau gen rss yang mengode rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi pengikatan ribosomal Chambers, 2010. Penggunaan
streptomisin bersama anti tuberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi Zubaidi, 2007.
Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-
kira sepertiga streptomisin yang berada didalam plasma terikat protein plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60 dosis
streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal
antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal Zubaidi, 2007. Mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut terjadi segera setelah injeksi.
Reaksi hipersensitivitas kulit dapat terjadi WHO, 2009. Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranialis ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan
jangka lama Zubaidi, 2007. Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat permanen Chambers, 2010. Ototoksisitas
dan nefrotoksisitas dihubungkan dengan pemberian obat ini, terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut. Gangguan vestibular lebih sering terjadi dibandingkan
dengan kerusakan auditori Hershfield, 1999. Streptomisin tidak boleh diberikan pada masa kehamilan karena dapat menembus sawar plasenta dan menyebabkan
gangguan saraf auditorius dan nefrotoksisitas pada bayi WHO, 2009.
2.2.2. Isoniazid
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila
kontaknya dengan obat dihentikan. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak
yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi
oleh metanol dari mikobakterium Zubaidi, 2007. Isoniazid larut dengan bebas dalam air. Isoniazid dapat mempenetrasi makrofag sehingga aktif terhadap
organisme intrasel dan ekstrasel. Isonizid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid
merupakan prekursor obat yang diaktifkan oleh KatG, suatu katalase-peroksidase milik mikobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen
dengan protein pembawa beta keto-asil AcpM dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasetil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh
sel Chambers, 2010. Resistensi terhadap isoniazid disebabkan mutasi yang mengakibatkan
ekspresi berlebihan inhA, yang mengode reduktase untuk protein pembawa asil yang dependen-NADH; mutasi atau delesi gen katG; mutasi promotor yang
menyebabkan ekspresi berlebih ahpC, suatu gen virulens putatif yang terlibat dalam perlindungan sel mikobakterium terhadap stres oksidatif; dan mutasi kasA
Chambers, 2010. Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar
puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang
cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20 kadar cairan plasma. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi
dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari
cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75-95 isoniazid diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama
dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang
kecil sekali berupa N-metil isoniazid Zubaidi, 2007. Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan
terjadinya lupus eritematous sistemis yang dipicu oleh obat Chambers, 2010. Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat
kejang. Neuritis optik juga dapat terjadi. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini di antaranya euforia, kurangnya daya ingat
sementara, hilangnya pengendalian diri, dan psikosis. Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia,
tinitus, dan retensi urin Zubaidi, 2007. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin. Berbagai reaksi lain
meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna Chambers, 2010.
2.2.3. Rifampisin